`

`

Kamis, 16 Desember 2010

KONFLIK TAK SELAMANYA KONFRONTATIF

Seperti telah menjadi model. Sukses tidaknya sebuah kepemimpinan bangsa dan masyarakat kita diawali dengan eksiden. Kita bisa menjejaki kembali sejarah munculnya Soeharto di awal orde baru didahului dengan peristiwa Gerakan G 30 S PKI, Munculnya tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Megawati, dan Gus Dur mengikuti auforia politik akibat gerakan reformasi mahasiswa, dan munculnya Susilo Bambang Yudhoyono didahului eksiden “polemik” antara dirinya dengan Taufik Kiemas. Begitu juga ketika ruang lingkup tatapan ini diperkecil pada skala kabupaten Dompu, hingga tahun 2003 konflik yang mengawali pesta demokrasi sangat akrab dengan proses politik. Maka tidak heran jika miniaturnya terjadi pada organisasi-organisasi politik, organisasi mahasiswa, organisasi pelajar, hingga organisasi tingkat RT sekalipun. Ini menembus dinding idiologi, tak ada pengecualian ketika kita ingin melingkari satu batas lingkaran untuk tidak melibatkan organ Islam disana. Apakah ini kemudian dikatakan sebagai spektrum politik kita?

Seolah-olah proses menjadi tokoh bangsa harus melalui satu tantangan untuk mendesain konflik dan kisruh menjadi peluang. Maka ini kemudian seolah membuka satu celah masalah ketika orang-orang yang tidak bertanggung jawab sengaja menciptakan kekisruhan sebagai lompatan politik personal. Ini kemudian melahirkan satu pertanyaan aneh, bagaimana jika tidak ada eksiden, tak ada huru-hara, tak ada konflik?apakah berarti akan terjadi krisis kepemimpinan?

Pertanyaan itu akhirnya mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang jauh lebih aneh bahwa kalau tidak ada konflik sosial maka tak akan ada suksesi kepemimpinan, tak akan terjadi regenerasi kepemimpinan, yang ada adalah status quo, Itu sebabnya selama 30 tahun, Soeharto berusaha keras menjaga statbilitas kepemimpinan dengan pendekatan keamanan untuk membendung kematangan kepemimpinan lain disekitarnya.
Dalam realitas rezim yang represif, ditengah kekangan kepemimpinan yang begitu otoriter, menjadi satu kesempatan emas untuk membangun citra kepahlawanan, entah ini adalah desain kesengajaan ataukah muncul secara kebetulan bersama derasnya arus politik di masa transisi. Ini momentum yang tepat untuk dimanfaatkan, belum menjadi kajian kritis apakah momentum ini dimanfaatkan sebagai lompatan efektif membangun bangsa ataukah citra kepahlawanan untuk mendongkrak citra pribadi. Karena legitimasi yang paling besar adalah kesan pribadi yang mempunyai kombinasi antara citra membela orang lain dengan keberanian melawan regim yang dianggap otoritarian. Kombinasi ini membentuk ekspektasi tentang masa depan yang lebih baik andai mereka ini yang menggantikan kekuasaan tiran.

Meskipun masyarakat sendiri sudah cukup cerdas melihat dan telah membuktikan bahwa statement di atas tidak selalu terbukti, artinya siapapun yang muncul dan menjadi pemimpin menggantikan para pemimpin dahulu tetapi dengan gaya khas orde baru-memanfaatkan situasi konflik sebagai pencitraan “malaiklatnya” maka tak ada bedanya. Tetapi seringkali bacaan ini tidak sampai ke “akar rumput”, dialektika dan komunikasi politik yang dibangun oleh mereka membius masyarakat awam.
Meskipun lompatan ini selalu berakhir dengan cerita yang sama bahwa masyarakat merasa ini adalah kamuflase. Tetapi ini pun akan berbalik menjadi emas ketika uang sudah menjadi raja, masyarakat tidak pernah kapok ketika hak politiknya dihargakan dengan rupiah. Selalu saja masyarakat kita tergoda untuk memilih pemimpin yang mengesankan, yang mencitrakan kepahlawanan, penolong disiang bolong, dan simbol perlawanan. Kita selalu tergoda oleh baju-baju kerajaan tetapi sebenarnya ekspresi mereka adalah ekspresi para pengemis. Kita selalu tertipu oleh politik penampilan tetapi tidak untuk nilai yang diperjuangkan. Padahal Bung Hatta jelas memberi gambaran dengan politik garam yang diinginkannya bukan politik gincu yang terlihat sangat cantik tetapi hilang jika dibasahi dengan air. Masyarakat kita nampaknya memang enjoy atau menikmati kebohongan-kebohongan, menikmati situasi yang semakin merampas hak mereka, pembodohan-pembodohan sistemik, dan pencerdasan-pencerdasan yang dipaksakan, dan kemudian diakhir perjalanan suksesi kepemimpinan ketika tinta hitam “blepotan”mewarnai perjalanan pemimpin itu masyarakat kita hanya bisa berseloroh, “apa boleh buat nasi telah menjadi bubur”

Rezim Soeharto boleh hilang dari permukaan cerita masa kini, hujan cacian, dan segala “pisuan” seperti badai menghadang sejarah kepemimpinan soeharto, tetapi kultur politik bangsa ini masih kental dengan rezim otoriter itu. Sudono Syueb dalam bukunya Paradoks Politik mengatakan “Sering saya menduga dalam hati, jangan-jangan kita ini memang bangsa yang tidak suka damai, tapi justru suka kisruh, suka intrik, dan suka bermusuhan”. Tak ada kedewasaan untuk melihat lebih jeli tentang ruang penyelesaian konflik yang lebih intelek , orang-orang yang dianggap harusnya punya andil dalam menyelesaikan konflik tidak beranjak dari singgasananya untuk meredam benturan yang ada. Disisi lain diluar sana banyak orang yang mengais rejeki dari kekisruhan-media massa misalnya merasa sangat potensial untuk memanfaatkan konflik sebagai berita terbaik mereka. Prinsip jurnalistik yang menganggap “konflik” sebagai nilai berita telah menyebabkan potret konflik semakin suram dan memperkeruh keadaan. Orang-orang tidak bertanggung jawab sangat ringan tangan untuk memberikan besaran rupiahnya kepada para demonstran yang ingin dijajah dan menggadaikan idialismenya. Hari ini hampir sering muncul slogan perubahan dari para kelompok mahasiswa yang sebenarnya adalah boneka suruhan dari orang-orang yang tidak ingin ada kedamaian dinegeri tercinta ini. Tanpa kekisruhan sepertinya tak Nampak eksistensi orang-orang yang “ingin” menjadi pahlawan, karena dalam situasi damai tak ada orang yang akan menyoroti reputasinya.

Keberanian yang berlebihan membuat semua kelemahan tidak terlihat, membuat ketidakbecusan dalam bekerja tak nampak, dan sebaliknya yang muncul dan terlihat darinya adalah selalu ada dibarisan paling depan ketika terjadi konflik atau konfrontasi. Dan laku sosiologis berintrik itulah yang justru ditengarai lingkungan sebagai pembuat jasa sesat. Sehingga dalam situasi demikian, orang-orang yang memiliki potensi besar dan berkarya nyata menjadi bias, dan terpental, menjadi kehilangan semangat untuk maju dan berkembang. Lingkungan ini seolah mengkondisikan mereka untuk merasa tidak memperoleh tempat untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan gagasan-gagasannya. Sehingga pada titik kulminasi kemudian lebih memilih “tiarap” atau bila situasi dan kondisi tidak bersahabat dengan hati nuraninya, maka ia memilih menjaga jarak, mengucilkan diri, bahkan keluar dari arena perjuangan bukan untuk merapat pada kedzoliman dan kemaksiatan tetapi berijtihad tentang lompatan yang ingin ia lalui. Tak ada gunanya berdiam diri pada komunalitas yang polos dan lugu, komunal yang sensitivitasnya sudah membeku, dan cenderung pragmatis. Sangat fenomenanal.

Dalam beberapa kasus di tingkat organisasi, seringkali tidak bisa membedakan antara potensi konflik yang berakhir konfrontatif dengan perbedaan yang menstimulus produktivitas. Nah sering kali perbedaan-perbedaan cara pandang dalam melihat visi, dan rencana strategis organisasi ditengarai sebagai potensi konflik padahal ini adalah ruang heterogenitas ide yang memperkaya, berbeda latar belakang maka berbeda pula konstruksi berfikir yang melahirkan ide yang berbeda pula, ini adalah kekayaan yang luar biasa yang harus dijaga dan dirawat sebagai potensi dan kearifan organisasi yang kita miliki bukan malah paranoid dan akhirnya gagap melihat hadapan yang sudah ada di depan mata. Dan disisi yang lain potensi membaca perubahan sosial yang membuat kita optimis mengkaji futuritas hadapan kita semakin hari mulai tumpul, kita akhirnya menjadi orang yang (meminjam istilahnya Kuntowijoyo) “miopis” yaitu hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat.

Padahal jika obyektif melihat sikap kita yang melahirkan terpentalnya sumber daya manusia yang potensial membuat kita harus gigit jari. Lingkaran yang kita buat sebenarnya bukan generasi malaikat yang tanpa dosa tetapi manusia yang memiliki kesamaan, tetapi kita juga tidak ingin jujur bahwa pembesar kita sebenarnya juga sangat gagap dan bias memahami medan perjaungannya saat ini. Kita juga tidak tahu bahwa orang-orang yang terbuang itu adalah bukan individu yang terisolir dari lingkungannya, tetapi mereka yang memiliki jaringan yang sekecil apapun pasti akan memberi dampak pada kohesivitas organisasi. Mungkin organisasi sendiri beranggapan bahwa suatu ketika akan memperoleh “darah segar”dari para pendatang baru yang lebih cerdas, militan, memiliki loyalitas atau dedikasi terhadap organisasi. Padahal jika ditatap secara konferehensif para pendatang baru ini pada satu titik tertentu akan menimbulkan masalah baru, adaptasinya dilingkungan internal belum tentu membuat seluruh pihak akan welcome terhadapnya. Serba dilematis menurut mereka yang yang ingin menghindari perbedaan padahal semua adalah proses pendewasaan.

Ini seolah memberi sinyal kepada kita tentang begitulah kondisinya ketika sebuah organisasi yang tidak dibesarkan dengan menajemen konflik yang baik. Memang dilingkaran elit kondisi ini menjadi sangat ramping dalam pucuk piramida kekuasaan tetapi organisasi pada akhirnya akan kehilangan sumberdaya yang potensial karena semakin hari tidak nyaman dan kemudian memilih untuk melewati jalan yang lain dalam perjuangannya.

Konflik sebenarnya tidak selamanya bermakna konfrontatif tetapi sesungguhnya bisa menjadi media untuk berkembang menjadi lebih baik, jika dan hanya jika ada mekanisme kompetisi yang sehat, ada kedewasaan dalam melihatnya, ada kesiapan untuk menghadapi warna karakter lain selain warna yang selama ini diyakini oleh masing-masing orang. Sehingga penyelesaian atas konflik dapat terselesaikan sesuai dengan keinginan secara komunal dan keinginan untuk menunjukkan aspek-aspke yang positif dan konstruktif, tetapi ketika konflik tidak kelola dengan sebaik-baiknya apalagi kemudian dipergunakan untuk kepentingan status quo bisa berakibat terjadinya pelebaran konflik dan penumpukan masalah.

Akhirnya lahir organisasi yang tidak karuan seperti benang kusut yang sulit ditemukan ujung dan pangkalnya. Orang-orang didalamnya juga hanyalah generasi mental krupuk yang selalu mencari aman dan menghindari perbedaan yang menukik kenyamanan mereka yang relative membuat mereka tidak produktif. Lebih celaka ketika konflik sudah menjadi kebutuhan pokok, maka masing-masing pihak akan terus-menerus mencari kesalah untuk meletupkan konflik, Lalu kalau konflik berkepanjangan menjadi cirri khas kita terus kapan kita akan sempat melakukan hal yang produktif.

5 komentar:

  1. seharusnya para elit di setiap levelnya di negeri ini harus IKHLAS mengoptimalkan kecerdasan IQ,EQ dan SQ ketika menghadapi berbagai konflik yang ada. hal ini perlu dalam rangka membangun peradaban islam sekaligus menghapus kepentingan pragmatis, opportunis, imperialisme dll. sehingga PELAKU KEBENARANNYA YANG MENJADI PEMIMPIN bukan malah sebaliknya ( KEMUNAFIKAN)

    BalasHapus
  2. konsep ESQ itu kemudian dalam rangka memahami eksistensi dirinya,.
    sy melihat ada banyak orang baik yang ingin melakukan transformasi tetapi dia belum menginternalisasi nilai dan konsep dirinya.
    sehingga pilihan sikap dan lompatan perjuangan ...yg ia lalui tidak difahami; apakah ini pilihan filosofi perjuangan ataukah sudah diselimuti oleh pragmatisme, oportunis, atau bahkan dia menjadi sangat imperial.
    Sehingga yang duduk dikursi kekuasaan itu apakah pelaku kebenaran ataukah orang yang pragmatis..beda tipis,.
    Semoga kita istiqomah!!

    BalasHapus
  3. ini fakta yang harus di rekayasa.

    BalasHapus
  4. kalau terlambat akan tergilas, sesungguhnya realitas yang menjadi obyek transformasi itu lebih cepat dibandingkan kita.
    teori perubahan sosial yg mengatakn bahwa terjadi gap dinamika antara subyek dakwah dengan obyek dakwah.lompatannya berbeda.

    BalasHapus

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin