`

`

Selasa, 27 Oktober 2009

AKU DIJEBAK DI PII


(Kumpulan Ceritaku Bersama PII bag.1)

Aku sejak lama ingin mengabadikan kisahku bersama rumah sekaligus organisasiku Pelajar Islam Indonesia (PII). Disini aku dibesarkan dan diajarkan tentang sesuatu yang membuatku faham tentang diriku dan hidup ini. Aku ingin mengurai dan menceritakan tentang aku bersama PII. Aku sebagai kader dan PII sebagai organ yang membuatku menggoreskan banyak cerita dengannya hingga kini.

Siapa Aku?
Aku seorang pelajar yang dilahirkan 24 tahun yang lalu tepatnya ditahun 1984. Aku terlahir sebagai anak pertama. Latar belakang keluargaku cukup sederhana; Bapak seorang Pegawai Negeri Sipil dan Ibu kerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Aku besar dan tumbuh dalam pembinaan orang tuaku yang masih kental dengan nuansa orde baru-nya; dikekang, dimanjain, di atur, dan aku tak pernah menemukan duniaku sendiri. Sejak SMP aktivitasku hanya sekolah-tidur-belajar-bermain, praktis cuman itu kadang-kadang aku gak pernah bergaul sampai merasa kuper. Bapak-ibu ku hanya ingin satu hal bahwa aku menjadi anak baik dan berprestasi disekolah. Tetapi dengan model pembinaan seperti ini aku justru tidak besar menjadi anak anak yang berprestasi justru besar dengan kebingungan, kebingungna atas kehidupanku.

Tiga tahun kemudian aku beranjak ke salah satu Sekolah Menengah Umum favorit di tempatku di Dompu-Nusa Tenggara Barat. Tidak ada yang berubah dengan gaya ku, aku hamper tidak memiliki teman bergaul karena setiap hari harus belajar, setiap hari kerjaanku hanya sekolah-rumah-dan belajar. Aku juga berfikir untuk membahagiakan kedua orang tuaku yang pada saat aku SMP aku tidak pernah menunjukkan hasil Rapotku dengan nilai yang bagus.

Di sekolah baru ku itu aku dikenal sebagai anak masjid, setiap shalat dzuhur aku mesti nongkrong di mushalah sekolah, tapi tak pernah ngobrol tak pernah punya teman dekat. Sampai akhir catur wulan aku tetap menjadi seperti biasanya. Akhirnya ketika pembagian rapor aku bertemu dengan teman seangkatanku teman yang baru ku kenal ketika dia menyodorkan undangan Pesantren Kilat Pelajar Islam Indonesia. Dia begitu pintar menawarkan kepadaku untuk ikut acara itu. Aku yang sejak SMP tak pernah punya keinginan untuk berorganisasi bahkan sangat apatis. Tapi saat itu aku menerima tawarannya dengan satu catatan aku hanya mengikuti pesantren kilat. Orang tuaku yang biasanya sangat protektif saat itu menanda tangani surat izin orang tua yang mesti ku bawa saat pesantren kilat gara-gara dicatur wulan pertama itu aku mendapat rangking satu.

Keesokan harinya aku menuju sebuah kota yang perjalanannya dari tempatku harus kutempuh selama dua jam. Aku tidak sendiri waktu itu tapi aku lupa jelasnya berapa. Acara akan dilangsungkan di MAN 2 BIMA, Sekolah kenangan bagiku di PII. Sesampainya disana kita langsung menghadiri acara pembukaan. Tertulis di spanduk yang ada di depan tempat duduk para peserta “Leadership Basic Training Pelajar Islam Indonesia” lebih kurang begitu. Aku yang lugu, polos, dengan hikmat mengikuti prosesi pembukaan sampai selesai.

Setelah pembukaan selesai para peserta di minta registrasi, mengisi form macam-macam dan masuk kekelas yang telah disediakan panitia. Di sana keanehan terjadi, diluar dugaanku, diluar kebiasaanku, aku heran dan tidak betah disana. Ketika masuk ruangan dihari pertama aku gugup, gagap, dan tak pernah berani bersuara, yanga ada dalam pikiranku adalah aku dijebak di PII, katanya pesantren kilat tetapi acaranya diskusi dan debat, instruktur yang seharusnya masuk untuk mengisi materi malah mengarahkan untuk diskusi lebih ramai. Sementara aku yang memang berangkat dari anak rumahan dan tak pernah bersosialisasi sangat kaget dan tak betah disana. Dua hari berjalan rasanya sudah dua bulan, ingin pulang tapi harus bareng teman-teman, dan pada akhirnya aku harus bertahan disana.

Dalam proses SANLAT yang penuh dengan “intrik” aku berusaha mengikuti semampuku, ku ambil yang kira-kira menurutku bermanfaat besoknya. Dan aku terus mencobanya hingga acara selesai. Dan aku masih ingat bahwa setelah acara penutupan dibentuk komisariat SMAN 1 Dompu terus selanjutnya kita pulang.Dan satu lagi yang susah dilupakan dihari terakhir itu bahwa tak siap berpisah dengan teman-teman dan meneteskan air mata disaat memeluk Kordinator tim. Satu tekadku kemudian bahwa aku akan belajar disini, di Pelajar Islam Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin