Oleh Syarif Almubarak
Ketua PW PII NTB periode 2009-2011
Assalamu’alaykum
warahmatullah wabarakatuh..
Ini
merupakan ikhtiar saya dalam menjawab beberapa persoalan yang terdapat dalam
diskusi yang panjang terkait dengan makna kehadiran seorang kader PII dan
identitasnya sebagai kader ummat.
1.
Adapun
persoalan yang pertama yang akan saya paparkan adalah terkait dengan pertanyaan
yang berasal dari kanda salman faris yang bertanya
“bisakah PII merangkul semua
golongan jika kita menggaris batas gerakan?”
Sebelum pertanyaan ini
terlontarkan ada satu pernyataan dari kanda noval palandi
“Dalam
konteks proses sy melihat PII ini hanya berhenti pada titik stimulasi menuju
izzul islam wal muslimin..Karena dibatasi oleh jatah berstruktur didalamnya..”
Dari kalimat di atas akan Nampak
bahwa sebenarnya PII hanya menjadi sebuah sarana stimulus untuk membuka wacana
kepada kadernya untuk membangun izzul
Islam wal muslimin, kemudian kader PII tersebut berproses selama jatah
berstruktur di dalamnya. Jika kemudian ini dipahami maka proses membangun izzul Islam wal muslimin ini belumlah
dapat terlaksana karena ini hanyalah sebuah stimulus dalam menuju hal tersebut.
Sehingga diperlukan kesinambungan gerakan yang menjadi pilihan sadar seorang
kader PII pasca berstruktur, untuk itu identitas kader PII pasca struktur akan
sangat ditentukan dengan prosesnya dalam masa berstruktur dalam memahami
konteks ke-PII-an. Adapun kader PII di dalam struktur tentu saja akan menjadi
sangat sulit dengan intensitas kesibukan teknis dan kebijakan di periodenya
masing-masing (bukan tidak mungkin) untuk merangkul setiap golongan. Namun, hal
ini akan menjadi lebih ringan ketika masing-masing kader PII pasca struktur
memiliki frame pembangunan izzul Islam wal muslimin dalam setiap
ranah kehidupan yang kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai musyawarah yang
apabila terdapat khilaf di dalamnya segara mereka mengembalikannya kepada Allah
kemudian rasul-Nya. Maka ketika ini semua dapat berjalan dapatlah kita menyebut
jika stimulus yang diusahakan dulu ketika berada dalam stuktur memiliki dampak
dalam perkembangan pribadinya pasca struktur.
2.
Kemudian
persoalan kedua yang akan saya soroti adalah tentang makna dari terminologi
“mata rantai perjuangan”.
Adapun dalam memaknai hal ini
kita akan melihat 2 hal. pertama, kita melihat implementasi termonologi ini
dalam kehidupan berstruktur dan kedua implementasinya pada kehidupan pasca
berstruktur.
Untuk yang pertama, memaknai
termonologi “mata rantai perjuangan ummat” dalam berstruktur adalah dengan
merujuk kembali pada khittah perjuangan ke luar pada garis kebijakan terhadap
keummatan. Dimana perjuangan yang dibangun adalah atas dasar kesepahaman bahwa
ketakwaan dan penyembahaan diri kepada Allah semata lah yang menjadikan kita
bersaudara.
“Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah
menjinakkan antara hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang
yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar
kamu mendapatkan petunjuk.”. (QS.
Ali Imran: 103).
Maka
dengan menjadi bagian dari tali rantai perjuangan ummatlah PII berusaha bersama
membangun kesadaran menuju tujuan yang tinggi yaitu penyerahan diri seutuhnya
kapada Allah jalla wa alaa.
Katakanlah, “Sesungguhnya aku
hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah
baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri… (QS. Saba’ [34]: 46)
Makna
mata rantai bukanlah seluruh rantai, tentu saja kita menyadari hal itu. Oleh
karenanya perjuangan PII dalam mencapai tujuan izzul Islam wal muslimin
tidaklah boleh menutup mata dari mata rantai-mata rantai yang lainnya.
“Adapun dalam kebijakannya PII
kemudian tidak apriori memihak salah satu atau beberapa organisasi Islam
manapun juga, tetapi akan senantiasa berpihak pada Islam dan Ummat Islam.”
Selanjutnya
untuk yang kedua, memaknai termonologi “mata rantai perjuangan ummat” pasca
berstruktur. Ketika kita hadir sebagai seorang kader PII yang juga ikut
merasakan nuansa pembinaan PII yang telah habis masa baktinya pada PII dan
telah tiba masanya untuk terjun ke masyarakat maka konteks perjuangan keummatan
menjadi semakin luas, semakin beragam, semakin banyak pilihan. Untuk itu
kedewasaan dalam memaknai persoalan-persoalan khilafiyah menjadi mutlak untuk dimiliki
oleh seorang kader PII. Adapun untuk persoalan-persoalan yang pokok (ushul)
dalam agama ini maka apabila terdapat penyimpangan tidak dapat tidak seorang
kader PII harus menjadi yang terdepan dalam menolak penyimpangan pada pokok
agama tersebut.
Dengan
adanya kedewasaan dalam menyikapi persoalan-persoalan khilafiyah dan kerelaan
terhadap adanya perbedaan pendapat selama bukan pada masalah yang pokok maka
kader PII akan senantiasa berusaha untuk membangun jaringan berdasarkan
kaidah-kaidah pokok dalam agama ini, walaupun dalam persoalan cabangnya mungkin
mereka berbeda. Sehingga seorang kader PII akan dapat bergerak dimana saja
menjadi mata rantai dalam perjuangan yang pokok yang tidak terjebak pada
perdebatan persoalan khilafiyah yang ada.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (Q.S.
Al-Israa' : 36)
Saat
keder PII tersebut dapat menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada tersebutlah
boleh lah sekiranya kita menyebut peranan kader PII “sebagai mata rantai
perjuangan ummat” dapat terasa. Oleh karena itulah seoarang kader PII juga
terkadang dielukan pula sebagai “anak ummat”.
3. Kemudian
persoalan yang ketiga, masih dari kanda Salman Faris.
“apakah
ada penjelasan kapan seorang kader harus mengikuti ide PII dan kapan dibolehkan
menggunakan ide pribadi atau selain PII?”
Untuk melihat hal ini maka kita tidak bisa
melepaskan diri dari melihat sumber-sumber keilmuan seorang kader dalam
prosesnya ber-PII. Dari prosesnya tersebutlah dia akan mendapatkan arti apa itu
“ide PII”. Pluralitas dalam tubuh kader PII tentunya juga akan membentuk
paradigma berpikir dan menjadi landasan bepikir serta membentuk “idea”
pribadinya. Memisahkan hal tersebut tentu akan sangat sulit, karena “idea”
dalam PII sendiri merupakan hal-hal yang disarikan dari banyak literature
keilmuan Islam yang juga banyak digunakan oleh gerakan lain di luar PII.
Misalkan
saja, pertanyaan dari saudara kita Juan Justiti
"Mungkinkah
khayrul ummah dan izzul islam wal muslimin bisa di wujudkan tanpa adanya
syariah dan khilafah?"
Apakah pertanyaan ini lahir dilatar belakangi dari
idea PII, Ide pibadi, atau idea harakah lain? Ini tentu sangat sulit kita
uraikan, karena buah pikiran itu sendiri di dasari dari pemahaman dan
pengalaman awal tentang wacana yang dia ungkapkan.
Atau jika kemudian terdapat kajian tentang surah al
maidah ayat 54 yang juga menjadi landasan idea di khittah perjuangan. Apakah
kemudian kita lantas menyatakan bahwa PII mengikuti idea dari harakah lain
karena identiknya ayat ini dengan profile dari kader-kader harakah lain? Tentu
saja tidak, karena idea tentang keislaman sendiri bukanlah hak prerogatif dari dari
beberapa harakah tertentu, bukan pula itu milik PII semata. Maka apakah yang
kemudian di sebut sebagai idea PII? Inilah yang kemudian perlu kita pahami.
Adapun untuk pertanyaan terkait kapan, maka dalam
berpendapat sebisa mungkin seorang kader PII tidak menyampaikan seseuatu yang
berada di luar keilmuannya. Sedangkan dalam berpendapat jika untuk kebenaran
maka ia akan menyampaikan sesuatu untuk mendukung kebenaran tersebut saat kapan
pun dan di mana pun juga, dalam bentuk dan sifat yang bagaimanapun juga.
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggung jawabannya”. (Q.S. Al-Israa' : 36)
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl:125)
Adapun jika kemudian dalam pergulatan buah pikiran
tersebut terdapat perbedaan maka seorang kader PII kemudian haruslah menyikapi
hal tersebut secara bijaksana.
“Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan
mereka menafkahkan sebagian dari rejeki yang kami berikan kepada mereka.” (Q.S.
As-Syuura : 38)
4. Kemudian
lagi-lagi pertanyaan dari kak Salman Faris J
“apakah
ada penjelasan di KP (or d others) PII tidak boleh jadi sayap jamaah? apa
definsi sayap jamaah? misalnya semua kader di sebuah pengurus adalah kader dari
jamaah yang sama. apakah PII jadi sayap dan underbow?”
Di khittah perjuangan jelas telah disebutkan, sebagaimana
saya menyebutkannya dalam menjawab beberapa persoalan yang ada di atas.
“Adapun dalam kebijakannya PII
kemudian tidak apriori memihak salah satu atau beberapa organisasi Islam
manapun juga, tetapi akan senantiasa berpihak pada Islam dan Ummat Islam.” (Khittah
perjuangan PII : Khittah perjuangan keluar)
Sikap memihak salah satu jama’ah itulah yang
kemudian dapat kita artikan bahwa poros gerak PII telah berubah dari jalurnya
yang diharapkan. Karena Pelajar Islam Indonesia (PII) senantiasa menjalin kerja
sama dengan pihak manapun, termasuk organisasi sosial politik, dalam maupun
luar negeri atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat dengan senantiasa
menjadikan AD dan ART sebagai rujukan.
Ketika seorang kader atau kader PII secara
keseluruhan merupakan kader dari salah satu harakah di luar PII maka batasan
yang menjadi aturan mainnya dapat kembali kepada AD/ART yang berlaku. Tentu
saja ia tidak lantas otomatis menjadikan PII sebagai sayap jama’ah, keaktifan
dan aktifitas kader PII di luar PII semata-mata adalah bentuk aktifitas yang
mendukung wacana dialogis dalam proses ber PII sehingga khazanah keummatan yang
ada menjadi semakin terbuka dan terfasilitasi. Hal ini lah yang kemudian
memerlukan kedewasaan dalam menyikapi pluralitas dalam ber struktur di PII
sehingga ketika kader tersebut hadir di masyarakat saat pasca berstruktur ia
dapat menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada dengan lebih bijak (lihat
penjelasan sebelumnya terkait mata rantai perjuangan ummat).
5. Persoalan
yang hadir selanjutnya.. ayo tebak dari siapa.. heheee.. ya.. lagi dari kanda
Salman Faris.
“berarti
sebuah jamaah tidak boleh mencari (merekrut) kader dalam tubuh PII?”
Jawabannya adalah sebuah Jamaah dalam bentuk apa
pun Tidak Dapat melakukan perekrutan
di dalam tubuh PII. Ketika hal ini terjadi justru akan sangat kontra dengan
label independensi PII secara kelembagaan.
Adapun kader secara pribadi diberikan kebebasan
dalam memilih jamaah mana yang hendak ia ikuti selama itu tidak bertentangan
dengan nilai-nilai keislaman secara umum.
Sikap PII secara kelembagaan ini jelas tercermin
dalam khittah perjuangan :
-
Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam setiap
kebijakannya tidak apriori memihak salah satu atau beberapa organisasi Islam
manapun juga, tetapi akan senantiasa berpihak pada Islam dan Ummat Islam.
“Sesungguhnya agama yang diridhoi disis Allah
hanyalah Islam”. (QS. Ali Imran [3]: 19)
-
Pelajar Islam Indonesia (PII) senantiasa mengajak
kepada organisasi Islam lainnya kearah tergalangnya persatuan ummat Islam dan
tercapainya kesatuan imamah serta terpeliharanya ukhuwah Islamiyah melalui
program perjuangan sampai terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin di Indonesia
khususnya dan dipermukaan bumi pada umumnya.
“Dan berpegang teguhlah kamu
semua kepada tali (agama) Allah dan jangan kamu bercerai berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepada kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah
menjinakkan antara hatimu lalu menjadikan kamu (karena nikmat Allah)
bersaudara, dan kamu telah berada ditepi jurng neraka lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepad akamu agar
kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran [3]: 103)
-
Pelajar Islam Indonesia (PII) senantiasa menjalin
kerja sama dengan pihak manapun, termasuk organisasi sosial politik, dalam
maupun luar negeri atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat dengan senantiasa
menjadikan AD dan ART sebagai rujukan.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi
maha mengenal”. (QS. Al Hujurat [59]: 13)
Pertanyaan
selanjutnya pun hadir
“berarti konsekuensinya kader PII ga
akan ada yang jadi kader jamaah. yopora?”
Jawaban
pertanyaan ini adalah, ora. Hehee.. sebabnya adalah, pelarangan jama’ah ini
berlaku untuk kelembagaan, sedangkan secara personal seorang kader PII
diberikan kebebasan dalam menjalani proses pencariannya dan proses peningkatan
kapasitas dirinya. Pilihan kader terhadap jama’ah/harakah luar ini lah yang
kemudian menjadi corak warna kader dalam berstruktur, kemudian sikap kader yang
telah mengikuti proses di jama’ah luar ketika ia kembali dalam berstruktur
haruslah ia berperan seperti aturan main yang telah ditetapkan oleh lembaga PII.
Kemudian wacana dan warna dari masing-masing kader yang beragam kemudian
menjadi sebuah khazanah keilmuan yang di dalam struktur ber PII disikapi
sebagai khazanah keilmuan dalam proses dialektika antar kader di dalam struktur
guna membangun ketercapaian tujuan PII.
Kurang
lebih begitulah.. selebihnya mari kita sambung di warung kopi.. atau warung
sederhana.. hehee..
Selain beberapa persoalan yang hadir di atas perlu
kiranya kita menyoroti beberapa hal yang hadir pula di group PII entebe sebagai
respon dari persoalan-persoalan di atas yang kiranya perlu perhatian dan kejelasan
khusus
-
“Itulah
mungkin bedanya PII Jawa dg tmn2 PII luar jawa. Tradisi diskusi tidak terbangun
di PII luar jawa shg membiarkan masing2 orang untuk menafsir PII sesuai dg
tafsirannya masing-masing. Ya tidak hanya soal konstitusi (minimal FG,KP), juga
soal implementasi konsep kaderisasi..tidak ada tradisi khas (wilayah) yg
dipakai oleh instruktur (di PW).”
Tentu saja ini perlu mendapat kajian khusus. Sejauh
manakah gambaran kajian dan budaya diskusi dari teman2 jawa yang dimaksud? Dan
kemudian di jawa siapa kah yang kemudian menafsir PII jika tidak dengan
tafsirannya masing-masing?
-
Pernyataan dari kanda Salman Faris
“mnurut
sy umat ini hanya btuh PII dan kader2x untk mewjudkn khairu ummah. Its inaf.”
Apakah hal ini hanyalah sebuah kegenitan intelektual
untuk memancing arah diskusi yang lebih meriah atau justru selama ini dipahami
bahwa PII berjuang sendiri untuk mewujudkan “Khairu ummah”? jika yang
pertama maka tidaklah mengapa, jika kemudian ternyata pernyataan tersebut hadir
karena landasan yang kedua maka hal ini perlu dikaji dan dipertanyakan arah
pemahaman keummatan ketika beliau berproses dan beraktifitas selama berstruktur
di PII.
-
Kemudian yang terakhir saudara juan justiti yang
hadir mengenahkan isu kemudian tidak memberikan pemaparan pemikiran beliau
dalam diskusi yang ada, tentu saja ini menjadi bias bagi para penjawab
pertanyaan karena apakah proses dialog yang ada dalam kolom komentar telah
searah dengan pertanyaan dari saudara Juan Justiti atau belum? Atau lagi-lagi
ini hanyalah kegenitan intelektual semata..
Wallahu
a’lam bi shawab..
0 komentar:
Posting Komentar