`

`

Menulis bersama Cinta

Aku akan menulis bersama cinta. Itu kalimatku. Ini langkah pertamaku untuk memulai merangkai kembali segala ide ini. Semoga memberi manfaat pada kita semua. Memberi manfaat pada dunia.

Usiamu Bertambah, Cinta

Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada dikau, istriku sepanjang sejarah.

Dia Hadir Lagi

Malam ini kenapa rasanya ia hadir lagi mengisi ruang rindu ini. Setelah setahun lebih dia meninggalkan kami dengan senyum kasih sayangnya. Entah apa gerangan yang membuat air mata ini tiba-tiba menetes di sudut mataku. Tiba-tiba aku merindukannya.

Menikah Mengajarkan Banyak hal

Menikah seharusnya difahami sebagai lompatan menuju keridhaan dan surga Allah yang tidak pernah putus kenikmatannya. Maka dalam melewatinya semestinya bertabur amal sholeh.

Memaknai Tahun Baru 2014

Silahkan tulis mimpimu. Yakinlah bahwa ini hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk merubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Kita tidak akan sampai di ujung titik kesuksesan jika kerja-kerja yang kita lakukan hanyalah berhenti pada kesibukan kita mendefinisi makna fundamental tentang hadapan kita saat ini.

Hanya Ingin Menulis

SAYA INGIN MENULIS. Adalah sebuah cita-cita akan perubahan yang pelan tetapi pasti. Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan.

Jejak Usia Menuju 29 Tahun

Sesaat,waktu seolah memberi ruang untuk berkontemplasi panjang,memandangi kembali jejak dan sisa perjalanan yang telah dilewati

Bunda Tersayang, Semangat dan Inspirasimu Selalu Hidup

Semoga semangat dan inspirasimu selalu hidup sampai generasi kami menggantikan peran-peran ini. Dan semoga Allah meridhainya. #Bundatersayang.Spesial untukmu #Bundatersayang, bahwa semoga Allah mengampuni dosamu dan menempatkan engkau ditempat yang terbaik. Amin

Catatan Perjalanan Ber-LSM

Sekedar mengenang jejak #berLSM yang telah setahun tidak ku geluti lagi.#berLSM Gerbang baru, tempatku menemukan warna-warni aktivitas yang tak asing.Aktivitas #berLSM memang fase tetapi bagiku untuk beberapa hal adalah seperti melanjutkan perjalanan. #berLSM itu; penuh dengan ruang-ruang dialektika,motivasi mengembangkan diri,dan egaliter.Ya sudah pasti kita bisa memelihara idealisme.

Jika Boleh Memilih (Part 1)

Jika boleh memilih, aku ingin kembali ke masa kecil. Disaat mengenyam bangku sekolah di Sekolah Dasar (SD). Hidup bagiku disaat itu adalah mandi pagi, berseragam dan berangkat sekolah. Bermain sesuka hati, belajar semampuku, makan lalu istirahat. Hidup mengalir tanpa beban. Yang ada adalah tumbuh dan besar ditengah orang-orang yang menyayangi.

Antara Pilihan

Tak ingin rasanya beranjak pergi meninggalkan persinggahan ini ruang sepi yang buatku terhenti diujung jejak-jejak perjalanan itu

Sepi ditengah Keramaian

Sepi ditengah keramaian ini semoga menjadi peristiwa-peristiwa yang indah jika dikenang kembali kelak. Bahwa bagian dari perjalanan ini adalah memupuk cinta diseberang pulau. Atau cinta bersemi dalam kejauhan. atau mungkin Cinta dalam ruang yang berbeda. Atau apapun lah yang menggambarkan cinta yang selalu membersamai waktu-waktu kami.

Untuk yang Terkasih

Sayang..Cinta itu menyembuhkan..ada yang beda saat dirimu hadir disini..dengan segunung rasa yang kau punya..kau menyebutnya cinta..ya sering sekali kau menyebut kata itu,menulisnya,mengungkapkannya,menuliskannya lagi,begitu,sering sekali,terus begitu,seperti tak mampu diungkap oleh kata,seperti tak selesai ditulis dengan pena.

9 Bulan Lagi Jadi Ayah

"Kak barusan saya test pack. Alhamdulillah positif..Sembilan bulan lagi sampean jadi abi..In shaa Allah..:)" Memang baru saja menyapa di perut ibunya. Belum genap sebulan. Masa-masa berat yang mesti dilewati dengan kesabaran. Semoga tidak ada halangan ataupun hambatan yang berarti. Selanjutnya harus mengatur aktivitas sebaik-baiknya sehingga dia tetap terpelihara hingga menjadi manusia seutuhnya dan hadir menyapa dunia. Amin

Dua Hari Cukup

Satu bulan berada berjauhan dan sudah saatnya waktu ini berdialog dengan cinta kembali. Membersamai hari-hari berdua bersamanya, kekasih hatiku. Aku meski sadar bahwa karena pertarungan ini masih berhelat maka tidak ada cukup waktu untuk menyapanya. Dua hari saja cukup untuk dia, untuk memupuk senyum dan bahagia dihatinya.

Dari Politik Ke Peradaban (part 1)

Semangat saya kembali ber-api membaca transkrip taujih @anismatta "Dari Politik ke Peradaban" dalam buku Integritas Politik dan Dakwah.Ini kira-kira isi taujih yang membuat saya bersemangat. Momentumnya tepat untuk membakar jiwa ditengah perang saat ini. Monggo dinikmati..Kedepan ada 3 cita-cita yang akan kita kejar, yaitu: cita-cita politk, cita-cita dakwah, dan cita-cita peradaban.

Dari Politik Ke Peradaban (part 2)

Cita-cita yang harus kita kejar yang ketiga adalah Cita-cita peradaban.Terjemahan implementasi dari apa yang disebutkan oleh Imam Hasan Al Banna sebagai cita-cita tertinggi dakwah kita,yaitu Ustaziatul Alam.Sementara sekarang peradaban barat tidak lagi mampu memberikan semua unsur yang diperlukan manusia untuk berbahagia.Sekarang ada kekeringan yang luar biasa. Sehingga yang dipikirkan oleh barat adalah mempertahankan hegemoni.

Merangkai Hidup Baru

#MerangkaiHidupBaru adalah episode baru yang aku adalah sutradara sekaligus pemainnya.Kenapa kok #MerangkaiHidupBaru padahal kan sudah 1 tahun lebih menikah? 1 tahun lebih menikah adalah episode yang berbeda karena muatan ujiannya berbeda.Kalau boleh aku ingin memberinya nama #MencariFormatHidup

Perjalanan Menuju Menang

Ingin mengurai satu demi satu cerita perjalanan #menang di 2014 ini. Karena ada banyak hikmah yang akan menjadi penguat langkah kedepan..Perjalanan ini harus dicatat karena ada pelajaran tentang perjuangan sungguh-sungguh kita untuk #menang..Kami ingin sefaham bahwa amanah berat ini adalah amanah semua..tugas saja yang beda..Masyarakat sudah tunggu bukti..semoga kami bisa amanah..Semoga ustad Nasaruddin diberi kuat,sehat, untuk penuhi dan perjuangkan hak rakyat.. Semoga istiqomah..Amin

Tebar Inspirasi Hingga Tak Terbendung

Tanggal 10 Mei 2014. Selamat Milad. Semoga usianya berkah. Semoga istiqomah. Semoga menjadi istri sholehah dan kemudian menjadi ibu teladan bagi anak-anaknya. Waktu-waktu belum habis untuk belajar semoga tetap mau belajar, semoga selalu memberi manfaat dimanapun, dan menjadi apapun. Tebar inspirasi hingga sekat tak mampu lagi membendungi arusnya.

Kamis, 28 Januari 2010

KEBINGUNGANKU DIFASE INI

Aku bingung. Aku juga susah mendeskripsikan kebingunganku saat ini. Entah ada angin apa yang menerpaku begitu kencang, menerobos ruang terdalam perasaanku, aku akhirnya bingung. Aku sadar sebenarnya kebingungan ini tidak akan menyelesaikan masalah-masalahku, tidak bisa menjawab segala keresahanku tetapi titik manusiawi ini memelukku erat.

Aku bingung. Sampai aku harus lelah berfikir sebab apa yang membuatku harus bingung, “Latahaf wala tahzan innallaha ma’ana” doa ini selalu kulantunkan mencoba menepis bagian-bagian terkecil dari perasaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Makanya aku menulis, aku menguraikan setiap kata yang menempel difikiran dan dinding hatiku-aku berharap ini salah satu usaha melepasnya satu demi satu.

Yahh, aku sadar kalau beberapa jam lagi aku harus ujian skripsi-satu fase kehidupan yang belum ku rasakan sebelumnya-fase yang mungkin saja akan menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupku.

Setelah ditelusuri, kebingunanku bukan semata karena aku mau ujian skripsi tetapi laptopku rusak karena kehujanan, kehujanan ketika aku harus menempuh perjalanan sidoarjo-malang ditempuh dalam dua jam perjalanan dan hujan deras, aku basah kuyup, tidak hanya itu-ransel hitam-sahabat perjuanganku basah beserta isinya, yang membuatku harus bingung adalah data-data skripsiku, file skripsi, file presentasinya ada disana, aku seolah tumpul karena senjataku tak ada.

Aku sekarang dilokasi training Pelajar Islam Indonesia, sejumlah instruktur yang ada tidak mampu menjawab kebingunganku, ya jelas saja yang punya skripsi dan penelitian adalah aku.

Aku bingung harus menulis apa untuk mengekspresikan kebingunganku, yang jelas dimata Dosen Penguji aku harus sempurna, tak ada alasan untuk apapun kekurangan. Seperti apapun aku harus berikhtiar untuk menjadi sempurna dimata mereka nanti.
Ya Allah aku yakin ada keajaiban-Mu disini, aku yakin semua ada rencana-Mu dibalik semuanya..
Aku akan berikhtiar semampuku sebelum aku menyerahkan semua kepada-Mu..
Dan kawan-kawanku,..
Doakan aku sukses melewati fase ini,..
Tak ada alasan tentang apapun pilihan yang mungkin bisa menjadi penghambat ujianku nanti,..
Kita sedang berada dimedan mulia, aku yakin doa kalian akan makbul,..
Tetap semangat,..
Doain perjalananku menuju meja sidang ujian skripsi bisa sukses,..
Amiin,..

Rabu, 27 Januari 2010

RUMAH COR API

Demi keadilan
Hukum disingkirkan
Demi kebenaran
Pengabulan ganti rugi dibatalkan
Demi ketenteraman
Air ludah harus kembali ditelan

Karena cahaya kemajuan harus memancar
Maka panduan dan penerangan harus luas tersebar
Karena program-program pembangunan harus lancer
Maka terkadang pasar ini dan bangunan itu harus terbakar


Lihatlah rumah-rumah cor api
Lihatlah gedung-gedung berdiri di atas kuburan
Batu-batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata
Tembok-temboknya tekat oleh akumulasi ratapan
Tiang-tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan

Diseberang itu engkau memandang
Rumah-rumah didirikan
Dekat di sisiku aku saksikan
Rumah-rumah digilas dan dirobohkan

Nun disana engkau melihat
Rumah-rumah disusun-susun
Nun disini aku menatap
Penduduk terusir barduyun-duyun

Ketika engkau berdiri di depan
Hamparan tanah luas yang engkau beli
Untuk mendirikan ratusan rumah
Dan ribuan pemukiman manusia abad 21
Pernahkah terlintas di kepalamu
Ingatan tentang beribu-ribu saudara-saudaramu
Yang kehilangan tanahnya

Pernahkah engkau ingat betapa beribu-ribu orang itu
Tak dianggap memiliki hak untuk memepertahankan tanahnya
Dan ketika mereka terpaksa menjualnya
Mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan harga petak-petak tanah mereka

Ketika engkau menempati rumah itu
Tahukah engkau, siapa nama tukang-tukang
Yang menumpuk bata-batanya
Yang mengangkut pasir dan memasang genting-genting

Ketika engkau memijakkan kakiku di lantai rumahmu
Dan meletakkan punggungmu dikasur ranjang
Pernahkan engkau catat kemungkinan muatan
Korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya
sejak tahap tender
sampai pemasang cungkup puncaknya

bagi berjuta-juta saudara-saudaramu
yang tak senasib denganmu
yang bertempat tinggal tidak di pusat uang dan kekuasaan
pernahkah engkau sekedar berdoa saja
bagi kesejahteraan mereka

dunia sudah amat tua
darahnya kita hisap bersama-sama
kehidupan semakin rapuh
dan sakit kita tak semakin sembuh
langit robek-robek
badan kita akan semakin dipanggang hawa panas
sejumlah pulau akan tenggelam
lainnya menjadi rawa-rawa
anak cucumu akan hidup sengsara
karena ransom alam bagi masa depan
telah dihisap dengan semena-mena

(EMHA AINUN NADJIB, 1994)

Intermediate Training
Sidoarjo-Januari 2010

Minggu, 03 Januari 2010

PESAN IBUNDA

Suatu ketika ibuku menuturkan sebuah kisah, kisah seorang Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang zuhud, senang beribadah dan berjihad. Ibuku mengisahkan bahwa suatu kali Umar bin Abdul Aziz pernah berkata. "Sesungguhnya jiwaku adalah jiwa yang mempunyai banyak cita-cita. Dia pernah bercita-cita menjadi amir, dia telah mendapatkannya. Dia bercita-cita menjadi seorang khalifah, juga telah didapatkannya. Sekarang, cita-citaku adalah surga, dan aku berharap mendapatkannya."
Setelah itu ibuku menatapku dan menlanjutkan perkataannya “Lembar sejarah membuktikan, orang-orang besar umumnya memiliki cita-cita tinggi. Anakku, bukan hanya itu, mereka berusaha mewujudkan apa yang mereka cita-citakan dengan segenap upaya dan kesungguhan, dan umumnya mereka mampu meraih cita-cita yang telah mereka canangkan”.

“Bukan hanya kisah Umar bin Abdul Aziz yang akan bunda ceritakan. Ada kisah lain, tentang empat pemuda dengan cita-cita mereka. Suatu kali, Abdullah bin Umar, Urwah bin Zubair, Mushab bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwan ra. berkumpul di pelataran ka'bah. Mushab yang bicara pertama kali dengan mengatakan,"Bercita-citalah kalian." Sahabat yang enggan mengatakan cita-citanya, meminta Mushab terlebih dulu menyampaikan cita-citanya” tuturnya.

Akhirnya ibuku bercerita juga tentang orang-orang yang pernah mengungkapkan cita-citanya pada sejarah,..

Mushab bertutur,"Aku ingin kaum muslimin bisa menaklukkan wilayah Irak, aku ingin menikahi Sakinah puteri Husein dan Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah." Tahukah anakku, apa yang kemudian hari berlaku atas Mushab? Allah SWT memperkenankannya memperoleh apa yang ia cita-citakan.

Urwah bin Jubair kemudian menceritakan harapannya. "Aku ingin menguasai ilmu fikih dan hadits." Subhanallah, Urwah kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh ulama fikih dan banyak meriwayatkan hadits.

Abdul Malik bin Marwan mengungkapkan cita-citanya. Ia menyatakan keinginannya untuk menjadi khalifah. Dan anakku, Abdul Malik bin Marwan kemudian menjadi khalifah di masa Daulah Umawiyah yang dikenal sebagai khalifah yang memiliki ilmu yang luas dan taat beribadah.

Terakhir, Abdullah bin Umar menegaskan cita-citanya. Tahukah anakku, apa cita-cita Abdullah bin Umar? Cita-citanya adalah, surga!
Aku begitu hikmat mendengarkan setiap kisah yang dituturkan oleh bundaku, kisah yang belum pernah aku dengar sebelumnya, cerita berharga tentang manusia-manusia yang telah diamin surge oleh-Nya.

Anakku sayang (sembari mendekapku), ambillah hikmah terbaik dari kisah itu. Apa yang menjadi cita-cita mereka? Cita-cita yang tinggi dan besar. Apakah engkau mengetahui, bagaimana mereka bisa mencapai cita-cita itu? Mereka mencapainya dengan perjuangan dan pengorbanan yang sungguh-sungguh diiringi dengan mental yang luar biasa. Bukan dicapai dengan menumbuhkan keminderan, kekalahan bahkan keputusasaan. Kekuatan tekad yang mereka miliki disertai dengan kerja keras juga doa kepada Allah SWT membuat mereka mampu mencapai apa yang mereka inginkan.

Perhatikan apa yang sejarah tulis mengenai perjuangan Umar bin Abdul Aziz. Kala diangkat menjadi pemimpin, ia tanggalkan kemewahan-kemewahan yang pernah dinikmatinya. Ia ganti kemewahan itu dengan segenap kesederhanaan. Ia bahkan meminta keluarganya untuk turut serta hidup dalam kesederhanaan itu. Yunus bin Syuaib bahkan berkata, "Sebelum menjadi khalifah, tali celananya masuk ke dalam perutnya yang besar. Namun, ketika dia menjadi khalifah, dia sangat kurus. Bahkan jika saya menghitung jumlah tulang rusuknya tanpa menyentuhnya, pasti saya bisa menghitungnya." Bukan hanya itu, Umar bin Abdul Aziz juga dikenal sebagai pemimpin yang menolak suap dalam bentuk apapun. Subhanallah.. Allah SWT memperkenankan Umar bin Abdul Aziz memperoleh keinginannya untuk menjadi khalifah dan Umar menjalankannya dengan penuh kesungguhan, perjuangan dan pengorbanan untuk menngapai cita-cita yang lain, surga!

Karena itu, anakku, bercita-citalah! Pancangkan cita-citamu setinggi mungkin. Iringi ia dengan kesungguhan, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapainya. Semoga Allah SWT merahmatimu dengan memperkenankan cita-cita itu terwujud.

Bercita-citalah! Bukan hanya untuk duniamu, tapi juga untuk akhiratmu. Rasulullah bersabda, "Dan jika kalian meminta kepada Allah, maka mintalah surga firdaus, sebab dia adalah surga yang paling tinggi." Anakku, tahukah engkau apa cita-cita seorang Rabiah bin Kaab? Cita-citanya adalah, menemani Rasulullah di surga!

Aku telah mendengarkan kisah orang-orang mulia, memompa semangatku untuk bercita-cita setinggi mungkin, hingga kini membekas dalam qolbu. Semoga engkau selalu mulia dihadapan-Nya ibunda!!

ILALANG MENUSUK BULAN

Malam menyelimuti, berganti peran karena takdir hari berputar dengan membawa kebaikan dan kejelekan. Tiada yang menyatakan terjadinya hari itu selain Allah (An Najm:58). Selamat tinggal dunia, bagi orang yang dangkal hatinya. Dia sebenarnya sudah mati walaupun masih di anggap hidup. Harapan palsu masih meninggalkan prasangka. Mesti tiada yang lebih indah daripada sekadar harapan dari mata air imajinasi. Bukanlah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya? (Az-Zumar:36)

Ketika sinar mentari lama pergi menembus malam menjelang senja, akan banyak yang bernapas lega. Sebab, Dialah yang menjadikan malam pakaian, dan tidur untuk istirahat (Al Furqon:47). Tak perlu ada kedustaan, ketika pintu peraduan telah terbuka untuk jangka waktu yang lama. Ketika semua manusia terbuai dalam naungan penjaga alam semesta. Ketika angin lembut menyapa, menghantarkan setiap insan pada mimpi yang lelap.

Mungkin sepenggal cerita bagi orang-orang yang terjaga, yang menekuri malam untuk mengagungkanNya. Seperti malam itu. Udara sejuk, lembut dan wangi. Sinar rembulan merembes ranting dedaunan, membiaskan cahaya kuning pucat pada kaki seorang lelaki paruh baya. Ia bersandar di bawah setanggul pohon tua. Di matanya denting keletihan hidup pecah bergelombang, lalu melebur membentuk pusara harapan bagi buah hatinya seorang. Ada beragam bacaan kehidupan yang ditekuri. Ia tak bisa memahami hakikat kata yang aneh dan mustahil. Meski ia dapat menelan kebisuannya bersama daun-daun pohon yang melambai membentuk bayang-bayang aneh menari-nari. Serentak menyenandungkan simfoni ganjil malam hari.

Gadis kecilnya berdiri tak jauh dari situ. Berjalan pelan-pelan, menikmati desir angin yang membelai hamparan ilalang. Ia mengenakan gaun beludru biru pekat berenda putih yang menghiasi kulitnya yang pucat, terpantulkan cahaya bulan. Embun membuat rumput berkilau-kilau. Sepasang kaki mungilnya menjejak dan mendesak-desak, tenggelam di rerumputan yang basah. Sebelum membungkuk dan melepas sepatu hitam yang terbuat dari kulit. Sepatu dipegang erat dengan satu tangannya. Ia tahu kalau ia masuk rumah dengan kaki kotor, seperti biasa ibunya akan marah. Lalu mengeluh, "betapa susah menasehati anak kecil." Namun ia bangga menjadi anak kecil, karena ia dapat menelan kebisuan tanpa kedustaan.

Jadi malam itu lilin-lilin kedustaan sudah ia padamkan dalam hati. Di ujung sana Ayahnya hanya melihat langkah-langkahnya yang ringan seakan terbang melayang. Entah berkejar dengan apa. Mungkin sesuatu yang tidak terlihat indra, sesuatu yang membuatnya ceria, imaji kanak-kanaknya. Ketika ia bertanya;
"Apa ayah benar-benar melihatnya?"
Ayahnya hanya tersenyum, sekalipun ia sebenarnya terperanjat, lalu ia bertanya sambil meneruskan bacaannya.
"Kamu bicara apa, nak?"
"Bulan itu. Apakah Ayah melihatnya?"
Ia menunjuk ke atas. Ayahnya tersenyum lagi. Kerena tak begitu mengerti maksudnya, Ayahnya hanya menyahut;
"Ayah tak bisa melihatnya dari bawah pohon".
"Tak apa", katanya. "Akan kupindahkan bulan, sehingga Ayah dapat melihatnya"
Rona wajah Ayahnya berubah dalam sekejab. "Kamu tidak bisa memindahkan bulan. Ia terlalu tinggi untukmu"
"Tentu saja aku bisa" ia bicara dengan keras, menyentak-nyentakkan kakinya ke tanah. Kedustaan macam apa yang dibuat oleh orang dewasa, ketika mereka merasa asing terhadap dirinya sendiri. Mimpi-mimpi apakah yang dapat menembus wajah-wajah renta ini, yang mencari alasan untuk terus bersembunyi atas nama sepotong realita yang selalu menghantui. Realita yang telah membuat mereka kehilangan jati diri.
"Lihat ini," ia berjalan menyusuri rerumputan sambil menengadah ke langit, yang menurutnya, itu menarik bulan menjauh dari pohon.

"Bulan itu mengikutiku" ujarnya merasa yakin.
Seketika Ayahnya terhenyak dan berdiri dari duduknya, berjalan menjauhi pohon. Ia nyadari kekeliruannya. Inilah untuk kesekian kali anaknya menunjukkan warna-warni imajinasi dengan pensil keluguan. Ia menatap nanap wajah anaknya.
"Ya, Ayah dapat melihatnya sekarang"
Senja hari itu indah. Bulan hampir penuh, menyisakan satu sisi yang masih tertutup bayangan.

"Mengapa bulan itu selalu mengikutiku, Yah?" ia bertanya dengan penuh percaya diri. Ayahnya tidak menjawab, membisu tertegun gagu. Hanya sebuah tatapan beku yang tenggelam dalam alam bawah sadar yang absurb, seribu jawab membentur dinding-dinding hatinya. Lalu terpantul kembali dan tenggelam ke lubuk hatinya yang terdalam. Ia sadar tidak mungkin menjelaskan logika paradigma pada putri bungsunya yang baru berumur 5 tahun.

Kata Einstein, Jika kau ingin anakmu pintar ceritakan dongeng untuknya, dan jika kau ingin mereka pintar, ceritakan lagi dongeng untuknya.
"Bulan itu menunggu untuk kau tangkap" jawab Ayahnya pada akhirnya. Gadis kecil itu mengerutkan kening, lalu bertanya lagi, "Apakah aku bisa menangkapnya?"
Ayahnya langsung menyahut. "Tentu saja bisa." Hhhh, bola mata anaknya membulat. "Benarah? bagaimana caranya Yah?"

"Coba lihat kemari," Ayahnya menuntun tangan mungilnya perlahan-lahan. Lihat ilalang itu, ia tidak lebih tinggi darimu kan?" ia mengangguk. "Tapi ilalang itu sanggup menggapai bulan" Ayahnya berkata dengan bangga.
"Sini...sini...,coba lihat kemari" Lalu Ayahnya merunduk dan mengajaknya tenggelam dalam rumpun ilalang yang menjulang. Ia mengikuti saja tanpa sepenuhnya mengerti apa maksud sang Ayah.

Tapi, Dia tahu sekarang, dia percaya Ayahnya. Di sini, di balik rimbunan ilalang ini, ia hanya melihat sepotong bulan di atas langit yang kelam, dan ilalang yang menjulur-julur menusuknya dari bawah.

Ayahnya tersenyum dan berkata, "Sekarang kau percaya kan?"
Ia menatap wajah Ayahnya, seolah membenarkan. Kemudian Ayahnya mengajaknya berdiri lagi dan menganggkat tubuhnya yang mungil di bahunya, dan menggendongnya. Dia biarkan gadis kecilnya itu duduk di bahunya untuk beberapa lama, lalu ia berkata :
"Anakku... jika kau besar nanti, kau harus mempunyai sebuah impian. Impian yang tinggi dan tinggi sekali, seperti bulan itu. Seolah-olah engkau tidak bisa mencapainya, tapi sebenarnya engkau bisa."
Gadis kecilnya mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak. Ayahnya melanjutkan. "Nanti, engkau akan melihat banyak orang menyangsikanmu untuk menggapainya. Seperti engkau menyangsikan ilalang itu, tapi percayalah sebenarnya engkau bisa" ia berhenti sejenak, "Anakku, Ayah tidak tahu berapa lama lagi Ayah bisa menemanimu dan terus membantumu mennggapai impianmu, namun kalaupun nanti kau sendiri, kau harus kuat. Kau harus yakin bahwa kau bisa menggapainya, meski tanpa Ayah. Kau mengerti kan? Coba ulurkan tanganmu ke atas"
Di atas mereka langit sangat luas, hanya sepotong bulan yang tersisa. Ketika menengadah dan menjulurkan tangan di atas bahu Ayahnya, sekali lagi ia tahu: Ayahnya benar.
"Aku percaya Yah, Aku bisa manangkap bulannya... Aku bisa menangkap bulannya!!!"
Ia berteriak-teriak kegirangan.
Jauh sebelum semua diungkap, Ayahku telah mengajarkan perspektif dan persepsi. Mengasah ketajaman bashirah hati, menangkap keabstrakan paradigma deklaratif. Dan aku masih tetap di sini melihat bulan, meski tanpa Ayahku. Sama seperti enam belas tahun yang lalu. Bulan yang sama yang kusaksikan di saat kecilku, yang sama yang disaksikan orang di seluruh dunia. Dan mungkin juga disaksikan oleh seseorang yang jauh di belahan bumi sana atau yang dekat di sini.

Bulan terang sepenuh lingkaran. Cahanya indah menantang kita keluar malam, untuk menatap. Dia sangat memikat, dan aku sungguh tercekat. Hingga terbentur pada sebuah paradigma yang diajarkannya. Yang terpenting dalam hidup adalah bagaimana cara kita memandang hidup. Sesuatu yang terlihat tinggi, sebenarnya tidak terlampau tinggi untuk dicapai. Semua tergantung dari sudut mana kita memandangnya, itu pesan Ayah. Seperti bulan itu, kucoba membaca cerita kehidupan yang dilukis olehnya, saat purnama kuning pucat terangi kami dengan pendar-pendar imajinasi enam belas tahun yang lalu. Biarkan kami bangkit dari tidur kami yang lelap. Melerai mimpi menuai kehidupan. Karena di sana kami menyaksikan : Bulan tertusuk ilalang.

Salam cinta buat Ayah yang telah memberi banyak cerita di masa kecilku. Ayah, terimalah ungkapan terima kasihku yang terdalam, yang tak kan pernah cukup untuk membalas segala jasa yang engkau berikan.

Sabtu, 02 Januari 2010

DIA SUNGGUH MULIA*

Wanita itu begitu kuat..
dibalik jilbab hitam yang membungkusnya,..
dia berlari mengejar cahaya
jatuh,,berdiri lagi dan meraihnya...

Semua mata berkaca melihat kegagalan
dia begitu tabah, sembari merenung,..
mengingat jalan mana yang telah ia tempuh..
hingga mungkin tetap kokoh dengan sepedanya..

Wanita itu sering kulihat
dia tersenyum dengan mentari yang sedang terbit
tak banyak bicara, dia pendiam..
tapi berfikir..

Senyumnya mendamaikan,
memberi semangat,..
membangkitkan motivasi,.
meluluhkan setiap hati yang membatu

tiap pesannya begitu berharga,
mahal, tak ternilai..
tapi dia tulus
tak mengharap imbalan.

Wanita itu,
nasehatnya membekas dihati yang terdalam
tak rela jika air matanya sia-sia
karena dia sungguh mulia bagiku

*Buat ibu

Jumat, 01 Januari 2010

AKU MENGGAGAS PII TANDINGAN

(Keping-keping kehidupan 5)

Aku adalah termasuk salah seorang yang pernah “dijebak” di PII. Setelah fakum 2 periode, Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) NTB, “menjatuhkan” pilihan ke saya sebagai ketua umum PII Kabupaten Dompu. Ya dengan proses musyawarah yang sedikit alot. Sebuah keputusan yang berani menurutku, karena aku hanyalah kader Intermediate Training (INTRA-Training tahap kedua di PII) yang belum begitu dalam mengenal PII. Seingatku Konferensi Daerah (Acara Pergantian Pengurus) diaksanakan satu minggu setelah Intra selesai aku ikuti di kabupaten Bima-Kabupaten yang menempuh perjalanan selama 2 jam dari Kabupaten Dompu.

Sebagai kader baru yang masih awam mengenyam dunia PII, tentu saja ketika diberi amanah itu, rasanya macam-macam (tapi bukan nano-nano), senang karena bisa menghidupkan PII lagi, bingung, takut, ndredeg, ya macam-macam pokoknya. Bisa dibayangkan ketika acara pergantian pengurus itu berjalan aku harus diajari banyak hal dan butuh waktu agak lama untuk meyerapnya. Aku kan sudah bilang kalau aku sangat awam. Berjejer disamping tempat dudukku teman-teman yang menurutku memiliki kemampuan lebih dari pada aku, mantan ketua sebelumnya-Abdul Hamid-dia juga mantan ketua osis di SMA ku, Mukhaiminul Ikhwan-Ketua Saka Bhayangkara-Pramuka, Andi Chandra-dia adalah temanku yang lebih awal mengenal PII 3 tahun dari pada aku, dan beberapa teman yang lain yang jadi pengurus inti juga di organisasinya.

Haruskah aku merasa tidak PEDE?
Ohh tidak, aku sudah bukan anak SMP yang manja, dan tidak PEDE, aku sudah sering keluar kota untuk mengikuti kegiatan saat itu. Aku tancap gas saja, aku segera menyusun kepengurusan dan jalan. Pengurusku saat itu bukan orang-orang baru tetapi teman genk ku, teman yang tiap hari menjadi tempat curhat, tempat belajar, bercerita, dan menyelesaikan masalah orgnisasi. Walau akhirnya mereka harus memilih untuk tidak begitu aktif karena tuntutan ujian nasional yang harus mereka penuhi. Ya seadanya-seadanya bukan menyurutkan semangatku tetapi justru melahirkan banyak teman yang akhirnya aktif di PII. Nah disinilah aku berfikir untuk menggagas PII tandingan.

PII tandingan. Sebuah gagasan yang lahir dari aku yang sangat awam mengenal PII. Tetapi gagasan itu muncul bukan tanpa alasan, justru sangat beralasan. Berawal dari undangan untuk mengikuti kegiatan regional se-Propinsi NTB, aku termasuk salah satu delegasi dari tiga delegasi yang diutus, dua orang lagi ada Wasidan, dan Mukhaiminul Ikhwan. Acara ini meninggalkan kesan yang menjengkelkan, aku merasa di jebak dalam permainan politik teman-teman yang hadir saat itu. Aku yang melihat PII sebagai organisasi yang “bersih” dari kepentingan merasa ini sebagai pelanggaran.
Beberapa waktu mengalir dan akhirnya hilang sekejap. Memang aku sengaja melupakan cerita itu. Aku ingin konsen pada kesibukanku di PII Dompu.

Pergantian pengurus baru di PW tidak berimbas pada aku dan PII di Dompu. Kita jarang di turba-I (turun ke bawah-kegiatan silaturrahim PW ke PD). Tidak pernah didampingi, apalagi pengurus kita yang baru seumur jagung. Beberapa PW yang bersilaturrahim (bukan kunjungan organisasi) hanya bercerita tentang keadaan PW yang mulai “rusak” banyak yang tidak aktif, mendiskusikan hal-hal yang tidak penting, memperdebatkan masalah daerah hanya untuk untuk menjatuhkan, dan satu hal lagi yang membuatku mangkel adalah PW selama ini sering turba ke daerah lain tapi tidak pernah singgah ke Dompu. Aku menganggap ini sebagai pelajaran yang tidak mendidik.

Aku akhirnya menggagas PII tandingan.
Aku benci ketidak adilan. Aku benar-benar tidak suka dengan sikap PW. Aku mengumpulkan teman-temanku. Ternyata tidak semua tertarik untuk membicarakan PII tandingan, sehingga hanya aku dan 2 orang temanku. Kabar ini didengar oleh PW setelah andi Chandra menginfokn ke mereka kalau kita telah membuat PII tandingan.
Berjalan cukup lama. Pelan-pelan kusadari, pelan-pelan ku mengakui sikap ini hanya lah buah dari emosi, ketidakpuasanku atas sikap PW yang tidak memperhatikan kita. Ini sifat asli yang selalu ingin menang, tidak ingin ditekan, ingin dihargai telah menyelinap diruang rasa, semua ku lakukan demi PII ku tercinta. Betapa rapuhnya hati, betapa sombongnya diri! Ini mungkin ujian pertama yang ku lewati bersama “rumah” ini.

Sejak kesadaran itu muncul, aku melihat kemajuan. PW mulai turba, sering menghubungi aku untuk sekedar bertanya tentang kondisi PII Dompu. Dan di akhir kepengurusan turun untuk mengelola training yang aku selenggarakan, dan datang untuk menyaksikan penyerahan amanah ke pengurus baru dan meantik mereka.
Sesungguhnya hanya butuh kesabaran sedikit lagi untuk menunggu semua yang diharapkan, bisa jadi semua yang memberikan penyelesaian bukan kita tetapi Allah yang sedang menguji kasabaran kita lewat masalah yang diberikan. Dia sangat penyayang, Maha segalanya, tak ada yang setara dengan-Nya.

SALEKO NAMANYA

(Keping-keping kehidupan 4)

Saleko bukan nama pejuang 45, atau tokoh pembesar negeri ini, atau mungkin pahlawan yang telah berjasa berjuang demi pembebasan sebuah negeri. Saleko adalah nama desa yang berada di sudut utara kabupaten Dompu-Nusa Tenggara Barat. Desa kecil, berbukit, dihiasi beberapa rumah sederhana tetapi memberi pesan kedamaian. Tentu karena desa ini jauh dari kebisingan, kebisingan disebabkan suara kendaraan, konflik antara desa, maupun elit-elit politik yang sering menjarah kekayaan Negara tanpa toleransi.

Saleko ini penuh dengan pesan damai, Pesan kesejahteraan. Disamping itu hijau persawahan membentang ke barat dan ketimur. Jika dilihat dari atasnya jelas hamparan pegunungan dan pemandangan yang indah. Burung disana bernyanyi sepuasnya-mereka bebas tidak terkurung oleh politik penguasa yang menghegemoni sebagian rakyat.

Jika matahari terbit, setiap orang dari “wajah” yang berbeda bergegas mencari setitik nikmat. Ada yang berangkat ke kantor, ibu-ibu yang ke pasar, para pedagang yg memelas kehangatan matahari pagi menuju pasar, ada juga tukang ojek yang mengharap rejeki dari orang-orang yang memilih tidak menggunakan angkutan-dan kelebihannya ojek bisa mengantarkan penumpangnya sampai ke tempat tujuan walau harus melewati jalan-jalan kecil.

Dan jika sore hari tiba, matahari yang kembali ke peraduannya, semakin melengkapi keindahan desa itu. Ditengah keramaian kendaraan di sebelah selatan Saleko sekitar 200 meter, sering telihat orang-orang yang mengharap ketenangan dengan menatap hijaunya alam disana. Kadang bercerita tentang alam dan keindahan yang menempel disana. Dulu keindahan alamnya masih belum terjamah, masih asli, dan tidak banyak orang bermukim. Sekarang sudah banyak yang merapat kesana, memulai hidup disana, gedung sekolah, perkantoran, wisma, dan membangun fasilitas pelayanan masyarakat disekitar sana.

Aku saksi hidup, yang mencoba melepas penat di sana. Penat karena kebuntuan berfikir menghadapi kenyataan hidup. Aku pernah menyusuri jalan 2 kilometer untuk mendapat kedamaian disana.

Tapi sesekali aku bertanya pada kehidupan, kenapa aku ditakdirkan hanya mampir dan sekedar menyapa kesejukan di desa yang telah ada tahun 1982 ini. Jelas memang bukan rumahku disana, bukan tempat aku dilahirkan tetapi hanya sekedar lewat dan berkunjung untuk membuat sebuah cerita dalam hidupku. Sungguh nikmat Allah menciptakan desa itu.

Daerah itu kukenal gara-gara aku pernah “menjebak” seorang sahabatku bernama Nurul Fitria, seorang sahabat yang pernah menjuarai Taek Kwon Do se-propinsi Nusa Tenggara Barat. Aku jebak dia untuk mengecap tetesan perjuangan di Pelajar Islam Indonesia (PII). Memang tahun 2002 menjebak orang untuk terlibat di PII bukan cerita baru, tetapi justru menambah cerita yang telah menumpuk dalam sejarah PII. Aku pertama mengenal sahabatku ini ketika ada diskusi ke-Islaman di sekolahku. Mengundang SMA se-kabupaten Dompu. Dan peserta pertama yang hadir saat itu adalah dia. Saya tidak begitu faham kenapa dia bertahan dan aktif di PII,tetapi dia adalah salah satu kader yang selalu aktif mengurusi seabrek kegiatan saat itu. Memang tidak sendiri karena selalu ditemani oleh beberapa temannya; Hairunisa, S.T.Aminah, Indah Kurnia, Desi Rahmawati, Suci, dan beberapa teman lain yang selalu ada disaat kerja-kerja organisasi mulai menumpuk.

Saleko adalah desa dimana Nurul Fitria menetap. Nurul begitu ia dipanggil, tinggal bersama bapak, ibu dan satu orang adik laki-laki, hanya berempat karena ketiga kakaknya sedang melanjutkan kuliah dan telah bekerja. Hidup dengan kondisi keluarga yang sangat terbuka membuat aku dan beberapa teman-teman sering menghabiskan waktu disana untuk sekedar mampir, membuat undangan kegiatan, rapat, ngumpul-ngumpul, dan menerima tamu. Banyak cerita tentunya yang kita goreskan didesa itu tepatnya dirumah fitria, nama kecil dan akrab disapa dirumahnya.

Aku cukup terkesan dengan desa ini, tentu karena menyimpan sejuta cerita buatku. Ketika menjadi ketua umum PII Kebupaten Dompu, dirumah ini aku membangun kedekatan personal, menguatkan persaudaraan dengan beberapa orang pengurus yang menurutku akan melanjutkan organisasiku. Berhasil!! Karena 5 orang yang hengkang aku gantikan dengan 20 orang yang kuat dan semangat.

Memang Saleko bukan satu-satunya tempat yang menyimpan cerita para aktivis PII, tetapi Saleko memberi simbol cerita, simbol semangat, dan simbol perjuangan. Berangkat dari cerita saleko aku jadi menemukan tempat lain yang mampu melepas penat, tentu bersama sudara-saudarku yang selalu hidup dalam perjuangan.

Saleko, entah kini menjadi apa,..cerita perjuangan PII Dompu masa lalu telah melebur dengan waktu. Sekarang tentunya berbeda cerita, digoreskan oleh orang-orang yang berbeda, cerita yang berbeda, tetapi diakui atau tidak Saleko selalu menjadi bagian dari perjalanan PII yang akhirnya terus mengalir hingga kini. Saleko juga menjadi saksi kalau mereka-yang hari ini telah pergi meninggalkan cerita di PII, pernah membuat kisah disini dengan senyum, tawa, dan air mata yang mewarnai perjalanan bersama PII kita di Dompu.
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin