“Tandang ke gelanggang walau seorang”
Beberapa kali langkah menuju ‘kemajuan’ kita dijegal oleh pemahaman kita yang salah
tentang tradisi. Kita selalu ber-hujah
pada pengalaman, kejadian masa lalu, dan prilaku orang terdahulu yang belum
tentu berangkat dari nilai yang benar. Inilah persoalan utama kita sehingga
tidak memiliki-meminjam istilah
Muhammad Natsir-akal merdeka. Kita terkungkung dalam budaya yang tidak kita
fahami sejarah dan filosofinya. Tidak jelas ini berangkat dari proses transformasi
oleh generasi sebelumnya atau budaya yang lahir dari ketidakjelasan kita
memandang sebuah aktivitas yang menjadi tradisi rutinitas dengan tradisi yang dilahirkan
dan dijadikan sebagai sebuah gerakan.
Banyak hal yang bisa kita
ungkap. Salah satunya adalah soal bangunan
faham kita tentang konsep organisasi didalam organisasi PII dengan organisasi
diluar PII. Implementasi dari konsep manajemen organisasi di PII tidak sekedar
persoalan POAC, atau 5 W plus 1 H, tetapi lebih dari itu. Tidak juga memandang
rutinitas berstruktur itu adalah profesionalisme kerja masing-masing bidang
yang tersekat
oleh job description-nya,
tetapi melihat semuanya sebagai satu kesatuan yang utuh, saling berkaitan, dan
saling mempengaruhi. Sehingga berlaku konsep membangun integritas tim harus
dimulai dengan membangun integritas personal. Yaitu personal yang memiliki visi
personal yang berkaitan dengan visi diri dan visi personal yang berhubungan dengan membangun keutuhan tim menjadi super tim yang mapan.
Pada konteks ini juga
kita perlu menyebut kaderisasi tidak hanya soal bidang yang mengurusi kader,
pembinaan, serta follow up-nya tetapi
juga kaderisasi sebagai salah satu bagian dari tim, sehingga
aktivitas kaderisasi bukan hanya sekedar tanggung jawab bidang yang menangani
kaderisasi atau sebaliknya peningkatan pengetahuan yang berkaitan dengan
kaderisasi PII tidak hanya dimonopoli oleh bidang kaderisasi. Pemahaman mendasar yang seharusnya telah
kita fahami lebih awal adalah peran kaderisasi merupakan peran inti dalam mencapai tujuan dakwah PII,
sedangkan
filosofi kehadiran struktur adalah memberi input kapasitas untuk memenuhi bagian
dari cita-cita kaderisasi untuk membentuk jiwa kepemimpinan kader. Artinya visi kaderisasi itu merupakan kepentingan semua
bidang di struktur dan pola kebijakan bidang seharusnya mengarahkan pada satu
titik orientasi yaitu kaderisasi.
Beberapa kali diskursus, mengobyektivikasi aktivitas berstruktur PII NTB
sebagai representasi mikro dari keseluruhan kader PII NTB mempertemukan kita
pada titik kesimpulan bahwa kita masih belum memiliki pemahaman yang mendalam
tentang cara pandang berorganisasi di organisasi PII, belum memiliki nilai yang
mewarnai kultur organisasi dan bangunan kultur komunal kita di NTB, serta
aktivitas membaca, menulis, dan diskusi masih hanya menjadi rutinitas. Belum
menjadi gerakan.
Pemahaman yang Mendalam tentang
PII
Barangkali tidak aneh ketika ada pertanyaan, ekspresi berorganisasi kita di
PII menggambarkan organisasi mana?Pertanyaan ini sangat lumrah dihadirkan saat
ini. Ekspresi berstruktur kita layaknya jelmaan dari pola pikir lain diluar
sana.
Yang harus dicatat adalah PII bukan lagi ibarat kanvas yang bebas kita
lukiskan dengan warna apapun. PII sudah jelas dengan spektrum fikrah, dan pola
berorganisasi yang dilahirkan oleh falsafah kaderisasinya. Jika dalam
perjalanannya terjadi keterpotongan arah jejak antara masa lalu dan masa kini,
coba dirunut, barangkali ada peta sejarah yang tidak tergariskan sampai hari
ini. Sehingga orisinalitas itu menjadi ciri khas yang tidak bisa dikaburkan
lagi. Selanjutnya konsep kader umat yang difahami sebagai filosofi arah juang
kader pasca PII menjadi warna yang menyatu dengan arah pandang PII tentang
peradaban. Maka lahirlah pemimpin yang tidak fanatik golongan, pemimpin yang
bijak memandang perbedaan, pemimpin yang lebih mengedepankan substansi dari
pada teks sehingga ruang-ruang curah pendapat dijadikan sebagai ruang
menyelesaikan akar masalah umat.
Atas dasar cara pandang ini menuntut kader yang masih berjuang didalam
struktur organisasi PII untuk terus berproses meningkatkan pemahaman tentang
filosofi organisasi yang sampai pada detik ini telah banyak menciptakan
pemimpin umat. Banyak hal yang bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan
menjemput kesempatan dan ruang-ruang yang telah disediakan oleh Keluarga Besar
(KB) PII di rumah dan lahan-lahan perjuangan yang sedang mereka geluti. Saya
sangat yakin bahwa kebutuhan ini dirasakan sama oleh KB dalam konteks bincang PII
antar zaman karena memang cita rasa perjuangan itu berangkat dari satu alat
cetak yang sama. Maka kehausan akan ilmu dan informasi pasti dirasakan oleh
kader dan Keluarga Besar (KB) PII. Sehingga kemudian terjadi saling terbuka
dalam rangka menyambung titik-titik sejarah yang terputus.
Nilai yang Mewarnai Kultur
Organisasi dan Bangunan Kultur Komunal di NTB
Kita sepakat bahwa PII NTB belum memiliki ciri khas kultur. Kalaupun ada,
itu masih bias dan perlu ditegaskan dalam warna yang jelas. Kalau PII
Jogjakarta Besar dikenal dengan intelektualitasnya, filosofi training yang
kuat, budaya berstruktur yang tegas, jiwa training yang menyatu dalam dirinya, sehingga
bisa dipastikan produknya adalah produk yang khas dengan warna Jogjakarta.
Begitu juga jika kita menyebut PII Jawa Barat dengan heterogenitas yang tinggi,
sangat filosofis, syarat dengan pergolakan wacana, sampai dengan tingkat kader
yang paling ekstrim nyeleneh bertahan dan berproses lama di PII. Begitu pula yang
bisa kita simpulkan ketika menyebut PII Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kental
dengan warna normatifnya.
Bagaimana dengan kita?PII NTB? Perlu kita urai dengan jelas mana kultur
kita dan mana kultur yang ditransmisi dari gerakan diluar PII?Pertnyaan
kemudian juga muncul apakah PII
mendoktrin menjadi satu fikroh PII?Dan yang mana fikroh PII?Kita kemudian
menjawabnya dengan jelas bahwa fikroh PII adalah fikrah Islam. PII membebaskan
kadernya untuk menimba ilmu diluar, berkontribusi diluar PII selama sesuai
dengan Al-qur’an dan As-Sunnah. Dan didalam interaksi berstruktur di PII perbedaan-perbedaan
diluar bukan kemudian menjadi bahan perdebatan dan permusuhan di dalam PII.
Tetapi ini kemudian menjadi khasanah atau kekayaan intelektual kader PII. Semua
perbedaan fikrah yang diperoleh dari proses menuntut ilmu dari kelompok ta’lim
diluar PII itu menjadi bahan diskusi untuk menambah pengetahuan kader dalam
memandang perbedaan kelompok umat Islam. Sehingga menjadi bijaksana dan dewasa
dalam menghadapi warna-warni pemikiran umat Islam. Maka lahirlah sebutan kader
PII sebagai kader Umat.
Menegaskan kultur PII NTB menjadi isu bersama kader PII NTB. Yang kemudian
harus digelorakan dalam perbincangan di struktur maupun diobrolan-obrolan
kultural, dalam perbincangan diinternal kader PII yang masih berjuang
distruktur maupun bersama Keluarga Besar (KB) yang selalu berkontribusi dalam
mempertahankan eksistensi PII.
Kita sangat menyadari bahwa kultur yang masih abstrak ini yang kemudian
menjadikan ukuran-ukuran kita memandang sesuatu itu masih minimalis. Dalam
mengukur komitmen kader saja bincang-bincang ditingkat instruktur sekalipun
masih dalam perdebatan yang alot. Begitu pula dengan kontrak berstruktur maupun
kontrak ber-instruktur. Mengadakan advance dan berhasil menghadirkan peserta
lebih dari cukup menjadi suatu kebanggaan bagi kita tetapi persoalan kemudian
mereka berkontribusi atau tidak kepada PII, mereka selanjutnya berjuang di PII
atau malah keluar dan memilih organisasi diluar PII belum menjadi satu
persoalan bagi kita, padahal fenomena ini adalah fenomena “kutu loncat” kader Basic
Training (BATRA) yang harusnya tuntas setelah mereka mengikuti Intermediate
Training (INTRA).
Aktivitas Membaca, Menulis, dan
Diskusi Harus Menjadi Gerakan.
Dimanapun kader PII itu berada dan dalam ruang dan waktu yang berbeda
sekalipun, outputnya pasti memiliki bakat menulis, rajin membaca, dan kebiasaan
berdiskusi. Begitupula dengan kader PII di NTB, pasti memiliki tiga hal
tersebut. Bisa dilihat dalam kesehariannya. Bisa disimpulkan dari cara bicara
dan menganalisa. Sangat menggambarkan keluasan wacana dan kebiasaan menganalisa
masalah yang semuanya dibentuk dari proses diskusi diforum-forum kecil, forum formal,
dan non formal, baik dalam rapat maupun ketika berada diwarung kopi.
Persoalan kemudian adalah apakah kebiasaan atau ketiga tradisi tersebut
sudah disadari sebagai sebuah proses komunal?Atau disadari menjadi sebuah
gerakan membangun tradisi intelektual?
Jika gerakan PII difahami sebagai tangga menuju pembentukan peradaban maka
harus disadari pula bahwa ketiga hal ini selalu mewarnai aktivitas sebuah peradaban.
Begitu juga yang digambarkan oleh komitmen kepelajaran dalam Falsafah Gerakan
PII tentang kepelajaran sebagai intelektualisme. Bahwa intelektualisme harus
menjadi komitmen sepanjang usia kader PII, baik ketika masih distruktur maupun
setelah menjadi kader umat di lain tempat. Pada akhirnya komitmen untuk
menciptakan intelektualisme (kultur belajar) yang memadai di dalam kelembagaan
PII. Dan PII harus mampu mengantarkan kader-kadernya sebagai intelektual yang
memiliki semangat belajar yang tinggi (baca : Tri Komitmen PII).
Lalu siapa yang akan memulai tradisi ini?siapa yang akan menyadarkan semua
personil struktur untuk menjadikan rutinitas ini sebagai sebuah gerakan?
Aktivitas menulis, membaca, dan diskusi ini sudah dilakukan, sudah dimulai,
bahkan sudah melekat kuat dalam diri masing-masing tetapi semuanya masih
berserakan, masih menjadi kesadaran personal yang saban hari akan sedikit demi
sedikit menguap lalu hilang ditelan waktu. Berbeda jika tradisi ini disadari
oleh setiap orang, kemudian disadari bahwa tradisi yang berserakan ini perlu
ditata dan dijadikan sebagai sebuah gerakan, sehingga filosofi dan dasar
pengetahuan dalam melakukannya bukan atas fluktuasi emosi, atau kemudian
semangat yang naik turun tetapi proses sadar dalam membangun tradisi
intelektual.
Jika kemudian pemahaman tentang berorganisasi di organisasi PII telah
mengakar, mampu membangunan kultur yang khas di NTB, serta membuminya gerakan
membaca, menulis, dan diskusi maka nafas gerakan ini akan terus hidup sampai
pada lompatan sejarah dimasa yang akan datang. Sehingga generasi selanjutnya
tidak lagi merisaukan persoalan-persoalan yang sedang kita tatap hari ini,
mereka akan berkarya; mengabadikan sejarah masa lalu, hadapannya kini, serta
cita-cita akan kemajuan gerakan PII dan umat dimasa yang akan datang.
Inilah cita-cita akan tradisi. Jika semua kita berfikir bahwa semua orang
akan memulai mengkonstruk segala kebaikan ini maka semua kita juga akan
memulainya, dan semua kita akan sama-sama memadukan gerak, mengatur ritme
perjalanan, sampai pada cita-cita izzul Islam wal Muslimin. Namun jika kita
bukan menjadi orang-orang yang menikmati sebuah kesuksesan merekayasa manusia
dan peradaban tetapi yakinlah bahwa sejarah akan mencatat kita sebagai bagian
dari orang-orang yang ikut andil dalam menata batu-bata peradaban.
*Intisari yang saya
tangkap dalam diskusi kultural pekan lalu
0 komentar:
Posting Komentar