`

`

Selasa, 06 Oktober 2009

SEBUAH CERITA MENYAKITKAN ITU


“Malam ini aku pleno mas, tapi menyakitkan, ketua umumku mengundurkan diri”
“Aku tahu proses penggulirannya”
“Aku juga mengundurkan diri..”
“Keberadaanku hanya buat pajangan tok”


Begitu bunyi penggalan sms yang kuterima dua hari yang lalu, tepat jam 20.30 WIB. Aku terhentak kaget, terjadinya begitu tiba-tiba, aku tak pernah berpikir akan ada keputusan sejauh ini. Satu keputusan yang berani, karena ditengah kondisi internal yang carut marut, dan reaksi alumni terhadap implikasi keputusan ini juga akan menjadi satu konsekwensi yang harus dihadapi. Tetapi sikap ini juga tidak bisa dipandang polos, dan tekstual tetapi harus mendalam dengan beberapa fakta yang biasanya ada untuk mempengaruhi. Menurut ilmu intelejen ‘sesuatu itu terjadi mesti telah difikirkan dan direncanakan sebelumnya dalam waktu yang lama”. Lebih kurang begitu, dan aku ingin membedahnya disini.

Aku cukup mengerti dengan iklim yang berkembang di organisasi ini. Organisasi tempat aku dibesarkan, rumah kedua bagiku, banyak hal kutemukan dan kupelajari disini, aku mengenal diriku, dan belajar untuk melihat keanekaragaman maupun perbedaan manusia disini, dirumah ini. Aku cukup faham dengan dinamikanya-aku pernah ”dijebak”, pernah dipoltisir, dan berlajar untuk berpolitik-politik bermoral tentunya.

Semua cerita disini punya banyak versi, berkembang dan hilang berdasar persepsi dan siapa pelakunya. Semua mengalir dan berputar sangat cepat, dipengaruhi cepatnya isu yang terus bergulir disini. Tapi yang pasti berawal dari momentum reformasi organisasi yang saat itu sangat panas, terbakar oleh kepentingan. Sangat tipis memilah antara yang benar dan yang salah karena semua menyuarakan bahwa ini yang terbaik. Dan begitulah dinamisasi sebuah pergerakan yang produktif. Tetapi momentum reformasi saat itu, adalah momentum yang ujuk-ujuk, dan terkesan sangat pragmatis, beberapa simbul yang menegaskan adalah proses kaderisasi dan regenerasi yang tidak dipersiapkan sebelumnya. Suatu proses yang mampu memberikan kematangan pribadi dan peluang sejarah, sesuatu yang menurut Anis Matta merupakan sat jenis kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Ceritanya tidak berakhir disitu karena setelah itu implikasinya terhadap struktur baru begitu luar biasa; Kepahaman terhadap konstitusi yang sangat lemah, kedewasaan berstruktur yang rapuh, independensi yang selalu goyah, dan profersionalitas yang tidak proporsional. Perjalanan pada akhirnya pincang, setiap obsesi personal yang kemudian harus diterjemahkan menjadi visi jamaah tak terejawantahkan. Pada akhirnya perjuangan memang mengalir deras, walau berjalannya sangat individualitas karena diterjemahkan sesuai dengan persepsi masing-masing. Dalam kondisi seperti ini kemudian memaksa orang-orang yang merasa dirinya penting untuk terlibat, tidak hanya untuk sekedar meluruskan tetapi terlibat jauh sampai melewati garis perbatasan.

Pada satu struktur yang rapuh sangat susah untuk melahirkan sebuah iklim organisasi yang mapan. Apalagi ketika prasyarat implementasi kaderisasi yang utuh adalah kaderisasi yang kuat, struktur yang kokoh, dan jaringan. Dalam kondisi seperti haruskah kita menuntut orang lain untuk berbuat sesuatu untuk rumah ini. Jawabannya tidak, tidak untuk menuntut orang lain tetapi seharusnya menuntut diri kita sendiri-semua orang sudah bergerak sesuai dengan motivasi awalnya berada disini. Sehingganya kita harus menghargai keanekaragaman ini-juga keanekaragaman dalam menatap masalah dan menyelesaikannya. Tapi ruang ini ditutup untuk orang-orang yang apatis dan oportunis, oportunis yang pragmatis.

Yah pada titik akhir perjalanan, hanya semakin menegaskan pilihan masing-masing untuk mengambil peran apa disini; ada yang hadir hanya untuk melepas kepenatan atas kesibukan sehari-hari, ada yang hadirnya hanya pengen ngobrol dan diskusi, ada yang ikut-ikutan, dan ada pula yang justru sangat sibuk dan pusing memikirkan kelangsungan wajihah ini selanjutnya dari urusan up grade sampai persoalan kepemimpinan. Dan satu lagi yang tidak bisa dilupakan bahwa tatkala semuanya mengalir dan bermuara karena proses berpolitik. Memang tidak diajarkan dan tetapi tuntutan skenario yang mengharuskan kita berpikir dan bergerak secara politis.

Ketika merujuk dari titik awal perjalanan semakin mendekat ke moment itu, semakin membuat pola, pola yang memaksa setiap personal memilih untuk menjadi politis atau apolitis, memilih menjadi apolitis tentunya memilih untuk dijajah, dijajah oleh isu dan realita yang memaksa semua orang untuk berpikir keras ketika itu. Dan hampir semua memilih untuk berpolitik, karena aplolitis hanyalah cari aman, dan kalau boleh mengutip pandangannya Agung Wijaya bahwa apolitik hanyalah warisan rezim soeharto yang melihat politik sebagai ranah yang tabu dan kotor, penuh dengan hujatan, korup, dan perebutan kursi kekuasaan belaka. Pada konteks kita, saat itu mencoba mengangakat isu politik yang bernilai dan tidak pragmatis. Ketika mencoba mengkontekstulisasi padangan Abdul Munir Mulkan bahwa keenjangan kemampuan mengatasi sebuah tantangan hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu orang dengan orang yang lain, akan menimbulkan perbedaan sikap diantara mereka. Dan disamping itu ketimpangan intelektualitas dan pemahamannya terhadap realitas yang minim mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanik dalam suatu kelompok. Artinya bahwa arus ini berkembang atas pemahaman dan penguasan terhadap realitas yang kemudian berimplikasi pada setiap pilihan sikap mereka untuk berolitik.

Suatu ketika, momentum itu hadir. Momentum yang dinantikan oleh beberapa oknum, momentum yang ditangisi oleh beberapa elemen, dan momentum bersejarah bagi perjalanan kita. Yah seperti biasa, kultur kita yang interdependensif selalu muncul dan menggerogoti jati diri kita sebenarnya. Dan mengotori perjalanan yang seharusnya diabadikan dalam setiap detik perjalanan kita esok hari. Semua terjadinya tidak alami, kalah dan menang kemudian diukur dengan nilai-nilai yang melekat dalam ikhtiar kita. Apalagi ketika primordialitas menjadi ukuran kualitas personal, kepentingan-kepentingan yang menunggangi kehadiran kita justru menatap kualitas pada titik kedekatan secara emosionalitas. Nah, ironisnya boneka-boneka ini tampil ke medan juang tanpa penguasaan terhadap geopolitik yang berkembang dengan sangat cepat. Memang ruang dan waktu telah mengalami transformasi sedemikian hebat seingga menjadi mungkin untuk berargumentasi bahwa primordialitas menjadi mengglobal sampai pada tingkat kita yang telah memahami konsep egaliter dalam padangan transidental.

Akhir Cerita dan dimana ku berpijak.
Ketika semua sedang euforia dengan masa transisi periode itu, tanpa sadar pun mereka bergerak bagai robot yang digerakkan oleh remote control, ketika pun sadar atas setip sikap ini hanyalah ”kesadaran spasial” dalam istilahnya Dale F.Eickelman ketika mencoba menggambarkan sebuah geografi politik yang sedang berubah dimana kedekatan dan kesetiaan setiap personal dan kelompok hanyalah lokalitas. Ditengah-tengah nuansa yang sangat panas, konstalasi politik berubah bak disulap, semua terjadi diluar dugaan dimana muncul satu kuda hitam, kuda hitam yang diasumsikan mampu mejawab segala kegundahan komunal, dan mengurai benang kusut kepentingan yang telah terbakar oleh asa politik yang tak sampai. Ya ditengah derai air mata suka campur duka beberapa oknum yang tersenyum disudut sana-ketika palu diketok mengubur beberapa kepentingan yang tidak rasional dalam kacamata pejuang dizaman ini-karena mereka hidup dizaman sebelumnya-dan mencoba mentafsiri semua fenomena hari ini dengan kacamata hari kemarin yang dalam beberapa hal kita butuh menkonversi itu dalam waktu yang tidak sebentar.

Aku? Aku memihak pada entitas yang memperjuangkan independensi personal dan struktural, pada idealisme dan keberpihakan atas politik bermoral tidak kepada ketergantungan atas kekuatan ”mistik” yang menghegemoni kedewasaan berproses dan berpolitik. Atau meminjam istilahnya Dahlan Iskan-Aku tidak ingin berpihak pada sesuatu yang menghegemoni ”akal sehat”. Dan pada akhirnya semua berjalan dengan pilihan masing-masing, dan aku tidak ingin menelan ludah sendiri untuk menggugat argumentasiku untuk membuat garis batas yang tegas antara profesionalitas dan interfensi.

Sebuah Cerita Menyakitkan Itu
Sekian lama tidak bersua dan menjajaki konstalasi itu, aku mengira semua baik-baik saja walau sering kali terdengar berita miring tentang simbol-simbol yang muncul untuk menggugat kepemimpinan itu. Dengan segala keyakinan dan optimisme, aku menginginkan semua mengalir bagai air dan ditengah derasnya dan hantaman bebatuan akan dipertemukan pada titik muara soluasi yang mampu mendewasakan dan memberi ibrah tersendiri. Ternyata memberi suara bahwa setiap keyakinan dan optimisme selalu beriringan dengan kesungguhan untuk berikhtiar. Beberapa oknum yanga tidak puas dan meliahat moment ini sebagai peluang emas untuk menggulirkan pada akhirnya membuat cerita yang menyakitkan. Ini tidak kemudian muncul tiba-tiba tetapi merupakan satu niatan dan rencana yang telah bermetamorfosa menjadi kepentigan politis yang menyakitkan, entah ini pragmatis atau merupakan idialisme yang memang harus diperjuangkan kita butuh mengkaji dan menelaahnya kembali. Dan disamping itu insiden ini muncul dipengaruhi oleh geopolitik yang homogen. Tetapi kenapa sangat monoton?cerita dan tokohnya sama. Dan yang lebih ironis adalah tokoh-tokoh antagonis pada cerita ini merupakan oknum yang bersuara lantang menolak sikap ini pada zamannya. Orang-orang yang memperjuangkan idialisme dan menolak pragmatisme. Tetapi apa yang terjadi?Apakah idialismenya yang luntur?atau mungkin kegagapan melihat realita memaksa mereka untuk mengambil jalan pintas yang belum tentu tepat.
Yahh kawan,...Bersabarlah.!!!
Dan,..saya yakin kalian sudah melewati masa-masa kanak-kanak kalian, dan sekarang kalian juga harus megejawantahkan setiap pemahaman dengan sikap apa yang harus di ambil. Aku juga tak harus turun kemedan laga untuk mengintervensi setiap sikap yang telah kalian ambil. Tetapi aku cukup percaya bahwa kalian faham mana yang terbaik menurut kalian dan semoga jalan ini tetap menjadi pilihan kita dan semoga orang-orang yang tidak pernah lurus menempuh jalan ini menemukan jalan untuk kembali.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin