`

`

Sabtu, 04 Mei 2013

POSISI DAN PERAN KADER PII

Oleh Syarif Almubarak
Ketua PW PII NTB periode 2009-2011

Assalamu’alaykum warahmatullah wabarakatuh..
Ini merupakan ikhtiar saya dalam menjawab beberapa persoalan yang terdapat dalam diskusi yang panjang terkait dengan makna kehadiran seorang kader PII dan identitasnya sebagai kader ummat.
1.      Adapun persoalan yang pertama yang akan saya paparkan adalah terkait dengan pertanyaan yang berasal dari kanda salman faris yang bertanya
“bisakah PII merangkul semua golongan jika kita menggaris batas gerakan?”
Sebelum pertanyaan ini terlontarkan ada satu pernyataan dari kanda noval palandi
“Dalam konteks proses sy melihat PII ini hanya berhenti pada titik stimulasi menuju izzul islam wal muslimin..Karena dibatasi oleh jatah berstruktur didalamnya..”
Dari kalimat di atas akan Nampak bahwa sebenarnya PII hanya menjadi sebuah sarana stimulus untuk membuka wacana kepada kadernya untuk membangun izzul Islam wal muslimin, kemudian kader PII tersebut berproses selama jatah berstruktur di dalamnya. Jika kemudian ini dipahami maka proses membangun izzul Islam wal muslimin ini belumlah dapat terlaksana karena ini hanyalah sebuah stimulus dalam menuju hal tersebut. Sehingga diperlukan kesinambungan gerakan yang menjadi pilihan sadar seorang kader PII pasca berstruktur, untuk itu identitas kader PII pasca struktur akan sangat ditentukan dengan prosesnya dalam masa berstruktur dalam memahami konteks ke-PII-an. Adapun kader PII di dalam struktur tentu saja akan menjadi sangat sulit dengan intensitas kesibukan teknis dan kebijakan di periodenya masing-masing (bukan tidak mungkin) untuk merangkul setiap golongan. Namun, hal ini akan menjadi lebih ringan ketika masing-masing kader PII pasca struktur memiliki frame pembangunan izzul Islam wal muslimin dalam setiap ranah kehidupan yang kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai musyawarah yang apabila terdapat khilaf di dalamnya segara mereka mengembalikannya kepada Allah kemudian rasul-Nya. Maka ketika ini semua dapat berjalan dapatlah kita menyebut jika stimulus yang diusahakan dulu ketika berada dalam stuktur memiliki dampak dalam perkembangan pribadinya pasca struktur.

2.      Kemudian persoalan kedua yang akan saya soroti adalah tentang makna dari terminologi “mata rantai perjuangan”.
Adapun dalam memaknai hal ini kita akan melihat 2 hal. pertama, kita melihat implementasi termonologi ini dalam kehidupan berstruktur dan kedua implementasinya pada kehidupan pasca berstruktur.
Untuk yang pertama, memaknai termonologi “mata rantai perjuangan ummat” dalam berstruktur adalah dengan merujuk kembali pada khittah perjuangan ke luar pada garis kebijakan terhadap keummatan. Dimana perjuangan yang dibangun adalah atas dasar kesepahaman bahwa ketakwaan dan penyembahaan diri kepada Allah semata lah yang menjadikan kita bersaudara.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapatkan petunjuk.”. (QS. Ali Imran: 103).
Maka dengan menjadi bagian dari tali rantai perjuangan ummatlah PII berusaha bersama membangun kesadaran menuju tujuan yang tinggi yaitu penyerahan diri seutuhnya kapada Allah jalla wa alaa.
Katakanlah, “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri… (QS. Saba’ [34]: 46)
Makna mata rantai bukanlah seluruh rantai, tentu saja kita menyadari hal itu. Oleh karenanya perjuangan PII dalam mencapai tujuan izzul Islam wal muslimin tidaklah boleh menutup mata dari mata rantai-mata rantai yang lainnya.
“Adapun dalam kebijakannya PII kemudian tidak apriori memihak salah satu atau beberapa organisasi Islam manapun juga, tetapi akan senantiasa berpihak pada Islam dan Ummat Islam.”
Selanjutnya untuk yang kedua, memaknai termonologi “mata rantai perjuangan ummat” pasca berstruktur. Ketika kita hadir sebagai seorang kader PII yang juga ikut merasakan nuansa pembinaan PII yang telah habis masa baktinya pada PII dan telah tiba masanya untuk terjun ke masyarakat maka konteks perjuangan keummatan menjadi semakin luas, semakin beragam, semakin banyak pilihan. Untuk itu kedewasaan dalam memaknai persoalan-persoalan khilafiyah menjadi mutlak untuk dimiliki oleh seorang kader PII. Adapun untuk persoalan-persoalan yang pokok (ushul) dalam agama ini maka apabila terdapat penyimpangan tidak dapat tidak seorang kader PII harus menjadi yang terdepan dalam menolak penyimpangan pada pokok agama tersebut.
Dengan adanya kedewasaan dalam menyikapi persoalan-persoalan khilafiyah dan kerelaan terhadap adanya perbedaan pendapat selama bukan pada masalah yang pokok maka kader PII akan senantiasa berusaha untuk membangun jaringan berdasarkan kaidah-kaidah pokok dalam agama ini, walaupun dalam persoalan cabangnya mungkin mereka berbeda. Sehingga seorang kader PII akan dapat bergerak dimana saja menjadi mata rantai dalam perjuangan yang pokok yang tidak terjebak pada perdebatan persoalan khilafiyah yang ada.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (Q.S. Al-Israa' : 36)
Saat keder PII tersebut dapat menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada tersebutlah boleh lah sekiranya kita menyebut peranan kader PII “sebagai mata rantai perjuangan ummat” dapat terasa. Oleh karena itulah seoarang kader PII juga terkadang dielukan pula sebagai “anak ummat”.
3.      Kemudian persoalan yang ketiga, masih dari kanda Salman Faris.
“apakah ada penjelasan kapan seorang kader harus mengikuti ide PII dan kapan dibolehkan menggunakan ide pribadi atau selain PII?”

Untuk melihat hal ini maka kita tidak bisa melepaskan diri dari melihat sumber-sumber keilmuan seorang kader dalam prosesnya ber-PII. Dari prosesnya tersebutlah dia akan mendapatkan arti apa itu “ide PII”. Pluralitas dalam tubuh kader PII tentunya juga akan membentuk paradigma berpikir dan menjadi landasan bepikir serta membentuk “idea” pribadinya. Memisahkan hal tersebut tentu akan sangat sulit, karena “idea” dalam PII sendiri merupakan hal-hal yang disarikan dari banyak literature keilmuan Islam yang juga banyak digunakan oleh gerakan lain di luar PII.
Misalkan saja, pertanyaan dari saudara kita Juan Justiti
"Mungkinkah khayrul ummah dan izzul islam wal muslimin bisa di wujudkan tanpa adanya syariah dan khilafah?"

Apakah pertanyaan ini lahir dilatar belakangi dari idea PII, Ide pibadi, atau idea harakah lain? Ini tentu sangat sulit kita uraikan, karena buah pikiran itu sendiri di dasari dari pemahaman dan pengalaman awal tentang wacana yang dia ungkapkan.

Atau jika kemudian terdapat kajian tentang surah al maidah ayat 54 yang juga menjadi landasan idea di khittah perjuangan. Apakah kemudian kita lantas menyatakan bahwa PII mengikuti idea dari harakah lain karena identiknya ayat ini dengan profile dari kader-kader harakah lain? Tentu saja tidak, karena idea tentang keislaman sendiri bukanlah hak prerogatif dari dari beberapa harakah tertentu, bukan pula itu milik PII semata. Maka apakah yang kemudian di sebut sebagai idea PII? Inilah yang kemudian perlu kita pahami.

Adapun untuk pertanyaan terkait kapan, maka dalam berpendapat sebisa mungkin seorang kader PII tidak menyampaikan seseuatu yang berada di luar keilmuannya. Sedangkan dalam berpendapat jika untuk kebenaran maka ia akan menyampaikan sesuatu untuk mendukung kebenaran tersebut saat kapan pun dan di mana pun juga, dalam bentuk dan sifat yang bagaimanapun juga.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (Q.S. Al-Israa' : 36)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl:125)

Adapun jika kemudian dalam pergulatan buah pikiran tersebut terdapat perbedaan maka seorang kader PII kemudian haruslah menyikapi hal tersebut secara bijaksana.
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rejeki yang kami berikan kepada mereka.” (Q.S. As-Syuura : 38)

4.      Kemudian lagi-lagi pertanyaan dari kak Salman Faris J
“apakah ada penjelasan di KP (or d others) PII tidak boleh jadi sayap jamaah? apa definsi sayap jamaah? misalnya semua kader di sebuah pengurus adalah kader dari jamaah yang sama. apakah PII jadi sayap dan underbow?”
Di khittah perjuangan jelas telah disebutkan, sebagaimana saya menyebutkannya dalam menjawab beberapa persoalan yang ada di atas.
“Adapun dalam kebijakannya PII kemudian tidak apriori memihak salah satu atau beberapa organisasi Islam manapun juga, tetapi akan senantiasa berpihak pada Islam dan Ummat Islam.” (Khittah perjuangan PII : Khittah perjuangan keluar)
Sikap memihak salah satu jama’ah itulah yang kemudian dapat kita artikan bahwa poros gerak PII telah berubah dari jalurnya yang diharapkan. Karena Pelajar Islam Indonesia (PII) senantiasa menjalin kerja sama dengan pihak manapun, termasuk organisasi sosial politik, dalam maupun luar negeri atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat dengan senantiasa menjadikan AD dan ART sebagai rujukan.

Ketika seorang kader atau kader PII secara keseluruhan merupakan kader dari salah satu harakah di luar PII maka batasan yang menjadi aturan mainnya dapat kembali kepada AD/ART yang berlaku. Tentu saja ia tidak lantas otomatis menjadikan PII sebagai sayap jama’ah, keaktifan dan aktifitas kader PII di luar PII semata-mata adalah bentuk aktifitas yang mendukung wacana dialogis dalam proses ber PII sehingga khazanah keummatan yang ada menjadi semakin terbuka dan terfasilitasi. Hal ini lah yang kemudian memerlukan kedewasaan dalam menyikapi pluralitas dalam ber struktur di PII sehingga ketika kader tersebut hadir di masyarakat saat pasca berstruktur ia dapat menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada dengan lebih bijak (lihat penjelasan sebelumnya terkait mata rantai perjuangan ummat).

5.      Persoalan yang hadir selanjutnya.. ayo tebak dari siapa.. heheee.. ya.. lagi dari kanda Salman Faris.
“berarti sebuah jamaah tidak boleh mencari (merekrut) kader dalam tubuh PII?”

Jawabannya adalah sebuah Jamaah dalam bentuk apa pun Tidak Dapat melakukan perekrutan di dalam tubuh PII. Ketika hal ini terjadi justru akan sangat kontra dengan label independensi PII secara kelembagaan.

Adapun kader secara pribadi diberikan kebebasan dalam memilih jamaah mana yang hendak ia ikuti selama itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman secara umum.
Sikap PII secara kelembagaan ini jelas tercermin dalam khittah perjuangan :
-          Pelajar Islam Indonesia (PII) dalam setiap kebijakannya tidak apriori memihak salah satu atau beberapa organisasi Islam manapun juga, tetapi akan senantiasa berpihak pada Islam dan Ummat Islam.
“Sesungguhnya agama yang diridhoi disis Allah hanyalah Islam”. (QS. Ali Imran [3]: 19)
-          Pelajar Islam Indonesia (PII) senantiasa mengajak kepada organisasi Islam lainnya kearah tergalangnya persatuan ummat Islam dan tercapainya kesatuan imamah serta terpeliharanya ukhuwah Islamiyah melalui program perjuangan sampai terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin di Indonesia khususnya dan dipermukaan bumi pada umumnya.
“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan jangan kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah menjinakkan antara hatimu lalu menjadikan kamu (karena nikmat Allah) bersaudara, dan kamu telah berada ditepi jurng neraka lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepad akamu agar kamu mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imran [3]: 103)
-          Pelajar Islam Indonesia (PII) senantiasa menjalin kerja sama dengan pihak manapun, termasuk organisasi sosial politik, dalam maupun luar negeri atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat dengan senantiasa menjadikan AD dan ART sebagai rujukan.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”. (QS. Al Hujurat [59]: 13)
            Pertanyaan selanjutnya pun hadir
            “berarti konsekuensinya kader PII ga akan ada yang jadi kader jamaah. yopora?”
Jawaban pertanyaan ini adalah, ora. Hehee.. sebabnya adalah, pelarangan jama’ah ini berlaku untuk kelembagaan, sedangkan secara personal seorang kader PII diberikan kebebasan dalam menjalani proses pencariannya dan proses peningkatan kapasitas dirinya. Pilihan kader terhadap jama’ah/harakah luar ini lah yang kemudian menjadi corak warna kader dalam berstruktur, kemudian sikap kader yang telah mengikuti proses di jama’ah luar ketika ia kembali dalam berstruktur haruslah ia berperan seperti aturan main yang telah ditetapkan oleh lembaga PII. Kemudian wacana dan warna dari masing-masing kader yang beragam kemudian menjadi sebuah khazanah keilmuan yang di dalam struktur ber PII disikapi sebagai khazanah keilmuan dalam proses dialektika antar kader di dalam struktur guna membangun ketercapaian tujuan PII.
Kurang lebih begitulah.. selebihnya mari kita sambung di warung kopi.. atau warung sederhana.. hehee..

Selain beberapa persoalan yang hadir di atas perlu kiranya kita menyoroti beberapa hal yang hadir pula di group PII entebe sebagai respon dari persoalan-persoalan di atas yang kiranya perlu perhatian dan kejelasan khusus
-          “Itulah mungkin bedanya PII Jawa dg tmn2 PII luar jawa. Tradisi diskusi tidak terbangun di PII luar jawa shg membiarkan masing2 orang untuk menafsir PII sesuai dg tafsirannya masing-masing. Ya tidak hanya soal konstitusi (minimal FG,KP), juga soal implementasi konsep kaderisasi..tidak ada tradisi khas (wilayah) yg dipakai oleh instruktur (di PW).”
Tentu saja ini perlu mendapat kajian khusus. Sejauh manakah gambaran kajian dan budaya diskusi dari teman2 jawa yang dimaksud? Dan kemudian di jawa siapa kah yang kemudian menafsir PII jika tidak dengan tafsirannya masing-masing?
-          Pernyataan dari kanda Salman Faris  
“mnurut sy umat ini hanya btuh PII dan kader2x untk mewjudkn khairu ummah. Its inaf.”
Apakah hal ini hanyalah sebuah kegenitan intelektual untuk memancing arah diskusi yang lebih meriah atau justru selama ini dipahami bahwa PII berjuang sendiri untuk mewujudkan “Khairu ummah”? jika yang pertama maka tidaklah mengapa, jika kemudian ternyata pernyataan tersebut hadir karena landasan yang kedua maka hal ini perlu dikaji dan dipertanyakan arah pemahaman keummatan ketika beliau berproses dan beraktifitas selama berstruktur di PII.
-          Kemudian yang terakhir saudara juan justiti yang hadir mengenahkan isu kemudian tidak memberikan pemaparan pemikiran beliau dalam diskusi yang ada, tentu saja ini menjadi bias bagi para penjawab pertanyaan karena apakah proses dialog yang ada dalam kolom komentar telah searah dengan pertanyaan dari saudara Juan Justiti atau belum? Atau lagi-lagi ini hanyalah kegenitan intelektual semata..

Wallahu a’lam bi shawab..

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin