Sudah dua tahun aku melewati dunia pasca kampus. Dunia yang pastinya sangat berbeda. Dunia yang sering membenturkan idealisme kita dengan kenyataan hidup yang sesungguhnya. Dunia yang pada akhirnya kita selalu berkesimpulan bahwa hidup ini harus realistis. Tetapi aku berbeda. Aku masih belum mampu memaknai bahasa realistis itu kedalam pilihan konsen perjuangan untuk mensukseskan misi profetik.
Ketika
didunia kampus dahulu garis besar gaya hidup kita hanya tiga, adalah menjadi
mahasiswa yang sukses secara akademis, belajar bahwa dengan moralitas yang
baiklah harapan kejayaan bangsa ini akan terjaga, dan berikut menjadi aktivis
mahasiswa yang berteriak sekeras mungkin ketika ada masalah yang tidak pro
rakyat dan anti kebenaran. Sungguh situasi yang membentuk kita menjadi orang
yang sangat idealis. Tidak jarang juga kita temukan mahasiswa yang sangat
utopis dengan dunianya dan dunia disekelilingnya.
Pada
fase itu kita merasa tingkat aktualisasi kita sudah sangat purna. Ada kepuasan
tersendiri, jika kita bisa mengilustrasikannya dalam sebuah model grafik-saat
itu mungkin kita sudah ada titik paling atas. Titik yang dimana kita merasa
bahwa gelar sarjana dan gelar aktivis menjadi satu pencapaian yang tidak bisa
tertandingin dalam sejarah apapun dalam hidup kita. Begitu pula yang aku rasa
memenuhi relung hatiku. Ada kepuasan karena sejarah sukses menurutku itu ku
goreskan sendiri bersama tumbangnya waktu, bersama terisinya segala kesempatan
untuk berproses menjadi-aku artikan sebagai mahasiswa yang sesungguhnya.
Waktu
ini berlalu ternyata membuat aku harus mengatakan bahwa waktu adalah makhluk
misterius. Ia selalu memberi kejutan. Selalu menawarkan sesuatu yang baru.
Tidak jarang ia membuatku memompa adrenalin. Dan sangat sering ia menegangkan
urat-uratku, mengerutkan dahi dan memusingkan kepala.
Menjadi
sarjana dan bergelar aktivis ternyata hanya mampu menciptakan ketenangan dalam
waktu yang sangat terbatas. Pasca kampus aku merasa dua gelar itu justru tumpul
dan tidak mampu memberikan kekuatan tersendiri menepis segala beban fikir yang
muncul. Aku mahasiswa yang kuliah jauh sampai ke pulau jawa. Masuk Universitas
ternama. Menjadi aktivis. Lalu pulang kampung tetapi tidak bisa berbuat
apa-apa. Harapan dieluk-elukan sebagai lulusan universitas di pulau jawa
hanyalah menjadi pepesan kosong dan mimpi disiang bolong. Justru semakin kuat
kabar angin yang menyerang seperti badai yang mengisi halaman-halaman rumah
tetangga. Mengatakan “Tak ada gunanya kuliah jauh tetapi tidak bisa apa-apa dan
tidak punya pekerjaan”. Kata-kata yang menyesakkan dada ini membuat aku semakin
sering mengurung diri dikamarku. Hanya bisa mengeluh dan mencibir netbook yang
selalu menatap sayup ketika aku mengekspresikan amarah lewat tulisan-tulisanku.
Beberapa
waktu kemudian aku sudah bekerja. Aku diterima bekerja di sebuah LSM yang
bergerak dibidang Advokasi pelayanan Publik. Enam bulan ketika aku magang
disana, aku yakin bahwa inilah wadah yang membuatku mampu memelihara
idealismeku, kultur intelektual, budaya diskusi, dan seabrek model aktivitas
yang sewarna dengan dunia mahasiswa. Aku memang sangat khawatir ketika disuatu
saat nanti idealisme yang melekat hari ini terkikis dan terbuang lalu berterbangan
seperti kapas yang tidak jelas mengikuti angin yang membawanya. Tetapi dunia
LSM membuatku yakin bahwa idealisme ini akan semakin mendarah daging.
Nilai-nilai yang disebut Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis yang jadi
ruh disana terinternalisasi dalam gerak aku dan kawan-kawan. Nilai-nilai
partisipatif, transparan, akuntabel, keswadayaan, kesetaraan, berpihak,
keberlanjutan, kemandirian, pemberdayaan dan pengkaderan, dan demokratis. Kita
bekerja meningkatkan Kapasitas warga dan organisasi warga dalam mendorong
pelayanan kesehatan yang optimal. Mendampingi sepuluh desa, menjajaki semua
problem pelayanan kesehatan, kemudian memilih kader terbaik desa untuk menjadi
pioner dan mereka menginisiasi lahirnya organisasi warga yang konsen memberikan
informasi berkaitan dengan standar pelayanan, lalu membelajarkan organisasi ini
dan masyarakat menjadi warga yang berdaya, serta menampung segala keluhan dan
pengaduan masyarakat untuk diadvokasi di pihak pelayan kesehatan dan pengambil
kebijakan. Lalu diantara aktivitas-aktivitas itu ada peningkatan kapasitas kita
sebagai NGO dan warga serta organisasi warga tentang regulasi-regulasi yang
berkaitan dengan isu yang sedang kita perjuangkan.
Aktivitas-aktivitas
ini sangat mulia. Aku begitu nyaman. Aku bisa memenuhi kebutuhan otak-ku untuk
bergulat dengan segala diskursus tentang konsep pengorganisasian, dan tekhnik
fasilitator. Dan secara langsung menyiapkan diri untuk berlajar menjadi
konseptor perubahan. Inilah mungkin cara aku dan kawan-kawan di LSM melakukan
rekayasa untuk perubahan sosial. Menjiwai dan berubah wujud menjadi aktivis LSM
mengajarkan aku untuk selalu meningkatkan kapasitas, karena fungsi pendampingan
dan pengorganisasian ditingkat warga menuntut kita untuk memberi banyak hal
untuk itu.
Dalam
kenyamanan ini aku merasa tidak ingin berpindah dari tempat dudukku yang begitu
banyak memberi input kapasitas. Lalu bersama dengan waktu ini pula aku merasa
seperti ada sesuatu yang masih kurang. Ada sesuatu yang masih perlu aku kejar.
Bergelar aktivis mahasiswa sudah aku tempuh, memelihara idealisme dengan tempat
bekerja yang cukup nyaman sedang juga aku alami dengan sepenuh hati. Bahkan
mencoba membentuk kultur baca dan diskusi di taman kota sudah aku seriusi.
Tetapi aku merasa masih ada yang tersumbat dalam obsesiku. Beberapa kali mendapat
sindiran sebagai orang yang tidak jelas arah tujuannya. Seringkali juga
dianggap sebagai kutu loncat. Hanya karena aku melakukan pekerjaan lebih dari
satu tetapi masih merasa ini bukan sesuatu yang ku kejar selama ini. Bahkan
ketika aku menjadi dosen yang menurutku nanti mampu menemukan sesuatu yang
sedang aku cari. Ternyata tetap saja aku merasa melewatinya sebagai rutinitas
ansih.
Ada
keinginan besar yang masih harus ku tuntaskan dalam perjalananku. Entah apa
dia. Tetapi aku menafsirkan ini adalah keinginan untuk menjadi penulis dan
menerbitkan buku karyaku sendiri. Aku serasa gila dengan obsesi ini. Tidak
jarang waktuku terkuras hanya dengan memandangi buku-buku yang berbaris di
mejaku. Hanya untuk melihat dan ter-kagum-kagum dengan karya luar biasa yang
mereka ciptakan. Ada juga terkadang aku mencibir beberapa buku yang ku anggap
tulisannya sangat sederhana tetapi laku di pasaran. Sungguh menyentil untuk
beradu ide dan karya. Aku sering belajar menulis mengikuti gaya mereka menulis,
sering belajar tentang cara mereka mengungkap keluh kesah, belajar
mengekspresikan bahagia lewat artikulasi bahasa yang bisa membuat pembaca ikut
tersenyum, dan belajar tentang cara para penulis itu mengungkap kebobrokan
pemerintah dengan bahasa yang eufimistik.
Dan
aku puas dengan semua itu. Ingin rasanya berteriak dan mengangkat tangan serta
mengatakan “Aku merdeka dari segala keluh kesah yang membuat hidupku redup dan
senyumku mengkerut”. Maka dari itu aku ingin benar-benar menjadi penulis dan
disaatnya nanti menciptakan buku yang bisa membuat orang lain tersenyum,
ter-inspirasi, terdorong melakukan kebaikan, dan merdeka dari segala kepelikan
hidup. Tentu sekali lagi ini bukan untuk kepentingan prestise tetapi dalam
rangka mengambil bagian dalam upaya mencerdaskan manusia. Dalam rangka
berperang melawan kebobrokan moralitas. Hanya dengan menulis membuat orang lain
bisa menyelami makna kebaikan yang selama ini menggerakkan kita. Hanya dengan
menulis membuat pesan-pesan kebaikan yang kita sampaikan bisa dibaca oleh
manusia diseantero negeri. Menulis ini mencoba menyampaikan kecemerlangan ide
yang kita dapatkan dari suara langit. Suara Penguasa Abadi.
Mari
menulis.
*Merapat bersama obsesi ini
Super bro..
BalasHapusIya Thanks
BalasHapussaya yakin anda sudah menjadi penulis... soal punya buku hanya soal waktu.. yakinlah..
BalasHapusiya Thanks..
BalasHapussemoga sukses teman
BalasHapusSUKseS Sobb... jadi penulis tidak harus punya buku, tapi dengan memberikan banyak insfirasi dengan tulisan tulisan singkat sudah lebih bermanfaat daripada ber angan
BalasHapus