Tak ada
jejak terindah yang bisa ku ukir
tak ada
momentum luar biasa yang lebih membekas
hadirkanku
dengan senyum malu-malu
membuat
mutiara sajakku kabur
lalu seketika
hilang tak tau arah
kecuali
saat itu
saatku ku
semaikan cincin itu dijari manismu
hati
bergetar, jemariku bergetar, seluruh alampun bergetar
menandai
detik-detik mengharukan itu
alam
menyaksikan janji suci
kau resmi
menjadi bidadariku
sekaligus
menjadi ratu bidadariku disurga
hari ini
menandai kehadiranmu
memberi bekas
jejak pada dunia
hingga kini
kau telah berada dititik 23 tahun
semoga
dicatatan usia yang lalu melukiskan jejak-jejak kebaikan
menginspirasi
kisah hari ini
pula cerita
masa depan yang akan kau toreh
semoga taat
dan bhakti telah kau ikrarkan
untuk usiamu
untuk
jejakmu esok
untuk kau
kumpulkan menjadi garis jalan menuju Jannah-Nya
(Palandi,
2013)
Dalam jejak menulisku, ada satu kisah yang aku belum
lukiskan. Yang kemudian ku rasa sangat memberi inspirasi jalan-jalanku esok.
Momentum luar biasa yang ku do’an menjadi momentum pertama dan terakhir.
Momentum penuh bahagia sekaligus mendebarkan. Adalah jejakku menuju kursi
peraduan para pengagum cinta. Kursi pelaminan.
Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus
memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada
dikau, istriku sepanjang sejarah.
Aku tidak pernah merasa kecewa karena tulisan ini harus hadir
setelah keluarga kecil ini beranjak lima bulan. Aku justru merasa bangga karena
momentum pertambahan usiamu menjadi momentum pula bagiku untuk melukiskan
kembali perjalananku mengejar cinta dihatimu. Aku melukiskannya..
Jejak
menyempurnakan Dien
Ketika usiaku menginjak angka 28 tahun. Setelah aku merasa
menjadi tulang punggung keluarga. Usai memeras air mata untuk mengantarkan sang
bunda pada peristirahatan terakhir. Dan setelah mengantarkan bapak tersayang
menemukan keluarga kecilnya kembali, menikah dan mempersunting seorang wanita
terbaik yang sekaligus menjadi bunda keduaku, aku merasa tak ada lagi ruang menghadirkan
alasan untuk menunda sesuatu yang menjadi tembok batas antara ibadah dan
melakukan maksiat. Yaitu pilihan menyempurnakan agama.
Kita memang telah lama menyapa pada ruang-ruang perjuangan di
Pelajar Islam Indonesia (PII) tetapi aku harus katakan bahwa kau menjelma
menjadi jodohku pada detik-detik penting. Aku bisa katakan hanya 2 bulan.
Aku ingat setelah kran peluang emas itu dibuka oleh
sahabatmu, aku tak pernah berfikir panjang untuk ragu memilihmu. Tetapi engkau
juga tau bahwa aku pernah gagal merangkai cinta dengan mereka, anak emas di
istana keadilan.
Aku juga sadar bahwa kita tak pernah lahir dari rahim proses yang sama.
Tetapi ada banyak hal yang membuatku yakin untuk memilhmu. Sampai aku hadir
didepanmu dengan gagah mengurai cinta.
Aku ingat hari itu saat aku hadir mempersuntingmu. Dengan
melawan segala ragu, menerobos ruang hati yang berirama naik turun memainkan
rasa takut dalam dada dan mengumpulkan segunung keyakinan bahwa engkaulah yang
terbaik yang Allah pilih buatku. Aku bertandang ke istanamu. Rumah tempat kau
diajarkan kehidupan oleh ayah dan bundamu.
“Saya datang untuk melamar anak bapak, Farida Amalia” begitu
aku tanpa ragu menyatakan maksud kedatanganku. Sesekali ku mencuri pandang ke
arahmu, terlihat senyum malu-malu tanda menerima dan mengisyaratkan meminta
izin kepada ayahandamu. Memang tidak mulus. Karena yang menyangsikan permintaan
itu adalah status kuliahmu yang belum tuntas. “belum ada wali kalau belum
wisuda”. Begitu ayahanda menanggapi. Sesuatu yang luar biasa terjadi, kau
ternyata pe-loby ulung, itu yang bisa aku simpulkan setelah akhirnya 5 bulan kita menjalani hidup
berdua setelah menikah. Entah dialog apa yang terjadi di kamar sebelah antara engkau,
ayahandamu, serta bundamu. Yang terjadi adalah lamaran itu diterima dan
langsung disepakati waktu menikah 2 bulan kemudian. Sesuatu yang aku hampir
tidak bisa membedakan antara sedang bermimpi ataukah sedang menghadapi gerbang
besar untuk babak baru perjalanan hidupku. Aku ketika itu merasa ada aura
berbeda yang mengalir bersama aliran darahku, yang sangat terasa adalah
kesungguhan untuk mengikhtiari momentum menyempurnakan Dien itu terlaksana. Dan
sebulan kemudian diketuk palu setelah orang tua kita bertemu dan bermusyawarah.
Detik-detik waktu menuju hari pelaksanaan tidak genap
sebulan. Aku menyelesaikan sendiri desain, sekaligus percetakan undangan akad
nikah dan walimatul ursy. Aku memang memiliki obsesi untuk membuat undangan
pernikahanku dari hasil karyaku sendiri, dan alhamdulillah tercapai.
Saat Nilai
harus di Junjung Tinggi
Dari lamaran, pertemuan kedua keluarga, membuat dan
membagikan undangan, sampai busana dan dekorasi tidak ada halangan yang
berarti. Hal ini semakin membuatku khawatir karena yang aku fahami menikah itu
adalah pilihan besar sehingga seharusnya ia berjalan beriringan dengan
tantangan yang besar pula.
Ya benar saja. Terhitung lebih kurang empat hari sebelum hari
istimewa itu. Diundanglah aku untuk bertemu keluarga istriku (dulunya
belum..he), diluar yang aku mengerti ternyata pembahasan malam itu
menindaklanjuti keinginanku untuk benar-benar menjaga proses akad nikah dan
walimatul usry tetap dalam koridor syar’i. Alhamdulillah terkait dipisahnya tempat duduk mempelai laki-laki
dan perempuan untuk menghindari jabatan tangan dengan lawan jenis telah
disepakati oleh pihak keluarga calon istriku. Yang dipersoalkan adalah tim
nasyid akapela yang direncakan mengisi hiburan pada saat walitul usry.
“Nasyid pakai akapela,
bagaimana dia mampu memainkan musik dengan mulut, tanpa berhenti, selama 2
jam?itu mustahil..yang ada malah malu-maluin kita”
“Hiburan itu ga umum..ga
pernah dipakai..apalagi dikota kecamatan seperti disini”
“jangan sampai masyarakat
malah bosan, dan hanya akan merusak desain acara pernikahan yang ingin kita
buat semeriah mungkin”
“Nasyid ini tidak umum,
tidak pernah dipakai di kota”
“mending kita sewa organ,
terus kita sewa penyanyi cowok yang akan menghibur sampai acara selesai”
“atau tetap cewek, nanti
kita suruh pakai jilbab, dan kita larang dia joget, biar acaranya tetap
terlihat syar’i”
“Kalian berdua jangan
malu-malui keluarga”
“Ini saatnya kalian berdua
di uji untuk bijak mengambil keputusan diantara harapan keluarga yang sangat
banyak”
Begitu kira-kira hujan pertanyaan dan harapan sekaligus aroma
tidak percaya yang muncul dari keluarga atas keinginan kami mengawali peradaban
ini dengan adab-adab Islam. Keyakinan yang sangat kuat yang kemudian mejadi ruh
dalam menjelaskan adalah kebiasaan beramar ma’ruf bersama sahabat-sahabat di
kampus dan di organisasi.
Secara bergantian kami (saya dan calon istri saya saat itu)
menjelaskan bahwa tim nasyid yang kita undang adalah Jafana Voice, tim nasyid
yang pernah mendapat nominasi di ajang nasyid tingkat nasional. Tim nasyid yang
sering mengisi pada acara hiburan di pesta pernikahan. Dan ini pilihan kami
untuk menjaga nuansa adab Islam itu tetap terjaga. Setelah bergantian menjadi
debat yang sangat alot akhirnya tim nasyid tetap menjadi pilihan. Sekalipun ada
rasa ragu dan khawatir tim nasyid kebanggaan tidak berhasil menghibur, tetapi
yang pasti sebuah nilai Islam harus tetap diusahakan dimanapun, dan selanjutnya
bertawakkal.
Dan sore itu, kamis tanggal 20 Desember 2012. Mendung
menge-cat gelap pada lingkaran bumi, sekalipun sempat khawatir akan kehadiran
tamu undangan tetapi alhamdulillah sangat ramai. Tamu undangan memenuhi kursi
yang telah disediakan, ingin menjadi saksi sejarah untuk kisah sekaligus
momentum yang sendang aku ukir bersama dia calon istriku.
“Noval Palandi, saya
nikahkan kamu dengan anak saya Farida Amalia, dengan mahar seperangkat alat
shalat, dan cincin emas dibayar tunai”
“Saya terima nikahnya Farida
Amalia dengan mahar yang telah disepakati”
Detik itu semakin sakral ketika hujan deras membasahi bumi.
Menyemai cincin emas dijari lentik istriku menjadi kisah terindah sekaligus
bersejarah disaksikan oleh para malaikat.
“Barakallahu laka wa baraka alayka wajama-a bayna kuma bayna
kuma fii khoyri”
Doa ini terucap dari bibir semua tamu undangan yang hadir,
aku pula ikut mendoakan mereka agar selalu mendapatkan keberkahan. Amin
Dan keesokan harinya tanggal 21 Desember 2012 dilangsungkan
acara pesta atau resepsi dengan konsep yang telah disepakati sebelumnya yang
sesuai dengan adab.
Dua hari itu sungguh merubah sejarah hidup kami. Ada rasa
yang sulit diceritakan, sulit dibagi ke orang lain, yang pasti sungguh
kebahagiaan itu mengalir dalam jiwa. Yang bisa kami gambarkan adalah ekspresi
dan senyum kebahagiaan. Kami telah sah menikah.
Ruangan
Asing
Sekalipun kami beberapa kali sempat berinteraksi, itu tidak
cukup memecah kebekuan diruangan asing, dikamar pengantin. Bisa dibayangkan
kalimat syakral ijab qobul itu sungguh merubah pola perilaku, tentu merobohkan
benteng pembatas, dan tak ada lagi batas ketika itu, semua telah halal. Tetapi
itulah, kebiasaan menjaga interaksi dengan lawan jenis memaksa kami harus kaku
dan menjaga image, sampai akhirnya sedikit demi sedikit gunung es kekakuan itu
mencair menjadi interaksi yang lepas dan sangat dekat. Sampai jika hari-hari
ini harus memberi jarak yang jauh untuk kami, masih saja rasanya susah untuk
melewati. Tetapi ini semoga tidak menghalangi tugas-tugas juang yang seketika
memanggil untuk merapat.
Ekspektasi
Cinta
Seminggu setelah menyapa semua keluarga Jawa di Lombok.
Selanjutnya memperkenalkan diri pada keluarga di Dompu. Setelah beberapa hari
disana kami sama-sama menyadari bahwa satu hal yang harus kami lakukan sebelum
menapaki jalan ini adalah melakukan ekspektasi. Bagi orang umum mungkin sekedar
mengartikan ekspektasi ini sebagai harapan. Tetapi untuk teman-teman yang aktif
di Pelajar Islam Indonesia (PII) sangat memahami bahwa ekspektasi ini sangat
menentukan arah perjalanan kedepan. Disana ruang untuk mendialogkan motivasi,
tujuan, harapan, dan formula-formula untuk melompat menuju tujuan. Dan itulah
yang kami lakukan dalam mengawali perjalanan bahtera keluarga yang baru seumur
jagung.
Ekspektasi saat itu, dilengkapi dengan kertas plano yang
telah ditempel ditembok menggunakan isolasi serta dua spidol untuk menulis.
Disitulah aku rasa miniatur training PII itu kami pakai sampai kemudian selesai
merumuskan motivasi, tujuan, harapan, strategi jangka pendek dan jangka
panjang, serta hal-hal yang kami harus samakan definisi dalam memahaminya. Dan
hasil catatan ekspektasi itu menuntun kami menapaki jalan di keluarga cinta
yang sedang kami rangkai.
Aku Dan Kau
Yang Terbaik
Karena beberapa hal dan pertimbangan terpaksa keluarga mungil
ini harus terdampar di Pulau Lombok. Pilihan berbakti, menyelesaikan study, dan
amanah perjuangan di PII, mengharuskan untuk-aku memaknainya menyiapkan bekal
untuk kehidupan di fase ini.
Satu konsekwensi yang harus kita terima dari hilangnya batas
antara aku dan istri adalah semakin terlihat jelas kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Hal ini mungkin yang sering aku dengar bahwa menikah itu hanya
indah dibulan pertama hingga bulan ketiga. Tetapi sungguh hingga kini aku
merasa ruang cinta ini semakin indah, berbunga-bunga, dan penuh madu. Aku
merasa telah selesai memahami kelebihan dan kekurangan sekalipun seiring dengan
waktu semakin muncul keduanya. Tetapi jelas telah tuntas ketika ekspektasi kami
bongkar menjadi sesuatu yang akhirnya biasa-biasa saja.
Yang sering membuat kami tersenyum adalah waktu dan diri kami
hingga kini masih menjadi abdi mertua dan abdi PII. Belum jelas rasanya menjadi
sutradara sekaligus pelaku bagi mimpi-mimpi kami berdua.
Yang pasti tradisi yang telah hadir kembali adalah sense baca
dan menulis. Kebiasaan yang hampir punah oleh kultur dan lingkungan daerah. Dan
kini telah lahir terus menerus bersama waktu, dan konstalasi alam yang sering
berubah tiap waktu. Dan aku ingin menulisnya dengan cinta serta membiasakan baca karena aku cinta membaca.
Empat poin penting yang aku catat dari perjalananku menikah
adalah komitmen yang kuat, kesungguhan ikhtiar, melawan keraguan, dan
mengembalikan semua kepada Allah SWT.
Ini pula yang menjadi rahasia istriku. Setelah dialog panjang
kami, keempat hal ini menjadi ilmu berharga yang harus dicatat oleh kawan-kawan
yang ingin segera menyempurnakan Dien. Dan selanjutnya hati kita akan terbentuk
untuk percaya dan mengatakan bahwa engkaulah yang terbaik untukku, dan akulah
yang terbaik untukmu.
Usiamu
bertambah Cinta
Setelah menikah aku baru sadar bahwa tanggal, bulan, dan
tahun kelahiran kita terpaut enam angka. Aku dilahirkan 16 November 1984
sedangkan istriku dilahirkan 10 Mei 1990.
Kini tepat pada tanggal 10 Mei 2013, engkau berusia 23 tahun.
Ini juga menjadi momentum baru dalam hidupmu. Tiga hadapan penting yang akan
istriku lalui adalah menjadi sarjana, demisioner pengurus wilayah PII, serta
warga baru di masyarakat Dompu.
Aku pula memikirkan tentang asa yang pernah kita obrolkan
diawal merajut cinta ini. Terutama untuk membangun peradaban dikeluarga kita
esok.
Semoga bertambah usia ini menjadi momentum juga buatku dan
keluarga kita.
Semoga tambah dewasa, dan bijaksana.
Semoga tambah dewasa, dan bijaksana.
Semakin taat kepada Allah I
Istiqomah qiyamullail, tilawah qur’an, dan berzikir.
Menjadi istri yang berbakti.
Semakin rajin membaca.
Menebar inspirasi kebaikan.
Memelihara cinta, ikhtiar, dan bersinergi dalam amal dunia
dan akhirat.
Semoga kita bersama disurga kelak.
Selamat Milad Sayang.
Barakallahu Fii Umuriq.
Dari Suami yang
menyayangimu..
Gerung, 10 Mei 2013
Pukul 03.32 Wita
So sweet guru..
BalasHapusSemoga semakin asmara..
So sweet guru..
BalasHapusSemoga semakin asmara..
So sweet guru..
BalasHapusSemoga semakin asmara..
So sweet guru..
BalasHapusSemoga semakin asmara..
hehehe
BalasHapussegera gurue..na carukura untaian kata2 cinta re..
na mengalir menakura bune aliran air..hehe