![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj40agiKBFKH7d-bNeUBPw4xWKA1HDkV3imnMHRkEKN-C9tv8IHcuF9ix0kpUI8VSmKmbRmXMC4b1cAuLhpX1qHCN89Uq4t0DXwTg9BzG9R1VGpEO1T2qhHBmd33k5A_TER8Q2cYQOsAXGL/s320/PA140332.JPG)
Foto ini menarik saya untuk mengabadikannya disini. Dua hari yang lalu saya ditelpon teman saya yang akan melangsungkan pernikahan di Wonogiri-Jawa Tengah. Walau jauh hari sebelumnya dia telah mengundang lewat selembar undangan tapi dia tetap berharap biar saya hadir di sana sesegera mungkin. Sambil menunggu hari petang saya merampungkan urusan-urusan saya di malang. Akhirnya sekitar jam 18.30 WIB saya berangkat ke terminal terus naik bis malang-surabaya. Tepat pukul 20.40 WIB saya tiba di terminal bungurasih dan disana saya memulai cerita perjalanan saya ke Solo dan Wonogiri-Jawa Tengah. Aku naik Sumber Kencono, salah satu bus yang menjejaki bagian dari daerah di Jawa Tengah.
Bus-nya sepi, penumpangnya bisa dihitung dengan jari, aku duduk di kursi ke-4 dari depan ditemani tas ransel hitam yang ku beli dua tahun yang lalu itu. Setelah tiap-tiap bagian ban bus itu berentuhan denga aspal, jam digital yang berada tepat di atas kepala sopir itu berganti angka perdetiknya, pikiranku mengawang menjelajahi nuansa malam di perjalanan itu, terlintas ide untuk mengabadikan perjalanan itu lewat kata, akhirnya ku keluarkan buku harianku untuk mencatat satu demi satu ide itu. Sejenak ku buka teman curhatku itu ku teringat problem yang kuhadapi hari ini, berkumpul dan menumpuk dalam kepala ku, ku abadikan semuanya sampaiku tertidur dan terbangun oleh rasa sakit kepala ku yang terbentur pada besi dipinggir kaca bus itu. Tak kuasa ku menahan rasa ngantukku dan akhirnya dibangunkan oleh suara kondektur yang menyeru “Terminal Solo,..terminal Solo..”
Setelah turun dari bus itu dalam hati ku berkata “terimakasih ya Sumber Kencono”. Aku masuk ke ruang tunggu penumpang tepat didepanku jam dinding menunjukan jam 02.00 WIB, dan hari masih sangat pagi, ku ingat-ingat, kalau jam segitu bus Solo Purwantoro yang beroperasi di Wonogiri belum ada. Walau demikian disana cukup banyak orang yang mungkin tiap harinya bekerja di terminal ini, aku tau karena ketika aku masuk mereka menawarkan tumpangan ojeknya untuk mengantarku ke Wonogiri.
Aku bergabung dengan mereka, menyimak acara TV pagi itu, karena bus yang ke Wonogiri baru ada sekitar jam 5 pagi. Nah sambil rehat sejenak aku melanjutkan untuk menjelajahi ide dipikiranku dank u tulisa iya sampai adzan shubuh berkumandang. Ku bergegas menuju mushalah, dan shalat shubuh di sana.
Aku harus melanjutkan perjalananku. Begitu pintaku dalam hati, dan aku naik bus Solo-Purwantoro jurusan wonogiri. Bus yang mengantri sejak beberapa menit sebelumnya ini juga sepi oleh penumpang. Bus itu mulai melaju, aku duduk tenang sembari berangan, mengira, dan membayangkan pesta pernikahan saudaraku itu; digedung mewah atau masjid terbesar di Wonogiri, aku tiba-tiba kaget setelah dihampiri seorang kondektur dengan tubuh semampai, aku langsung faham dan memberinya uang sepuluh ribu sambil berkata “Pak, saya turun di Ponpes Al-Iman ya Pak..”. Sembari mengembalikan uang pecahan seribu dua lembar pak kondektur mengatakan “iya mas..”. tapi kupandangi wajah orang itu, sepetinya bingung dan tidak tahu tempat aku harus diturunkan nanti. Ya, dengan modal khusnudzon, aku tak ingin memastikan lagi apakah kondektur itu tahu tentang Ponpes Al-Iman. Dalam hatiku merasa antara yakin dan tidak, dan pada akhirnya aku memasang alarm biar terbangun nantinya. Aku ingat saudaraku pernah ngasi tahu kalo perjalanannya sekitar satu jam setengah.
Aku ingin tenang kembali dan menikmati perjalanan di pagi itu. Ku pandangi sesawahan, pegunungan, dan pemandangan lewat kaca bus yang ku tumpangi. Ingin ku ambil gambarnya-kebetulan aku membawa kamera digital yang kupinjam dari teman yang kuliah di Universita Negeri Malang, tapi tak bisa, gambarnya tak jelas alias kabur. Akhirnya cukup kupandangi dan di ujung timur sana jelas terlihat matahari menyambut kehadiranku dengan senyum indahnya. Nah, perjalanan baru terhitung satu jam, aku tiba-tiba di panggil oleh pak kondektur untuk turun karena melihat papan Ponpes yang tulisan jelas Al-Iman. Karena terburu-buru dan bus melaju dengan kencangnya tiba-tiba pelan dan berhenti, aku tak kuasa menolak dan memprotes. Ku ikuti saja dan akhirnya aku turun disebuah pemukiman kecil yang jaraknya dari ujung ke ujung tidak sampai dua puluh rumah, aku lupa nama desanya, aku juga lupa mencatatnya, aku tersadar untuk mencatat ketika aku harus mengabadikan cerita ini. Beberapa saat kemudian keluar dari salah satu rumah warga seorang bapak yang umurnya kira-kira 40-an tahun dan bapak itu memberi sinyal ingin menolongku. Aku akhirnya lebih dulu bertanya ”Pak, Ponpes AL-Iman Ngadirojo dimana ya pak?” dengan suara yang agak serak, dan logat mirip-mirip orang jakarta bapak itu menjawab ”Owh..Ngadirojo masih 17 Km mas,..” aku kaget dan merasa kalo di bohongi sama kondekturnya, dasar kondektur tidak bermoral, benar perasaanku ketika meragukan dia sejak awal, terus bapak itu melanjutkan memberi informasi kepada ku ”sampean naik bus Solo-Purwantoro lagi mas,..” dan aku menjawab ”terimakasih pak, sudah ngasi saya informasi” dan bapak itu langsung menuju rumahnya yang tepat tiga meter dari pinggir jalan raya.
Tambah satu lagi cerita perjalananku, aku tersesat disebuah desa kecil di lintasan Solo-Purwantoro. Aku tak ingin berlama-lama dalam kekecewaan, kekecewaan karena diturunkan pada tempat yang salah, aku ambil ibrah-nya, aku diberi kesempatan untuk refreshing ditengah bergulatnya waktu dan pikiran yang berkecamuk. Pagi itu masih sangat cerah, lengkap dengag dengan nuansa desa yang masih alami dan belum terjamah oleh nuansa kota yang kotor. Aku menunggu sekitar 10 menitan, akhirnya bus-nya datang, ku lambaikan tangan, dan naik di atas bus itu, ongkosnya tepat Rp 3000,-. Bus nya melaju tidak sekencang bus pertama, pelan sekali mengikuti jalan dan menyusuri uju kota wonogiri, sampai saya diturunkan di sebuah tempat yang tepat sebelah kiri ada gapura bertuliskan Ponpes Al-Iman. Wah, begitu bahagianya aku, akhirnya sampai juga ditempat yang belum pernah ku datangi sebelumnya. Diseberang jalan berdiri saudaraku yang menyambutku dengan senyum indahnya, dan berkata ”ahlan wa sahlan bang” dan menjabattanganku kencang.
Akhirnya aku sampai juga di Desa randusari-Ngadirojo. Aku di ajak ke tempat penginapan para tamu. Ciehh..tamu..!! ternyata saudaraku itu menikah di sebuah desa kecil yang masih alami, kental dengan nuansa jawa-nya, kupandangi satu persatu rumah dipinggir jalan yang ku lewati-arsitekturnya persis sama dengan rumah-rumah yang sering kulihat difilm Tutur Tinular, Angling Darma, dan film-film yang menceritakan sejarah Jawa di televisi.Aku juga harus melewati tempat buat resepsi yang sudah disiapkan tiga hari sebelumnya. Sekilas aku terkesan dengan adat yang masih kuat itu. Sampai dipenginapan aku disambut hangat oleh bapak, ibu, dan saudara dari saudaraku yang ingin menikah ini, karena kita dari daerah yang sama, bahasanya juga sama, dalam obrolan santai waktu itu terlihat sangat akrab, dan beberapa saat kemudian datanglah seorang ibu yang biasa melayani tamu dengan membawa panci yang berisi nasi, daging, sayur, dan air minum, dan itulah menu hidangan pagi itu. Wah tepat sekali, setelah perjalanan delapan jam-energi terkuras hampir habis, yah akhirnya aku pun segera ngisi bensin ditangki perutku. Setelah sarapan pagi aku segera mandi dan memakai celana panjang hitam lengkap dengan baju batik hitam dengan motif warna putih.
Sehari menjadi orang jawa. Begitu terlitas dalam pikiranku. Aku yang berasal dari Nusa Tenggara Barat yang secara adat jelas berbeda. Selama di kuliah enam tahun di Malang aku belum pernah merasa seperti ini. Tampil dengan baju batik dan celana hitam dan satu lagi memakai blangkon. Aku ditugaskan menjadi kameramen, memotret setiap peristiwa yang bersejarah di acara itu. Bagiku semua bersejarah, dari ibu-ibu yang berkerja didapur, penerima tamu, sampai pada kursi pengantin. Iya satu hal lagi aku sempat mengabadikan naunsa-nuansa yang masih Jawa Banget. Aku potret semuanya, mudah-mudahan bersejarah.
Aku memulai tugasku, tugas demi seorang sahabat yang tercinta, sahabat yang mempertemukan dua budaya yang sangat berbeda. Aku pegangi kamera digital yang kubawa dari malang. Ku potret semuanya, ku abadikan semuanya, semangatku adalah dengan gambar-gambar ini menjadi saksi sejarah dalam hidup saudaraku ini, dan dia telah menyempurnakan sebagian agamannya. Aku bergulat dengan kamera digital itu dari jam 08.00 pagi sampai jam 21.30. waktu yang sangat lama bagiku, tetapi bagi pengantin-mungkin masih terlalu sedikit. Setelah hari petang aku semakin bersemangat untuk mengambil gambar saat itu, Jam menunjukkan pukul 18.30 WIB, akad nikah segera dilangsungkan, moment bahagia itu dimulai. Beberapa menit sebelumnya aku dipanggil untuk mengenakan Songkok hitam, diminta menjadi saksi dari mempelai laki-laki. Prosesi itu sakral sekali, dari penyerahan Wali sampai para saksi menyatakan syah. Semua menggunakan bahasa jawa, Jawa kromo, Bahasa Jawa yang kata saudaraku masih asli banget. Bayangkan dari pagi sampai akhir acara berada dinuansa yang sangat khas dengan adat dan kultur jawa-nya. Ya lengkap sudah ceritaku, sehari menjadi orang Jawa.
Setelah akad nikah, acara dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang sangat sederhana tapi penuh makna, hadir di acara walimah mungkin biasa bagiku tapi yang satu ini luar biasa, tak ada yang ku lewatkan, konsentrasiku tertuju pada setiap detik dari acara itu. Dari mempelai laki-laki yang menginjak kris, kemudian dicucikan kakinya oleh mempelai wanita, sampai duduk berdampingan di kursi pengantin. Aku ikut bahagia menghadiri walimahan saudaraku ini. Aku pun berdoa untuknya ”Barakallahu laka Wabaraka ’alayka wajama’a baynakuma fiikhoyri”. Saudaraku selamat menempuh hidup baru, doakan aku semoga segera menyusulmu. Acara itu pun berakhir dengan foto-foto keluarga bersama pengantin. Semua ingin melewatkan momen bahagia itu dengan bahagia pula. Acara berakhir dan usai sudah tugasku.
Keesokan harinya tepat jam 6.20 WIB aku bergegas ke Malang, pulang ke kota tempatku menuntut ilmu, setelah seharian penuh menjadi orang jawa. Selamat tinggal Wonogiri, Doakan aku selamat sampai Malang. Semoga semua yang kita lewati bersama diberikan keberkahan oleh-Nya. Amin.