`

`

Jumat, 10 Mei 2013

USIAMU BERTAMBAH CINTA


Tak ada jejak terindah yang bisa ku ukir
tak ada momentum luar biasa yang lebih membekas
hadirkanku dengan senyum malu-malu
membuat mutiara sajakku kabur
lalu seketika hilang tak tau arah
kecuali saat itu
saatku ku semaikan cincin itu dijari manismu
hati bergetar, jemariku bergetar, seluruh alampun bergetar
menandai detik-detik mengharukan itu
alam menyaksikan janji suci
kau resmi menjadi bidadariku
sekaligus menjadi ratu bidadariku disurga
hari ini menandai kehadiranmu
memberi bekas jejak pada dunia
hingga kini kau telah berada dititik 23 tahun
semoga dicatatan usia yang lalu melukiskan jejak-jejak kebaikan
menginspirasi kisah hari ini
pula cerita masa depan yang akan kau toreh
semoga taat dan bhakti telah kau ikrarkan
untuk usiamu
untuk jejakmu esok
untuk kau kumpulkan menjadi garis jalan menuju Jannah-Nya

(Palandi, 2013)

Dalam jejak menulisku, ada satu kisah yang aku belum lukiskan. Yang kemudian ku rasa sangat memberi inspirasi jalan-jalanku esok. Momentum luar biasa yang ku do’an menjadi momentum pertama dan terakhir. Momentum penuh bahagia sekaligus mendebarkan. Adalah jejakku menuju kursi peraduan para pengagum cinta. Kursi pelaminan.

Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada dikau, istriku sepanjang sejarah.

Aku tidak pernah merasa kecewa karena tulisan ini harus hadir setelah keluarga kecil ini beranjak lima bulan. Aku justru merasa bangga karena momentum pertambahan usiamu menjadi momentum pula bagiku untuk melukiskan kembali perjalananku mengejar cinta dihatimu. Aku melukiskannya..

Jejak menyempurnakan Dien
Ketika usiaku menginjak angka 28 tahun. Setelah aku merasa menjadi tulang punggung keluarga. Usai memeras air mata untuk mengantarkan sang bunda pada peristirahatan terakhir. Dan setelah mengantarkan bapak tersayang menemukan keluarga kecilnya kembali, menikah dan mempersunting seorang wanita terbaik yang sekaligus menjadi bunda keduaku, aku merasa tak ada lagi ruang menghadirkan alasan untuk menunda sesuatu yang menjadi tembok batas antara ibadah dan melakukan maksiat. Yaitu pilihan menyempurnakan agama.

Kita memang telah lama menyapa pada ruang-ruang perjuangan di Pelajar Islam Indonesia (PII) tetapi aku harus katakan bahwa kau menjelma menjadi jodohku pada detik-detik penting. Aku bisa katakan hanya 2 bulan.

Aku ingat setelah kran peluang emas itu dibuka oleh sahabatmu, aku tak pernah berfikir panjang untuk ragu memilihmu. Tetapi engkau juga tau bahwa aku pernah gagal merangkai cinta dengan mereka, anak emas di istana keadilan.

Aku juga sadar bahwa kita tak pernah lahir dari rahim proses yang sama. Tetapi ada banyak hal yang membuatku yakin untuk memilhmu. Sampai aku hadir didepanmu dengan gagah mengurai cinta.

Aku ingat hari itu saat aku hadir mempersuntingmu. Dengan melawan segala ragu, menerobos ruang hati yang berirama naik turun memainkan rasa takut dalam dada dan mengumpulkan segunung keyakinan bahwa engkaulah yang terbaik yang Allah pilih buatku. Aku bertandang ke istanamu. Rumah tempat kau diajarkan kehidupan oleh ayah dan bundamu.

“Saya datang untuk melamar anak bapak, Farida Amalia” begitu aku tanpa ragu menyatakan maksud kedatanganku. Sesekali ku mencuri pandang ke arahmu, terlihat senyum malu-malu tanda menerima dan mengisyaratkan meminta izin kepada ayahandamu. Memang tidak mulus. Karena yang menyangsikan permintaan itu adalah status kuliahmu yang belum tuntas. “belum ada wali kalau belum wisuda”. Begitu ayahanda menanggapi. Sesuatu yang luar biasa terjadi, kau ternyata pe-loby ulung, itu yang bisa aku simpulkan setelah akhirnya 5 bulan kita menjalani hidup berdua setelah menikah. Entah dialog apa yang terjadi di kamar sebelah antara engkau, ayahandamu, serta bundamu. Yang terjadi adalah lamaran itu diterima dan langsung disepakati waktu menikah 2 bulan kemudian. Sesuatu yang aku hampir tidak bisa membedakan antara sedang bermimpi ataukah sedang menghadapi gerbang besar untuk babak baru perjalanan hidupku. Aku ketika itu merasa ada aura berbeda yang mengalir bersama aliran darahku, yang sangat terasa adalah kesungguhan untuk mengikhtiari momentum menyempurnakan Dien itu terlaksana. Dan sebulan kemudian diketuk palu setelah orang tua kita bertemu dan bermusyawarah.

Detik-detik waktu menuju hari pelaksanaan tidak genap sebulan. Aku menyelesaikan sendiri desain, sekaligus percetakan undangan akad nikah dan walimatul ursy. Aku memang memiliki obsesi untuk membuat undangan pernikahanku dari hasil karyaku sendiri, dan alhamdulillah tercapai.

Saat Nilai harus di Junjung Tinggi
Dari lamaran, pertemuan kedua keluarga, membuat dan membagikan undangan, sampai busana dan dekorasi tidak ada halangan yang berarti. Hal ini semakin membuatku khawatir karena yang aku fahami menikah itu adalah pilihan besar sehingga seharusnya ia berjalan beriringan dengan tantangan yang besar pula.

Ya benar saja. Terhitung lebih kurang empat hari sebelum hari istimewa itu. Diundanglah aku untuk bertemu keluarga istriku (dulunya belum..he), diluar yang aku mengerti ternyata pembahasan malam itu menindaklanjuti keinginanku untuk benar-benar menjaga proses akad nikah dan walimatul usry tetap dalam koridor syar’i. Alhamdulillah terkait  dipisahnya tempat duduk mempelai laki-laki dan perempuan untuk menghindari jabatan tangan dengan lawan jenis telah disepakati oleh pihak keluarga calon istriku. Yang dipersoalkan adalah tim nasyid akapela yang direncakan mengisi hiburan pada saat walitul usry.

“Nasyid pakai akapela, bagaimana dia mampu memainkan musik dengan mulut, tanpa berhenti, selama 2 jam?itu mustahil..yang ada malah malu-maluin kita”
“Hiburan itu ga umum..ga pernah dipakai..apalagi dikota kecamatan seperti disini”
“jangan sampai masyarakat malah bosan, dan hanya akan merusak desain acara pernikahan yang ingin kita buat semeriah mungkin”
“Nasyid ini tidak umum, tidak pernah dipakai di kota”
“mending kita sewa organ, terus kita sewa penyanyi cowok yang akan menghibur sampai acara selesai”
“atau tetap cewek, nanti kita suruh pakai jilbab, dan kita larang dia joget, biar acaranya tetap terlihat syar’i”
“Kalian berdua jangan malu-malui keluarga”
“Ini saatnya kalian berdua di uji untuk bijak mengambil keputusan diantara harapan keluarga yang sangat banyak”

Begitu kira-kira hujan pertanyaan dan harapan sekaligus aroma tidak percaya yang muncul dari keluarga atas keinginan kami mengawali peradaban ini dengan adab-adab Islam. Keyakinan yang sangat kuat yang kemudian mejadi ruh dalam menjelaskan adalah kebiasaan beramar ma’ruf bersama sahabat-sahabat di kampus dan di organisasi.

Secara bergantian kami (saya dan calon istri saya saat itu) menjelaskan bahwa tim nasyid yang kita undang adalah Jafana Voice, tim nasyid yang pernah mendapat nominasi di ajang nasyid tingkat nasional. Tim nasyid yang sering mengisi pada acara hiburan di pesta pernikahan. Dan ini pilihan kami untuk menjaga nuansa adab Islam itu tetap terjaga. Setelah bergantian menjadi debat yang sangat alot akhirnya tim nasyid tetap menjadi pilihan. Sekalipun ada rasa ragu dan khawatir tim nasyid kebanggaan tidak berhasil menghibur, tetapi yang pasti sebuah nilai Islam harus tetap diusahakan dimanapun, dan selanjutnya bertawakkal.

Dan sore itu, kamis tanggal 20 Desember 2012. Mendung menge-cat gelap pada lingkaran bumi, sekalipun sempat khawatir akan kehadiran tamu undangan tetapi alhamdulillah sangat ramai. Tamu undangan memenuhi kursi yang telah disediakan, ingin menjadi saksi sejarah untuk kisah sekaligus momentum yang sendang aku ukir bersama dia calon istriku.

“Noval Palandi, saya nikahkan kamu dengan anak saya Farida Amalia, dengan mahar seperangkat alat shalat, dan cincin emas dibayar tunai”
“Saya terima nikahnya Farida Amalia dengan mahar yang telah disepakati”

Detik itu semakin sakral ketika hujan deras membasahi bumi. Menyemai cincin emas dijari lentik istriku menjadi kisah terindah sekaligus bersejarah disaksikan oleh para malaikat.
“Barakallahu laka wa baraka alayka wajama-a bayna kuma bayna kuma fii khoyri”
Doa ini terucap dari bibir semua tamu undangan yang hadir, aku pula ikut mendoakan mereka agar selalu mendapatkan keberkahan. Amin

Dan keesokan harinya tanggal 21 Desember 2012 dilangsungkan acara pesta atau resepsi dengan konsep yang telah disepakati sebelumnya yang sesuai dengan adab.

Dua hari itu sungguh merubah sejarah hidup kami. Ada rasa yang sulit diceritakan, sulit dibagi ke orang lain, yang pasti sungguh kebahagiaan itu mengalir dalam jiwa. Yang bisa kami gambarkan adalah ekspresi dan senyum kebahagiaan. Kami telah sah menikah.

Ruangan Asing
Sekalipun kami beberapa kali sempat berinteraksi, itu tidak cukup memecah kebekuan diruangan asing, dikamar pengantin. Bisa dibayangkan kalimat syakral ijab qobul itu sungguh merubah pola perilaku, tentu merobohkan benteng pembatas, dan tak ada lagi batas ketika itu, semua telah halal. Tetapi itulah, kebiasaan menjaga interaksi dengan lawan jenis memaksa kami harus kaku dan menjaga image, sampai akhirnya sedikit demi sedikit gunung es kekakuan itu mencair menjadi interaksi yang lepas dan sangat dekat. Sampai jika hari-hari ini harus memberi jarak yang jauh untuk kami, masih saja rasanya susah untuk melewati. Tetapi ini semoga tidak menghalangi tugas-tugas juang yang seketika memanggil untuk merapat.

Ekspektasi Cinta
Seminggu setelah menyapa semua keluarga Jawa di Lombok. Selanjutnya memperkenalkan diri pada keluarga di Dompu. Setelah beberapa hari disana kami sama-sama menyadari bahwa satu hal yang harus kami lakukan sebelum menapaki jalan ini adalah melakukan ekspektasi. Bagi orang umum mungkin sekedar mengartikan ekspektasi ini sebagai harapan. Tetapi untuk teman-teman yang aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) sangat memahami bahwa ekspektasi ini sangat menentukan arah perjalanan kedepan. Disana ruang untuk mendialogkan motivasi, tujuan, harapan, dan formula-formula untuk melompat menuju tujuan. Dan itulah yang kami lakukan dalam mengawali perjalanan bahtera keluarga yang baru seumur jagung.

Ekspektasi saat itu, dilengkapi dengan kertas plano yang telah ditempel ditembok menggunakan isolasi serta dua spidol untuk menulis. Disitulah aku rasa miniatur training PII itu kami pakai sampai kemudian selesai merumuskan motivasi, tujuan, harapan, strategi jangka pendek dan jangka panjang, serta hal-hal yang kami harus samakan definisi dalam memahaminya. Dan hasil catatan ekspektasi itu menuntun kami menapaki jalan di keluarga cinta yang sedang kami rangkai.

Aku Dan Kau Yang Terbaik
Karena beberapa hal dan pertimbangan terpaksa keluarga mungil ini harus terdampar di Pulau Lombok. Pilihan berbakti, menyelesaikan study, dan amanah perjuangan di PII, mengharuskan untuk-aku memaknainya menyiapkan bekal untuk kehidupan di fase ini.

Satu konsekwensi yang harus kita terima dari hilangnya batas antara aku dan istri adalah semakin terlihat jelas kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini mungkin yang sering aku dengar bahwa menikah itu hanya indah dibulan pertama hingga bulan ketiga. Tetapi sungguh hingga kini aku merasa ruang cinta ini semakin indah, berbunga-bunga, dan penuh madu. Aku merasa telah selesai memahami kelebihan dan kekurangan sekalipun seiring dengan waktu semakin muncul keduanya. Tetapi jelas telah tuntas ketika ekspektasi kami bongkar menjadi sesuatu yang akhirnya biasa-biasa saja.

Yang sering membuat kami tersenyum adalah waktu dan diri kami hingga kini masih menjadi abdi mertua dan abdi PII. Belum jelas rasanya menjadi sutradara sekaligus pelaku bagi mimpi-mimpi kami berdua.

Yang pasti tradisi yang telah hadir kembali adalah sense baca dan menulis. Kebiasaan yang hampir punah oleh kultur dan lingkungan daerah. Dan kini telah lahir terus menerus bersama waktu, dan konstalasi alam yang sering berubah tiap waktu. Dan aku ingin menulisnya dengan cinta serta  membiasakan baca karena aku cinta membaca.

Empat poin penting yang aku catat dari perjalananku menikah adalah komitmen yang kuat, kesungguhan ikhtiar, melawan keraguan, dan mengembalikan semua kepada Allah SWT.

Ini pula yang menjadi rahasia istriku. Setelah dialog panjang kami, keempat hal ini menjadi ilmu berharga yang harus dicatat oleh kawan-kawan yang ingin segera menyempurnakan Dien. Dan selanjutnya hati kita akan terbentuk untuk percaya dan mengatakan bahwa engkaulah yang terbaik untukku, dan akulah yang terbaik untukmu.

Usiamu bertambah Cinta
Setelah menikah aku baru sadar bahwa tanggal, bulan, dan tahun kelahiran kita terpaut enam angka. Aku dilahirkan 16 November 1984 sedangkan istriku dilahirkan 10 Mei 1990.

Kini tepat pada tanggal 10 Mei 2013, engkau berusia 23 tahun. Ini juga menjadi momentum baru dalam hidupmu. Tiga hadapan penting yang akan istriku lalui adalah menjadi sarjana, demisioner pengurus wilayah PII, serta warga baru di masyarakat Dompu.

Aku pula memikirkan tentang asa yang pernah kita obrolkan diawal merajut cinta ini. Terutama untuk membangun peradaban dikeluarga kita esok.

Semoga bertambah usia ini menjadi momentum juga buatku dan keluarga kita.
Semoga tambah dewasa, dan bijaksana.
Semakin taat kepada Allah I
Istiqomah qiyamullail, tilawah qur’an, dan berzikir.
Menjadi istri yang berbakti.
Semakin rajin membaca.
Menebar inspirasi kebaikan.
Memelihara cinta, ikhtiar, dan bersinergi dalam amal dunia dan akhirat.
Semoga kita bersama disurga kelak.
Selamat Milad Sayang.
Barakallahu Fii Umuriq.


Dari Suami yang menyayangimu..
Gerung, 10 Mei 2013
Pukul 03.32 Wita

5 komentar:

  1. So sweet guru..
    Semoga semakin asmara..

    BalasHapus
  2. So sweet guru..
    Semoga semakin asmara..

    BalasHapus
  3. So sweet guru..
    Semoga semakin asmara..

    BalasHapus
  4. So sweet guru..
    Semoga semakin asmara..

    BalasHapus
  5. hehehe
    segera gurue..na carukura untaian kata2 cinta re..
    na mengalir menakura bune aliran air..hehe

    BalasHapus

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin