Foto : Khairunnisah Hamzah
Kehadiran pelajar sebagai entitas sosial yang terdidik dan
terpelajar, ia adalah kaum intelektual muda masa depan yang hidup dalam
lingkungan yang kondusif dan ilmiah. Keanekaragaman potensi pelajar, baik berupa
karya/prestasi akademik maupun non akademik adalah wujud pelangi kreatifitas
anak bangsa yang akan menghantarkan dan mengukir prestasi kesejarahan dunia.
Pena adalah senjata utama bagi pelajar dalam mewujudkan cita-citanya, dari kata
yang tersusun secara sistemik akan menjadi proposisi-proposisi , yang kemudian
akan melahirkan pemikiran atau gagasan/ide untuk disebarluaskan sebagai karya
intelektual dan dijadikan bahan refleksi
dialektis masyarakat dalam melakukan perubahan membangun dan menata
peradaban.
Eksistensi perpustakaan sebagai taman kultur belajar/ilmiah
untuk mencari ilmu dan menggali informasi pelbagai gagasan atau pemikiran
nampaknya memang tidak bisa disingkirkan dalam membangun peradaban manusia yang
kian berkembang pesat. Fakta historis, zaman kejayaan Islam masa lalu dalam
konteks ilmu pengetahuan dan teknologi telah dimulai dengan membangun ‘baitul hikmah’ yaitu perpustakaan yang
dibangun pada zaman dinasti abbasiyah dan dipergunakan sebagai ruang belajar
untuk membangun tradisi keilmuan atau intelektualisme.
Kerinduan reaktualisasi tradisi intelektualisme di dunia
muslim adalah merupakan spirit kebangkitan peradaban Islam mewujudkan
cita-citanya membangun masyarakat beradab, adil dan makmur. Pluralitas
pemikiran yang lahir dari akar tradisi agama, filsafat, kalam, tasawuf dan
fiqih telah tumbuh dan berkembang subur dalam tradisi intelektualisme sepanjang
sejarah peradaban Islam. Kecintaan ilmu adalah spirit kaum intelektual dalam
menghasilkan karya-karya besar (khazanah keilmuan) untuk kemaslahatan dan
kesejahteraan ummat. Kedewasaan, kebebasan dan keterbukaan pikiran adalah sikap
dan karakter kaum intelektual dalam menerima segala bentuk dan sifat konsepsi
pemikiran yang berbeda-beda untuk mencari, memahami, menyusun pengetahuan dan
kebenaran. Keterbukaan berfikir adalah proses upaya sadar manusia untuk
memaknai dan menyusun rumusan pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisi.
Ruh memegang peranan penting dalam mendayagunakan instrument jasad dan
hayatnya, ia adalah kekuatan berfikir yang digunakan manusia untuk menangkap
dan memahami teks kebenaran serta menyusun pengetahuan, yang kemudian akan
menghadirkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan. Untuk memunculkan
kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan, manusia dalam mengemban dan
menjalankan amanah suci atau tugas kekhalifahan (Wakil Tuhan) di bumi yaitu
melalui Akal. Akal adalah daya ruh manusia untuk memahami dan merasakan
kebenaran, ia adalah potensi dalam diri manusia yang digunakan untuk memahami
proses dinamika kehidupan, menyakini kebenaran teks suci (baca : Al Qur’an),
memaknai, menyusun atau merumuskan konsepsi kehidupan dan melakukan rekayasa
peradaban.
Rekayasa peradaban adalah upaya sadar
yang harus dilakukan oleh negara dan civil
society dalam mengubah dan menata struktur social culture, ekonomi, politik dan aspek kehidupan lainnya untuk
membangun masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Pembangunan sebuah bangsa
dan negara, sesungguhnya tergantung oleh kualitas warga negaranya yaitu
rakyatnya yang berilmu pengetahuan, berfikir positif, dinamis,
kreatif-inovatif, progresif, berdaya saing dan menjunjung tinggi nilai-nilai
universal. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui tradisi intelektualisme
yaitu membaca, menulis, berdiskusi dan meneliti. Sebagai bangsa religius dan
mayoritas muslim, membaca adalah spirit dan perintah agama sebagaimana
terkandung dalam wahyu pertama yaitu surat al Alaq. Menurut Prof. Dr. Wahbah
Zuhaili dalam Tafsir al Munir Jilid 7, surat al Alaq memiliki tiga cakupan yang
sangat prinsipil : Pertama,
menjelaskan hikmah penciptaan manusia, keutamaan perintah membaca (iqra’) dan menulis (’allama bi al qalam) sebagai keutamaan manusia dari makhluk-Nya
yang lain. Kedua, menjelaskan tentang
ketamakan manusia terhadap duniawi dan akhirnya hancur karena kecintaannya
terhadap dunia (baca ; materialisme, hedonisme). Ketiga, mengkisahkan
tentang Abu Jahal yang membangkang terhadap ajaran Nabi. Wahbah Zuhaili juga
menyatakan bahwa nilai normatif yang terkandung dalam surat al Alaq ini, lebih
mengajak kepada manusia untuk memahami urgensi membaca dan menulis. Dengan membaca dan menulis,
tentunya akan menghantarkan manusia dari dunia kegelapan menuju dunia
pencerahan.
Kesalahan sistemik yang masih
menggejala dalam dunia pendidikan nasional, mulai dari lembaga pendidikan
dasar, menengah sampai perguruan tinggi adalah tradisi membaca dan menulis yang
bermasalah. Akar masalah krusial ini adalah
karena iklim argumentasi logis seringkali hanya berlaku di ruang informal dan
non formal. Sekolah formal sebagai ruang kultur belajar/ilmiah para generasi
penerus bangsa (baca : pelajar), yang semestinya merupakan ruang kondusif dan
ilmiah. Namun pada kenyataanya ruang ini belum bisa digunakan sebagaimana
mestinya, seperti adanya fasilitas perpustakaan sekolah sebagai ruang kultur
belajar (taman baca) masih minim pengunjungnya (sepi) karena sebagian besar
pelajar lebih suka memilih mengunjungi tempat-tempat hiburan (baca ; mall).
Pertanyaannya kemudian, kenapa hal ini terjadi?ada apa dengan life style masyarakat pelajar?ada apa dengan
konsep perpustakaan sekolah kita?. Secara teknis dan praktis lemahnya tradisi
menulis di kalangan pelajar dikarenakan belum adanya pelajaran secara intensif
tentang teknik menulis mulai dari sekolah dasar sampai menengah atas.
Menulis adalah proses pembelajaran,
aplikasi pengetahuan, gambaran peta pikiran manusia secara sistemik. Prinsip
menulis adalah keterampilan (skill),
menulis bukanlah kemampuan yang dapat mudah dikuasai dengan sendirinya
melainkan dengan ketekunan dan kesabaran yang dilakukan dalam proses
pembelajaran yang panjang karena menulis bukan hal yang mudah. Menurut
perkataan Qatadah dalam Tafsir al Qurthubi, ”
Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai
perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan
menjadi tidak terarah .... ”. Bahkan Abdullah bin ’Amru, seorang ulama
salaf menyatakan ”qayyidu al ilma bi al
kitabah” (ikatlah ilmu dengan menulisnya).
Membaca dan menulis adalah kegiatan yang dinamis dan
produktif. Membaca firman Allah, baik yang tertulis (ayat) dan terlihat (alam)
sebagai fenomena dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Menulis sebagai aplikasi
pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran yang panjang dengan
penuh kesabaran, ketelitian, ketekunan, dan kejelian dalam mengungkapkan atau
mengambarkan peta pikiran/pemikiran/gagasan/ide seseorang yang disusun secara
sistemik. Berdiskusi adalah proses pembelajaran yang terjadi atas refleksi dialektis terhadap teks.
Interpretasi teks yang terjadi dalam ruang ilmiah adalah sebuah upaya kesadaran
kritis manusia memaknai dan menyusun pengetahuan dan kebenaran
proposisi-proposisi.
Dan meneliti adalah merupakan proses
kesadaran analitis manusia dalam mengungkap dan menemukan kebenaran melalui
proses pembuktian. Keterbukaan pikiran terhadap bukti baru dan/atau yang
bertentangan adalah sikap ilmiah yang harus dipegang teguh sebagai seorang
filosof/ilmuwan/intelektual. Proses pembuktian dapat dilakukan dengan cara
observasi, study literatur/pustaka atau dengan metode/teknik lainnya. Proses
penelitian harus dilakukan secara sistemik dan metodologis. Munculnya bukti
baru dan/atau yang bertentangan bisa terjadinya jika ada proses dialektika
yaitu adanya thesis dan anti thesis yang kemudian terjadi dialektika untuk
menemukan sintetisnya, dan hasil sintesisnya akan menjadi thesis baru yang akan
berhadapan dengan anti thesisnya, yang selanjutnya tersusun sintesis baru dan
proses ini secara terus menerus berlanjut.
Menjadikan intelektualisme sebagai
spirit pendidikan seumur hidup (long live
education) adalah wujud komitmen Islam akan kecintaan terhadap ilmu.
Tradisi kultur belajar/ilmiah ini terlihat dari kecintaan akan berteman dengan
buku-buku. Kebebasan dan keterbukaan berfikir akan memicu tradisi
intelektualisme. Dengan menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai taman baca
dan ruang bertemu untuk berdiskusi, memenuhi kebutuhan untuk berkarya dan
berprestasi sehingga kemandekan pemikiran dapat diatasi.
Pelajar adalah kelompok sosial
masyarakat yang memegang peranan penting dalam mengemban amanah kesejarahan
untuk melakukan perubahan dalam membangun dan menata peradaban. Pelajar adalah
subyek peradaban, ia adalah merupakan generasi penerus bangsa yang lahir dan
tumbuh berkembang dalam lingkungan kaum terpelajar dan terdidik, lingkungan
yang kondusif dan ilmiah. Tradisi intelektualisme akan menghantarkan pelajar
dari dunia ’gelap’ menuju dunia ’pencerahan’.
* Ditulis Oleh Resapugar, Kabid PPO PB PII Periode 2006-2008
0 komentar:
Posting Komentar