`

`

Rabu, 03 April 2013

GERAKAN PII DALAM WARNA POLITIK SEJARAH


Judul : Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-Bayang Negara
Pengarang : Djayadi Hanan
Penyunting dan epilog : Mulyadi J. Amalik
Penerbit : UII Press Yogyakarta
Pengantar : PB PII
Tebal : 288 Halaman

Buku yang berjudul “ Gerakan Pelajar Islam di bawah bayang-bayang negara” ini mencoba menceritakan gejolak dan dinamika organisasi-orgasisai yang menolak UU keormasan. khususnya PII sebagai organisasi pelajar yang bergerak lincah menghindari ancaman pembubaran ormas oleh Orde Baru yang waktu itu secara represif menentang keberadaan organisasi yang tidak patuh terhadap UU Keormasan, yaitu UU tentanag kebijakan asas tunggal Pancasila. Buku ini juga berisikan tentang perjalanan dari perjuangan para pelajar islam Indonesia dalam mewuujudkan kembali kejayaan agama islam di Indonesia yang mengalami pasang surut mulai dari masa orde baru hingga saat ini (2006) . Ringkasnya, buku karya Djayadi Hanan ini mengupas semua tentang dinamika yang terjadi di kalangan masyarakat pelajar khususnya Ormas mengenai kedudukan islam dalam gerak politik dan kenegaraan.

Pada Bab I dari buku ini, penulis mengawaili dengan memaparkan latar masalah yang terjadi yaitu telah memasukinya babak baru mengenai pasang surutnya hubungan islam dengan neagara Orde Baru sejak tahun 1980-an dan makin jelas pada era 1990-an. Hal tersebut ditandai oleh dua hal, yaitu di kalangan politik islam, persoalan formalasi ideology Islam dalam Negara tampaknya tidak lagi menjadi ide atau gagasan yang perlu dikedepankan dan di tingkat kenegaraan, pemerintah tampak melakukan akomodasi terhadap berbagai kepentingan (aspirasi) umat islam. Dimana salah satu puncak akomodasi tersebut ialah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ringkasnya menurut Afan, sebenarnya kedua pihak (Islam dan Negara) memang saling membutuhkan.

Umat Islam dalam hal ini dipandang sebagai satu etnis yang keseluruhannya melibatkan diri dalam arus besar gerak politik Orde Baru. Diantranya yaitu reaksi yang cukup keras terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. M. Rusli Karim membaginya menjadi empat. Pertama, menerima tanpa banyak persoalan (Nahdatul Ulama (NU) dan kelompok-kelompok lain yang memiliki hudungan dengan pemerinat dengan alas an Pancaila tidak bertentangan dengan islam). Dua, mau menerima tetapi menunggu keluarnya undang-undang formal yang dibuat pemerintah. Tiga, Bersikap apatis (kalangan yang berpendidikan rendah dimana selalu mendukung kehendak pemerintah). Empat, menolak sama sekali kebijakan itu, yakni organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII).

Pelajar Islam Indonesia merupakan organisasi tertua yang lahir pada tanggal 4 Mei 1947 di Yogyakarta. PII adalah organisasi yang memilki komitmen yang besar bersama komponen bangsa yang lain untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada masa Orde Lama, PII kritis terhadap kebijakan Pemerintah dimana puncaknya yaitu penolakan terhadap Nasakom ( Nasional, Agama, Komunis), dan pada masa Orde Baru, PII juga mempunyai andil besar dalam pembentukan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Segenap warga PII berkeyakinan bahwa eksistensi organisasi bukanlah sekedar social need, melainkan merupakan perangkat fardhu kifayah (kewajiban secara kelompok) dalam rangka pengembangan dakwah islam. Jadi, tidaklah heran kalau di tingkat kehidupan bangsa dan Negara PII menjadi sangat peduli dan kritis terhadap kebijakan pemerintah, dimana salah satunya terhadap asas tunggal pancasila.

Sejak awal pencetusan ide tentang penyeragaman asas organisasi kemasyarakatan ini (1982), respond dan sikap PII Nampak konsisten, yaitu menolak secara utuh kebijakan tersebut. Sehingga, sampai batas waktu yang ditentukan untuk mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri, dengan syarat setiap organisasi kemasyarakatan harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya, tidak ada asas lain selain itu, yaitu 17 Juni 1987, PII tetap tidak mendaftarkan diri. Sejak itulah legalitas formal PII tidak diakui lagi. Sejak itu pula, PII secara kelembagaan telah berada diluar kerangka politik formal Orde Baru. Meskipun begitu, kegiatan-kegiatan PII kala itu tetap berlangsung, meski tidak dipublikasikan. Namun, pada tahun 1995 melalui Muktamar Nasional ke-20 di Cisalopa, Jawa Barat, PII secara kelompok, berketetapan untuk menerima asas tunggal Pancasila dan mendaftarkan diri ke departemen dalam negeri, dengan alasan, (1) Pancasila bagi umat Islam dan bagi PII sudah tidak perlu dipermasalahkan; dan (2) mengingat kondisi obyektif para pelajar (terutama pelajar menengah umum), maka PII perlu mengoptimalisasi perannya. Hal ini tidak mungkin dilaksanakan tanpa jalur formal. Tepat pada tanggal 6 Desember 1996 secara resmi PII mendaftarkan diri.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa, PII pada tahun 1995 berupaya masuk kembali ke dalam kerangka politik formal pemerintah Orde Baru. Dalam kerangka pikiran, penulis telah mempertimbangkan beberapa hal yang dapat menjawab pertanyaan tersebut yaitu menggabungkan konteks modernisasi dan concern kelompok-kelompok islam dalam membangun masyarakat berhadapan dengan Negara sebagai actor politik yang dominan.

Bagi dunia islam, abad pertengahan merupakan masa yang terang benderang, sementara pada saat itu Eropa (Barat) justru tengah mengalami abad kegelapan. Keadaan ini berlangsung kira-kira lima abad. Namun, pada abad ke-17, 18 dan klimaksnya abad ke-19, berbarengan dengan era modern di Barat stelah zaman kegelapan, islam mengalami titik kemunduran. Secara umum, para cendekiawan muslim menyimpulkan bahwa penyebab kemunduran tersebut ialah, (1) Kesalahpahaman umat islam terhadap agamanya sendiri, dan agar dapat maju umat islam harus kembali kepada ajaran yang murni; (2) secara politik, pada satu sisi, kemunduran umat islam disebabkan ole imperialisme Barat, dan di sisi lain, adanya pemerintah yang dictator di kawasan islam sendiri. Dengan kata lain, hal ini dapat dikatakan sebagai bagian dari konteks modernisasi, yaitu dimana terjadi proses transformasi atau perubahan social dalam segala aspek. Namun, seperti yang telah diuraikan diatas, concern kelompok islam dalam Negara juga berpengaruh dalam keeksistensian islam.

Seperti yang berisi dalam Bab 2 buku ini, tertuang tentang keadaan islam di Indonesia pasca-kemerdekaan hingga lahirnya PII, diantaranya (1) Umat Islam tetap terpecah-belah dalam berbagai organisasi dan golongan; (2) Bangsa Indonesia umumnya dan umat islam khususnya harus bersiap-siap menghadapi kembalinya para penjajah; (3) Bangsa Indonesia umumnya dan umat islam khususnya belum memiliki kesiapan yang memadai untuk mengelola Negara. Dengan kedaan tersebutlah, motivasi dasar berdirinya PII dibagi atas dua hal, yaitu ke-islaman-an dank e-negar-an. Dengan beberapa proses yang melatar belakangi, ahirnya tepat tanggal 4 Mei 1947 berdirilah organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Kiprah PII pada masa itu patut untuk diakui, dimulai dari gerakan grilya yang dilakukan pasca terjadinya agresi militer Belanda I dan II, dengan tujuan membantu pengusiran tentara Belanda, melakukan penumpasan terhadap PKI yang melakukan pemberontakan, namun hal tersebut dianggap tikaman dari belakang pada saat bangsa Indonesia sedang sibuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda, Hubungan baik PII dengan ABRI yang terlibat secar langsung dalam revolusi fisik, dan sangat dekat dengan Jendral Sudirman lalu andil besar PII dalam mempelopori berdirinya KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia).

Dari perjalan sejarah, kiprah dan idealisme yang terus diembannya, Nampak keterkaitan yang intens antara PII dengan politik. Keterlibatan PII dalam politik terlihat saat tumbangnya Orde Lama(Soekarno) dan berdirinya Orde Baru(Soeharto). Namun, masa konfrontasi dengan islam mulai Nampak ketika umat islam mulai kecewa pada orientasi dan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru. Walau andil umat Islam sangat besar dalam berdirinya Orde Baru, nyatanya umat islam tidak dikehendaki tampil dalam berbagai bentuk peran oleh para penguasa Orde Baru. Setalah disadari, ternyata adanya perbedaan yang berbanding terbalik antara revitalisasi politik islam dengan strategi depotilisasi Negara Orde Baru. Sejak itulah munculnya masalah-masalah baru antara Pelajar Islam Indonesia dengan Negara Orde Baru, mulai dari keluarnya PII dari secretariat bersama Golongan Karya, akibat mendominasinya militer yang sudah mulai tidak cocok dengan budaya demokrasi yang dimiliki PII, tidak disetujuinya perehabilitasian Masyumi oleh pemerintah Orde Baru, didirikannya KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) oleh Orde Baru, yang dianggap PII semakin menunjukkan adanya gejala monolitik dalam pembinaan generasi muda, kasus RUU perkawinan yang dinilai memuat pasal-pasal yang amat bertentangan dengan ajaran islam, munculnya gerakan 20 Maret 1978 karena masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Aliran Kepercayaan ke dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dianggap sebagai alat untuk menggerogoti aqidah islam, dan yang terakhir kasus pemakaian jilbab bagi pelajar muslim yang dilarang masuk ke sekolah bahkan terjadi pemecatan dari sekolah. Hal tersebut membuat PII melakukan protes dengan mengirim surat ke sejumlah instansi terkait, namun masih dilarang oleh pemerintah, sehingga terjadi aksi unjuk rasa PII ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Belakangan, melalu jalan panjang barulah kasus jilbab ini dapat diselesaikan dan diakomodasi pemerintah Orde Baru setelah terjadi perubahan strategi politiknya terhadap islam pada era 1990-an.
Tahun 1980-an dapat dikatakan sebagai puncak pemusatan system kekuasaan Orde Baru. Dimana salah satu cara Orde Baru memantapakan kekuasaan dan mengeliminasi Islam-Politik ialah dengan ideology Pancasila. Seperti yang telah diuraikan diatas, yaitu penolakan PII terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila, dengan tidak mendaftarkan dirinya hingga batas waktu yang ditentukan (17 Juni 1987). Namun seiring berjalannya waktu dengan begitu banyak persoalan yang dihadapi PII kala itu sebagai organisasi informal, sehingga tidak mampu melakukan gerakan-gerakan secara formal, pada saat itulah muncul pemikiran yang bersifat introspektif di kalangan aktivis PII. Tersimpul bahwa peran PII ternyata tidak dapat optimal bila posisinya informal. Upaya merumuskan format informal pun ternyata gagal, sementara keadaan internal dan eksternal saat itulah yang menuntut komitmen utamanya yaitu membangun generasi pelajar agar berani mengemban amanah kepemimpinan bangsa dan umat islam. Setelah melalui perdebatan panjang yang diawali mencuatnya ide reformalisasi PII (pada Rapimnas 1 : 1-3 Juli 1994), dilanjutkan dengan hadirnya surat dari Anton Timur Djaelani (salah seorang pendiri PII) yang berisi tentang harapan Anton Timur agar aktivis PII melaksanakan reformalisasi tersebut, kemudian ide reformalisasi tersebut dibahas serius di Rapimnas II (17-18 September 1994) dengan pembuatan naskah persetujuan cibubur yang berisikan kesepakatan pereformalisasian PII hingga akhirnya di sepakati pada Muktamar ke-20 di Bogor dan Jakarta (26-29 Januari 1995), maka pada tahun 1995 secara nasional para aktivis PII relatif menyepakati PII kembali tampil secara formal.

Buku ini bagus dibaca oleh kader PII yang ingin tau tentang sejarah Pelajar Islam Indonesia sejak kebangkitannya. Bagus pula untuk merefresh memory para kader tentang heroisme perjuangan PII masa lalu. Tetapi penulisan buku ini syarat dengan latar belakangnya sehingga dalam pengisahannya dibarengi dengan aroma-aroma politik.  

*Resensi Yusrina Fitriani dengan beberapa perubahan.

1 komentar:

  1. Bagus,

    Tapi resensi ini sebaiknya ditulis dengan cross check terhadap seluruh narasi dalam buku tersebut.

    Khusus tentang ketetapan Muknas XX Cislaopa, mohon dilakukan cross check terhadap para pelaku sejarah

    BalasHapus

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin