Sekedar mengenang
jejak #berLSM yang telah setahun tidak ku geluti
lagi.
#berLSM Gerbang baru, tempatku menemukan
warna-warni aktivitas yang tak asing.
Aktivitas #berLSM memang fase tetapi bagiku untuk
beberapa hal adalah seperti melanjutkan perjalanan
#berLSM itu; penuh dengan ruang-ruang dialektika,motivasi
mengembangkan diri,dan egaliter.Ya sudah pasti kita bisa memelihara idealisme.
Aku nyaman #berLSM karena kita bisa menyelesaikan
urusan serius dengan santai.
Tidak banyak orang yang membuka mata
bahwa sebagian kepingan perubahan juga dikumpulkan dari tangan-tangan mereka
yang #berLSM.
Ya memang kultur yang dikonstruk oleh
aktivitas #berLSM menjadikan setiap penggelutnya
menjadi orang-orang yang substansial.
Jadi tidak sekedar mengenakan seragam
seperti sebagian orang yang ingin menjadi abdi negara padahal tidak memberikan
kontribusi apa-apa.
Kita semestinya mencatat bahwa wajah LSM
tidak lagi demonstrasi ansih tetapi sudah dengan pendekatan partisipasi..
Memang tidak bisa juga kita menutup mata
bahwa dijaman yang sudah modern ini masih banyak yang menggunakannya menjadi alat
pemeras.
Ya #berLSM adalah pilihan perjuangan memberi
kontribusi pada pembangunan.
Aku pula ingin mencatat tentang
perubahan subyek dan obyek. Kedua Aktor cerita yang durasinya menari dengan
cara yang khas berbeda.
Satu terlihat sangat lamban sebagai
produk generasi tua, dan kultur yang kita anggap sudah statis ternyata
dinamikanya sangat cepat.
Diruang #berLSM yang begitu deras dinamika
intelektualnya ternyata ciri khas feodalisme masih menggurita.
Anti kritik,sangat birokratis,tidak
egaliter,ya sampe kemudian otoriter.Ini juga yang kemudian saya kawinkan dengan
ciri khas generasi tua.
Berat diajak berfikir kekinian, apalagi
harus melek tekhnologi. Berat!!
Berat mereka diajak untuk menikmati
menggunakan mobil,helikopter,dan pesawat,karena kemampuan mereka telah
terbiasakan oleh sepeda ontel.
Tapi
kita harus mengapresiasi keinginannya untuk beradaptasi dengan dinamika zaman.
Sekalipun mereka terus menyanyikan lagu lawas.
Kalau
dilukiskan sederhana kita akan menemukan orang-orang tua yang statis, tua
dinamis..
Mereka
yang berharap dicerdaskan oleh sistem #berLSM,mereka muda yang mau belajar,dan muda yang punya visi
dan konsep tentang masa depan.
Yang
kedua adalah tentang kultur yang sudah terbentuk dimasyarakat, tentang nilai
yang membentuk mereka. Bisa kok mereka dinamis..
Dua
hal yang ingin saya catat selama mengenyam proses #berLSM. Pertama, tentang membangun dengan swadaya. Kedua,
Kepemimpinan perempuan.
Terus
terang,awal berproses sebagai pendamping lapangan,saya ragu melakukan
intervensi di komunitas karena saya tidak pernah memberi "sangu"
Pertanyaan
bathin saya "mau tidak mereka diajak melakukan perubahan tanpa imbalan
apa-apa?"
Saya
ragu karena bangunan faham saya; masyarakat kita telah lama dimanjakan dan
dibesarkan dengan 'tangan dibawah".
Bahkan
ada disatu desa, masyarakat tidak pernah mau hadir dalam kegiatan jika bukan
LSM tertentu.Karena mereka pasti pulang membawa sangu.
Ini
juga sekaligus semakin membentuk cara pandang saya tentang kultur masyarakat.
Juga kultur komunitas. Karena orangnya sama.
Tetapi
tidak mungkin berhenti disini, karena proses harus terus berlanjut. Perlu
mengukur strategi dan rencana aksi.
Dan
dalam konsep Community Organisation (CO).Seorang CO tidak sekedar menjadikan
pendampingan sebagai rutinitas saja tetapi harus menjadi satu gerakan.
Dia
tidak hanya menggugurkan kewajiban pekerjaannya tetapi ada visi yang jelas.Ada
nilai yang telah menjadi mindsetnya melakukan intervensi.
Seiring
dengan waktu nilai-nilai itu bisa kita lihat menjelma menjadi sikap dan pola
prilaku yang sudah berbeda.
Akhirnya
yang kita bincangkan kemudian adalah soal penyimpangan pelayanan, advokasi
kasus, dan soal hak warga yang terpenuhi.
Komunitas
(embrio) memahami bahwa melek terhadap ketimpangan pelayanan adalah masalah
mereka.Dan tidak mungkin selamanya diurus oleh orang luar.
Makanya
kemudian menjadi proaktif bersama-sama warga yang lain membantu sekaligus
mengingatkan pelayanan yang tidak sesuai harapan.
Yang
kedua yang ingin saya catat adalah soal kepemimpinan perempuan. Tradisi
mengakar yang telah kita bongkar bersama
Ada
dibeberapa desa dampingan yang punya stigma tentang keterbatasan kapasitas
perempuan. Sampai ditutup ruang untuk berproses.
Dan
yang lebih parah lagi adalah menempatkan perempuan di tiga tempat. dan tidak
bergeser sedikirpun. Yaitu kasur,sumur,dapur.
Masih
ingat ketika diskusi & pembentukan struktur komunitas di Karamabura.Sangat
alot ketika ada seorang ibu yg meminta diri menjadi ketua.
Padahal
sehari-hari ibu ini biasa membantu masyarakat untuk membuat KTP dan Kartu
Keluarga secara gratis.
Setelah
kita juga kemudian terlibat diskusi lalu memberi pertimbangan akhirnya
diputuskan seorang ibu tersebut yang memimpin komunitas.
Ya perlu
dicatat juga banyak komentar yang meragukan sebelum ibu ini disepakati forum.
Padahal
dalam prosesnya kemudian kita ingin melepaskan tradisi birokrasi yang kaku dan
menggantinya menjadi komunikasi efektif yang cair.
Ya
tidak harus melewati prosedur birokrasi yang ribet. Cukup dengan komunikasi
informal untuk bisa mesukseskan agenda-agenda pembangunan.
Soalnya
kadang-kadang masyarakat kita gila jabatan. Jabatan yang diperebutkan tidak
diimbangi dengan kerja-kerja yang produktif.
Rakus
terhadap jabatan. Seolah-olah seperti hanya tidak ingin posisi itu ditempati
orang lain. Karena kalau ya dia yang depresi. Aneh!
Dan
ruang-ruang proses inilah yang kemudian membuka mata bahwa sesungguhnya karya
itu lebih jujur dari pada kekhwatiran yang berlebihan.
Berbanding
lurus dengan semua proses yang ada. Intensitas pendampingan dan diskusi memberi
implikasi yang luar biasa
Banyak
kasus pelayanan yang dikawal dan diadvokasi oleh komunitas. Baik ditingkat
poskesdes, puskesmas, hingga ke RSUD.
Dan
kemudian dlm diskusi bersama mereka muncullah inisiatif untuk membangun
kekuatan yg lebih kuat untuk mengadvokasi kasus yg lebih besar.
Membuat
forum kabupaten untuk mendorong regulasi demi optimalisasi pelayanan kesehatan.
Ya intervensi DRPD, Dikes, RSUD, dan pihak terkait.
Dan
sekalipun periodenya selesai semangat untuk memberi pencerahan soal Pelayanan Kesehatan
yang Optimal selalu kita share dengan siapapun.
Dan
memang seharusnya nilai-nilai yang kita perjuangkan selalu terinternalisasi
dalam diri. Dan itu saya rasa seperti menjadi komitmen diri.
Seperti
ilmu netes. Tetesan kita adalah sesuai yang kita konstruk pada diri kita. Maka
berlaku juga "kabura maktan" yang dikatakan Qur'an.
Semoga
catatan ini mengingatkan kembali tentang perjalanan, tentang perjuangan,
tentang nilai, dan tentang diri kita sendiri.
Sekian..
0 komentar:
Posting Komentar