`

`

Rabu, 24 April 2013

APA SIH ASYIKNYA DI PELOSOK?


Beberapa waktu yang lalu dapat pertanyaan dari teman saya: “Apa sih yang menarik buat kamu terjun ke pedalaman?”. Saya langsung mikir, ni pertanyaan simple tapi jawabannya panjang banget. Saya sempat ketik panjang utk menjawab, tapi apa daya, sinyal internet di rumah lumayan tidak lancar, hingga akhirnya memutuskan menuangkan jawabannya dalam sebuah tulisan. Mumpung banyak juga yang nanya, he he. Dan jawabannya adalah… eng ing eng... (lebay:P):

Di pelosok, ada anak-anak polos dan cerdas. Tidak peduli sejelek apapun dirimu, mereka akan terpesona dan mengatakan bahwa kau cantik sekali. Prasangka saya, karena kulit saya cukup putih. Setahun disana, setiap bertemu mereka masih akan berbisik kagum ke teman-temannya: “Bu Clara putee” (Bu Clara putih sekali ya). Begitu juga yang terjadi dengan teman-teman saya yang lain, meskipun kulit mereka tidak putih. Yup, mereka tidak pernah melihat dunia luar. Padahal kalau di kota kan ga ada yang mau ngeliatin saya :p. muncul sudah tantangan pertama: mengenalkan pada mereka betapa luasnya dunia ini.

Di pelosok, anak-anak polos (dan semua orang ding) meniru semua yang ada di televisi, karena menganggap itu real. Pada usia SMP pikiran mereka terforsir pada “pacaran, lawan jenis, dan selingkuh”. Jadilah, pengantin-pengantin yang diarak biasanya berusia SMP, paling banter SMU. Setelah itu mereka numpang dirumah orang tua sambil membantu di lahan. Jangan kaget ketika usia tamatan SMU sudah tiga kali kawin cerai. Muncul lagi kan tantangannya, mereka butuh teman yang memberitahu dan memotivasi untuk bisa hidup lebih maju. Sederhana saja, apa itu menstruasi, apa itu baligh, apa rasa dan manfaatnya menjadi seorang sarjana.

Di pelosok, anak-anak polos dengan binar mata cerah tidak kenal kebersihan. Budaya mandi hanya sekali sehari. Meskipun kepanasan dan merasa gatal, mereka tetap tidak mandi. Alih-alih pakai sampo, mereka memilih keramas dengan kelapa yang dilumat dimulut, campur air, dan dibalurkan ke kepala. Jangan Tanya bau badan dan rambutnya. Butuh waktu dua bulan bagi saya untuk membuat mereka mandi sebelum berangkat sekolah. 

Di pelosok, ada sosok guru pemuda bersemangat yang belum kenal komputer. Ah, jangankan computer, crayon pun barang asing bagi mereka. Datang ke sekolah dengan beban “Mengurusi anak-anak Bengal dan bodoh!” Belum-belum mereka sudah merasa terbebani. Jadilah mereka hanya berteriak dan memukul siswa alih-alih mengajar. Sungguh mereka butuh contoh, bagaimana rasanya mengajar dan mendidik siswa tanpa harus mengeluarkan ribuan energi negatif. Mereka butuh dibukakan matanya sehingga tidak lagi mengatakan :” Mereka ini bu clara, mau di ajar bagaimana juga tidak bakal bisa, dari sananya sudah bodoh!” Dua minggu kemudian, 5 dari anak-anak bodoh ini mengisi kekosongan lagu Mengheningkan Cipta dengan iringan recorder (bantuan Negara yang berdebu disuatu pojok kantor guru) setiap kali upacara bendera. Jarang lho, sekolah yang melaksanakan upacara bendera tiap senin pagi di kota-kota itu. Setahun kemudian, anak-anak bodoh ini tampil dengan hebatnya di atas panggung: drama, tari tradisional, tari modern, paduan suara. Penampilan seni yang merupakan metode pembelajaran menyenangkan dari saya untuk mereka agar pembelajaran menjadi efektif.

Oia, para guru muda bersemangat itu digaji Rp.300.000 per bulan, yang dibayarkan per tiga bulan. Itupun kalau Kepala sekolahnya tidak memakai uang BOS untuk "balik modal". Mereka juga dengan mudah bisa di pecat atau dipindahkan. Semuanya tergantung pada keputusan pejabat tinggi daerah dan para koneksinya. Maka saya akan banyak belajar pada sesosok super hero (pasti ada nih di setiap tempat :) yang menjadi panutan di sebuah desa. Sosok yang menolak menjadi kepala sekolah/desa  jika harus pakai uang. Serta dengan tulus ikhlas membantu para tetangganya untuk hidup lebih maju.

Sayangnya, sosok pahlawan ini pun sering kali kesulitan. Beliau membuang semua ampas jagung padahal sedang krisis pupuk. Mereka butuh sarjana pertanian yang mau dengan sabar mengajari bagaimana cara mengolah ampas jagung dan kotoran sapi yang berceceran di tengah jalan (dan sangat banyak) menjadi pupuk dan bahan bakar. Ah, tidak usah sarjana, lulusan SMU pun sudah cukup sebetulnya. Baca saja di internet cara membuatnya, praktekkan dengan doa yang kuat, Insyallah berhasil, he he. Hanya seperti pelatihan keterampilan kain flannel, martabak manis, dan memainkan alat musik yang saya dan teman-teman lakukan.

Hei, saya juga pernah beberapa kali dalam keadaaan bahaya. Ditodong hingga dipalak. Seram sekali, mereka berkelompok. Berapa sih besarnya badan, uang, dan tenaga yang saya punya. Mau menyalahkan siapa? Tidak ada. Mereka pun pastinya tidak mau jadi seperti itu. Hanya saja mereka belum mempunyai kesempatan untuk berkenalan dengan pendidikan, atau minimal cara hidup yang baik. Itulah sialnya menjadi akar rumput kan.

See,terlalu banyak hal menarik di pelosok. Di tengah masyarakat yang sangat bangga beragama islam 100% tetapi tidak ada yang shalat. Mengaji dengan suara keras dan cengkok yang berlenggak-lenggok, tetapi tidak hapal surat al-ikhlas. Bayangkan sulitnya mendidik agar anak-anak sholat, padahal orang tuanya tidak pernah sholat dan selalu diberi banyak kenikmatan oleh Allah. Sekali lagi mereka tidak butuh digurui, cukup hadir, bercengkrama sambil tetap melakukan hal-hal positif, on the right way. Hanya untuk membuka mata, bagaimana cara”hidup” yang benar. Tetap mandi walaupun air jauh, memasak dulu air berkapur untuk diminum, dan tidak membuang air kecil dan besar di sembarang tempat. dari hal-hal kecil hingga yang besar seperti shalat. Sejatinya, mereka hanya butuh ditemani :).

Dari FB teman SGI (Clara Novita Anggraini)

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin