`

`

Kamis, 25 April 2013

MENEGASKAN TRADISI


“Tandang ke gelanggang walau seorang”

Beberapa kali langkah menuju ‘kemajuan’ kita dijegal oleh pemahaman kita yang salah tentang tradisi. Kita selalu ber-hujah pada pengalaman, kejadian masa lalu, dan prilaku orang terdahulu yang belum tentu berangkat dari nilai yang benar. Inilah persoalan utama kita sehingga tidak memiliki-meminjam istilah Muhammad Natsir-akal merdeka. Kita terkungkung dalam budaya yang tidak kita fahami sejarah dan filosofinya. Tidak jelas ini berangkat dari proses transformasi oleh generasi sebelumnya atau budaya yang lahir dari ketidakjelasan kita memandang sebuah aktivitas yang menjadi tradisi rutinitas dengan tradisi yang dilahirkan dan dijadikan sebagai sebuah gerakan.

Banyak hal yang bisa kita ungkap. Salah satunya adalah soal bangunan faham kita tentang konsep organisasi didalam organisasi PII dengan organisasi diluar PII. Implementasi dari konsep manajemen organisasi di PII tidak sekedar persoalan POAC, atau 5 W plus 1 H, tetapi lebih dari itu. Tidak juga memandang rutinitas berstruktur itu adalah profesionalisme kerja masing-masing bidang yang tersekat oleh job description-nya, tetapi melihat semuanya sebagai satu kesatuan yang utuh, saling berkaitan, dan saling mempengaruhi. Sehingga berlaku konsep membangun integritas tim harus dimulai dengan membangun integritas personal. Yaitu personal yang memiliki visi personal yang berkaitan dengan visi diri dan visi personal yang berhubungan dengan  membangun keutuhan tim menjadi super tim yang mapan.

Pada konteks ini juga kita perlu menyebut kaderisasi tidak hanya soal bidang yang mengurusi kader, pembinaan, serta follow up-nya tetapi juga kaderisasi sebagai salah satu bagian dari tim,  sehingga aktivitas kaderisasi bukan hanya sekedar tanggung jawab bidang yang menangani kaderisasi atau sebaliknya peningkatan pengetahuan yang berkaitan dengan kaderisasi PII tidak hanya dimonopoli oleh bidang kaderisasi. Pemahaman mendasar yang seharusnya telah kita fahami lebih awal adalah peran kaderisasi merupakan peran inti dalam mencapai tujuan dakwah PII, sedangkan filosofi kehadiran struktur adalah memberi input kapasitas untuk memenuhi bagian dari cita-cita kaderisasi untuk membentuk jiwa kepemimpinan kader. Artinya visi kaderisasi itu merupakan kepentingan semua bidang di struktur dan pola kebijakan bidang seharusnya mengarahkan pada satu titik orientasi yaitu kaderisasi.
Beberapa kali diskursus, mengobyektivikasi aktivitas berstruktur PII NTB sebagai representasi mikro dari keseluruhan kader PII NTB mempertemukan kita pada titik kesimpulan bahwa kita masih belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang cara pandang berorganisasi di organisasi PII, belum memiliki nilai yang mewarnai kultur organisasi dan bangunan kultur komunal kita di NTB, serta aktivitas membaca, menulis, dan diskusi masih hanya menjadi rutinitas. Belum menjadi gerakan.

Pemahaman yang Mendalam tentang PII
Barangkali tidak aneh ketika ada pertanyaan, ekspresi berorganisasi kita di PII menggambarkan organisasi mana?Pertanyaan ini sangat lumrah dihadirkan saat ini. Ekspresi berstruktur kita layaknya jelmaan dari pola pikir lain diluar sana.

Yang harus dicatat adalah PII bukan lagi ibarat kanvas yang bebas kita lukiskan dengan warna apapun. PII sudah jelas dengan spektrum fikrah, dan pola berorganisasi yang dilahirkan oleh falsafah kaderisasinya. Jika dalam perjalanannya terjadi keterpotongan arah jejak antara masa lalu dan masa kini, coba dirunut, barangkali ada peta sejarah yang tidak tergariskan sampai hari ini. Sehingga orisinalitas itu menjadi ciri khas yang tidak bisa dikaburkan lagi. Selanjutnya konsep kader umat yang difahami sebagai filosofi arah juang kader pasca PII menjadi warna yang menyatu dengan arah pandang PII tentang peradaban. Maka lahirlah pemimpin yang tidak fanatik golongan, pemimpin yang bijak memandang perbedaan, pemimpin yang lebih mengedepankan substansi dari pada teks sehingga ruang-ruang curah pendapat dijadikan sebagai ruang menyelesaikan akar masalah umat.

Atas dasar cara pandang ini menuntut kader yang masih berjuang didalam struktur organisasi PII untuk terus berproses meningkatkan pemahaman tentang filosofi organisasi yang sampai pada detik ini telah banyak menciptakan pemimpin umat. Banyak hal yang bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan menjemput kesempatan dan ruang-ruang yang telah disediakan oleh Keluarga Besar (KB) PII di rumah dan lahan-lahan perjuangan yang sedang mereka geluti. Saya sangat yakin bahwa kebutuhan ini dirasakan sama oleh KB dalam konteks bincang PII antar zaman karena memang cita rasa perjuangan itu berangkat dari satu alat cetak yang sama. Maka kehausan akan ilmu dan informasi pasti dirasakan oleh kader dan Keluarga Besar (KB) PII. Sehingga kemudian terjadi saling terbuka dalam rangka menyambung titik-titik sejarah yang terputus.

Nilai yang Mewarnai Kultur Organisasi dan Bangunan Kultur Komunal di NTB
Kita sepakat bahwa PII NTB belum memiliki ciri khas kultur. Kalaupun ada, itu masih bias dan perlu ditegaskan dalam warna yang jelas. Kalau PII Jogjakarta Besar dikenal dengan intelektualitasnya, filosofi training yang kuat, budaya berstruktur yang tegas, jiwa training yang menyatu dalam dirinya, sehingga bisa dipastikan produknya adalah produk yang khas dengan warna Jogjakarta. Begitu juga jika kita menyebut PII Jawa Barat dengan heterogenitas yang tinggi, sangat filosofis, syarat dengan pergolakan wacana, sampai dengan tingkat kader yang paling ekstrim nyeleneh bertahan dan berproses lama di PII. Begitu pula yang bisa kita simpulkan ketika menyebut PII Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kental dengan warna normatifnya.

Bagaimana dengan kita?PII NTB? Perlu kita urai dengan jelas mana kultur kita dan mana kultur yang ditransmisi dari gerakan diluar PII?Pertnyaan kemudian juga  muncul apakah PII mendoktrin menjadi satu fikroh PII?Dan yang mana fikroh PII?Kita kemudian menjawabnya dengan jelas bahwa fikroh PII adalah fikrah Islam. PII membebaskan kadernya untuk menimba ilmu diluar, berkontribusi diluar PII selama sesuai dengan Al-qur’an dan As-Sunnah. Dan didalam interaksi berstruktur di PII perbedaan-perbedaan diluar bukan kemudian menjadi bahan perdebatan dan permusuhan di dalam PII. Tetapi ini kemudian menjadi khasanah atau kekayaan intelektual kader PII. Semua perbedaan fikrah yang diperoleh dari proses menuntut ilmu dari kelompok ta’lim diluar PII itu menjadi bahan diskusi untuk menambah pengetahuan kader dalam memandang perbedaan kelompok umat Islam. Sehingga menjadi bijaksana dan dewasa dalam menghadapi warna-warni pemikiran umat Islam. Maka lahirlah sebutan kader PII sebagai kader Umat.

Menegaskan kultur PII NTB menjadi isu bersama kader PII NTB. Yang kemudian harus digelorakan dalam perbincangan di struktur maupun diobrolan-obrolan kultural, dalam perbincangan diinternal kader PII yang masih berjuang distruktur maupun bersama Keluarga Besar (KB) yang selalu berkontribusi dalam mempertahankan eksistensi PII.

Kita sangat menyadari bahwa kultur yang masih abstrak ini yang kemudian menjadikan ukuran-ukuran kita memandang sesuatu itu masih minimalis. Dalam mengukur komitmen kader saja bincang-bincang ditingkat instruktur sekalipun masih dalam perdebatan yang alot. Begitu pula dengan kontrak berstruktur maupun kontrak ber-instruktur. Mengadakan advance dan berhasil menghadirkan peserta lebih dari cukup menjadi suatu kebanggaan bagi kita tetapi persoalan kemudian mereka berkontribusi atau tidak kepada PII, mereka selanjutnya berjuang di PII atau malah keluar dan memilih organisasi diluar PII belum menjadi satu persoalan bagi kita, padahal fenomena ini adalah fenomena “kutu loncat” kader Basic Training (BATRA) yang harusnya tuntas setelah mereka mengikuti Intermediate Training (INTRA).

Aktivitas Membaca, Menulis, dan Diskusi Harus Menjadi Gerakan.
Dimanapun kader PII itu berada dan dalam ruang dan waktu yang berbeda sekalipun, outputnya pasti memiliki bakat menulis, rajin membaca, dan kebiasaan berdiskusi. Begitupula dengan kader PII di NTB, pasti memiliki tiga hal tersebut. Bisa dilihat dalam kesehariannya. Bisa disimpulkan dari cara bicara dan menganalisa. Sangat menggambarkan keluasan wacana dan kebiasaan menganalisa masalah yang semuanya dibentuk dari proses diskusi diforum-forum kecil, forum formal, dan non formal, baik dalam rapat maupun ketika berada diwarung kopi.

Persoalan kemudian adalah apakah kebiasaan atau ketiga tradisi tersebut sudah disadari sebagai sebuah proses komunal?Atau disadari menjadi sebuah gerakan membangun tradisi intelektual?
Jika gerakan PII difahami sebagai tangga menuju pembentukan peradaban maka harus disadari pula bahwa ketiga hal ini selalu mewarnai aktivitas sebuah peradaban. Begitu juga yang digambarkan oleh komitmen kepelajaran dalam Falsafah Gerakan PII tentang kepelajaran sebagai intelektualisme. Bahwa intelektualisme harus menjadi komitmen sepanjang usia kader PII, baik ketika masih distruktur maupun setelah menjadi kader umat di lain tempat. Pada akhirnya komitmen untuk menciptakan intelektualisme (kultur belajar) yang memadai di dalam kelembagaan PII. Dan PII harus mampu mengantarkan kader-kadernya sebagai intelektual yang memiliki semangat belajar yang tinggi (baca : Tri Komitmen PII).

Lalu siapa yang akan memulai tradisi ini?siapa yang akan menyadarkan semua personil struktur untuk menjadikan rutinitas ini sebagai sebuah gerakan?
Aktivitas menulis, membaca, dan diskusi ini sudah dilakukan, sudah dimulai, bahkan sudah melekat kuat dalam diri masing-masing tetapi semuanya masih berserakan, masih menjadi kesadaran personal yang saban hari akan sedikit demi sedikit menguap lalu hilang ditelan waktu. Berbeda jika tradisi ini disadari oleh setiap orang, kemudian disadari bahwa tradisi yang berserakan ini perlu ditata dan dijadikan sebagai sebuah gerakan, sehingga filosofi dan dasar pengetahuan dalam melakukannya bukan atas fluktuasi emosi, atau kemudian semangat yang naik turun tetapi proses sadar dalam membangun tradisi intelektual.

Jika kemudian pemahaman tentang berorganisasi di organisasi PII telah mengakar, mampu membangunan kultur yang khas di NTB, serta membuminya gerakan membaca, menulis, dan diskusi maka nafas gerakan ini akan terus hidup sampai pada lompatan sejarah dimasa yang akan datang. Sehingga generasi selanjutnya tidak lagi merisaukan persoalan-persoalan yang sedang kita tatap hari ini, mereka akan berkarya; mengabadikan sejarah masa lalu, hadapannya kini, serta cita-cita akan kemajuan gerakan PII dan umat dimasa yang akan datang.

Inilah cita-cita akan tradisi. Jika semua kita berfikir bahwa semua orang akan memulai mengkonstruk segala kebaikan ini maka semua kita juga akan memulainya, dan semua kita akan sama-sama memadukan gerak, mengatur ritme perjalanan, sampai pada cita-cita izzul Islam wal Muslimin. Namun jika kita bukan menjadi orang-orang yang menikmati sebuah kesuksesan merekayasa manusia dan peradaban tetapi yakinlah bahwa sejarah akan mencatat kita sebagai bagian dari orang-orang yang ikut andil dalam menata batu-bata peradaban.

*Intisari yang saya tangkap dalam diskusi kultural pekan lalu

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin