`

`

Menulis bersama Cinta

Aku akan menulis bersama cinta. Itu kalimatku. Ini langkah pertamaku untuk memulai merangkai kembali segala ide ini. Semoga memberi manfaat pada kita semua. Memberi manfaat pada dunia.

Usiamu Bertambah, Cinta

Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada dikau, istriku sepanjang sejarah.

Dia Hadir Lagi

Malam ini kenapa rasanya ia hadir lagi mengisi ruang rindu ini. Setelah setahun lebih dia meninggalkan kami dengan senyum kasih sayangnya. Entah apa gerangan yang membuat air mata ini tiba-tiba menetes di sudut mataku. Tiba-tiba aku merindukannya.

Menikah Mengajarkan Banyak hal

Menikah seharusnya difahami sebagai lompatan menuju keridhaan dan surga Allah yang tidak pernah putus kenikmatannya. Maka dalam melewatinya semestinya bertabur amal sholeh.

Memaknai Tahun Baru 2014

Silahkan tulis mimpimu. Yakinlah bahwa ini hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk merubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Kita tidak akan sampai di ujung titik kesuksesan jika kerja-kerja yang kita lakukan hanyalah berhenti pada kesibukan kita mendefinisi makna fundamental tentang hadapan kita saat ini.

Hanya Ingin Menulis

SAYA INGIN MENULIS. Adalah sebuah cita-cita akan perubahan yang pelan tetapi pasti. Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan.

Jejak Usia Menuju 29 Tahun

Sesaat,waktu seolah memberi ruang untuk berkontemplasi panjang,memandangi kembali jejak dan sisa perjalanan yang telah dilewati

Bunda Tersayang, Semangat dan Inspirasimu Selalu Hidup

Semoga semangat dan inspirasimu selalu hidup sampai generasi kami menggantikan peran-peran ini. Dan semoga Allah meridhainya. #Bundatersayang.Spesial untukmu #Bundatersayang, bahwa semoga Allah mengampuni dosamu dan menempatkan engkau ditempat yang terbaik. Amin

Catatan Perjalanan Ber-LSM

Sekedar mengenang jejak #berLSM yang telah setahun tidak ku geluti lagi.#berLSM Gerbang baru, tempatku menemukan warna-warni aktivitas yang tak asing.Aktivitas #berLSM memang fase tetapi bagiku untuk beberapa hal adalah seperti melanjutkan perjalanan. #berLSM itu; penuh dengan ruang-ruang dialektika,motivasi mengembangkan diri,dan egaliter.Ya sudah pasti kita bisa memelihara idealisme.

Jika Boleh Memilih (Part 1)

Jika boleh memilih, aku ingin kembali ke masa kecil. Disaat mengenyam bangku sekolah di Sekolah Dasar (SD). Hidup bagiku disaat itu adalah mandi pagi, berseragam dan berangkat sekolah. Bermain sesuka hati, belajar semampuku, makan lalu istirahat. Hidup mengalir tanpa beban. Yang ada adalah tumbuh dan besar ditengah orang-orang yang menyayangi.

Antara Pilihan

Tak ingin rasanya beranjak pergi meninggalkan persinggahan ini ruang sepi yang buatku terhenti diujung jejak-jejak perjalanan itu

Sepi ditengah Keramaian

Sepi ditengah keramaian ini semoga menjadi peristiwa-peristiwa yang indah jika dikenang kembali kelak. Bahwa bagian dari perjalanan ini adalah memupuk cinta diseberang pulau. Atau cinta bersemi dalam kejauhan. atau mungkin Cinta dalam ruang yang berbeda. Atau apapun lah yang menggambarkan cinta yang selalu membersamai waktu-waktu kami.

Untuk yang Terkasih

Sayang..Cinta itu menyembuhkan..ada yang beda saat dirimu hadir disini..dengan segunung rasa yang kau punya..kau menyebutnya cinta..ya sering sekali kau menyebut kata itu,menulisnya,mengungkapkannya,menuliskannya lagi,begitu,sering sekali,terus begitu,seperti tak mampu diungkap oleh kata,seperti tak selesai ditulis dengan pena.

9 Bulan Lagi Jadi Ayah

"Kak barusan saya test pack. Alhamdulillah positif..Sembilan bulan lagi sampean jadi abi..In shaa Allah..:)" Memang baru saja menyapa di perut ibunya. Belum genap sebulan. Masa-masa berat yang mesti dilewati dengan kesabaran. Semoga tidak ada halangan ataupun hambatan yang berarti. Selanjutnya harus mengatur aktivitas sebaik-baiknya sehingga dia tetap terpelihara hingga menjadi manusia seutuhnya dan hadir menyapa dunia. Amin

Dua Hari Cukup

Satu bulan berada berjauhan dan sudah saatnya waktu ini berdialog dengan cinta kembali. Membersamai hari-hari berdua bersamanya, kekasih hatiku. Aku meski sadar bahwa karena pertarungan ini masih berhelat maka tidak ada cukup waktu untuk menyapanya. Dua hari saja cukup untuk dia, untuk memupuk senyum dan bahagia dihatinya.

Dari Politik Ke Peradaban (part 1)

Semangat saya kembali ber-api membaca transkrip taujih @anismatta "Dari Politik ke Peradaban" dalam buku Integritas Politik dan Dakwah.Ini kira-kira isi taujih yang membuat saya bersemangat. Momentumnya tepat untuk membakar jiwa ditengah perang saat ini. Monggo dinikmati..Kedepan ada 3 cita-cita yang akan kita kejar, yaitu: cita-cita politk, cita-cita dakwah, dan cita-cita peradaban.

Dari Politik Ke Peradaban (part 2)

Cita-cita yang harus kita kejar yang ketiga adalah Cita-cita peradaban.Terjemahan implementasi dari apa yang disebutkan oleh Imam Hasan Al Banna sebagai cita-cita tertinggi dakwah kita,yaitu Ustaziatul Alam.Sementara sekarang peradaban barat tidak lagi mampu memberikan semua unsur yang diperlukan manusia untuk berbahagia.Sekarang ada kekeringan yang luar biasa. Sehingga yang dipikirkan oleh barat adalah mempertahankan hegemoni.

Merangkai Hidup Baru

#MerangkaiHidupBaru adalah episode baru yang aku adalah sutradara sekaligus pemainnya.Kenapa kok #MerangkaiHidupBaru padahal kan sudah 1 tahun lebih menikah? 1 tahun lebih menikah adalah episode yang berbeda karena muatan ujiannya berbeda.Kalau boleh aku ingin memberinya nama #MencariFormatHidup

Perjalanan Menuju Menang

Ingin mengurai satu demi satu cerita perjalanan #menang di 2014 ini. Karena ada banyak hikmah yang akan menjadi penguat langkah kedepan..Perjalanan ini harus dicatat karena ada pelajaran tentang perjuangan sungguh-sungguh kita untuk #menang..Kami ingin sefaham bahwa amanah berat ini adalah amanah semua..tugas saja yang beda..Masyarakat sudah tunggu bukti..semoga kami bisa amanah..Semoga ustad Nasaruddin diberi kuat,sehat, untuk penuhi dan perjuangkan hak rakyat.. Semoga istiqomah..Amin

Tebar Inspirasi Hingga Tak Terbendung

Tanggal 10 Mei 2014. Selamat Milad. Semoga usianya berkah. Semoga istiqomah. Semoga menjadi istri sholehah dan kemudian menjadi ibu teladan bagi anak-anaknya. Waktu-waktu belum habis untuk belajar semoga tetap mau belajar, semoga selalu memberi manfaat dimanapun, dan menjadi apapun. Tebar inspirasi hingga sekat tak mampu lagi membendungi arusnya.

Kamis, 31 Desember 2009

SUKSESKU “PASANG SURUT”

(Keping-keping Kehidupan 3)

Suksesku “pasang surut”. Kalimat ini mungkin yang menggambarkan cerita kesuksesan studiku. Sukses yang menurut orang kebanyakan diukur dari prestasi dikelas. Ya begitupun aku. Sebagai seorang siswa yang ingin maju menurutku salah satunya harus berprestasi dikelas. Walaupun orang-orang besar juga ada yang tidak menempuh sekolah formal. Tetapi inilah kenyataan.

Walaupun aku tidak pernah sukses jika diukur dari standar prestasi siswa di sekolah tetapi aku punya standar yang kusesuaikan dengan kualitasku yang tidak sepintar teman-temanku yang memiliki nilai tertinggi disekolah, memiliki nilai ujian nasional tertinggi se-kabupaten. Dan standar yang kubuat cukup untuk menghibur diri yang punya impian terlalu tinggi tetapi apa daya tangan tak sampai.

Ketika Sekolah dasar aku pernah mengungguli teman-teman sekelasku. Aku pernah tiga kali sejak kelas 1 sampai kelas 3 mendapat rengking pertama. Tetapi sudah harus diakui bahwa setelah itu aku tidak pernah mendapatkan itu. Ya gara-garanya, aku sakit keras, berawal dari hanya sakit meriang sampai harus diopname dirumah sakit dan memaksa aku tidak masuk sekolah sampai mendekati ujian catur wulan (cawu-sebelum memakai sistem semester). Dan tidak tanggung-tanggung, aku harus mengejar ketertinggalan itu, dan alhasil aku hanya duduk diperingkat kedua, Alhamdulillah masih sempat tiga besar.

Ketika aku masuk SMP, aku bersemangat ingin mengulang prestasiku, prestasi yang pernah ku banggakan waktu SD, prestasi yang kerap kali orang tuaku memberikanku hadiah.

Awal-awal cawu dimulai aku berusaha sekeras mungkin, belajar untuk cita-citaku, dan ketika itu aku hanya mendapatkan peringkat dua untuk cawu pertama. Untuk cawu kedua dan ketiga aku mendapatkan peringkat kedua dan ketiga. “Semakin turun euy..” belum selesai karena merasa ikhtiarku sudah cukup sempurna aku merasa harus menerima semua apa adanya.

Naik ke kelas 2 SMP, sistem yang dibuat adalah sistem pengacakan dan pembagian kelas berdasarkan prestasi, sehingga aku jadi salah satu siswa yang masuk kelas unggul (kelas yang menurut sekolah diunggulkan). Tetapi semakin hari bukan menambah motivasi untuk belajar tetapi justru menggeserku dari segala kebiasaan “positif”. Aku malas, apalagi harus bersaing terlalu keras, aku sadar kualitasku cukup hanya untuk menjadi seperti ini-menurutku aku tidak terlalu kuat untuk bersaing, lagi-lagi karena soal percaya diri yang lemah membuatku terus berada dalam keterkungkungan masa lalu, tenggelam dalam kelemahan diri, dan tidak berfikir maju untuk sesuatu yang masih bisa diusahakan. Ada banyak teman-teman kelasku waktu SD yang secara akademik lebih rendah dari aku, jarang masuk sekolah, dan hampir terabaikan, tetapi ketika dikelas yang sama waktu SMP dia adalah salah satu siswa teladan, nilainya bagus, cara belajarnya berhasil, dan sangat aktif mengikuti pelajaran, dan aku hanya menjadi bagian dari siswa yang diam dan sepertinya tidak punya motivasi untuk maju, yahh.. ini mungkin perasaanku yang menganggap bahwa ini lah penilaian orang kepadaku, walau hanya sekedar perasaan. Karena diluar sekolah aku sering menjuarai lomba cerdas cermat.

Ini mengesankan cerita “buruk” buatku. Bagaimana tidak nilai Ujian Akhir Nasional-ku hampir tidak meloloskanku untuk masuk kesekolah negeri. Dan pada saat itu yang membuat bapakku sedikit berotot adalah dengan nilai yang “terbatas” aku tetap memaksakan diri untuk mendaftar ke sekolah favorit di Kabupaten Dompu. Soalnya dengan insiden nilai yang anjlok itu aku merasa terpompa untuk memulai dari nol, memulai untuk menjadi yang terbaik lagi, memulai untuk yakin bahwa aku masih bisa bersaing dengan rekan-rekanku dikelas dulu.

Ya setelah menanti cukup lama ternyata aku diterima disekolah favorit itu. Mata ku berkaca-kaca, tubuhku merinding, tatapanku menyorot kedepan, aku merasa ingin segera berada dikelas untuk bersaing dengan teman-teman baruku. Aku ingin membuktikan bahwa aku masih siap untuk mengejar semua prestasi yang pernahku abaikan.

Ya dari sinilah aku hanya menjadi siswa yang “gila buku”. Aku mulai mengatur waktu belajar, waktu bermain, waktu untuk istirahat, sampai-sampai aku tidak pernah keluar hanya untuk sekedar jalan-jalan. Aku masih ingat ibuku, setiap selesai shalat isya beliau mesti tahu kalau aku sudah mulai membuka buku dan beberapa saat kemudian ibuku mesti membuka pintu kamarku (Kalau belajar selalu menutup pintu kamar) untuk menawarkan segelas teh manis. Dan biasanya kalau belajar sambil minum teh aku merasa lebih cepat menyerap pelajaran dari buku yang sedang kubaca. Terimakasih bu untuk setiap gelas teh yang kau suguhkan.

Tidak sia-sia usahaku. Pada saat penerimaan raport di cawu 1 aku meraih juara 1, prestasi yang membanggakan bagiku-apalagi jika orang tuaku mengetahuhi ini begitu bangganya mereka. Benar bahwa kesuksesan itu bergantung pada seberapa besar usaha kita. Allah lah yang memberikan semuanya, karena tugas kita adalah hanya berusaha yang menentukan semuanya adalah Dia-Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku segera pulang kerumah untuk mengabarkan berita bahagia itu kepada bapak-ibuku. Bapak-ibu ikut bangga merasakan apa yang sudah ku usahakan selama ini. Pola belajar dan kegiatanku sehari-hari terus seperti biasanya, mengalir tanpa harus dibebani oleh hal-hal lain selain mata pelajaran di sekolah. Ada kesibukan diluar sekolah tetapi masih menjadi sesuatu yang tidak berat untuk difikirkan.

Aku merasa sedang berada di awan, bersama impianku, harapanku, cita-citaku, aku menjadi salah satu siswa yang berhasil meraih impian disekolah, aku mengungguli teman-temanku sampai kelas 2 cawu ke-3. Sudah semestinya ketika itu aku mengumpulkan 6 piagam penghargaan, dan mendapatkan beasiswa dari BATARA, aku lupa jumlahnya-tetapi sudah cukup bagiku untuk membuatku terus tersenyum dalam impian yang sedang ku kejar. Bapak-ibu sudah tentu ikut senang, aku menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mereka, selain sebagai anak yang penurut dan rajin ke masjid aku menjadi anak yang “sukses”. Tidak sekedar itu setiap permintaanku mesti dikabulkan, belum lagi ketika hadiah juara 1 dari mereka yang semakin melengkapi kebahagiaan dan motivasiku untuk terus maju. Dan sejak itu aku tidak pernah di atur, tidak pernah ditegur, tidak pernah diingatkan, bukan karena aku kebal dari semuanya tetapi aku dianggap sudah dewasa untuk memilih mana yang terbaik untukku, dan memang aku tidak pernah melakukan sesuatu yang mencoreng wajah mereka.

Kelas 3 SMA, aku sedikit harus beradaptasi karena kelas diacak lagi seperti dahulu ketika aku naik ke kelas 2 SMP, ya ketemu dengan teman baru, guru baru karena guru yang mengajar dikelas 1 dan 2 berbeda dengan guru-guru yang mengajar dikelas 3. Ini tentunya membuatku harus berfikir keras jika ingin melanjutkan kesuksesan sebelumnya, banyak hal yang aku rasakan, adapatasi yang terlalu lama justru membuatku tertinggal, kosong, dan aku akhirnya kembali ke masa laluku-aku akhirnya tidak ingin berfikir banyak tentang kesuksesanku disekolah-karena aku lebih sibuk mengurusi urusanku diluar, aku justru menemukan kepuasan diluar, bebas bagiku untuk menggambarkan diriku dibalik kekangan sistem sekolah yang hanya menuntut kualitas akademik, sementara sikap, tindakan, perkataan, pergaulan, terlupakan, dan aku temukan diluar disaat aku harus melengkapi kesuksesanku yang tinggal setahun lagi. Dan ini aku dapatkan diluar.

Aku sibuk, buku pelajaran dan sekolah aku tinggalkan, dan hampir aku lupakan, apa lagi guru yang harusnya mengajar hanya sekedar menitipkan buku untuk difoto copi, aku yang gerah dengan cara seperti ini menghabiskan waktu untuk “keliling” ke sekolah-sekolah, bukan main-main apalagi tawuran, tetapi untuk membagikan undangan sebuah acara rutin yang aku dan organisasiku adakan tiap pekan. Ini menghiasi hari-hariku di kelas 3, teman-teman yang masih berfikir sekolah formal adalah satu-satunya cara sukses akhirnya meninggalkan organisasi kita tercinta, organisasi yang pernah menjadi “rumah” para pendahulu yang telah sukses bersamanya. Aku hanya bersama temanku-Andi Chandra namanya, seorang sahabat yang selalu menemaniku disaat susah senang, sering menjadi “tong sampah”, dia yang rela melakukan apapun demi “rumah kita”.

Sampai akhirnya tiba, kita harus hengkang dari “rumah” kita karena masa kepengurusan telah berakhir. Tentu kita meninggalkan para kader yang terus melanjutkan roda organisasi tercinta.

Dan sekolah? Aku tidak lantas meninggalkan sekolahku, aku kembali kesekolah dengan segala bekal yang menumpuk di otak, tapi bukan rumus matematika, fisika, apalagi kimia, tetapi bekal perjalanan untuk hidup dikemudian hari. Seingatku saat itu tinggal 2 minggu lagi ujian akhir nasional akan digelar, semua siswa tentu sudah harus mempersiapkan diri, teman-temanku yang meninggalkan organisasiku sudah lebih dulu mempersiapkan segala hal untuk ujian itu. Aku baru mulai, aku membuka kembali semua buku tempatku mencatat semua pelajaran sejak kelas 1. Kubuka, kupelajari, kudiskusikan dengan teman-teman sekolahku, dirumah, disekolah, dan dimanapu ketika itu. Sampai waktu ujian tiba dan apapun usahaku aku sudah bertawakkal. Yang selalu melekat dibenakku adalah ungkapan seorang ustadz yang sering mengisi diskusi keislaman “dirumah” kita “barangsiapa yang menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya….”. Sebuah ungkapan yang mengutip sebuah hadits Rasulullah ini membekas dan selalu mengiringi usahaku yang terbatas dan seadanya.

Aku telah menyerahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, kulewati semuanya tanpa keraguan, tanpa rasa takut untuk tidak lulus sampai selesai. Tinggal menunggu hasil yang akan diumumkan satu bulan setelah ujian berakhir. Akhirnya aku lulus dengan nilai yang tidak jauh beda dengan teman-temanku yang lain. Ini cukup menurutku. Ini justru lebih dari cukup untuk bekal merantau ke negeri orang.

Aku memilih Malang-Jawa Timur untuk menjadi tempat menuai suksesku yang pasang surut. Malang kota terindah menurutku dibandingkan dengan tempat asliku. Kota yang saat itu sejuk, bersih, masyarakatnya ramah, dan tradisi keilmuannya cukup tinggi. Aku telah berada dimalang setelah menempuh perjalanan dengan bus kota selama sehari dua malam. Perjalanan yang sungguh melelahkan tetapi sangat sebentar jika diukur dengan ilmu yang sedang ku kejar, dan sukses yang ingin kuraih kembali. Setelah satu bulan di Malang dan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, akhirnya aku diterima di salah satu kampus negeri di malang yaitu Universitas Brawijaya. Dan kukejar suksesku disini.

Rabu, 30 Desember 2009

JIKA INI ADALAH TAKDIR

Jika ini adalah letupan-letupan sesaat
Maka abaikanlah…
Biarkan ia pergi seperti hadirnya
Dan biarkan ia berhembus seperti angin

Namun jika ia adalah takdir
Maka kejarlah, kejarlah takdir itu
Kemanapun ia kan berlabuh?
Iya, sampai mungkin takdir itu berkata
Lain…

Tapi alam menggugat ini, mungkinkah…
Alam hanyalah bagian dari cerita pelengkap..
Lihat disana kekuasaan-Nya,..tak ada yang mustahil
Apakah ini mimpi?

Ayo segera bergegas,…
Jalan yang kau tempuh masih sangat jauh..
Segera lewati tembok besar itu,.lompatlah..!!
Biar Dia dan dia tahu begitu besar ikhtiarmu..

Ingin sekarang,..atau tak selamanya..
Turuti kata hatimu, semasih permata itu berkilau..
Simbolnya begitu kuat untukmu..
Baca dan sambutlah pertanda itu sebagai awal perjalananmu

AKU PERNAH MEMBENCI KEDUA ORANG TUAKU

(Keping-keping kehidupan 2)

Aku lebih suka sibuk dari pada harus tidur-tiduran dirumah. Karena aku menemukan duniaku diluar bukan dikamar. Mungkin ini imbas dari pelatihan (Basic Training-PII) yang aku ikuti selama satu minggu. Pelatihan yang diajarkan banyak hal tentang kepribadianku. Sehingga aku menjadi salah satu anak SMA yang paling sibuk. Pagi sekolah, siang rapat, malam diskusi, dan itu menjadi aktivitas yang hampir rutin setiap hari. Apalagi sehabis ba’da isya teman-teman remaja masjid (REMAS) ada jadwal ngumpul. Silaturahmie (istilah makan-makan mie instant) yang biasanya rutin tiap pekan. Tidak tanggung-tanggung ngobrolnya-tidak terasa sudah dini hari, pulang kerumah sudah jam 2 pagi. Memang aku dan teman-teman sudah seperti satu keluarga, rasa ukhuwah (Kata ustadz) yang sangat erat yang membuat aku dan teman-teman sudah sangat dekat.

Apalagi kalau pada saat sibuk-sibuknya, kegiatan pelatihan kader, khikmah mauld Nabi Muhammad SAW-Isra’ Mi’raj, rihlah, olah raga-sepakbola, dan silasarati (sila dari kata silaturrahim, sarati artinya bebek bahasa Bima-Dompu), itu sampai kita harus I’tikaf (berdiam diri di Masjid alias tidur, hehe). Asyiknya bukan hanya ngumpulnya, sering kali kakak-kakak yang sudah sarjana biasanya bercerita tentang pengalaman mereka ketika sibuk jadi aktivis mahasiswa, sangat menarik, memberi semangat, mungkin itu yang membuatku merasa mendapatkan inspirasi lewat mereka. Pesan ketua remaja masjid yang masih sering aku ingat “kalau kuliah mulailah belajar untuk berfikir realistis, ideal boleh tapi realistis itu lebih baik.”). Sejak begabung dengan mereka aku jadi biasa bicara organisasi, politik, aktivitas mahasiswa, organisasi mahasiswa. Oh ya, saat itu aku sedang menjabat sebagai ketua umum PII Kabupaten Dompu.

Aku hampir tidak pernah dirumah kecuali makan dan tidur. Bapak dan ibu baru pulang kerja sore hari. Karena keluargaku yang cukup demokratis sehingga aku tidak pernah diprotes untuk memilih organisasi atau partai politik-tetapi dulu belum kenal partai politik.

Disaat masa SMA sudah mau berakhir, aku semakin sibuk sehingga semakin jarang dirumah-menginap ditempat teman (bendaharaku), yang kebetulan cowok. Semakin hari orang tuaku merasa aku sudah berlebihan, karena mungkin tak pernah punya waktu untuk mereka. Akhirnya suatu ketika aku “disidang” sampai akhirnya aku harus dibatasi tidak boleh kemana-mana kecuali ke sekolah, aku mangkel, marah benar, sampai aku harus membenci mereka, tidakkku ekspresikan lewat kata ataupun sikap tetapi pada saat itu yang jelas aku membenci kedua orang tuaku. Aku terus berdiam diri dikamar, sesekali nyeletuk “kayak cewek atau mungkin banci…”.

Tetapi aku bersyukur, akhirnya aku tidak sendiri, aku ditemani pena dan diaryku. Kulepaskan penatku, kuceritakan semuanya, aku hampir tidak menghiraukan kalau pena-ku sudah menari di ujung buku curhatku itu. Uffh,..alhamdulillah plong, setelah kuuraikan aku berfikir bahwa selama ini memang tak pernah punya waktu untuk sekedar mencium tangan kedua orang tuaku, dalam shalatku jarang mempersembahkan doa buat mereka. Apalagi detik-detik perpisahan sudah dekat, dekat karena aku harus merantau ke negeri orang, pulau jawa, tepatnya di Malang.

Aku sadar harus meminta maaf kepada mereka, mereka yang membesarku, mengenal dunia ini, dan aku? Belum memberikan apapun kepada mereka. Ya sejak saat itu aku mencoba menjadi yang terbaik dimata mereka-bapak dan ibuku. Aku tak pernah melewatkan saat keluar rumah dari sekedar mencium tangannya. Aku berjanji akan berubah-tidak hanya menjadi aktivis tetapi menjadi orang yang berbakti kepada mereka. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan umur yang barakah dan rizki yang halal kepadaku sehingga suatu saat nanti ku persembahkan umurku untuk berbakti kepada mereka.

MENJADI AKTIVIS, BERAWAL DARI APATIS

(Keping-keping kehidupan 1)

Aktivis. Kata ini baru kudengar setelah Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 1, tepatnya ketika aku masuk di salah satu SMP 2 Negeri di kabupaten Dompu. Dompu sebuah kabupaten kecil di pulau Sumbawa-Nusa tenggara barat. Pulau yang pada peta Indonesia hampir tidak terlihat karena memang pada kenyetaannya ukuran geografis yang memang tidak seluas dan sebesar pulau jawa, sumatera, atupun Kalimantan. Tetapi disanalah aku dilahirkan.

Kata aktivis ini kukenal tepatnya ketika aku menginjak bangku SMP tetapi aku tidak pernah ingin tahu tentang aktivis. Sejak kecil aku sudah menjadi anak rumahan,
ketika Sekolah Dasar (SD), bapak dan ibuku selalu mewanti-wanti supaya aku selalu mendapatkan rengking 1 dikelas, yach harapan itu aku penuhi hanya sampai kelas 3 SD, dan selanjutnya sampai kelas enam angka dua menjadi angka tetap yang menempel diraport ku. Oiya,..aku pernah dimarahi sama bapakku sampai tidak diizinkan main sama anak-anak tetangga. Apalagi ketika adzan magrib telah tiba aku harus segera bersiap-siap untuk shalat dan belajar ngaji (belajar membaca Al-Qur’an). Sejak kecil hingga SMP aku setiap hari hanya sekolah dan berdiam diri dirumah, sesekali bergaul sama teman-teman sebayaku tetapi tidak jarang “dijewer” sama bapak karena ulah teman-temanku yang tidak genah. Ini mempengaruhi kepribadianku-menjadi tertutup dan apatis. Dulu kata aktivis adalah momok bagiku. Aktivis menurutku ketika itu adalah anak-anak yang tiap hari dan tiap waktu hanya sibuk dengan agenda-agenda organisasi, kegitan, rapat, dan lain-lain. Ketika itu organisasi yang marak adalah pramuka. Aku memang salah satu pengurus osis sejak kelas 2 SMP, sebagai ketua seksi IMTAQ (Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) tetapi aku tidak pernah mendalami tentang arti dari sebuah organisasi. Mungkin Karena aku terlalu apatis. Walau keapatisanku adalah pengaruh dari pendidikan dikeluargaku yang terlalu tertutup. Aku apatis karena menurutku sibuk di organisasi hanyalah kegiatan menghabiskan waktu, tenaga, dan membebani fikiran. Dan aku memang tidak suka terlalu lama diluar rumah-aku pernah merasa sangat bodoh ketika aku harus menangis karena ditinggal ibu keluar kota dalam waktu satu minggu.

Kondisi seperti ini menghiasi hari-hariku sampai aku harus melanjutkan ke Sekolah Menengh Umum (SMA). Tetapi aku merasa masih punya kelebihan, aku masih cenderung menjadi anak yang baik dan sangat tertarik mengikuti acara pesantren kilat.

Di SMA, lagi-lagi aku menjadi sangat kuper. Teman-temanku hanya beberapa orang saja, itupun teman yang sempat kukenal karena kebetulan pernah satu kelas waktu SMP. Duhh, aku mulai merasa ingin berubah, ingin keluar dari keterkungkungan, aku tidak selamanya hidup dibawah pengaruh dan pengawasan orang tua, suatu saat aku akan sendiri, mengarungi hidup sendiri, karena hidupku adalah kenyataan buatku.

Di SMA, akhirnya aku merasa ingin berubah. Karena pesantren kilatlah aku mengenal rumah kedua bagiku-Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi yang baru tiga tahun dibentuk kembali oleh Pengurus Wilayah. Ya gitu dehh, aku merasa menemukan diriku yang sebenarnya. Disini aku belajar, aku “mencuci” otakku-pikiran yang sempit melihat kehidupanku. Disini aku mengenal buku, mengenal penulis, mengenal Indonesia dan mengenal dunia. Dan di PII aku mengenal apa aktivis dank arena rumah ini kedua inilah aku belajar untuk tidak apatis.

Minggu, 27 Desember 2009

OBROLAN SANTAI, MENYENTIL GAYA BERPOLITIK DI KABUPATEN DOMPU


Judul ini yang mungkin sedikit lebih tepat dari beberapa judul yang coba ditabulasi untuk menggambarkan dialog ini. Dialog yang terjadi disitus pertemanan-facebook, berawal dari sekelumit tulisan yang dikirim ke sebuah situs baru-sedang menggagas tentang pengembangan tekhnologi, dan memiliki keterikatan dengan pemerintah propinsi yang jika dalam beberapa waktu kedepan dipantau dan mengalami perkembangan akan dipercayakan mengelola program yang lebih besar. Dialog ini juga mengalir berawal dari kedekatan cultural sebagai mahasiswa yang pernah merantau di satu daerah diwilayah Jawa. Penggalan obrolannya seperti ini;
Si A : ass
Si B : walaikumsallam
Si A : gimana kabarnya?
Si B : baik-baik, lagi dimana ni?
Si A : masih di tempat lama, sedang mengejar takdir, skrg sudah sukses ya mas..?
Si B : yeeee....sukses dr mana…Sama aja,..masih ngeraba-raba
Si A : orang-orang sukseskan banyak yang ga lulus kuliah jg mas,..
Si B : hahhaaaa....iya, tp di Dompukan beda,..apa-apa harus ada inilah, itulah
Si A : iya itu kn omongannya orang mas,..yang jalani kan kita,..
Si B : betul...tp lama-lama pressurex luar biasa...sy sampe ga betah
Si A : tp ga tahu ya mas, aq kan belum ngerasain tinggal di Dompu sekarang ya,..
Si B : hehehee…siap-siap aja….poko'e parah wes menurutku
Si A : okey mas,..iya ceritannya teman-temanku ya gitu juga,..
Si B : mungkin gara-gara banyak pengangguran…jd tiap hari kerjaannya cuma nyari kesalahan orang lain
Si A : iyo,..karakter tuch klo itu,..makanya kita bangun lewat buku,..hehehehe
Si B : iya tuh..betul,.
Si A : ngomong-ngomong, programnya gimana?
Si B : mudah-mudahan jalan program kita, kan luar biasa kalau akhirnya pemerintah punya perhatian khusus…
Si A : amiin,..klo tentang menulis dan ngeblog..saya dukung,..kalau politisi sekarang sudah banyak mas,..
Si B : iya itu dia,..kita kemaren diwanti-wanti biar independent
Si A : iya mesti begitu cak,..
Si B : klo ga gitu, bisa dimanfaatin ama pihak-pihak yang punya kepentingan
Si A : siip,..
Si B : kita rada was-was,..pasti klo dah jalan pasti banyak orang yang deketin kita buat pasang tampang,..kemarin aja ada orang yang nawarkan sesuatu yang ingin
menengkspos dirinya,…
Si A : wah politis banget,..
Si B : kita si ketawa-ketawa aja,..hahahaha…
Si A : hahaha,…zaman sekarang kan ga kayak zaman orde baru ya,..jd sudah pd tahu yg begituan,..
Si B : iya...mudah-muudahan ga ada masalah kedepannya,..
Si A : ya amiin,..secara dompu gitu ya,..kuasar banget kalau berpolitik,..
Si B : iyo,…udah sangat parah malah,..akut,..
yg paling parah, pns yng bertentangan ama bupatinya,..dijamin dimutasi jauh-jauh,..
Si A : Iya mas betul banget,..
Si B : aku off dulu ya,..ntar kt lanjutin ngobrolmya,,
Si A : okey,..

Begitu lebih kurang rekaman percakapan yang awalnya hanya sekedar “say hello” dan obrolan santai pada akhirnya obrolan merambah ke kondisi masyarakat di Dompu. Jika dilihat secara sekilas percakapan di atas hanya sekedar curhat biasa tentang kondisi masyarakat dan politik di Dompu, tetapi ini bukan hal baru, tetapi tradisi lama yang semakin hari justru menjadi karakter dan ciri khas daerah Dompu. Maka pada beberapa isi percakapan tentang kebisaan masyarakat dan tradisi poitik di atas saya tertarik untuk mengkajinya lebih dalam, walau hanya sekedar percakapan biasa tetapi tentunya sebagai masyarakat asli Dompu kita pada akhirnya diajak untuk mengeksplorasi semua rasa yang selama ini telah membeku dalam hati kita sekalian.

Kondisi yang sedikit menjadi bahan dialog pada percakapan di atas sepertinya jelmaan dari Neo orde baru, cerita seperti ini sangat akrab di tahun-tahun delapan puluhan-masa keemasanya Soeharto. Masa yang di klasifikasikan oleh Abdul Azis Thaba sebagai fase resiprokal kritis-fase yang hubungan antara Islam dan Negara ditandai oleh proses saling mempelajari dan saling memamahami posisi msing-masing. Pemerintah menyodorkan konsep asas tunggal bagi orsospol dan selajutnya untuk semua ormas yang ada diIndonesia. Fase yang menurut Eep Saefullah Fatah sebagai fase yang dimana ada rezim yang sangat represif, dan sebuah kondisi yang menutup ruang dialogis.

Kondisi seperti ini berjalan cukup lama hingga kini, percikan reformasi ternyata tidak melahirkan budaya demokrasi dan profesionalisme ditingkatan birokrasi. Ini potret politik yang sangat khas dengan aroma politik zaman orde baru, bedanya mungkin pada model represi pemerintah terhadap rakyat yang dianggap kontra dengan pilihan politik pemerintah. Di zaman orde baru, sikut-sikutan itu biasa, lebih ekstrim mungkin sampai pada penculikan aktivis, orang-orang yang vocal dalam mengkritik kebijakan orde baru tinggal menunggu giliran diculik saat itu. Menurut Andh Rahmat dkk dalam gerakan perlawanan dari masjid kampus bahwa legitimasi orde baru terletak pada kemampuannya dalam memperlihatkan kinerja ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang tinggi, dengan menjadikan ekonomi sebagai “panglima”, masyarakat “dipaksa” untuk tidak berpolitik. Hampir persis sama dengan saat ini di Dompu, tetapi menjelma dalam model pemecatan dan pemutasian. Saya masih ingat di tahun 1994 disemua rumah PNS harus ada stiker partai penguasa yang saat itu menjadi rezim, bahkan ketika saat itu karena masih kecil dan tidak tahu apa-apa saya lantas ingin melepas stiker yang ditempel didepan kaca rumah, dan saat itu ibu saya langsung menegur dan berkata “jangan dilepas, nanti dilihat orang”. Pesan ini cukup sederhana tetapi saya sampai saat ini belum sempat menanyakan siapa orang yang lantas harus ditakuti ketika melihat saya melepas stiker itu, saya pada akhirnya jadi berfikir tentang bagaimana hegemoniknya kehidupan saat itu. Ada lagi beberapa kasus pemutasian Camat, guru, kepala sekolah, dan yang jelas ketika pilihan politik rakyat berbeda dengan penguasa maka selanjutnya harus bersiap untuk hidup dibawah bayang-bayang pemerintah.

Kondisi ini harus segera diobyektivikasi oleh pemeran utama yang merengkarnasi sebuah rezim yang telah tumbang. Saya yakin dengan pernyataan bahwa kehidupan ini adalah siklus yang terus berputar, bukan tidak mungkin sesuatu yang pernah terjadi beberapa dekade sebelumnyapun akan terjadi pada saat ini. Satu hal yang sangat positif ketika kondisi ini sudah pada titik kulminasi, maksudnya dalam kondisi yang hegemonik dan ruang dialogis sudah tertutup seperti ini yang menurut Eep Saefullah Fatah marupakan lahan subur bagi tumbuhnya ketidakpuasan dan kekecewaan politik dikalangan kaum muda dan mahasiswa. Kekecewaan yang terus-menerus dan menggumpal inilah yang melahirkan alternatif-alternatif pencerdasan politik. Eep Saefullah Fatah menambahkan maka berbondong-bondonglah kaum muda mencerdaskan dirinya dengan berbagai cara. Hasil akhirnya bisa dipastikan yakni munculnya pandangan-pandangan kritis dan curiga pada pelbagai bentuk kemapanan.

Dan hari ini embrio itu sudah mulai muncul-menggugat kebijakan pemerintah atas nama rakyat. Walau sesekali disudut sana muncul gerakan yang sama tetapi ditunggangi oleh kepentingan oknum penguasa sebagai pihak yang ingin diakui sikapnya sebagai sebuah keberan. Ya mungkin mereka menunggangi sura mahasiswa yang idialismenya sudah tergadaikan oleh selembar rupiah tetapi gerakan-gerakan ini suatu saat akan bermetamorfosa menjadi kekuatan yang kokoh karena idialisme tak pernah mati. Ya terinspirasi oleh angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 78, dan 98 akan lahir kaum muda intelektual yang mencoba menerjemahkan semangat angkatan itu dalam menghadapi realita kekinian. Dan pada akhirnya memang harus mengambil sikap, mengutip tulisanya Abdul Azis Thaba bahwa beberapa elemen reformis harus memilih gerakan etik dari pada gerakan politik yang melakukan pressure terhadap kekuasaan. Gerakan etik menggunakan simbol transformasi nilai oleh seluruh elemen. Gerakan ini lebih efektif diakukan oleh komunitas-komunitas atau organisasi Islam melalui alokasi nilai-nilai ke-Islaman. Ditingkat masyarakat dengn melakukan “gerakan penyadaran”, yaitu sosialisasi nilai-nilai politik, sedangkan pada tingkat pemerintah dilakukan dengan metode pendekatan personal, seperti berbagai lobbying. Dan satu hal yang harus dihindari adalah tindakan yang mengarah kepada koalisi yang mengabdi pada kepentingan-kepentingan individu dan sesaat. Perlu ada “koalisi besar” yang mampu mengimpun potensi yang berserakan.

Jumat, 25 Desember 2009

MEMBACA, MEMBANGUN MASYARAKAT


Tulisan ini terinspirasi oleh kenyataan yang dihadapi saat ini, dimana intelektualitas semakin hari semakin terpuruk, nilai-nilai di dalam masyarakat semakin terdegradasi, konfrontasi dimana-mana, ruang dialog tertutup, emosi dan nafsu terdepan dalam penyelesaian masalah, serta keterbatasan ide dan fasilitas pendukung penyelesaian masalah yang kurang memadai. Tahun 1980-an sampai tahun 1999 norma menjadi sesuatu yang dijunjung dalam pemahaman yang muda menghormati yang tua dan yang tua menghargai yang muda, sehingga Tokoh agama dan masyarakat menjadi salah satu sumber yang mendamaikan masalah. Budaya “santabe” dalam bahasa kita (Bima-Dompu) menjadi sesuatu yang mengentalkan budaya sopan santun kita. Namun semakin hari seiring dengan perkembangan zaman, tekhnologi yang semakin berkembang nilai-nilai itu hilang seketika dan merambah pada tingkat kriminal yang akut. Pada saat norma yang mulai terkikis dan mode menjadi pilihan utama budaya baca yang awalnya sudah asing menjadi sangat asing dan kemudian kabur tidak jelas.


Budaya baca yang sebenarnya mampu menetralisir perkembangan zaman yang lebih negatif semakin tidak tersentuh. Padahal buku bisa menjadi sumber ide dan gagasan dalam mengembalikan norma-norma yang mulai hilang. Buku sering kali mencerminkan apa yang terjadi dalam masyarakat dan syarat dengan kondisi dimana penulis menuliskan buku itu, meski buku bukan potret yang sesungguhnya dari kenyataan. Buku merupakan ciptaan manusia yang menjadi bagian dari upaya membangun peradaban, dengan bacaan terhadap realitas, kemudian pengembangan ide, cinta, dan bahasa yang memikat. Buku biasanya mengungkap bagaimana perjuangan manusia menghadapi hidup, tantangan, dan kesulitan yang berat dan disaat bersamaan menuntut inovasi, cinta, harapan, dan ide yang selalu diasah, sehingga kehidupan menjadi warna yang selalu indah. Itulah salah satu makna pentingnya buku; sebagai media ilmu, wawasan, dan penyumbang penting dalam peradaban manusia. Mencintai buku berarti membangun budaya, peradaban, dan membuka jendela ilmu. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan dan dengan buku manusia akan menjadi lebih beradab.

Berbicara tentang buku maka kita juga akan berbicara tentang membaca, dan membaca adalah kebiasaan kecil yang member dampak besar pada setiap orang yang mengerjakannya. Tetapi jika amati minat baca dikalangan masyarakat kita saat ini tergolong rendah, bahkan dikalangan pelajar dan mahasiswa Dompu, minat baca kita tidak menjadi budaya yang bisa dibanggakan. Mereka hanya mengkonsumsi buku-buku yang sesuai dengan jurusannya, jarang sekali kita menemukan mereka membaca buku-buku wawasan umum. Kalau kita mencoba menatap lebih dekat bahwa toko buku dan perpustakaan yang menjadi bagian penting dari budaya baca hampir tidak kita temukan di Kab. Dompu, Kalau pun ada ketertarikan masyarakat tidak seperti menonton sepak bola atau mungkin menonton televise di rumah, komunitas baca dan diskusi yang menjadi bagian dari tempat aktualisasinya sangat asing, sehingga semakin menjauhkan kita pada budaya intelektual dan peradaban yang ingin dibentuk.

Membaca, membangun masyarakat. Kalimat ini mungkin yang akan menginspirasi kita semua tentang membangun bangsa dilevel terbawa dalam masyarakat, dan tentunya harus ada upaya untuk menciptakan suasana yang mencintai buku. Masyarakat yang maju adalah masyarakat menghargai buku. Semua bisa dipetik dari buku, buku menjadi jejak sejarah yang sudah diabadikan. Kebanyakan bangsa-bangsa maju adalah bangsa yang sangat menghargai buku. Budaya baca buku mereka sangat tinggi. Banyak perubahan besar terjadi pada bangsa yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dengan buku sebagai medianya. Membaca buku memiliki segudang manfaat yang dapat kita petik, selain membuka wawasan dan mengasah intelektual juga merangsang perkembangan emosi. Dengan membaca buku manusia akan belajar bersikap lebih empatik dan simpatik. Tanpa disadari kita menjadi lebih dewasa dan mampu mengatasi masalah kehidupan dengan baik.Tanpa disadari saat membaca buku, kita ‘bermain’ dengan khayalan, khayalan tentang sesuatu yang ingin kita bangun esok hari. Kita mengurutkan alur cerita menurut versi penggambarannya sendiri. Manusia yang sering dilatih imajinasinya, akan terbiasa mencetuskan ide-ide cemerlang yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan budaya baca akan lahir individu yang maju dan berkembang, dari individu-individu yang maju tersebut tercipta masyarakat yang maju. Pada akhirnya dari masyarakat yang maju tercipta bangsa yang maju juga. Saatnya budaya baca menginspirasi kita untuk membangun fasilitas pendukung, dari mulai pengadaan buku sampai pada membuat rumah baca, sangat sederhana jika semua elemen mendukung ini sebagai bagian dari membangun generasi bangsa yang beradab.

Pada level tertinggi di daerah kabupaten harus menjadikan budaya membaca, ataupun cinta buku sebagai program unggulan dalam meningkatkan kualitas masyarakat, selain itu pengadaan dan suplay buku juga harus menjadi ekspresi dari semangat membangun kualitas masyarakat. Tidak bisa dibayangkan bagaiamana terjadinya “kompetesi” intelektual dan mengalirnya ide-ide produktif yang bisa diramu menjadi konsep membangun masyarakat yang maju dan berkembang jika hal ini diperhatikan dan direalisasikan. Pada tingkat pelajar dan mahasiswa harus menjadikan budaya baca sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pengembangan diri, terutama bagi mereka yang sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang lebih sebagai orang yang berpendidikan formal yang bertugas mentransformasi ilmu pengetahuan dan nilai dalam masyarakat yang lebih luas. Nah, ini adalah terobosan yang tidak baru tetapi konsep lama yang masih belum di garap menjadi kenyataan yang lebih baik.

Selanjutnya seluruh pihak harus melek, membuka jendela ini untuk menatap dunia sebelum kita dijajah besar-besaran. Kita mulai dari diri kita sendiri, memulai dari keluarga, masyarakat dan mulai dari hari ini. Tak ada hari esok yang lebih baik jika kita tidak pernah merencanakannya hari ini. Ketika ini menjadi gerakan bersama dan seluruh masyarakat dari lapisan terbawah sampai pada tingkat pemerintah memberikan perhatian khusus tentang membaca dan membangun masyarakat, suatu ketika akan lahir generasi baru yang berintelektualitas tinggi, berwawasan luas, dan memilih dialog dari pada harus berkonflik secara fisik, sehingga kehidupan bermasyarakan kita penuh dengan kedamaian dan nilai-nilai yang selalu djunjung tinggi. Dan pada akhirnya nanti terciptalah pemimpin yang bersih dengan rakyat yang beradab dan ber-ilmu pengetahuan tinggi.

Rabu, 16 Desember 2009

SANG JURU KUNCI



(Persembahan di titik akhir perjalanan)

Dahulu kala di sebuah desa di negeri antabaranta lahirlah seorang anak laki-laki yang gagah dan lucu. Anak laki-laki itu diberi nama Si Juru Kunci, nama yang sangat asing dinegeri itu tetapi mengandung makna filosofi yang begitu mendalam yang jika dimaknai akan mengantarkan kita pada warna-warni perjalanannya. Dia lahir dari keluarga sederhana, tinggal digubuk kecil, dibesarkan dalam kesahajaan. Dia tumbuh dan besar dalam dekapan cinta dan air mata, dalam desahan nafas yang sering terhentak oleh sentilan-sentilan problem yang melengkapi kesederhanaannya. Hijau alam dan kicau burung yang sering menjadi nada pagi penyegar hati, tidak lama dinikmati karena hegemoni alam begitu mengakar dalam pendewasaannya, mencolek kekokohan diri yang terus mencari arti hidup yang sebenarnya.


Sijuru Kunci lahirnya disambut dengan penuh cinta, senyum yang begitu indah, wajah yang berseri-seri memberi pesan tersirat baginya tentang kehidupan ini. Sejak kecil sampai umur 19 tahun ia hidup dalam keterkungkungan cinta, beberapa waktu membuka jendela rumahnya untuk melihat alam yang begitu luas. Saat itu memang situasi sosio-politik sedang carut-marut, peperangan dimana-mana, darah berceceran dijalan-jalan yang biasa dilewatinya ketika bermain, suara meminta tolong menggema dan tiba-tiba dalam sesaat menghilang sampai tak terdengar titik-titik suara yang mungkin saja bisa dicari kemana sumber suara itu berasal. Sungguh kondisi yang jelas telah tergambar dalam konseptualitas konflik yang sangat klasik, terlahir dan terwariskan oleh cerita orde baru yang hegemonistik.

Di umur yang sudah mulai beranjak dewasa si Juru kunci mulai menggugat eksistensinya yang hanya bagai bongkahan mayat yang bernafas-tak punya arti dan tidak memberi manfaat bagi orang-orang yang bereteriak meminta tolong bahkan bagi burung-burung yang kehilangan makanan akibat kekeringan yang berkepanjangan. Dalam sujud panjangnya meminta petunjuk pada Zat yang diyakini nya sebagai Kekuatan yang tak pernah punya tandingan, dia mulai berontak, nuraninya berkata dia harus tandang ke gelanggang, bergabung dibarisan orang-orang yang sedang berjuang untuk masa depannya dan masa depan negerinya.

Setelah berkontemplasi begitu lama, ia mulai menentukan langkah, keluar dari zona nyamannya, mencari perguruan beladiri yang ia harap bisa membekali untuk menjejaki ruang kehidupannya saat itu. Seluruh sudut desa telah ia lewati, makanan yang dibawanya sebagai bekal telah habis, ia pulang dengan tangan hampa, serasa tak ada asa yang bisa diharap. Sesaat hatinya bergumam, terdengar suara yang mengajaknya kesebuah perguruan beladiri yang telah berdiri cukup lama tetapi murid yang bisa dihitung dengan jari. Yach, disana dia belajar dan menimba ilmu, berguru dan berbakti, menyelami hidup sedalam mungkin, gubuk, cinta, dan kasih sayang telah ia tinggalkan demi obsesi dan cita-citanya untuk masa depan dan negerinya.
Usai sudah masa ia berguru, saatnya harus mengembara, menjelajah negeri antarabaranta, melewati ruang-ruang sulit demi cita mulia, mencari cahaya untuk menerangi gubuk tempat ia diahirkan.

Setelah itu ia kembali ke gubuknya, mencoba membuka pembicaraan tentang rencana pengembaraannya, seiring waktu akhirnya mendapat restu. Didapatnya perbekalan pakaian dan sedikit makanan pengganjal perut, diciumnya tangan kedua orang tuanya sembari berdiri didepan pintu gubuk dan memulai langkah pertamanya dengan bacaan basmallah.

Dimulainya pengembaraan itu, ditutupnya segala derita dan air mata negeri yang telah ia rasakan, berjalan dengan tegaknya, mata yang menyorot masa emas yang akan ia raih. Berjalan-melewati padang rumput yang begitu luas, tebing yang menjulang, bukit, pegunungan, dan sesekali harus berenang menyusuri sungai dan danau demi citanya. Tidak mulus memang sehingga dalam beberapa kali ia harus menunaikan hak tubuhnya-merapat dengan pohon, dedaunan, dan makhluk kecil yang memelas kehangatan darinya.

Bersambung....

Selasa, 17 November 2009

YAKINLAH...

Banyak yang sudah terjarah dari istana aktualisasi itu
Semua meninggalkan kenangan dalam sebuah nuansa perjuangan dan tak ada yang sia-sia
Jangan biarkan perpisahan tak berbekas lahir dari sejarah ini
Semua harus ada bekas karya yang digoreskan lewat jalan yang kau pernah tempuh

Tak ada yang harus dikhawatirkan dengannya
Semua penuh dengan nuansa perjuangan dan
Menuntu kita selalu ada dalam semangat dan militant
Karena selalu ada panggilan untuk berjuang

Jangan biarkan sekecil apapun proses disana terlewatkan tak bernilai
Walau setitik debu harus dianggap segunung permata
Karena tak ada ruang untuk mengulangi setiap kebaikan
Sehingga tak ada cerita kita selalu rugi dengan hadiah yang biasanya diberi

Jangan perna lemah dan mudah diterpa angin
Yakinlah…
Kamu punya peta hidup yang pada akhirnya kamu kan tahu sedang berada dimana
Dan cukuplah itu kan jadikan kamu konsisten dengan garis cita-citamu

Senin, 09 November 2009

TETAP MAJU ATAU MENJADI PECUNDANG

Aku ingin bercerita tentang diriku..
diri yang selalu hampir roboh diterpa angin..
diri yang pondasi2nya hmpir brkarat.
diri yang menjadi yang terbaik dalam ketidakmungkinan..

aku selalu menyelami lautan diriku
tenggelam dalam sempitnya obsesiku
ku terkadang menghadirkan seluruh kekuatanku
ntah kuat atau tidak..

aku biasa gagap dalam dunia yang serba baru
menghijau seluruh mataku jika materi menghangatkanku
cepatlah bergegas untuk kembali
suara ku berharap akan kebesaran impian yang harus dicapai

aku goyah..
sering goyah..
bilamana semua menuntutku menguras sampai tetes keringat usahaku
terlebih lagi ketika ruang adaptasi itu mengekang

dalam diri, kuyakinkan..
ada senjata-senjata peninggalan generasi terbaik
yang masih ku pegang, ku ayunkan jika musuh menyergap
sampai ia mundur dan kabur tak berjejak

ruang dan waktu ini akan usai
sebentar lagi dan tak lama lagi akan menguji kebesaran hatimu
semua menadahkan tangan, semua meminta uluran kasih sayangmu
kasih sayang yang kemudian membahagiakan dan meyakinkan mereka atas eksistensimu

surutkah nyalimu??
memilih tetap maju, ataukah mundur dan menjadi pecundang?
atau masih berani mempertaruhkan seluruh apa yang kau punya?
dan mungkin bersembunyi dibalik ketidak mampuanmu menghadapi derasnya arus itu..

Aku ingin tetap maju, hingga barisan depan dan menjadi yang terdepan..
tentu bukan dalam mimpi..
tetapi dalam cerita yang kusutradarai dan ku lakoni alurnya
hingga aku menggoreskan ceritaku dalam sejarahku..

Rabu, 28 Oktober 2009

PESAN DARI DJOESDI GHAZALI

Dihari sumpah pemuda ini, rasanya ingin mengutip tulisannya Djoesdi Ghazali, sebagai sebuah referensi dan salah satu sumber inspirasi perjuangan bagi kaum muda yang hari ini mesti tetap kokoh ditengah kecaman realitas yang semakin hari bisa saja menggoyahkan semangat dan militansi kita. Andai para pendahulu dan pejuang bangsa ini bisa kita hadirkan kembali untuk berfilosofi tentang perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan Negara ini barangkali kita akan bisa bersuara lantang dan tetap kokoh berdiri disinggasana perjuangan. Namun terkadang nafsu dan jati diri kita yang sangat fluktuatif mengharuskan kita mencari dan mencermati makna filosofis dari setiap gerak dan perkataan para pendahulu kita dan kita akan melanjutkan perjuangan mereka.

Himmah, cita-citaku
Melambung-tinggi menjulang ke angkasa
Menembus awan, memeluk langit biru.

Qalbu, jiwa-hatiku…
Tercantel, cemantel..
Di bintang tsoraya…

Aku hendak membagun
Aku ingin menciptakan
Kebudayaan dan peradaban dunia,
Yang sempurna, moril dan materiil

Timur dan barat bersatu padu,
Kuat-teguh
Sentosa-kuasa

Jalannya..?
Belajar-membaca!
Bukalah buku-bacalah kitab!

Daki, panjat,
Jenjang dan tangga,
‘tuk mencapai cita-cita…!

Tetapi ingatlah…
Negaramu,
Bangsamu,
Tanah airmu,
Merah Putih mengikat dirimu

Sadar, insyaf…
Buka mata…
Singsingkan lengan baju.
Bangun, maju…

Djoesdi Ghazali
Jakarta, 29 April 1950

Selasa, 27 Oktober 2009

AKU DIJEBAK DI PII


(Kumpulan Ceritaku Bersama PII bag.1)

Aku sejak lama ingin mengabadikan kisahku bersama rumah sekaligus organisasiku Pelajar Islam Indonesia (PII). Disini aku dibesarkan dan diajarkan tentang sesuatu yang membuatku faham tentang diriku dan hidup ini. Aku ingin mengurai dan menceritakan tentang aku bersama PII. Aku sebagai kader dan PII sebagai organ yang membuatku menggoreskan banyak cerita dengannya hingga kini.

Siapa Aku?
Aku seorang pelajar yang dilahirkan 24 tahun yang lalu tepatnya ditahun 1984. Aku terlahir sebagai anak pertama. Latar belakang keluargaku cukup sederhana; Bapak seorang Pegawai Negeri Sipil dan Ibu kerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Aku besar dan tumbuh dalam pembinaan orang tuaku yang masih kental dengan nuansa orde baru-nya; dikekang, dimanjain, di atur, dan aku tak pernah menemukan duniaku sendiri. Sejak SMP aktivitasku hanya sekolah-tidur-belajar-bermain, praktis cuman itu kadang-kadang aku gak pernah bergaul sampai merasa kuper. Bapak-ibu ku hanya ingin satu hal bahwa aku menjadi anak baik dan berprestasi disekolah. Tetapi dengan model pembinaan seperti ini aku justru tidak besar menjadi anak anak yang berprestasi justru besar dengan kebingungan, kebingungna atas kehidupanku.

Tiga tahun kemudian aku beranjak ke salah satu Sekolah Menengah Umum favorit di tempatku di Dompu-Nusa Tenggara Barat. Tidak ada yang berubah dengan gaya ku, aku hamper tidak memiliki teman bergaul karena setiap hari harus belajar, setiap hari kerjaanku hanya sekolah-rumah-dan belajar. Aku juga berfikir untuk membahagiakan kedua orang tuaku yang pada saat aku SMP aku tidak pernah menunjukkan hasil Rapotku dengan nilai yang bagus.

Di sekolah baru ku itu aku dikenal sebagai anak masjid, setiap shalat dzuhur aku mesti nongkrong di mushalah sekolah, tapi tak pernah ngobrol tak pernah punya teman dekat. Sampai akhir catur wulan aku tetap menjadi seperti biasanya. Akhirnya ketika pembagian rapor aku bertemu dengan teman seangkatanku teman yang baru ku kenal ketika dia menyodorkan undangan Pesantren Kilat Pelajar Islam Indonesia. Dia begitu pintar menawarkan kepadaku untuk ikut acara itu. Aku yang sejak SMP tak pernah punya keinginan untuk berorganisasi bahkan sangat apatis. Tapi saat itu aku menerima tawarannya dengan satu catatan aku hanya mengikuti pesantren kilat. Orang tuaku yang biasanya sangat protektif saat itu menanda tangani surat izin orang tua yang mesti ku bawa saat pesantren kilat gara-gara dicatur wulan pertama itu aku mendapat rangking satu.

Keesokan harinya aku menuju sebuah kota yang perjalanannya dari tempatku harus kutempuh selama dua jam. Aku tidak sendiri waktu itu tapi aku lupa jelasnya berapa. Acara akan dilangsungkan di MAN 2 BIMA, Sekolah kenangan bagiku di PII. Sesampainya disana kita langsung menghadiri acara pembukaan. Tertulis di spanduk yang ada di depan tempat duduk para peserta “Leadership Basic Training Pelajar Islam Indonesia” lebih kurang begitu. Aku yang lugu, polos, dengan hikmat mengikuti prosesi pembukaan sampai selesai.

Setelah pembukaan selesai para peserta di minta registrasi, mengisi form macam-macam dan masuk kekelas yang telah disediakan panitia. Di sana keanehan terjadi, diluar dugaanku, diluar kebiasaanku, aku heran dan tidak betah disana. Ketika masuk ruangan dihari pertama aku gugup, gagap, dan tak pernah berani bersuara, yanga ada dalam pikiranku adalah aku dijebak di PII, katanya pesantren kilat tetapi acaranya diskusi dan debat, instruktur yang seharusnya masuk untuk mengisi materi malah mengarahkan untuk diskusi lebih ramai. Sementara aku yang memang berangkat dari anak rumahan dan tak pernah bersosialisasi sangat kaget dan tak betah disana. Dua hari berjalan rasanya sudah dua bulan, ingin pulang tapi harus bareng teman-teman, dan pada akhirnya aku harus bertahan disana.

Dalam proses SANLAT yang penuh dengan “intrik” aku berusaha mengikuti semampuku, ku ambil yang kira-kira menurutku bermanfaat besoknya. Dan aku terus mencobanya hingga acara selesai. Dan aku masih ingat bahwa setelah acara penutupan dibentuk komisariat SMAN 1 Dompu terus selanjutnya kita pulang.Dan satu lagi yang susah dilupakan dihari terakhir itu bahwa tak siap berpisah dengan teman-teman dan meneteskan air mata disaat memeluk Kordinator tim. Satu tekadku kemudian bahwa aku akan belajar disini, di Pelajar Islam Indonesia.

Senin, 26 Oktober 2009

DALAM CERITA MENCARI CITA

Aku tak pernah ingin lelah demi menggapai citaku, cita yang awalnya hanya terlintas dibenakku-bagai kilat-cepat dan akhirnya mengalir dan menyatu dalam setiap gerakku..tak inginku begitu terobsesi untuknya, tetapi citaku begitu besar, terurai dalam setiap langkahku nanti..

Aku terus ingin memupuk dan memiliharanya, walau begitu tampak didepanku sebuah tebing besar menghadangku..demi citaku..ku hadang tebing itu dengan bekal niat dan ikhtiar..

Jalan-jalan kususuri bersimbah darah dan keringat, ku persembahkan semuanya, kuraih citaku..

Aku pernah dihadang sebuah badai yang begitu dahsyatnya, sampai ku terkapar, kurasa tak pernah ada kehidupan lagi setelah itu, bagaimana tidak kurasa kepalaku hancur dan berpisah dari badanku, kurasa hidup ini tak punya ruang untuk bangkit, dan aku tenggelam dalam gempuran tentara-tentara pesimisme yang hampir mencabik-cabik seluruh bagian tubuhku..andai aku tak punya Tuhan, entah apa yang akan terjadi...

Saat ini perjuanganku masih dalam episode mengejar cita-citaku, cita-cita yang ku rajut begitu sulitnya, cita-cita yang membuatku harus bersimbah dengan darah..sampai harus melekat dalam setiap detak jantungku...

Andai ia tidak diciptakan?mungkin dunia tak pernah seindah hari ini..
Andai pun ia tak ditakdirkan untuk ku raih, mungkin dunia tak pernah seindah hari ini..
tapi tak cukup kawan begitu hatiku berkata..
masih jauh perjalananku merajut impian itu, sampai semua sempurna,..

Cobaan?tantangan?hambatan?..
itulah sempurnanya cerita untukku yang ditakdirkan dalam satu paket yang tak akn pernah terpisah..
maka, jangan pernah gentar...apalagi mundur...
pejuang ataukah mati..
itu yang harus ditegaskan,..dicamkan, dalam setiap sikap yang diambil berhubungan dengannya...
Hadang segala penghambat untuk memetik sekuntum bunga dalam cerita mencari cita,..
Menang ataukah menang kecuali takdirmu tak pernah menang...

Sabtu, 24 Oktober 2009

DIA MASIH PUNYA IMPIAN




Gambar ini aku ambil waktu perjalan bungurasih-kupang panjaan Suarabaya. Aku sengaja mengambil gambar ini untuk ku buat berbagi disini. Aku tersentuh melihat anak dan seorang ibu ini.

Ditengah teriknya matahari di Kota Surabaya, keringatku dah hampir membasahi seluruh bagian tubuhku, gerah, capek karena waktu itu aku juga baru pulang dari wonogiri. Setelah membayar ongkos bus, aku ingin istirahat sebentar melepas lelah diperjalananku saat itu. Belum lama ku pejamkan mata, naiklah seorang ibu yang berumur sekitar 50-an tahun dan anaknya yang kira-kira berumur 4 tahun-an. Bukan penumpang, atau pedagang asongan, tetapi pengamen.

Aku praktis tidak bisa tidur, ku dengarkan saja dua buah lagu yang dibawakan anak kecil itu (Cari Jodoh dari Wali dan Jangan Pernah Berubah dari ST12). Sambil mendengarkan lirik lagu dan petikan gitar yang dipaksakan enak suaranya oleh ibu itu, aku berfikir tentang hal apa yang memaksa anak sekecil dia harus mengamen dijalanan. Yang pasti dia punya impian, punya cita-cita; ingin sekolah dan menjadi orang sukses bagi dirinya, orang tuanya, dan seluruh keluarga besarnya. Tapi mungkin harus kandas oleh keadaannya, keadaan yang memaksa dia harus mengamen demi mencari sesuap nasi. Entah berapa yang ia dapat setelah mengamen seharian, entah cukup atau tidak untuk membiayai hidupnya setiap hari.

Ku pandangi terus dia sampai selesai menyanyi dan menyodorkan kresek yang biasa digunakan untuk mengumpulkan uang setelah mengamen, aku yang sudah menyiapkan uang pecahan seribuan segera memeberikan kepadanya. begitu tersentuhnya aku, aku yang belum bisa memberikan apa-apa kepadanya.

Dalam diam ku duduk, tenggelam aku dengan berandai-andai untuk mebiayai sekolahnya, membiayai hidupnya, dan menyisihkan hartaku untuk hidupnya sampai ia sukses. Tapi terhenti aku melihat diriku yang berangan tanpa memiliki apa-apa. Aku berharap ada kelebihan hartaku disuatu saat nanti untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang-orang seperti mereka, mereka yang seharusnya bisa ikut merasakan indah dan nikmatnya dunia seperti kita tanpa harus mencari nafkah sesulit itu.

KUBERIKAN SEKUNTUM BUNGA


Aku sedang menjalajahi sebuah pulau impian
Menjelajahi dengan segala kekuatanku
Ku lewati pegunungan, kususuri lembah, ku arungi samudera
dan nyawa taruhannya..

Aku hanyalah pengembara
berbekal tas ransel hitam dipunggungku
entah apa gunanya tas ini terus ku izinkan mengikutiku
dia berkata ingin memberikan yang terbaik bagiku

Ku ingat kembali
perbekalan yang ku bawa dengan tasku
hanya ada satu buku yang berisi segala senjata yang kubutuhkan..
demi asa ku meraih impianku

Halilintar menggempur
Badai mengantam dadaku
ku pegangi tongkatku
tongkat peninggalan perguruan di zaman itu

aku sering terkapar
menjadi korban peperangan dalam diriku
menghantam kepalaku, melumpuhkan segala kekuatanku
hingga akhirnya tak berdaya dan tak berharga

Aku dibuat tak berdaya dalam kegelapan
aku mendengar ada suara yang memuji satu kebesaran
tapi tak jelas dimana ia berasal
awalnya menggema dan akhirnya hilang

kemana buku dan tongkat itu?
masih ku pegangi dan ku pakai
tapi aku tak tahu bagaimana menggunakannya
aku lupa semua yang pernah diberitahukan kepadaku

Aku bertekad sampai di ujung pengembaraanku
walau halilintar, badai, dan semua menghalangiku
aku tetap melaju dan menerobosi jalanku
aku yakin ikhtiarku akan berbuah nantinya

Dalam rasa yang bercampur
ada suara yang berbisik "kamu sebentar lagi sampai"
ini yang membuat jalanku semakin tegak
semangatku tumbuh dan melupakan segala hambatan saat ini

Terus saja berjalan begitu kataku
aku ingin meyakinkan diriku tentang kemampuanku
aku ingin ada dan mengangkat bendera di ujung sana
dengan senyum bahagiaku dan dia disana

Aku ingin memberikan sekuntum bunga
bunga yang kupetik dibukit yang telah kulewati
bunga yang sangat harum
dan bertuliskan terima kasih sobatku

ku rengkuh ia
ku ekspresikan kebahagiaanku
ku takut kehilangannya
dan ku ingin bersama selamanya

Senin, 19 Oktober 2009

KENYATAAN YANG MESTINYA IA TAHU

Aku coba bertanya pada angin tentang semua yang terjadi waktu itu,.belum terdengar jelas suaraku, muncul pejuang menyahut dan berkata "Banyak dinamika perjalanan naik turun yang sangat tajam sampai harus memutar haluan" tanpa berfikir panjang aku pun membalas "hahaha memutar haluan"..aku ingin menyentil dengan gaya ku, berharap dia juga berfikir tentang eksistensi dia yang berdiri dikerumunan rahib, rahib yang melihat sesuatu kekhilafan berjamaah sebenarnya, tetapi karena subyektifitasnya semua bermuara pada satu titik..
entah apa maksudnya,..

"Kita lebih tahu apa yang harus kita lakukan. memang banyak orang memandang ini bunuh diri dan tidak bijak, tapi ada hal yang tidak pada tempatnya untuk di ekspos".
begitu jawaban dia selanjutnya, jawaban yang membuatku berfikir apa maksudnya; menghindar, atau sikap menolak interdependensi,..tapi aku khawatir semua muncul atas ketidaktahuan, ketidakfahaman, dan kegagapan melihat realita didepannya...

Siapa yang pantas diperkarakan? itu mungkin pertanyaannya. Realita ataukah kepentingan yang sudah menyelimuti jalan kita. Realita seharunya kita fahami sebagai tantangan yang harus kita fikirkan, kita rekayasa, dan kita lewati menuju titik kesuksesan. Sementara kepentingan sudah menjadi lumrah manusiawi. Kita selalu hidup di atas kepentingan, berbicara cita-cita, obsesi, menang, sosialisasi, dan yang lainnya maka kita akan berbicara kepentingan. Kita hidup untuk sebuah kepentingan, kepentingan mendapatkan ridha dan surga Allah kelak.

Diseberang sana terdengar suara toa menggema, bait demi bait membacakan puisi, puisi tentang pembunuhan atas pilihan hidup orang-orang kuat di barisan itu. Tapi terpaksa tumbang, gugur, dan menghilang oleh sesak kehidupan yang membuatnya hampir saja tak bernapas. Didesak, dihujat, dihegemoni oleh kepentingan orang-oran itu. Ku pegangi ia dengan ungkapan mendamaikan, semoga dia berdamai dengan realitanya, semoga dia sadar atas pilihannya, karena dia adalah tokohnya.

Ku pertemukan di persimpangan, menyatukan antara kekayaan-kekayaan ide yang berserakan oleh waktu yang tak pernah ada untuknya. Ku terobosi ruang itu, ku doktrin ia, ku hadirkan seluruh kenyataan yang mestinya ia tahu. Tapi entahlah,..semua kandas, semua dimentahkan oleh kapal yang sering singgah di persimpangan hatinya. Semoga saja pandangannya tidak kabur, semoga saja dia mampu menatap jalannya dengan tatapan tegar, tatapan ketangguhan, dan tatapan optimisme karena aku begitu curiga kau telah dihipnotis oleh ketakutan atas sikapmu sendiri..

Jumat, 16 Oktober 2009

SEHARI MENJADI ORANG JAWA


Foto ini menarik saya untuk mengabadikannya disini. Dua hari yang lalu saya ditelpon teman saya yang akan melangsungkan pernikahan di Wonogiri-Jawa Tengah. Walau jauh hari sebelumnya dia telah mengundang lewat selembar undangan tapi dia tetap berharap biar saya hadir di sana sesegera mungkin. Sambil menunggu hari petang saya merampungkan urusan-urusan saya di malang. Akhirnya sekitar jam 18.30 WIB saya berangkat ke terminal terus naik bis malang-surabaya. Tepat pukul 20.40 WIB saya tiba di terminal bungurasih dan disana saya memulai cerita perjalanan saya ke Solo dan Wonogiri-Jawa Tengah. Aku naik Sumber Kencono, salah satu bus yang menjejaki bagian dari daerah di Jawa Tengah.

Bus-nya sepi, penumpangnya bisa dihitung dengan jari, aku duduk di kursi ke-4 dari depan ditemani tas ransel hitam yang ku beli dua tahun yang lalu itu. Setelah tiap-tiap bagian ban bus itu berentuhan denga aspal, jam digital yang berada tepat di atas kepala sopir itu berganti angka perdetiknya, pikiranku mengawang menjelajahi nuansa malam di perjalanan itu, terlintas ide untuk mengabadikan perjalanan itu lewat kata, akhirnya ku keluarkan buku harianku untuk mencatat satu demi satu ide itu. Sejenak ku buka teman curhatku itu ku teringat problem yang kuhadapi hari ini, berkumpul dan menumpuk dalam kepala ku, ku abadikan semuanya sampaiku tertidur dan terbangun oleh rasa sakit kepala ku yang terbentur pada besi dipinggir kaca bus itu. Tak kuasa ku menahan rasa ngantukku dan akhirnya dibangunkan oleh suara kondektur yang menyeru “Terminal Solo,..terminal Solo..”

Setelah turun dari bus itu dalam hati ku berkata “terimakasih ya Sumber Kencono”. Aku masuk ke ruang tunggu penumpang tepat didepanku jam dinding menunjukan jam 02.00 WIB, dan hari masih sangat pagi, ku ingat-ingat, kalau jam segitu bus Solo Purwantoro yang beroperasi di Wonogiri belum ada. Walau demikian disana cukup banyak orang yang mungkin tiap harinya bekerja di terminal ini, aku tau karena ketika aku masuk mereka menawarkan tumpangan ojeknya untuk mengantarku ke Wonogiri.

Aku bergabung dengan mereka, menyimak acara TV pagi itu, karena bus yang ke Wonogiri baru ada sekitar jam 5 pagi. Nah sambil rehat sejenak aku melanjutkan untuk menjelajahi ide dipikiranku dank u tulisa iya sampai adzan shubuh berkumandang. Ku bergegas menuju mushalah, dan shalat shubuh di sana.

Aku harus melanjutkan perjalananku. Begitu pintaku dalam hati, dan aku naik bus Solo-Purwantoro jurusan wonogiri. Bus yang mengantri sejak beberapa menit sebelumnya ini juga sepi oleh penumpang. Bus itu mulai melaju, aku duduk tenang sembari berangan, mengira, dan membayangkan pesta pernikahan saudaraku itu; digedung mewah atau masjid terbesar di Wonogiri, aku tiba-tiba kaget setelah dihampiri seorang kondektur dengan tubuh semampai, aku langsung faham dan memberinya uang sepuluh ribu sambil berkata “Pak, saya turun di Ponpes Al-Iman ya Pak..”. Sembari mengembalikan uang pecahan seribu dua lembar pak kondektur mengatakan “iya mas..”. tapi kupandangi wajah orang itu, sepetinya bingung dan tidak tahu tempat aku harus diturunkan nanti. Ya, dengan modal khusnudzon, aku tak ingin memastikan lagi apakah kondektur itu tahu tentang Ponpes Al-Iman. Dalam hatiku merasa antara yakin dan tidak, dan pada akhirnya aku memasang alarm biar terbangun nantinya. Aku ingat saudaraku pernah ngasi tahu kalo perjalanannya sekitar satu jam setengah.

Aku ingin tenang kembali dan menikmati perjalanan di pagi itu. Ku pandangi sesawahan, pegunungan, dan pemandangan lewat kaca bus yang ku tumpangi. Ingin ku ambil gambarnya-kebetulan aku membawa kamera digital yang kupinjam dari teman yang kuliah di Universita Negeri Malang, tapi tak bisa, gambarnya tak jelas alias kabur. Akhirnya cukup kupandangi dan di ujung timur sana jelas terlihat matahari menyambut kehadiranku dengan senyum indahnya. Nah, perjalanan baru terhitung satu jam, aku tiba-tiba di panggil oleh pak kondektur untuk turun karena melihat papan Ponpes yang tulisan jelas Al-Iman. Karena terburu-buru dan bus melaju dengan kencangnya tiba-tiba pelan dan berhenti, aku tak kuasa menolak dan memprotes. Ku ikuti saja dan akhirnya aku turun disebuah pemukiman kecil yang jaraknya dari ujung ke ujung tidak sampai dua puluh rumah, aku lupa nama desanya, aku juga lupa mencatatnya, aku tersadar untuk mencatat ketika aku harus mengabadikan cerita ini. Beberapa saat kemudian keluar dari salah satu rumah warga seorang bapak yang umurnya kira-kira 40-an tahun dan bapak itu memberi sinyal ingin menolongku. Aku akhirnya lebih dulu bertanya ”Pak, Ponpes AL-Iman Ngadirojo dimana ya pak?” dengan suara yang agak serak, dan logat mirip-mirip orang jakarta bapak itu menjawab ”Owh..Ngadirojo masih 17 Km mas,..” aku kaget dan merasa kalo di bohongi sama kondekturnya, dasar kondektur tidak bermoral, benar perasaanku ketika meragukan dia sejak awal, terus bapak itu melanjutkan memberi informasi kepada ku ”sampean naik bus Solo-Purwantoro lagi mas,..” dan aku menjawab ”terimakasih pak, sudah ngasi saya informasi” dan bapak itu langsung menuju rumahnya yang tepat tiga meter dari pinggir jalan raya.

Tambah satu lagi cerita perjalananku, aku tersesat disebuah desa kecil di lintasan Solo-Purwantoro. Aku tak ingin berlama-lama dalam kekecewaan, kekecewaan karena diturunkan pada tempat yang salah, aku ambil ibrah-nya, aku diberi kesempatan untuk refreshing ditengah bergulatnya waktu dan pikiran yang berkecamuk. Pagi itu masih sangat cerah, lengkap dengag dengan nuansa desa yang masih alami dan belum terjamah oleh nuansa kota yang kotor. Aku menunggu sekitar 10 menitan, akhirnya bus-nya datang, ku lambaikan tangan, dan naik di atas bus itu, ongkosnya tepat Rp 3000,-. Bus nya melaju tidak sekencang bus pertama, pelan sekali mengikuti jalan dan menyusuri uju kota wonogiri, sampai saya diturunkan di sebuah tempat yang tepat sebelah kiri ada gapura bertuliskan Ponpes Al-Iman. Wah, begitu bahagianya aku, akhirnya sampai juga ditempat yang belum pernah ku datangi sebelumnya. Diseberang jalan berdiri saudaraku yang menyambutku dengan senyum indahnya, dan berkata ”ahlan wa sahlan bang” dan menjabattanganku kencang.


Akhirnya aku sampai juga di Desa randusari-Ngadirojo. Aku di ajak ke tempat penginapan para tamu. Ciehh..tamu..!! ternyata saudaraku itu menikah di sebuah desa kecil yang masih alami, kental dengan nuansa jawa-nya, kupandangi satu persatu rumah dipinggir jalan yang ku lewati-arsitekturnya persis sama dengan rumah-rumah yang sering kulihat difilm Tutur Tinular, Angling Darma, dan film-film yang menceritakan sejarah Jawa di televisi.Aku juga harus melewati tempat buat resepsi yang sudah disiapkan tiga hari sebelumnya. Sekilas aku terkesan dengan adat yang masih kuat itu. Sampai dipenginapan aku disambut hangat oleh bapak, ibu, dan saudara dari saudaraku yang ingin menikah ini, karena kita dari daerah yang sama, bahasanya juga sama, dalam obrolan santai waktu itu terlihat sangat akrab, dan beberapa saat kemudian datanglah seorang ibu yang biasa melayani tamu dengan membawa panci yang berisi nasi, daging, sayur, dan air minum, dan itulah menu hidangan pagi itu. Wah tepat sekali, setelah perjalanan delapan jam-energi terkuras hampir habis, yah akhirnya aku pun segera ngisi bensin ditangki perutku. Setelah sarapan pagi aku segera mandi dan memakai celana panjang hitam lengkap dengan baju batik hitam dengan motif warna putih.


Sehari menjadi orang jawa. Begitu terlitas dalam pikiranku. Aku yang berasal dari Nusa Tenggara Barat yang secara adat jelas berbeda. Selama di kuliah enam tahun di Malang aku belum pernah merasa seperti ini. Tampil dengan baju batik dan celana hitam dan satu lagi memakai blangkon. Aku ditugaskan menjadi kameramen, memotret setiap peristiwa yang bersejarah di acara itu. Bagiku semua bersejarah, dari ibu-ibu yang berkerja didapur, penerima tamu, sampai pada kursi pengantin. Iya satu hal lagi aku sempat mengabadikan naunsa-nuansa yang masih Jawa Banget. Aku potret semuanya, mudah-mudahan bersejarah.

Aku memulai tugasku, tugas demi seorang sahabat yang tercinta, sahabat yang mempertemukan dua budaya yang sangat berbeda. Aku pegangi kamera digital yang kubawa dari malang. Ku potret semuanya, ku abadikan semuanya, semangatku adalah dengan gambar-gambar ini menjadi saksi sejarah dalam hidup saudaraku ini, dan dia telah menyempurnakan sebagian agamannya. Aku bergulat dengan kamera digital itu dari jam 08.00 pagi sampai jam 21.30. waktu yang sangat lama bagiku, tetapi bagi pengantin-mungkin masih terlalu sedikit. Setelah hari petang aku semakin bersemangat untuk mengambil gambar saat itu, Jam menunjukkan pukul 18.30 WIB, akad nikah segera dilangsungkan, moment bahagia itu dimulai. Beberapa menit sebelumnya aku dipanggil untuk mengenakan Songkok hitam, diminta menjadi saksi dari mempelai laki-laki. Prosesi itu sakral sekali, dari penyerahan Wali sampai para saksi menyatakan syah. Semua menggunakan bahasa jawa, Jawa kromo, Bahasa Jawa yang kata saudaraku masih asli banget. Bayangkan dari pagi sampai akhir acara berada dinuansa yang sangat khas dengan adat dan kultur jawa-nya. Ya lengkap sudah ceritaku, sehari menjadi orang Jawa.

Setelah akad nikah, acara dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang sangat sederhana tapi penuh makna, hadir di acara walimah mungkin biasa bagiku tapi yang satu ini luar biasa, tak ada yang ku lewatkan, konsentrasiku tertuju pada setiap detik dari acara itu. Dari mempelai laki-laki yang menginjak kris, kemudian dicucikan kakinya oleh mempelai wanita, sampai duduk berdampingan di kursi pengantin. Aku ikut bahagia menghadiri walimahan saudaraku ini. Aku pun berdoa untuknya ”Barakallahu laka Wabaraka ’alayka wajama’a baynakuma fiikhoyri”. Saudaraku selamat menempuh hidup baru, doakan aku semoga segera menyusulmu. Acara itu pun berakhir dengan foto-foto keluarga bersama pengantin. Semua ingin melewatkan momen bahagia itu dengan bahagia pula. Acara berakhir dan usai sudah tugasku.
Keesokan harinya tepat jam 6.20 WIB aku bergegas ke Malang, pulang ke kota tempatku menuntut ilmu, setelah seharian penuh menjadi orang jawa. Selamat tinggal Wonogiri, Doakan aku selamat sampai Malang. Semoga semua yang kita lewati bersama diberikan keberkahan oleh-Nya. Amin.

MASIH ADA SETETES HARAPAN DIRUMAHKU


Perjalanan Wonogiri begitu melelahkan, walau banyak cerita dan kisah, tapi fisikku K.O, ku tak sanggup melanjutkan perjalanan ke kota ku, ku singgah disini-tempat setiap sejarah di lukiskan, segala kenangan ditinggalkan, di rumah kui..

Ku hampiri rumahku, rumah yang kutinggalkan setahun yang lalu itu, rumah yang kutinggalkan demi melanjutkan pengembaraan dan menyelasaikan sebuah tugas dari perguruan yang telah melahirkanku..
Dari jauh sinarmu terangi jalanku, ku percepat jalanku, ku rindu padamu wahai rumahku..
Aku rindu pada nuansa yang biasa kau ciptakan,..sampai didepanmu ku tatap kau dengan beribu kisah yang telah ku lalui disini..

Disini aku belajar menulis dan membaca, bergaul dan bersosialisasi,.
Disini pula ku buka mata ku tuk melihat kehidupanku yang sesungguhnya, aku keluar dari hegemoni yang membunuh kebebasanku, kebebasan tuk memilih, kebebasan tuk meraih cita-cita..karena aku juga sadar denganmu citaku dihantarkan..

Ku buka pintu rumahku dengan ucapan "Assalamu'alaykum"
Cerah, ceria, kebahagiaan ku raih disini..
tapi tak lengkap, kurasa ada yang tak lengkap disini, aku tersadar bahwa banyak hal yang hilang disini, aku kurang tahu pasti, apakah terkubur atau mungkiin hilang ditelan euforia..

Buku-buku masih tersusun rapi ditempatnya, waktu-waktu produktif mungkin kabur mencari nuansa indah ditempat lain..
Aku bukan pejuang di zaman ini, artinya kalian lah pejuang hari ini, kalian yang akan merekayasa semua ini..memformulasinya menjadi rumah peradaban..aku yakin disini masih ada setetes harapan untuk melaju lebih kencang, mengejar arus yang begitu derasnya...

Rumah ini, harus tetap dengan cahayanya, harus tetap kokoh dengan traidsinya; tradisi ke-ilmuan dan keislaman, tradisi yang dengannya semua pemimpin lahir dari rumah ini..rumah kita..rumah yang indah..

Kamis, 15 Oktober 2009

KU TATAP SEMUA DENGAN TULUS


Jalan ini ku lalui penuh rasa
semakin mantap hatiku untuk memilih
memilih berdamai dengan realita
realita antara kau dan aku

ketika coba ku hadirkan
seluruh mata yang telah menatap
ternyata kau ada di atas awan
dan,..aku?

coba ku genggam asa itu
ku ingin berlabuh, ku ingin menyelam
meraih cinta itu
atau mungkin meraih cinta hakiki

Ku tinggalkan semua
ku susuri jalan solo-purwantoro
ku ingin lepas
tapi tak bisa ku urai satu demi satu

ku hadirkan seluruh cerita
untuk membentur kenangan-kenangan itu
malah ku tersesat tuk susuri
kesempurnaanmu

Ku biarkan mengalir dikeheningan
biar tersadar atas khilafmu
biar bersujud atas dosamu
semakin hening, gelap dan tanpa cahaya

Ku terdiam dan berfikir
ternyata ku tak bisa lepaskan
penokohanmu di setiap cerita yang ku buat
aku bingung dalam kebuntuan

Ku tersadar tuk jernihkan pikirkan
ku tatap semua dengan tulus
ku ungkap semua kesalahanmu
ku menggugat semua sikap mu

kau membisu
ku mengamuk dengan perasaan ini
dan kau menjawab dengan kedamaian
"aku masih mencintaimu"

Selasa, 13 Oktober 2009

WARNA-WARNI PERJALANANKU


Perjalanan ini penuh warna..
Warna yang ku beri disaat sudut kisah ini mulai berganti
Berganti warna menjadi suka, duka, senang, susah, tertawa, sedih
Dan seribu warna lain yang selalu menghiasi perjalananku

Disaat aku berdiri kokoh
Tak pernah ku bergeming dengan segala badai yang menyerang
Tak pernah ku berkata “tidak” tentang panggilan perang
Dan aku hadir bersama seluruh pejuang yang ada dijagat ini

Tapi dikala ku takluk oleh realitas hidup
Aku resah, aku takut terbawa ombak
Diterpa angin dan dimakan oleh zaman ini
Aku rapuh saat itu

Air mata tanpa sadar menetes
ini mungkin jawaban atau pertanda dari sebuah jawaban
Dan hati ku berkata “lengkap sudah ceritamu”
Di jalan ini

Aku memang tak pernah menyesal memilih jalan ini
Jalan yang membuat mata ku terbelalak
Hatiku tergugah untuk menggerakkan
Sampai segala cita harus didialogkan

Aku hadirkan seluruh warna itu disini
Cerita selama ini berkata seolah ada dialog yang terputus
Tapi hatiku tak pernah mampu ku bendung
Untuk menghadirkan segala cerita indah yang telah lalu

Ku terdiam sejenak untuk mendengarkan nyanyian alam
Alam berkata tentang kisah ini
Mencoba melihat satu celah untuk menghadirkan kedewasaan
Dan hanya ini yang mampu menjawab warna-warni cerita disini.

Minggu, 11 Oktober 2009

AKU INGIN MENJADI PENULIS


Aku gak tahu kenapa aku begitu ingin menjadi penulis. Bukan karena tendensi material atau ingin terkenal. Tetapi ada pretensi lain yang menurutku lebih dari semua itu, aku merasa ada banyak hal yang bisa ku peroleh dari menulis. Lebih dari sekedar uang atau mungkin ketenaran.

“Aku ingin menjadi penulis”. Kalimat itu seolah kurasa tertulis dalam otakku. Aku sadar sebenarnya bahwa aku tidak begitu mahir dalam menulis, artikulasi ide dalam setiap apa yang kutulis juga tidak perfek, belum lagi tata bahasa dan sistematika penulisan yang kacau, tapi dengan semua ini aku semakin sadar bahwa aku ingin menulis, dan aku ingin menjadi penulis untuk diriku sendiri. Aku menulis, bukan karena ingin mencari eksistensi tetapi ada nuansa psikologis yang mau aku raih.
Aku merasa dengan menulis, semua perasaan tercurahkan, dan terungkap semua yang terpendam. Bagiku, yang pertama yang mau mendengarkan kegundahanku adalah kertas dan pena, dengannya aku menulis seluruh cerita tiap detik keseharianku. Walau terkadang aku harus mengerut dahi untuk melahirkan tiap kata menjadi kalimat, kemudian menjadi paragraf dan sampai membentuk sebuah tulisan.

Ini semua sebenarnya lahir dari kebiasaanku sejak SMP yang selalu menulis aktivitas sehari-hari; dari aktivitas biasa, membahagiakan, sampai pada cerita-cerita yang menyebalkan. Bayangkan saat SMP aku punya tiga buku catatan harian tebal, SMA aku punya lima buku catatan harian, dan sekarang lebih dari itu. Tulisanku mengalir bagai air, tulisan dengan format versiku sendiri yaitu versi ngawur.

Kalau dulu, isi tulisanku adalah keluhan, keluhan atas kekangan, ketidak puasan orang lain terhadapa aku, siapapun itu. Dan sekarang aku ingin belajar untuk membagi hati dan fikiran untuk menulis segala bentuk rasa yang bersuara dalam hati. Walau dulu semua sangat bergantung pada perasaan, perasaan untuk menulis atau tidak. Hari ini aku ingin beda, rumah ini (blogku), adalah warna-warni rasa atas segala realitas yang mewarnai cerita keseharianku.

Aku lagi-lagi mencoba untuk meminimalisir aktivitas tidur, nonton TV, dan nge-game. Dan solusinya mungkin ini, dan sisi lainpun aku berharap dengan berbagi khasanah lewat tulisan lepas yang ngawur ini, aku dan siapapun yang suka membaca dan belajar akan mendapatkan setetas makna cerita yang bisa di ambil hikmahnya.

SEMUA PROSES, DAN DIAM ADALAH MATI

Tadi Malam, saya membaca bukunya Ridha Alhamdi yang berjudul “Melawan Arus”, buku terbitan Resist Book, tahun 2006. Buku ini saya beli setahun yang lalu, tepatnya bulan Maret 2008. Buku ini adalah kodifikasi dari catatan kritis Ridha Alhamdi yang mencoba sinis dengan kenyataan dan mencoba menolak kemapanan. Adalah buah dari pikiran jernih dari penulis tanpa ada pretensi untuk meraih sesuatu apapun baik akademis maupun material. Buku yang lahir dari curahan hati ini sangat baik untuk dibaca, demi menggugah nurani, dan mengasah sensitifitas kita kala melihat realita yang ada disekitar kita. Buku ini oleh Ridha diklasifikasikan menjadi empat jenis bahasan yaitu catatan tentang pergerakan, tentang pendidikan, tentang agama, dan catatan tentang gaya hidup.

Saya tidak ingin mengulas dan membedah buku tulisan mantan Ketua Kader PW IRM DIY ini tetapi saya sangat tertarik untuk mengkaji ketika dia mengatakan seperti ini:
“Bodoh juga bagian dari proses-Orang yang berubah itu karena proses. Orang yang tidak ada perubahan juga karena proses. Proses yang tidak mau di ajak berproses”
Banyak orang yang mentafsiri bahasa berproses ini sebagai suatu hal yang berbuah kebaikan nantinya. Dan ketika kemandegan dan berbuah kegagalan juga di labeli sebagai sikap yang tidak berproses. Padahal semua ini adalah berproses, hanya berbeda pada hasil akhir.

Bahasa proses memang tidak bisa dipandang parsial, harus universal dan konprehensif, sehingga kita memaknai setiap sikap yang kita ambil dalam hidup menjadi satu proses yang akan kita lewati. Entah sikap itu adalah memilih maju, mundur, atau mungkin diam di tempat-semua ini merupakan pilihan dan proses menuju hasil apa yang akan kita raih sebagai sebuah konsekwensi atas pilihan yag kita ambil.

Beberapa orang mungkin akan membantah bahasa proses ini jika terlalu lama, dan mungkin akan bertanya kapan sampainya proses ini?kapan majunya?kapan suksesnya?Tetapi bagi saya justru ini pertanyaan pragmatis dan pesimistis yang terlalu berobsesi tentang sesuatu yang besar dibalik usaha yang tidak terlalu besar. Bukankah dalam pandangan transidensi Islam “Allah melihat proses bukan hasil”, Allah ingin kita berproses, bukan diam, berproses dan melakukan sesuatu yang positif, urusan hasil sudah merupakan wewenang Allah yang Maha kuasa atas semuanya. Karena juga manusia diberikan tingkat kedewasaan dan masa yang berbeda. Boleh jadi secara umur anak SMA sama-sama 17 atau 18 tahun, tetapi juga sangat mungkin memiliki tingkat kualitas dan kedewasaan yang berbeda-beda sesuai dengan realita dan jalan hidupnya masing-masing, sesuai dengan pilihan hidupnya apakah ingin berproses menuju suatu perubahan yang lebih baik, atau menjadi anak SMA yang lebih dewasa, ataukah menjadi anak SMA yang manja dan tidak dewasa.

Inilah gambaran dari cara kita dalam menatap makna proses secara luas. Kalau boleh mempotret apa yang digambarkan M.Izza Ahsin dalam tulisannya “Dunia Tanpa Sekolah” bahwa dia ingin berproses dengan cara mendobrak kebiasaan berfikir masyarakat pada umumnya yang terlalu bergantung kepada sekolah formal. Nah, karena M.Izza Ahsin memaknai suatu proses adalah keluar dari kekangan sekolah formal maka dia benar-benar menunjukkan bahwa keresahannya ini merupakan sesuatu yang tidak mendewasakan dan membebaskan proses pendewasaan dan pilihan hidup dan pada titik akhir ceritanya dia menulias buku ini. Kalau boleh mengandaikan-sangat berbeda kisahnya ketika ditengah kondisi yang terpenjara itu Izza (begitu dia dipanggil), memilih untuk berproses dengan cara mengamini realita itu, tanpa penolakan dan gugatan mungkin buku itu tidak pernah hadir ditengah masyarakat pembaca dimanapun.

Menyikapi makna proses ini, luas atau sempitnya, berbanding lurus dengan pemaknaan kita terhadap proses itu sendiri. Ketika pemaknaan terhadap proses adalah bergerak untuk melakukan perubahan, bekerja positif, kesuksesan, kematangan-kedewasaan, maka seseorang akan memilih untuk aktif dan produktif tidak diam dan membungkam karena diam itu mati.

Rabu, 07 Oktober 2009

KAU TERCATAT DALAM SEJARAHMU


Aku berkata,..
berkata tentang realita hari ini
tak ingin ku bungkam hasrat ini
takut tertindas dan telempar.

Aku mengeluh dan berkesah..
ku ungkap saja cerita itu
biar semua terbelalak
terhentak dan tersadar

Aku mencoba menyelami lebih dalam
biar terungkap semua yang terpendam
aku ingin menghadang dan menyerang
satu hegemoni yang menjadi tradisi

nuraniku menduga tentang cerita ini
semua turun untuk menyerang
ketidak mapanan itu
sampai hancur berkeping-keping

tak tersisa
tak ada harapan untuk melaju lebih kencang
karena terhenti dan terbunuh
hancur dan melebur

Kau?
tenggelam ataukah menyelam
dalam impian dan citamu
atau mungkin sudah terbang bebas diawan sana

Aku menerobos keheningan ini
ku ingin menjawab segala gundahku
semoga masih ada sisa senyum di perjalananmu
hingga kau tercatat dalam sejarahmu nanti

PAHLAWAN ITU?

Insiden itu..
Insiden yg menggetarkan jagat impian disana
menutup segala harapan dari rumah itu
membunuh sesosok figur yang berdiri tegak disana

Ini ketidak adilan..
begitu suaraku menggema dalam ruang hampa
tak ada yang mendengar..
tak ada yang kuasa menerobos arus ini

Ku tak puas..
ku menggugat..
ku menghadang ketidak adilan ini..
tapi lewat kata..

Kemana manusi-manusia itu?
apakah telah gugur..
atau mungkin terkubur oleh ambisi..
dan mungkin terlempar karena ketidak adilan

jalan itu pun sepi
bukan tak ada manusia
tetapi semua mencoba bungkam
mehilangkan jejak atas sisa ketidak adilan itu

Pahalawan itu?
berdiri tegak dengan impiannya
tidak larut dalam derasnya kecaman itu
tetapi kokoh dengan obsesi suci yang selalu membekas

Aku disampingmu kawan
aku mendengar keluh kesahmu
tak ada jawab atas semua pertanyaanmu
teapi kita akan terus menjejaki jalan ini
dengan cita yang mengental dan menyatu
dalam setiap kata dan gerak kita di masa datang..

Teruslah berjuang kawan

Selasa, 06 Oktober 2009

SEBUAH CERITA MENYAKITKAN ITU


“Malam ini aku pleno mas, tapi menyakitkan, ketua umumku mengundurkan diri”
“Aku tahu proses penggulirannya”
“Aku juga mengundurkan diri..”
“Keberadaanku hanya buat pajangan tok”


Begitu bunyi penggalan sms yang kuterima dua hari yang lalu, tepat jam 20.30 WIB. Aku terhentak kaget, terjadinya begitu tiba-tiba, aku tak pernah berpikir akan ada keputusan sejauh ini. Satu keputusan yang berani, karena ditengah kondisi internal yang carut marut, dan reaksi alumni terhadap implikasi keputusan ini juga akan menjadi satu konsekwensi yang harus dihadapi. Tetapi sikap ini juga tidak bisa dipandang polos, dan tekstual tetapi harus mendalam dengan beberapa fakta yang biasanya ada untuk mempengaruhi. Menurut ilmu intelejen ‘sesuatu itu terjadi mesti telah difikirkan dan direncanakan sebelumnya dalam waktu yang lama”. Lebih kurang begitu, dan aku ingin membedahnya disini.

Aku cukup mengerti dengan iklim yang berkembang di organisasi ini. Organisasi tempat aku dibesarkan, rumah kedua bagiku, banyak hal kutemukan dan kupelajari disini, aku mengenal diriku, dan belajar untuk melihat keanekaragaman maupun perbedaan manusia disini, dirumah ini. Aku cukup faham dengan dinamikanya-aku pernah ”dijebak”, pernah dipoltisir, dan berlajar untuk berpolitik-politik bermoral tentunya.

Semua cerita disini punya banyak versi, berkembang dan hilang berdasar persepsi dan siapa pelakunya. Semua mengalir dan berputar sangat cepat, dipengaruhi cepatnya isu yang terus bergulir disini. Tapi yang pasti berawal dari momentum reformasi organisasi yang saat itu sangat panas, terbakar oleh kepentingan. Sangat tipis memilah antara yang benar dan yang salah karena semua menyuarakan bahwa ini yang terbaik. Dan begitulah dinamisasi sebuah pergerakan yang produktif. Tetapi momentum reformasi saat itu, adalah momentum yang ujuk-ujuk, dan terkesan sangat pragmatis, beberapa simbul yang menegaskan adalah proses kaderisasi dan regenerasi yang tidak dipersiapkan sebelumnya. Suatu proses yang mampu memberikan kematangan pribadi dan peluang sejarah, sesuatu yang menurut Anis Matta merupakan sat jenis kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Ceritanya tidak berakhir disitu karena setelah itu implikasinya terhadap struktur baru begitu luar biasa; Kepahaman terhadap konstitusi yang sangat lemah, kedewasaan berstruktur yang rapuh, independensi yang selalu goyah, dan profersionalitas yang tidak proporsional. Perjalanan pada akhirnya pincang, setiap obsesi personal yang kemudian harus diterjemahkan menjadi visi jamaah tak terejawantahkan. Pada akhirnya perjuangan memang mengalir deras, walau berjalannya sangat individualitas karena diterjemahkan sesuai dengan persepsi masing-masing. Dalam kondisi seperti ini kemudian memaksa orang-orang yang merasa dirinya penting untuk terlibat, tidak hanya untuk sekedar meluruskan tetapi terlibat jauh sampai melewati garis perbatasan.

Pada satu struktur yang rapuh sangat susah untuk melahirkan sebuah iklim organisasi yang mapan. Apalagi ketika prasyarat implementasi kaderisasi yang utuh adalah kaderisasi yang kuat, struktur yang kokoh, dan jaringan. Dalam kondisi seperti haruskah kita menuntut orang lain untuk berbuat sesuatu untuk rumah ini. Jawabannya tidak, tidak untuk menuntut orang lain tetapi seharusnya menuntut diri kita sendiri-semua orang sudah bergerak sesuai dengan motivasi awalnya berada disini. Sehingganya kita harus menghargai keanekaragaman ini-juga keanekaragaman dalam menatap masalah dan menyelesaikannya. Tapi ruang ini ditutup untuk orang-orang yang apatis dan oportunis, oportunis yang pragmatis.

Yah pada titik akhir perjalanan, hanya semakin menegaskan pilihan masing-masing untuk mengambil peran apa disini; ada yang hadir hanya untuk melepas kepenatan atas kesibukan sehari-hari, ada yang hadirnya hanya pengen ngobrol dan diskusi, ada yang ikut-ikutan, dan ada pula yang justru sangat sibuk dan pusing memikirkan kelangsungan wajihah ini selanjutnya dari urusan up grade sampai persoalan kepemimpinan. Dan satu lagi yang tidak bisa dilupakan bahwa tatkala semuanya mengalir dan bermuara karena proses berpolitik. Memang tidak diajarkan dan tetapi tuntutan skenario yang mengharuskan kita berpikir dan bergerak secara politis.

Ketika merujuk dari titik awal perjalanan semakin mendekat ke moment itu, semakin membuat pola, pola yang memaksa setiap personal memilih untuk menjadi politis atau apolitis, memilih menjadi apolitis tentunya memilih untuk dijajah, dijajah oleh isu dan realita yang memaksa semua orang untuk berpikir keras ketika itu. Dan hampir semua memilih untuk berpolitik, karena aplolitis hanyalah cari aman, dan kalau boleh mengutip pandangannya Agung Wijaya bahwa apolitik hanyalah warisan rezim soeharto yang melihat politik sebagai ranah yang tabu dan kotor, penuh dengan hujatan, korup, dan perebutan kursi kekuasaan belaka. Pada konteks kita, saat itu mencoba mengangakat isu politik yang bernilai dan tidak pragmatis. Ketika mencoba mengkontekstulisasi padangan Abdul Munir Mulkan bahwa keenjangan kemampuan mengatasi sebuah tantangan hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu orang dengan orang yang lain, akan menimbulkan perbedaan sikap diantara mereka. Dan disamping itu ketimpangan intelektualitas dan pemahamannya terhadap realitas yang minim mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanik dalam suatu kelompok. Artinya bahwa arus ini berkembang atas pemahaman dan penguasan terhadap realitas yang kemudian berimplikasi pada setiap pilihan sikap mereka untuk berolitik.

Suatu ketika, momentum itu hadir. Momentum yang dinantikan oleh beberapa oknum, momentum yang ditangisi oleh beberapa elemen, dan momentum bersejarah bagi perjalanan kita. Yah seperti biasa, kultur kita yang interdependensif selalu muncul dan menggerogoti jati diri kita sebenarnya. Dan mengotori perjalanan yang seharusnya diabadikan dalam setiap detik perjalanan kita esok hari. Semua terjadinya tidak alami, kalah dan menang kemudian diukur dengan nilai-nilai yang melekat dalam ikhtiar kita. Apalagi ketika primordialitas menjadi ukuran kualitas personal, kepentingan-kepentingan yang menunggangi kehadiran kita justru menatap kualitas pada titik kedekatan secara emosionalitas. Nah, ironisnya boneka-boneka ini tampil ke medan juang tanpa penguasaan terhadap geopolitik yang berkembang dengan sangat cepat. Memang ruang dan waktu telah mengalami transformasi sedemikian hebat seingga menjadi mungkin untuk berargumentasi bahwa primordialitas menjadi mengglobal sampai pada tingkat kita yang telah memahami konsep egaliter dalam padangan transidental.

Akhir Cerita dan dimana ku berpijak.
Ketika semua sedang euforia dengan masa transisi periode itu, tanpa sadar pun mereka bergerak bagai robot yang digerakkan oleh remote control, ketika pun sadar atas setip sikap ini hanyalah ”kesadaran spasial” dalam istilahnya Dale F.Eickelman ketika mencoba menggambarkan sebuah geografi politik yang sedang berubah dimana kedekatan dan kesetiaan setiap personal dan kelompok hanyalah lokalitas. Ditengah-tengah nuansa yang sangat panas, konstalasi politik berubah bak disulap, semua terjadi diluar dugaan dimana muncul satu kuda hitam, kuda hitam yang diasumsikan mampu mejawab segala kegundahan komunal, dan mengurai benang kusut kepentingan yang telah terbakar oleh asa politik yang tak sampai. Ya ditengah derai air mata suka campur duka beberapa oknum yang tersenyum disudut sana-ketika palu diketok mengubur beberapa kepentingan yang tidak rasional dalam kacamata pejuang dizaman ini-karena mereka hidup dizaman sebelumnya-dan mencoba mentafsiri semua fenomena hari ini dengan kacamata hari kemarin yang dalam beberapa hal kita butuh menkonversi itu dalam waktu yang tidak sebentar.

Aku? Aku memihak pada entitas yang memperjuangkan independensi personal dan struktural, pada idealisme dan keberpihakan atas politik bermoral tidak kepada ketergantungan atas kekuatan ”mistik” yang menghegemoni kedewasaan berproses dan berpolitik. Atau meminjam istilahnya Dahlan Iskan-Aku tidak ingin berpihak pada sesuatu yang menghegemoni ”akal sehat”. Dan pada akhirnya semua berjalan dengan pilihan masing-masing, dan aku tidak ingin menelan ludah sendiri untuk menggugat argumentasiku untuk membuat garis batas yang tegas antara profesionalitas dan interfensi.

Sebuah Cerita Menyakitkan Itu
Sekian lama tidak bersua dan menjajaki konstalasi itu, aku mengira semua baik-baik saja walau sering kali terdengar berita miring tentang simbol-simbol yang muncul untuk menggugat kepemimpinan itu. Dengan segala keyakinan dan optimisme, aku menginginkan semua mengalir bagai air dan ditengah derasnya dan hantaman bebatuan akan dipertemukan pada titik muara soluasi yang mampu mendewasakan dan memberi ibrah tersendiri. Ternyata memberi suara bahwa setiap keyakinan dan optimisme selalu beriringan dengan kesungguhan untuk berikhtiar. Beberapa oknum yanga tidak puas dan meliahat moment ini sebagai peluang emas untuk menggulirkan pada akhirnya membuat cerita yang menyakitkan. Ini tidak kemudian muncul tiba-tiba tetapi merupakan satu niatan dan rencana yang telah bermetamorfosa menjadi kepentigan politis yang menyakitkan, entah ini pragmatis atau merupakan idialisme yang memang harus diperjuangkan kita butuh mengkaji dan menelaahnya kembali. Dan disamping itu insiden ini muncul dipengaruhi oleh geopolitik yang homogen. Tetapi kenapa sangat monoton?cerita dan tokohnya sama. Dan yang lebih ironis adalah tokoh-tokoh antagonis pada cerita ini merupakan oknum yang bersuara lantang menolak sikap ini pada zamannya. Orang-orang yang memperjuangkan idialisme dan menolak pragmatisme. Tetapi apa yang terjadi?Apakah idialismenya yang luntur?atau mungkin kegagapan melihat realita memaksa mereka untuk mengambil jalan pintas yang belum tentu tepat.
Yahh kawan,...Bersabarlah.!!!
Dan,..saya yakin kalian sudah melewati masa-masa kanak-kanak kalian, dan sekarang kalian juga harus megejawantahkan setiap pemahaman dengan sikap apa yang harus di ambil. Aku juga tak harus turun kemedan laga untuk mengintervensi setiap sikap yang telah kalian ambil. Tetapi aku cukup percaya bahwa kalian faham mana yang terbaik menurut kalian dan semoga jalan ini tetap menjadi pilihan kita dan semoga orang-orang yang tidak pernah lurus menempuh jalan ini menemukan jalan untuk kembali.

Minggu, 04 Oktober 2009

MUTIARA YANG TAK TERGANTIKAN


Ini hanya mengabadikan jejakku dan kalian yang pernah bersua di rumah ini, bersama orang-orang yang mau dan mampu untuk berbuat untuk sebuah kata bernama Islam.
Kita bukan orang-orang tanpa dosa tetapi kita sedang mengayunkan langkah kita untuk mencari setetes kebaikan dan menepis kesalahan yang selalu melekat dalam benak dan hati kita.
Dirumah ini kita memang tak pernah dapat apa-apa, tetapi dirumah ini lah benih cinta terhadap saudara kita di tanam, dipupuk, dan dipelihara.
Disini juga kita tak mungkin selamanya, tak mungkin abadi disini, tapi disinilah kita kan memulai semuanya, semua yang nanti mudah-mudahan karenanya timbangan amal kita diberatkan..
Dan disini juga kita mengenal berbagai macam manusia dengan segala karakter dan latar belakangnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala impian yang berbedapun kita meramunya disini untuk dibagi dan diraih..
Dan lewat ini lah semua ambisi pribadi kita luntur ketika kita berbicara tentang satu kata yaitu Islam, karena disini kita mencari mutiara yang tak tergantikan..

KAPAN AKU MENIKAH?


Alhamdulillah akhirnya undangan ini jadi dan tersebar juga. Setelah melaluli proses panjang-desain, edit, dan percetakan yang awalnya ribet akhirnya rampung juga. Semua pekerjaan kalau diawali dengan niat sungguh-sungguh maka akan tertuntaskan juga. Tapi sebentar kawan ini bukan undanganku,hehe..Ini undangan sahabatku yang tanggal 14 Oktober ini akan melangsungkan pernikahan. Sesuatu yang sakral, dan ini gerbang awal membangun peradaban keluarga Islami.

Teman saya ini akan melangsungkan pernikahan di Wonogiri-Jawa Tengah. Walaupun saya tidak mengetahui seluk beluk dan keseluruhan ceritanya sampai akhir, tapi saya cukup mengikuti ketika obsesi untuk menikah begitu melekat dalam diri saudara saya yang satu ini. Komitmennya untuk memilih sesuatu begitu tergambar dalam setiap sikap kesehariannya. Setelah menamatkan kuliahnya di D1 akuntansi komputer dia langsung memilih untuk berkerja, satu pilihan yang cukup tegas ketika setiap orang bercita-cita kuliah dan menempuh ilmu di jenjang pendidikan formal ke level yang lebih tinggi, tapi kembali lagi memang bahwa setipa orang memiliki pilihan masing-masing, dan setiap orang punya cara sendiri untuk menghadapi hidup ini. Apapun persepsi dan sikap kita menyikapi problematika hidup, satu hal yang tidak bisa kita lupakan adalah kita harus menjadi manusia profetis, terlalu ideal memang tapi begitulah ketika kita sadar bahwa masih ada kehidupan setelah hidup kita hari ini.

Lanjut kawan, membedah kawan saya yang satu ini begitu luar biasa, satu sosok yang patut di contoh dalam hal menjaga komitmen dirinya dan mengejar cita-cita hidupnya. Cara berfikir yang tidak terpaku pada cara berfikir orang pada umumnya, atau yang sering kali muncul dalam pandangan masyarakat-harus kuliah dulu kemudian menikah, harus punya ini, itu, baru kemudian boleh menikah, umurnya terlalu muda, dan lain-lain. Ini menepis cara pandang masyarakat yang keliru, yang tidak berdasar, walau mungkin substansinya adalah mereka menginginkan anak mereka bahagia dan tidak hidup sengsara. Dang terpenting kita mau bertanggung dengan pilihan ini. Dan bagi teman yang sudah saya kenal 9 tahun yang lalu ini bab tanggung jawab sudah bukan waktunya, sudah lewat terbukti ketika dia berani untuk memilih, dan beberapa hal yang dia benar-benar siapkan sampai hari ini.

Kapan Aku Menikah?
Setiap orang ingin menikah, dan memang harus menikah untuk menjalankan sunnah, menyempurnakan sebagian agama, dan meneruskan keturunan. Begitupun aku-aku ingin menikah. Bagiku menikah hanyalah persoalan waktu, hari ini juga aku siap menikah, tapi tidak sesedarhana ungkapan bahwa “aku siap menikah”. Banyak hal yang harus dipersiapkan-dari kesiapan epistimologis, psikologis, sampai pada materi pendukung. Aku tidak ingin membangun miniatur peradaban itu tanpa ilmu, aku ingin kematangan ilmu, walau mungkin suatu saat nanti aku kan membantah ini ketika waktunya mengatakan aku harus menikah, dan tidak untuk saat ini. Aku ingin menjadi Suami dari istriku tercinta, aku ingin menjadi bapak dan teman dari anak-anakku. Menjadi suami, bapak, dan teman bagi mereka butuh ilmu dimana semuanya nanti aku akan matang pada waktu dimana keluarga butuh figur yang bisa dibanggakan. Dan saya tidak ingin gagap. Saya punya jalan sendiri tapi saya juga ingin berkaca pada saudara saya ini. Saat ini saya mencoba untuk mulai berjalan kearah sana, dan semoga saya akan sampai pada titik itu tanpa cacat dengan segala asa yang sudah saya raih.
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin