`

`

Kamis, 31 Desember 2009

SUKSESKU “PASANG SURUT”

(Keping-keping Kehidupan 3)

Suksesku “pasang surut”. Kalimat ini mungkin yang menggambarkan cerita kesuksesan studiku. Sukses yang menurut orang kebanyakan diukur dari prestasi dikelas. Ya begitupun aku. Sebagai seorang siswa yang ingin maju menurutku salah satunya harus berprestasi dikelas. Walaupun orang-orang besar juga ada yang tidak menempuh sekolah formal. Tetapi inilah kenyataan.

Walaupun aku tidak pernah sukses jika diukur dari standar prestasi siswa di sekolah tetapi aku punya standar yang kusesuaikan dengan kualitasku yang tidak sepintar teman-temanku yang memiliki nilai tertinggi disekolah, memiliki nilai ujian nasional tertinggi se-kabupaten. Dan standar yang kubuat cukup untuk menghibur diri yang punya impian terlalu tinggi tetapi apa daya tangan tak sampai.

Ketika Sekolah dasar aku pernah mengungguli teman-teman sekelasku. Aku pernah tiga kali sejak kelas 1 sampai kelas 3 mendapat rengking pertama. Tetapi sudah harus diakui bahwa setelah itu aku tidak pernah mendapatkan itu. Ya gara-garanya, aku sakit keras, berawal dari hanya sakit meriang sampai harus diopname dirumah sakit dan memaksa aku tidak masuk sekolah sampai mendekati ujian catur wulan (cawu-sebelum memakai sistem semester). Dan tidak tanggung-tanggung, aku harus mengejar ketertinggalan itu, dan alhasil aku hanya duduk diperingkat kedua, Alhamdulillah masih sempat tiga besar.

Ketika aku masuk SMP, aku bersemangat ingin mengulang prestasiku, prestasi yang pernah ku banggakan waktu SD, prestasi yang kerap kali orang tuaku memberikanku hadiah.

Awal-awal cawu dimulai aku berusaha sekeras mungkin, belajar untuk cita-citaku, dan ketika itu aku hanya mendapatkan peringkat dua untuk cawu pertama. Untuk cawu kedua dan ketiga aku mendapatkan peringkat kedua dan ketiga. “Semakin turun euy..” belum selesai karena merasa ikhtiarku sudah cukup sempurna aku merasa harus menerima semua apa adanya.

Naik ke kelas 2 SMP, sistem yang dibuat adalah sistem pengacakan dan pembagian kelas berdasarkan prestasi, sehingga aku jadi salah satu siswa yang masuk kelas unggul (kelas yang menurut sekolah diunggulkan). Tetapi semakin hari bukan menambah motivasi untuk belajar tetapi justru menggeserku dari segala kebiasaan “positif”. Aku malas, apalagi harus bersaing terlalu keras, aku sadar kualitasku cukup hanya untuk menjadi seperti ini-menurutku aku tidak terlalu kuat untuk bersaing, lagi-lagi karena soal percaya diri yang lemah membuatku terus berada dalam keterkungkungan masa lalu, tenggelam dalam kelemahan diri, dan tidak berfikir maju untuk sesuatu yang masih bisa diusahakan. Ada banyak teman-teman kelasku waktu SD yang secara akademik lebih rendah dari aku, jarang masuk sekolah, dan hampir terabaikan, tetapi ketika dikelas yang sama waktu SMP dia adalah salah satu siswa teladan, nilainya bagus, cara belajarnya berhasil, dan sangat aktif mengikuti pelajaran, dan aku hanya menjadi bagian dari siswa yang diam dan sepertinya tidak punya motivasi untuk maju, yahh.. ini mungkin perasaanku yang menganggap bahwa ini lah penilaian orang kepadaku, walau hanya sekedar perasaan. Karena diluar sekolah aku sering menjuarai lomba cerdas cermat.

Ini mengesankan cerita “buruk” buatku. Bagaimana tidak nilai Ujian Akhir Nasional-ku hampir tidak meloloskanku untuk masuk kesekolah negeri. Dan pada saat itu yang membuat bapakku sedikit berotot adalah dengan nilai yang “terbatas” aku tetap memaksakan diri untuk mendaftar ke sekolah favorit di Kabupaten Dompu. Soalnya dengan insiden nilai yang anjlok itu aku merasa terpompa untuk memulai dari nol, memulai untuk menjadi yang terbaik lagi, memulai untuk yakin bahwa aku masih bisa bersaing dengan rekan-rekanku dikelas dulu.

Ya setelah menanti cukup lama ternyata aku diterima disekolah favorit itu. Mata ku berkaca-kaca, tubuhku merinding, tatapanku menyorot kedepan, aku merasa ingin segera berada dikelas untuk bersaing dengan teman-teman baruku. Aku ingin membuktikan bahwa aku masih siap untuk mengejar semua prestasi yang pernahku abaikan.

Ya dari sinilah aku hanya menjadi siswa yang “gila buku”. Aku mulai mengatur waktu belajar, waktu bermain, waktu untuk istirahat, sampai-sampai aku tidak pernah keluar hanya untuk sekedar jalan-jalan. Aku masih ingat ibuku, setiap selesai shalat isya beliau mesti tahu kalau aku sudah mulai membuka buku dan beberapa saat kemudian ibuku mesti membuka pintu kamarku (Kalau belajar selalu menutup pintu kamar) untuk menawarkan segelas teh manis. Dan biasanya kalau belajar sambil minum teh aku merasa lebih cepat menyerap pelajaran dari buku yang sedang kubaca. Terimakasih bu untuk setiap gelas teh yang kau suguhkan.

Tidak sia-sia usahaku. Pada saat penerimaan raport di cawu 1 aku meraih juara 1, prestasi yang membanggakan bagiku-apalagi jika orang tuaku mengetahuhi ini begitu bangganya mereka. Benar bahwa kesuksesan itu bergantung pada seberapa besar usaha kita. Allah lah yang memberikan semuanya, karena tugas kita adalah hanya berusaha yang menentukan semuanya adalah Dia-Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku segera pulang kerumah untuk mengabarkan berita bahagia itu kepada bapak-ibuku. Bapak-ibu ikut bangga merasakan apa yang sudah ku usahakan selama ini. Pola belajar dan kegiatanku sehari-hari terus seperti biasanya, mengalir tanpa harus dibebani oleh hal-hal lain selain mata pelajaran di sekolah. Ada kesibukan diluar sekolah tetapi masih menjadi sesuatu yang tidak berat untuk difikirkan.

Aku merasa sedang berada di awan, bersama impianku, harapanku, cita-citaku, aku menjadi salah satu siswa yang berhasil meraih impian disekolah, aku mengungguli teman-temanku sampai kelas 2 cawu ke-3. Sudah semestinya ketika itu aku mengumpulkan 6 piagam penghargaan, dan mendapatkan beasiswa dari BATARA, aku lupa jumlahnya-tetapi sudah cukup bagiku untuk membuatku terus tersenyum dalam impian yang sedang ku kejar. Bapak-ibu sudah tentu ikut senang, aku menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mereka, selain sebagai anak yang penurut dan rajin ke masjid aku menjadi anak yang “sukses”. Tidak sekedar itu setiap permintaanku mesti dikabulkan, belum lagi ketika hadiah juara 1 dari mereka yang semakin melengkapi kebahagiaan dan motivasiku untuk terus maju. Dan sejak itu aku tidak pernah di atur, tidak pernah ditegur, tidak pernah diingatkan, bukan karena aku kebal dari semuanya tetapi aku dianggap sudah dewasa untuk memilih mana yang terbaik untukku, dan memang aku tidak pernah melakukan sesuatu yang mencoreng wajah mereka.

Kelas 3 SMA, aku sedikit harus beradaptasi karena kelas diacak lagi seperti dahulu ketika aku naik ke kelas 2 SMP, ya ketemu dengan teman baru, guru baru karena guru yang mengajar dikelas 1 dan 2 berbeda dengan guru-guru yang mengajar dikelas 3. Ini tentunya membuatku harus berfikir keras jika ingin melanjutkan kesuksesan sebelumnya, banyak hal yang aku rasakan, adapatasi yang terlalu lama justru membuatku tertinggal, kosong, dan aku akhirnya kembali ke masa laluku-aku akhirnya tidak ingin berfikir banyak tentang kesuksesanku disekolah-karena aku lebih sibuk mengurusi urusanku diluar, aku justru menemukan kepuasan diluar, bebas bagiku untuk menggambarkan diriku dibalik kekangan sistem sekolah yang hanya menuntut kualitas akademik, sementara sikap, tindakan, perkataan, pergaulan, terlupakan, dan aku temukan diluar disaat aku harus melengkapi kesuksesanku yang tinggal setahun lagi. Dan ini aku dapatkan diluar.

Aku sibuk, buku pelajaran dan sekolah aku tinggalkan, dan hampir aku lupakan, apa lagi guru yang harusnya mengajar hanya sekedar menitipkan buku untuk difoto copi, aku yang gerah dengan cara seperti ini menghabiskan waktu untuk “keliling” ke sekolah-sekolah, bukan main-main apalagi tawuran, tetapi untuk membagikan undangan sebuah acara rutin yang aku dan organisasiku adakan tiap pekan. Ini menghiasi hari-hariku di kelas 3, teman-teman yang masih berfikir sekolah formal adalah satu-satunya cara sukses akhirnya meninggalkan organisasi kita tercinta, organisasi yang pernah menjadi “rumah” para pendahulu yang telah sukses bersamanya. Aku hanya bersama temanku-Andi Chandra namanya, seorang sahabat yang selalu menemaniku disaat susah senang, sering menjadi “tong sampah”, dia yang rela melakukan apapun demi “rumah kita”.

Sampai akhirnya tiba, kita harus hengkang dari “rumah” kita karena masa kepengurusan telah berakhir. Tentu kita meninggalkan para kader yang terus melanjutkan roda organisasi tercinta.

Dan sekolah? Aku tidak lantas meninggalkan sekolahku, aku kembali kesekolah dengan segala bekal yang menumpuk di otak, tapi bukan rumus matematika, fisika, apalagi kimia, tetapi bekal perjalanan untuk hidup dikemudian hari. Seingatku saat itu tinggal 2 minggu lagi ujian akhir nasional akan digelar, semua siswa tentu sudah harus mempersiapkan diri, teman-temanku yang meninggalkan organisasiku sudah lebih dulu mempersiapkan segala hal untuk ujian itu. Aku baru mulai, aku membuka kembali semua buku tempatku mencatat semua pelajaran sejak kelas 1. Kubuka, kupelajari, kudiskusikan dengan teman-teman sekolahku, dirumah, disekolah, dan dimanapu ketika itu. Sampai waktu ujian tiba dan apapun usahaku aku sudah bertawakkal. Yang selalu melekat dibenakku adalah ungkapan seorang ustadz yang sering mengisi diskusi keislaman “dirumah” kita “barangsiapa yang menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya….”. Sebuah ungkapan yang mengutip sebuah hadits Rasulullah ini membekas dan selalu mengiringi usahaku yang terbatas dan seadanya.

Aku telah menyerahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, kulewati semuanya tanpa keraguan, tanpa rasa takut untuk tidak lulus sampai selesai. Tinggal menunggu hasil yang akan diumumkan satu bulan setelah ujian berakhir. Akhirnya aku lulus dengan nilai yang tidak jauh beda dengan teman-temanku yang lain. Ini cukup menurutku. Ini justru lebih dari cukup untuk bekal merantau ke negeri orang.

Aku memilih Malang-Jawa Timur untuk menjadi tempat menuai suksesku yang pasang surut. Malang kota terindah menurutku dibandingkan dengan tempat asliku. Kota yang saat itu sejuk, bersih, masyarakatnya ramah, dan tradisi keilmuannya cukup tinggi. Aku telah berada dimalang setelah menempuh perjalanan dengan bus kota selama sehari dua malam. Perjalanan yang sungguh melelahkan tetapi sangat sebentar jika diukur dengan ilmu yang sedang ku kejar, dan sukses yang ingin kuraih kembali. Setelah satu bulan di Malang dan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, akhirnya aku diterima di salah satu kampus negeri di malang yaitu Universitas Brawijaya. Dan kukejar suksesku disini.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin