`

`

Rabu, 30 Desember 2009

MENJADI AKTIVIS, BERAWAL DARI APATIS

(Keping-keping kehidupan 1)

Aktivis. Kata ini baru kudengar setelah Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 1, tepatnya ketika aku masuk di salah satu SMP 2 Negeri di kabupaten Dompu. Dompu sebuah kabupaten kecil di pulau Sumbawa-Nusa tenggara barat. Pulau yang pada peta Indonesia hampir tidak terlihat karena memang pada kenyetaannya ukuran geografis yang memang tidak seluas dan sebesar pulau jawa, sumatera, atupun Kalimantan. Tetapi disanalah aku dilahirkan.

Kata aktivis ini kukenal tepatnya ketika aku menginjak bangku SMP tetapi aku tidak pernah ingin tahu tentang aktivis. Sejak kecil aku sudah menjadi anak rumahan,
ketika Sekolah Dasar (SD), bapak dan ibuku selalu mewanti-wanti supaya aku selalu mendapatkan rengking 1 dikelas, yach harapan itu aku penuhi hanya sampai kelas 3 SD, dan selanjutnya sampai kelas enam angka dua menjadi angka tetap yang menempel diraport ku. Oiya,..aku pernah dimarahi sama bapakku sampai tidak diizinkan main sama anak-anak tetangga. Apalagi ketika adzan magrib telah tiba aku harus segera bersiap-siap untuk shalat dan belajar ngaji (belajar membaca Al-Qur’an). Sejak kecil hingga SMP aku setiap hari hanya sekolah dan berdiam diri dirumah, sesekali bergaul sama teman-teman sebayaku tetapi tidak jarang “dijewer” sama bapak karena ulah teman-temanku yang tidak genah. Ini mempengaruhi kepribadianku-menjadi tertutup dan apatis. Dulu kata aktivis adalah momok bagiku. Aktivis menurutku ketika itu adalah anak-anak yang tiap hari dan tiap waktu hanya sibuk dengan agenda-agenda organisasi, kegitan, rapat, dan lain-lain. Ketika itu organisasi yang marak adalah pramuka. Aku memang salah satu pengurus osis sejak kelas 2 SMP, sebagai ketua seksi IMTAQ (Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) tetapi aku tidak pernah mendalami tentang arti dari sebuah organisasi. Mungkin Karena aku terlalu apatis. Walau keapatisanku adalah pengaruh dari pendidikan dikeluargaku yang terlalu tertutup. Aku apatis karena menurutku sibuk di organisasi hanyalah kegiatan menghabiskan waktu, tenaga, dan membebani fikiran. Dan aku memang tidak suka terlalu lama diluar rumah-aku pernah merasa sangat bodoh ketika aku harus menangis karena ditinggal ibu keluar kota dalam waktu satu minggu.

Kondisi seperti ini menghiasi hari-hariku sampai aku harus melanjutkan ke Sekolah Menengh Umum (SMA). Tetapi aku merasa masih punya kelebihan, aku masih cenderung menjadi anak yang baik dan sangat tertarik mengikuti acara pesantren kilat.

Di SMA, lagi-lagi aku menjadi sangat kuper. Teman-temanku hanya beberapa orang saja, itupun teman yang sempat kukenal karena kebetulan pernah satu kelas waktu SMP. Duhh, aku mulai merasa ingin berubah, ingin keluar dari keterkungkungan, aku tidak selamanya hidup dibawah pengaruh dan pengawasan orang tua, suatu saat aku akan sendiri, mengarungi hidup sendiri, karena hidupku adalah kenyataan buatku.

Di SMA, akhirnya aku merasa ingin berubah. Karena pesantren kilatlah aku mengenal rumah kedua bagiku-Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi yang baru tiga tahun dibentuk kembali oleh Pengurus Wilayah. Ya gitu dehh, aku merasa menemukan diriku yang sebenarnya. Disini aku belajar, aku “mencuci” otakku-pikiran yang sempit melihat kehidupanku. Disini aku mengenal buku, mengenal penulis, mengenal Indonesia dan mengenal dunia. Dan di PII aku mengenal apa aktivis dank arena rumah ini kedua inilah aku belajar untuk tidak apatis.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin