`

`

Jumat, 01 Januari 2010

SALEKO NAMANYA

(Keping-keping kehidupan 4)

Saleko bukan nama pejuang 45, atau tokoh pembesar negeri ini, atau mungkin pahlawan yang telah berjasa berjuang demi pembebasan sebuah negeri. Saleko adalah nama desa yang berada di sudut utara kabupaten Dompu-Nusa Tenggara Barat. Desa kecil, berbukit, dihiasi beberapa rumah sederhana tetapi memberi pesan kedamaian. Tentu karena desa ini jauh dari kebisingan, kebisingan disebabkan suara kendaraan, konflik antara desa, maupun elit-elit politik yang sering menjarah kekayaan Negara tanpa toleransi.

Saleko ini penuh dengan pesan damai, Pesan kesejahteraan. Disamping itu hijau persawahan membentang ke barat dan ketimur. Jika dilihat dari atasnya jelas hamparan pegunungan dan pemandangan yang indah. Burung disana bernyanyi sepuasnya-mereka bebas tidak terkurung oleh politik penguasa yang menghegemoni sebagian rakyat.

Jika matahari terbit, setiap orang dari “wajah” yang berbeda bergegas mencari setitik nikmat. Ada yang berangkat ke kantor, ibu-ibu yang ke pasar, para pedagang yg memelas kehangatan matahari pagi menuju pasar, ada juga tukang ojek yang mengharap rejeki dari orang-orang yang memilih tidak menggunakan angkutan-dan kelebihannya ojek bisa mengantarkan penumpangnya sampai ke tempat tujuan walau harus melewati jalan-jalan kecil.

Dan jika sore hari tiba, matahari yang kembali ke peraduannya, semakin melengkapi keindahan desa itu. Ditengah keramaian kendaraan di sebelah selatan Saleko sekitar 200 meter, sering telihat orang-orang yang mengharap ketenangan dengan menatap hijaunya alam disana. Kadang bercerita tentang alam dan keindahan yang menempel disana. Dulu keindahan alamnya masih belum terjamah, masih asli, dan tidak banyak orang bermukim. Sekarang sudah banyak yang merapat kesana, memulai hidup disana, gedung sekolah, perkantoran, wisma, dan membangun fasilitas pelayanan masyarakat disekitar sana.

Aku saksi hidup, yang mencoba melepas penat di sana. Penat karena kebuntuan berfikir menghadapi kenyataan hidup. Aku pernah menyusuri jalan 2 kilometer untuk mendapat kedamaian disana.

Tapi sesekali aku bertanya pada kehidupan, kenapa aku ditakdirkan hanya mampir dan sekedar menyapa kesejukan di desa yang telah ada tahun 1982 ini. Jelas memang bukan rumahku disana, bukan tempat aku dilahirkan tetapi hanya sekedar lewat dan berkunjung untuk membuat sebuah cerita dalam hidupku. Sungguh nikmat Allah menciptakan desa itu.

Daerah itu kukenal gara-gara aku pernah “menjebak” seorang sahabatku bernama Nurul Fitria, seorang sahabat yang pernah menjuarai Taek Kwon Do se-propinsi Nusa Tenggara Barat. Aku jebak dia untuk mengecap tetesan perjuangan di Pelajar Islam Indonesia (PII). Memang tahun 2002 menjebak orang untuk terlibat di PII bukan cerita baru, tetapi justru menambah cerita yang telah menumpuk dalam sejarah PII. Aku pertama mengenal sahabatku ini ketika ada diskusi ke-Islaman di sekolahku. Mengundang SMA se-kabupaten Dompu. Dan peserta pertama yang hadir saat itu adalah dia. Saya tidak begitu faham kenapa dia bertahan dan aktif di PII,tetapi dia adalah salah satu kader yang selalu aktif mengurusi seabrek kegiatan saat itu. Memang tidak sendiri karena selalu ditemani oleh beberapa temannya; Hairunisa, S.T.Aminah, Indah Kurnia, Desi Rahmawati, Suci, dan beberapa teman lain yang selalu ada disaat kerja-kerja organisasi mulai menumpuk.

Saleko adalah desa dimana Nurul Fitria menetap. Nurul begitu ia dipanggil, tinggal bersama bapak, ibu dan satu orang adik laki-laki, hanya berempat karena ketiga kakaknya sedang melanjutkan kuliah dan telah bekerja. Hidup dengan kondisi keluarga yang sangat terbuka membuat aku dan beberapa teman-teman sering menghabiskan waktu disana untuk sekedar mampir, membuat undangan kegiatan, rapat, ngumpul-ngumpul, dan menerima tamu. Banyak cerita tentunya yang kita goreskan didesa itu tepatnya dirumah fitria, nama kecil dan akrab disapa dirumahnya.

Aku cukup terkesan dengan desa ini, tentu karena menyimpan sejuta cerita buatku. Ketika menjadi ketua umum PII Kebupaten Dompu, dirumah ini aku membangun kedekatan personal, menguatkan persaudaraan dengan beberapa orang pengurus yang menurutku akan melanjutkan organisasiku. Berhasil!! Karena 5 orang yang hengkang aku gantikan dengan 20 orang yang kuat dan semangat.

Memang Saleko bukan satu-satunya tempat yang menyimpan cerita para aktivis PII, tetapi Saleko memberi simbol cerita, simbol semangat, dan simbol perjuangan. Berangkat dari cerita saleko aku jadi menemukan tempat lain yang mampu melepas penat, tentu bersama sudara-saudarku yang selalu hidup dalam perjuangan.

Saleko, entah kini menjadi apa,..cerita perjuangan PII Dompu masa lalu telah melebur dengan waktu. Sekarang tentunya berbeda cerita, digoreskan oleh orang-orang yang berbeda, cerita yang berbeda, tetapi diakui atau tidak Saleko selalu menjadi bagian dari perjalanan PII yang akhirnya terus mengalir hingga kini. Saleko juga menjadi saksi kalau mereka-yang hari ini telah pergi meninggalkan cerita di PII, pernah membuat kisah disini dengan senyum, tawa, dan air mata yang mewarnai perjalanan bersama PII kita di Dompu.

1 komentar:

  1. Bagus silakn diteruskan, saya terkesan dengan cerita itu dengan catatan polesi dia kendati tidak seperti penulis laskar pelangi.

    BalasHapus

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin