`

`

Menulis bersama Cinta

Aku akan menulis bersama cinta. Itu kalimatku. Ini langkah pertamaku untuk memulai merangkai kembali segala ide ini. Semoga memberi manfaat pada kita semua. Memberi manfaat pada dunia.

Usiamu Bertambah, Cinta

Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada dikau, istriku sepanjang sejarah.

Dia Hadir Lagi

Malam ini kenapa rasanya ia hadir lagi mengisi ruang rindu ini. Setelah setahun lebih dia meninggalkan kami dengan senyum kasih sayangnya. Entah apa gerangan yang membuat air mata ini tiba-tiba menetes di sudut mataku. Tiba-tiba aku merindukannya.

Menikah Mengajarkan Banyak hal

Menikah seharusnya difahami sebagai lompatan menuju keridhaan dan surga Allah yang tidak pernah putus kenikmatannya. Maka dalam melewatinya semestinya bertabur amal sholeh.

Memaknai Tahun Baru 2014

Silahkan tulis mimpimu. Yakinlah bahwa ini hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk merubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Kita tidak akan sampai di ujung titik kesuksesan jika kerja-kerja yang kita lakukan hanyalah berhenti pada kesibukan kita mendefinisi makna fundamental tentang hadapan kita saat ini.

Hanya Ingin Menulis

SAYA INGIN MENULIS. Adalah sebuah cita-cita akan perubahan yang pelan tetapi pasti. Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan.

Jejak Usia Menuju 29 Tahun

Sesaat,waktu seolah memberi ruang untuk berkontemplasi panjang,memandangi kembali jejak dan sisa perjalanan yang telah dilewati

Bunda Tersayang, Semangat dan Inspirasimu Selalu Hidup

Semoga semangat dan inspirasimu selalu hidup sampai generasi kami menggantikan peran-peran ini. Dan semoga Allah meridhainya. #Bundatersayang.Spesial untukmu #Bundatersayang, bahwa semoga Allah mengampuni dosamu dan menempatkan engkau ditempat yang terbaik. Amin

Catatan Perjalanan Ber-LSM

Sekedar mengenang jejak #berLSM yang telah setahun tidak ku geluti lagi.#berLSM Gerbang baru, tempatku menemukan warna-warni aktivitas yang tak asing.Aktivitas #berLSM memang fase tetapi bagiku untuk beberapa hal adalah seperti melanjutkan perjalanan. #berLSM itu; penuh dengan ruang-ruang dialektika,motivasi mengembangkan diri,dan egaliter.Ya sudah pasti kita bisa memelihara idealisme.

Jika Boleh Memilih (Part 1)

Jika boleh memilih, aku ingin kembali ke masa kecil. Disaat mengenyam bangku sekolah di Sekolah Dasar (SD). Hidup bagiku disaat itu adalah mandi pagi, berseragam dan berangkat sekolah. Bermain sesuka hati, belajar semampuku, makan lalu istirahat. Hidup mengalir tanpa beban. Yang ada adalah tumbuh dan besar ditengah orang-orang yang menyayangi.

Antara Pilihan

Tak ingin rasanya beranjak pergi meninggalkan persinggahan ini ruang sepi yang buatku terhenti diujung jejak-jejak perjalanan itu

Sepi ditengah Keramaian

Sepi ditengah keramaian ini semoga menjadi peristiwa-peristiwa yang indah jika dikenang kembali kelak. Bahwa bagian dari perjalanan ini adalah memupuk cinta diseberang pulau. Atau cinta bersemi dalam kejauhan. atau mungkin Cinta dalam ruang yang berbeda. Atau apapun lah yang menggambarkan cinta yang selalu membersamai waktu-waktu kami.

Untuk yang Terkasih

Sayang..Cinta itu menyembuhkan..ada yang beda saat dirimu hadir disini..dengan segunung rasa yang kau punya..kau menyebutnya cinta..ya sering sekali kau menyebut kata itu,menulisnya,mengungkapkannya,menuliskannya lagi,begitu,sering sekali,terus begitu,seperti tak mampu diungkap oleh kata,seperti tak selesai ditulis dengan pena.

9 Bulan Lagi Jadi Ayah

"Kak barusan saya test pack. Alhamdulillah positif..Sembilan bulan lagi sampean jadi abi..In shaa Allah..:)" Memang baru saja menyapa di perut ibunya. Belum genap sebulan. Masa-masa berat yang mesti dilewati dengan kesabaran. Semoga tidak ada halangan ataupun hambatan yang berarti. Selanjutnya harus mengatur aktivitas sebaik-baiknya sehingga dia tetap terpelihara hingga menjadi manusia seutuhnya dan hadir menyapa dunia. Amin

Dua Hari Cukup

Satu bulan berada berjauhan dan sudah saatnya waktu ini berdialog dengan cinta kembali. Membersamai hari-hari berdua bersamanya, kekasih hatiku. Aku meski sadar bahwa karena pertarungan ini masih berhelat maka tidak ada cukup waktu untuk menyapanya. Dua hari saja cukup untuk dia, untuk memupuk senyum dan bahagia dihatinya.

Dari Politik Ke Peradaban (part 1)

Semangat saya kembali ber-api membaca transkrip taujih @anismatta "Dari Politik ke Peradaban" dalam buku Integritas Politik dan Dakwah.Ini kira-kira isi taujih yang membuat saya bersemangat. Momentumnya tepat untuk membakar jiwa ditengah perang saat ini. Monggo dinikmati..Kedepan ada 3 cita-cita yang akan kita kejar, yaitu: cita-cita politk, cita-cita dakwah, dan cita-cita peradaban.

Dari Politik Ke Peradaban (part 2)

Cita-cita yang harus kita kejar yang ketiga adalah Cita-cita peradaban.Terjemahan implementasi dari apa yang disebutkan oleh Imam Hasan Al Banna sebagai cita-cita tertinggi dakwah kita,yaitu Ustaziatul Alam.Sementara sekarang peradaban barat tidak lagi mampu memberikan semua unsur yang diperlukan manusia untuk berbahagia.Sekarang ada kekeringan yang luar biasa. Sehingga yang dipikirkan oleh barat adalah mempertahankan hegemoni.

Merangkai Hidup Baru

#MerangkaiHidupBaru adalah episode baru yang aku adalah sutradara sekaligus pemainnya.Kenapa kok #MerangkaiHidupBaru padahal kan sudah 1 tahun lebih menikah? 1 tahun lebih menikah adalah episode yang berbeda karena muatan ujiannya berbeda.Kalau boleh aku ingin memberinya nama #MencariFormatHidup

Perjalanan Menuju Menang

Ingin mengurai satu demi satu cerita perjalanan #menang di 2014 ini. Karena ada banyak hikmah yang akan menjadi penguat langkah kedepan..Perjalanan ini harus dicatat karena ada pelajaran tentang perjuangan sungguh-sungguh kita untuk #menang..Kami ingin sefaham bahwa amanah berat ini adalah amanah semua..tugas saja yang beda..Masyarakat sudah tunggu bukti..semoga kami bisa amanah..Semoga ustad Nasaruddin diberi kuat,sehat, untuk penuhi dan perjuangkan hak rakyat.. Semoga istiqomah..Amin

Tebar Inspirasi Hingga Tak Terbendung

Tanggal 10 Mei 2014. Selamat Milad. Semoga usianya berkah. Semoga istiqomah. Semoga menjadi istri sholehah dan kemudian menjadi ibu teladan bagi anak-anaknya. Waktu-waktu belum habis untuk belajar semoga tetap mau belajar, semoga selalu memberi manfaat dimanapun, dan menjadi apapun. Tebar inspirasi hingga sekat tak mampu lagi membendungi arusnya.

Rabu, 30 Mei 2012

AKU GILA DENGAN OBSESI INI




Sudah dua tahun aku melewati dunia pasca kampus. Dunia yang pastinya sangat berbeda. Dunia yang sering membenturkan idealisme kita dengan kenyataan hidup yang sesungguhnya. Dunia yang pada akhirnya kita selalu berkesimpulan bahwa hidup ini harus realistis. Tetapi aku berbeda. Aku masih belum mampu memaknai bahasa realistis itu  kedalam pilihan konsen perjuangan untuk mensukseskan misi profetik.

Ketika didunia kampus dahulu garis besar gaya hidup kita hanya tiga, adalah menjadi mahasiswa yang sukses secara akademis, belajar bahwa dengan moralitas yang baiklah harapan kejayaan bangsa ini akan terjaga, dan berikut menjadi aktivis mahasiswa yang berteriak sekeras mungkin ketika ada masalah yang tidak pro rakyat dan anti kebenaran. Sungguh situasi yang membentuk kita menjadi orang yang sangat idealis. Tidak jarang juga kita temukan mahasiswa yang sangat utopis dengan dunianya dan dunia disekelilingnya.

Pada fase itu kita merasa tingkat aktualisasi kita sudah sangat purna. Ada kepuasan tersendiri, jika kita bisa mengilustrasikannya dalam sebuah model grafik-saat itu mungkin kita sudah ada titik paling atas. Titik yang dimana kita merasa bahwa gelar sarjana dan gelar aktivis menjadi satu pencapaian yang tidak bisa tertandingin dalam sejarah apapun dalam hidup kita. Begitu pula yang aku rasa memenuhi relung hatiku. Ada kepuasan karena sejarah sukses menurutku itu ku goreskan sendiri bersama tumbangnya waktu, bersama terisinya segala kesempatan untuk berproses menjadi-aku artikan sebagai mahasiswa yang sesungguhnya.
Waktu ini berlalu ternyata membuat aku harus mengatakan bahwa waktu adalah makhluk misterius. Ia selalu memberi kejutan. Selalu menawarkan sesuatu yang baru. Tidak jarang ia membuatku memompa adrenalin. Dan sangat sering ia menegangkan urat-uratku, mengerutkan dahi dan memusingkan kepala. 

Menjadi sarjana dan bergelar aktivis ternyata hanya mampu menciptakan ketenangan dalam waktu yang sangat terbatas. Pasca kampus aku merasa dua gelar itu justru tumpul dan tidak mampu memberikan kekuatan tersendiri menepis segala beban fikir yang muncul. Aku mahasiswa yang kuliah jauh sampai ke pulau jawa. Masuk Universitas ternama. Menjadi aktivis. Lalu pulang kampung tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Harapan dieluk-elukan sebagai lulusan universitas di pulau jawa hanyalah menjadi pepesan kosong dan mimpi disiang bolong. Justru semakin kuat kabar angin yang menyerang seperti badai yang mengisi halaman-halaman rumah tetangga. Mengatakan “Tak ada gunanya kuliah jauh tetapi tidak bisa apa-apa dan tidak punya pekerjaan”. Kata-kata yang menyesakkan dada ini membuat aku semakin sering mengurung diri dikamarku. Hanya bisa mengeluh dan mencibir netbook yang selalu menatap sayup ketika aku mengekspresikan amarah lewat tulisan-tulisanku.

Beberapa waktu kemudian aku sudah bekerja. Aku diterima bekerja di sebuah LSM yang bergerak dibidang Advokasi pelayanan Publik. Enam bulan ketika aku magang disana, aku yakin bahwa inilah wadah yang membuatku mampu memelihara idealismeku, kultur intelektual, budaya diskusi, dan seabrek model aktivitas yang sewarna dengan dunia mahasiswa. Aku memang sangat khawatir ketika disuatu saat nanti idealisme yang melekat hari ini terkikis dan terbuang lalu berterbangan seperti kapas yang tidak jelas mengikuti angin yang membawanya. Tetapi dunia LSM membuatku yakin bahwa idealisme ini akan semakin mendarah daging. Nilai-nilai yang disebut Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis yang jadi ruh disana terinternalisasi dalam gerak aku dan kawan-kawan. Nilai-nilai partisipatif, transparan, akuntabel, keswadayaan, kesetaraan, berpihak, keberlanjutan, kemandirian, pemberdayaan dan pengkaderan, dan demokratis. Kita bekerja meningkatkan Kapasitas warga dan organisasi warga dalam mendorong pelayanan kesehatan yang optimal. Mendampingi sepuluh desa, menjajaki semua problem pelayanan kesehatan, kemudian memilih kader terbaik desa untuk menjadi pioner dan mereka menginisiasi lahirnya organisasi warga yang konsen memberikan informasi berkaitan dengan standar pelayanan, lalu membelajarkan organisasi ini dan masyarakat menjadi warga yang berdaya, serta menampung segala keluhan dan pengaduan masyarakat untuk diadvokasi di pihak pelayan kesehatan dan pengambil kebijakan. Lalu diantara aktivitas-aktivitas itu ada peningkatan kapasitas kita sebagai NGO dan warga serta organisasi warga tentang regulasi-regulasi yang berkaitan dengan isu yang sedang kita perjuangkan. 

Aktivitas-aktivitas ini sangat mulia. Aku begitu nyaman. Aku bisa memenuhi kebutuhan otak-ku untuk bergulat dengan segala diskursus tentang konsep pengorganisasian, dan tekhnik fasilitator. Dan secara langsung menyiapkan diri untuk berlajar menjadi konseptor perubahan. Inilah mungkin cara aku dan kawan-kawan di LSM melakukan rekayasa untuk perubahan sosial. Menjiwai dan berubah wujud menjadi aktivis LSM mengajarkan aku untuk selalu meningkatkan kapasitas, karena fungsi pendampingan dan pengorganisasian ditingkat warga menuntut kita untuk memberi banyak hal untuk itu. 

Dalam kenyamanan ini aku merasa tidak ingin berpindah dari tempat dudukku yang begitu banyak memberi input kapasitas. Lalu bersama dengan waktu ini pula aku merasa seperti ada sesuatu yang masih kurang. Ada sesuatu yang masih perlu aku kejar. Bergelar aktivis mahasiswa sudah aku tempuh, memelihara idealisme dengan tempat bekerja yang cukup nyaman sedang juga aku alami dengan sepenuh hati. Bahkan mencoba membentuk kultur baca dan diskusi di taman kota sudah aku seriusi. Tetapi aku merasa masih ada yang tersumbat dalam obsesiku. Beberapa kali mendapat sindiran sebagai orang yang tidak jelas arah tujuannya. Seringkali juga dianggap sebagai kutu loncat. Hanya karena aku melakukan pekerjaan lebih dari satu tetapi masih merasa ini bukan sesuatu yang ku kejar selama ini. Bahkan ketika aku menjadi dosen yang menurutku nanti mampu menemukan sesuatu yang sedang aku cari. Ternyata tetap saja aku merasa melewatinya sebagai rutinitas ansih. 

Ada keinginan besar yang masih harus ku tuntaskan dalam perjalananku. Entah apa dia. Tetapi aku menafsirkan ini adalah keinginan untuk menjadi penulis dan menerbitkan buku karyaku sendiri. Aku serasa gila dengan obsesi ini. Tidak jarang waktuku terkuras hanya dengan memandangi buku-buku yang berbaris di mejaku. Hanya untuk melihat dan ter-kagum-kagum dengan karya luar biasa yang mereka ciptakan. Ada juga terkadang aku mencibir beberapa buku yang ku anggap tulisannya sangat sederhana tetapi laku di pasaran. Sungguh menyentil untuk beradu ide dan karya. Aku sering belajar menulis mengikuti gaya mereka menulis, sering belajar tentang cara mereka mengungkap keluh kesah, belajar mengekspresikan bahagia lewat artikulasi bahasa yang bisa membuat pembaca ikut tersenyum, dan belajar tentang cara para penulis itu mengungkap kebobrokan pemerintah dengan bahasa yang eufimistik.

Dan aku puas dengan semua itu. Ingin rasanya berteriak dan mengangkat tangan serta mengatakan “Aku merdeka dari segala keluh kesah yang membuat hidupku redup dan senyumku mengkerut”. Maka dari itu aku ingin benar-benar menjadi penulis dan disaatnya nanti menciptakan buku yang bisa membuat orang lain tersenyum, ter-inspirasi, terdorong melakukan kebaikan, dan merdeka dari segala kepelikan hidup. Tentu sekali lagi ini bukan untuk kepentingan prestise tetapi dalam rangka mengambil bagian dalam upaya mencerdaskan manusia. Dalam rangka berperang melawan kebobrokan moralitas. Hanya dengan menulis membuat orang lain bisa menyelami makna kebaikan yang selama ini menggerakkan kita. Hanya dengan menulis membuat pesan-pesan kebaikan yang kita sampaikan bisa dibaca oleh manusia diseantero negeri. Menulis ini mencoba menyampaikan kecemerlangan ide yang kita dapatkan dari suara langit. Suara Penguasa Abadi.

Mari menulis.  

*Merapat bersama obsesi ini

Sabtu, 05 Mei 2012

GENERASI EMAS PII, OSIS, DAN OSES

Oleh Muhadjir Effendy (Ketua Perhimpunan KB PII Jawa Timur)
Jawapos, Sabtu, 5 Mei 2012

PADA 4 Mei 1947 di ibu kota Republik Indonesia, waktu itu Jogjakarta, berdiri organisasi yang diberi nama Pelajar Islam Indonesia (PII). PII menjadi organisasi pelajar pertama yang berdiri di era setelah kemerdekaan. Tatkala Jogjakarta menjadi pusat perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan, anak-anak sekolahan dalam PII yang baru lahir itu langsung ikut menjadi pejuang. Momentum dan suasana kelahiran tersebut, dipadu dengan anutan ideologi plus gejolak usia remaja, membuat watak organisasi itu menjadi khas, yaitu fanatik, militan, idealis-utopis dibumbui dengan romantisme perjuangan.

Watak semacam itu tetap terbawa ketika bangsa Indonesia memasuki tahap mengisi kemerdekaan. Ketika itu berbagai kekuatan ideologi menjelma menjadi partai-partai politik yang saling bersaing. Ada dua ideologi dan partai yang jelas-jelas tidak mungkin dipersatukan, yaitu Masyumi (Majelis Syura Muslimin) yang mewakili agama dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang komunis-ateis. Di tengah persaingan sengit itu, sekalipun menyatakan diri sebagai organisasi independen, PII mau tidak mau memiliki kedekatan dengan Partai Masyumi. Saking dekatnya, orang-orang PKI menjulukinya “Masyumi berkatok pendek”.

Sikap antikomunis PII termanifestasi dalam kegiatan pengaderan. Baik sebagai bagian dari materi training, yel-yelnya, maupun nyanyian-nyanyian. Misalnya yang terdapat dalam sebuah lirik: …hai PII! Maju terus maju, galanglah ukhuwah islamiah, jadilah pemersatu umat, jadilah pedang umat Islam, hancur leburkan ateisme, maju terus pantang mundur!

Bagi PII, keberadaan Partai Masyumi dan dirinya memang memiliki sejarah khusus. Salah satu doktrin yang ditanamkan kepada kader PII adalah pentingnya menggalang persatuan umat Islam. Dalam Ikrar Malioboro para pemimpin Islam bersepakat akan pentingnya satu kesatuan umat Islam. Mereka berikrar hanya Masyumi-lah satu-satunya partai Islam, organisasi pelajarnya adalah PII, organisasi mahasiswanya HMI, organisasi pemudanya adalah GPII, dan Pandu Islam (PI) satu-satunya organisasi kepanduannya. PII juga merujuk fatwa yang pernah diucapkan Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, bahwa haram hukumnya partai Islam selain Masyumi. Namun, kesepakatan itu berlangsung tidak lama karena pada 1948 PSII keluar dari Masyumi untuk menjadi partai politik sendiri dan disusul NU pada 1952.

PII pelan-pelan mulai kehilangan hak monopolinya ketika ormas dan orpol Islam mulai membentuk organisasi sayap pelajarnya sendiri. Di NU berdiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) pada 1954. Di Muhammadiyah, setelah terjadi pro-kontra akhirnya pada 1961 juga berdiri Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Kendati begitu, doktrin akan pentingnya satu kesatuan umat Islam tetap menjadi cita-cita utopia PII. Ketika pada 1960 Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi, PII terkena imbasnya. PKI dan onderbouw-nya kian beringas terhadap si Masyumi bercelana pendek itu. Kasus yang sangat terkenal, misalnya, peristiwa Kanigoro pada 1965. Ketika itu BTI, organisasi onderbouw PKI, menyerbu tempat terselenggaranya training PII di Kanigoro, Kediri.

PII dan TNI

Pada 1966 keadaan jadi berbalik. Para aktivis PII -bersama IPNU, IPM, GSNI, dan lain-lain- dengan dukungan ABRI ramai-ramai mengganyang PKI melalui Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Beda dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang wilayah operasinya terbatas di kota-kota perguruan tinggi, jangkauan KAPPI bisa sampai ke pelosok tempat sekolah. Mereka bekerja sama dengan ABRI sampai level komando paling bawah, yaitu koramil. Saking dekatnya para aktivis KAPPI dengan ABRI, mereka semacam mendapat prioritas diterima di Akabri. Terutama ketika gubernur Akabri dijabat Sarwo Edhie (1970-1973). Banyak lulusan Akabri angkatan tahun ’70-an yang berasal dari aktivis KAPPI, terutama PII. Sebagaimana kita tahu, mertua Presiden SBY itu tatkala menjadi komandan RPKAD (1964-1967) sangat terkenal dalam memimpin penumpasan G 30 S/PKI.

Seperti melupakan andil organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah (OSES), justru kemudian pemerintah Orde Baru secara sistematis mencegah kehadiran organisasi ekstrasekolah masuk di sekolah. Di sekolah hanya boleh ada OSIS (organisasi siswa intrasekolah) dan pramuka.

Bagaimanapun, organisasi ekstrasekolah telah menunjukkan keunggulannya dalam menyiapkan pemimpin-pemimpin bangsa. Sebut saja, misalnya, PII telah melahirkan Jusuf Kalla. GSNI melahirkan Taufik Kiemas, dari IPM memunculkan Busyro Muqoddas. Kalau ada kekhawatiran organisasi ekstra memunculkan sikap fanatisme sempit dan kaku, itu tidak sepenuhnya benar. Bisa disaksikan bahwa PII bisa melahirkan tokoh NU seperti KH Hasyim Muzadi sekaligus tokoh Muhammadiyah seperti Prof A. Malik Fadjar. IPNU yang notabene organisasi sayap NU bisa melahirkan tokoh Muhammadiyah seperti Prof M. Din Syamsuddin. Di jajaran kabinet saat ini ada para menteri yang mulai mengasah bakat kepemimpinan sejak usia remaja melalui organisasi ekstrasekolah.

Generasi Emas Perlu Utopia

Masa remaja ibarat lempengan besi yang sedang membara, saat yang mudah ditempa untuk dibikin menjadi apa saja. Termasuk saat yang paling tepat untuk ditempa menjadi calon pemimpin bangsa. Sayang, keadaan sekolah-sekolah kita saat ini tidak cukup kondusif untuk menyemai calon-calon pemimpin itu. Anak-anak sekolah kita tidak mampu membangun “mimpi besar” karena imajinasi dan cita-cita utopis mereka tidak berkembang seperti yang seharusnya terjadi pada anak usia remaja yang bakal menjadi pemimpin masa depan. Akibatnya, naluri militansi, fanatisme, dan romantisme perjuangan mereka lampiaskan lewat tawuran masal, geng motor, vandalisme, bahkan tindakan kriminal.

Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, menteri pendidikan dan kebudayaan mengangkat masalah mempersiapkan generasi emas Indonesia (Jawa Pos, 2 Mei 2012). Menyiapkan generasi emas yang menguasai berbagai keterampilan perakitan dan produksi sangat penting.

Akan tetapi, saya kira itu bukan jalan untuk menyemai pemimpin bangsa. Tetapi, justru potensi persemaian itu ada pada organisasi-organisasi ekstrasekolah. Karena itu, demi lahirnya pemimpin generasi emas Indonesia, diperlukan kebijaksanaan yang mendorong dan memfasilitasi kembalinya organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah alias OSES tersebut untuk berkiprah di sekolah-sekolah, seperti OSIS.
*) Ketua umum terpilih 2012-2015 Keluarga Besar PII Jawa Timur. Tilisan ini diterbitkan di JawaPos

MERINDUKAN SEMANGAT PERJUANGAN KI HAJAR DEWANTARA

 
 (Dimuat di Lombok post. Jum'at, 4 Mei 2012)


Siapa yang tidak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Diakhir-akhir bulan april dan menyambut Mei, namanya sering disebut, karena tanggal kelahirannya yaitu 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional, tidak hanya itu pada 28 November 1959 melalui surat keputusan Presiden RI no. 305 Tahun 1959, Ki Hadjar ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.

Tokoh yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat merupakan peletak dasar pendidikan nasional. Sekilas melihat latar belakangnya, Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar dan setelah lulus ia meneruskan ke Stovia di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain menjadi seorang wartawan muda RM Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang baginya yaitu di seksi propaganda.

Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, , dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda!.

Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya.

Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah atau bawahannya. Banyak pimpinan saat ini yang sikap dan perilakunya kurang mencerminkan sebagai figur seorang pemimpin, sehingga tidak dapat digunakan sebagai panutan bagi anak buahnya.

Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitkan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seorang pemimpin ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya. Karena itu seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja.

Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh bawahan, karena paling tidak hal ini dapat menumbuhkan motivasi dan semangat kerja.

Beliau meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Sebagai wujud melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara oleh pihak penerus perguruan Tamansiswa didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Dalam museum terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Uraian diatas adalah sekilas potongan sejarah perjuangan Ki Hadjar dan terlihat jelas jiwa kebangsaannya telah tertanam sejak muda. Dan jiwa kebangsaannya itu memberikan kontribusi dan dorongan kuat pada dirinya untuk melahirkan konsep-konsep pendidikan yang berwawasan kebangsaan.

Ketika Masa orde lama beliau menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Melihat jejak sejarah KI Hadjar Dewantara, beliau sangat berjasa memikirkan tentang pendidikan Indonesia. Banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hadjar dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan. Tagore dan Ki Hadjar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tindakan Ki Hadjar itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat.

Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari "strategi" untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.

Kita sebagai generasi muda, selayaknya menyambut perjuangan beliau dan melanjutkan cita-citanya untuk memajukan pendidikan diIndonesia. Kalau saja KI Hadjar Dewantara mampu berfikir dan mengonsep beberapa ajaran yang akhirnya sangat dikenal oleh masyarakat yang seiring dengan itu masalah sosial-politik negara sedang belum stabil, kenapa tidak menjadi satu semangat kita untuk menatap masa depan cemerlang bagi pendidikan kita.

Melihat semakin hari realitas pendidikan kita semakin tidak “merakyat” menurut KI Hadjar Dewantara, tak selayaknya kita berdiam diri, apalagi dizaman yang “serba ada” ini, mestinya generasi muda mampu selangkah lebih maju dari tokoh-tokoh yang telah mendahuluinya seperti KI Hadjar sehingga dimasa yang akan datangpun akan mampu memperbaiki dan menyempurnakan wajah pendidikan bangsa Indonesia.
Realitas pendidikan masa kini semakin tak tentu arah, proses ikhtiar yang panjang dilakukan oleh para siswa maupun guru hanya ditentukan oleh tiga hari ujian. Ini mengundang usaha-usaha yang tidak jujur dari beberapa oknum yang ingin mengejar nama sekolah menjadi baik, terkenal pintar hanya karena jumlah siswanya yang lulus lebih sedikit dari sekolah lain, selain itu oknum yang merasa system ini tidak adil akan membuat trik khusus untuk membocorkan soal, memberi tahu jawaban, dan lainnya untuk membantu siswanya.

Dan mungkin banyak kasus lain yang jika diurai satu persatu akan menjadi satu paket system pendidikan yang hari ini sedang carut marut. Implikasi yang bisa dirasakan oleh seluruh komponen pendidikan hari ini adalah ekspresi siswa terhadap keputusan lulus ataupun tidak. Siswa-siswa yang merasa diri telah mendapatkan predikat kelulusan akan mengekspresikan kebahagiaannya sampai pada titik ekstrim kebahagiaan; konvoi motor, balapan sepeda motor, coret-coretan baju, dan lainnya. Coba kita obyektif melihat ini, tidak adakah satu ekspresi kebahagiaan yang lain yang lebih berbau pendidikan?atau symbol-simbol lain sebagai indikator keberhasilan proses pendidikan selama ini?

Dan jika mereka adalah siswa yang belum beruntung karena tidak lulus ujian, bukan proses introspeksi dari usaha yang mereka lakukan selama ini tetapi mengkambing hitam; teman benci, guru jadi sasaran, gedung sekolah dihancurkan untuk menunjukkan kekecewaan mereka. Inikah hasil dari pendidikan yang menciptakan generasi bangsa yang beradab itu.

Jika demikian, wajar ketika kita harus merindukan apa yang dulu diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Seharusnya kita mencoba memfalsafahi kembali sebuah cita yang pernah ada pada pendidikan kita, melahirkan para tokoh dan orang-orang yang hari ini menjadi “orang” bagi bangsa dan Negara Indonesia.

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin