`

`

Menulis bersama Cinta

Aku akan menulis bersama cinta. Itu kalimatku. Ini langkah pertamaku untuk memulai merangkai kembali segala ide ini. Semoga memberi manfaat pada kita semua. Memberi manfaat pada dunia.

Usiamu Bertambah, Cinta

Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada dikau, istriku sepanjang sejarah.

Dia Hadir Lagi

Malam ini kenapa rasanya ia hadir lagi mengisi ruang rindu ini. Setelah setahun lebih dia meninggalkan kami dengan senyum kasih sayangnya. Entah apa gerangan yang membuat air mata ini tiba-tiba menetes di sudut mataku. Tiba-tiba aku merindukannya.

Menikah Mengajarkan Banyak hal

Menikah seharusnya difahami sebagai lompatan menuju keridhaan dan surga Allah yang tidak pernah putus kenikmatannya. Maka dalam melewatinya semestinya bertabur amal sholeh.

Memaknai Tahun Baru 2014

Silahkan tulis mimpimu. Yakinlah bahwa ini hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk merubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Kita tidak akan sampai di ujung titik kesuksesan jika kerja-kerja yang kita lakukan hanyalah berhenti pada kesibukan kita mendefinisi makna fundamental tentang hadapan kita saat ini.

Hanya Ingin Menulis

SAYA INGIN MENULIS. Adalah sebuah cita-cita akan perubahan yang pelan tetapi pasti. Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan.

Jejak Usia Menuju 29 Tahun

Sesaat,waktu seolah memberi ruang untuk berkontemplasi panjang,memandangi kembali jejak dan sisa perjalanan yang telah dilewati

Bunda Tersayang, Semangat dan Inspirasimu Selalu Hidup

Semoga semangat dan inspirasimu selalu hidup sampai generasi kami menggantikan peran-peran ini. Dan semoga Allah meridhainya. #Bundatersayang.Spesial untukmu #Bundatersayang, bahwa semoga Allah mengampuni dosamu dan menempatkan engkau ditempat yang terbaik. Amin

Catatan Perjalanan Ber-LSM

Sekedar mengenang jejak #berLSM yang telah setahun tidak ku geluti lagi.#berLSM Gerbang baru, tempatku menemukan warna-warni aktivitas yang tak asing.Aktivitas #berLSM memang fase tetapi bagiku untuk beberapa hal adalah seperti melanjutkan perjalanan. #berLSM itu; penuh dengan ruang-ruang dialektika,motivasi mengembangkan diri,dan egaliter.Ya sudah pasti kita bisa memelihara idealisme.

Jika Boleh Memilih (Part 1)

Jika boleh memilih, aku ingin kembali ke masa kecil. Disaat mengenyam bangku sekolah di Sekolah Dasar (SD). Hidup bagiku disaat itu adalah mandi pagi, berseragam dan berangkat sekolah. Bermain sesuka hati, belajar semampuku, makan lalu istirahat. Hidup mengalir tanpa beban. Yang ada adalah tumbuh dan besar ditengah orang-orang yang menyayangi.

Antara Pilihan

Tak ingin rasanya beranjak pergi meninggalkan persinggahan ini ruang sepi yang buatku terhenti diujung jejak-jejak perjalanan itu

Sepi ditengah Keramaian

Sepi ditengah keramaian ini semoga menjadi peristiwa-peristiwa yang indah jika dikenang kembali kelak. Bahwa bagian dari perjalanan ini adalah memupuk cinta diseberang pulau. Atau cinta bersemi dalam kejauhan. atau mungkin Cinta dalam ruang yang berbeda. Atau apapun lah yang menggambarkan cinta yang selalu membersamai waktu-waktu kami.

Untuk yang Terkasih

Sayang..Cinta itu menyembuhkan..ada yang beda saat dirimu hadir disini..dengan segunung rasa yang kau punya..kau menyebutnya cinta..ya sering sekali kau menyebut kata itu,menulisnya,mengungkapkannya,menuliskannya lagi,begitu,sering sekali,terus begitu,seperti tak mampu diungkap oleh kata,seperti tak selesai ditulis dengan pena.

9 Bulan Lagi Jadi Ayah

"Kak barusan saya test pack. Alhamdulillah positif..Sembilan bulan lagi sampean jadi abi..In shaa Allah..:)" Memang baru saja menyapa di perut ibunya. Belum genap sebulan. Masa-masa berat yang mesti dilewati dengan kesabaran. Semoga tidak ada halangan ataupun hambatan yang berarti. Selanjutnya harus mengatur aktivitas sebaik-baiknya sehingga dia tetap terpelihara hingga menjadi manusia seutuhnya dan hadir menyapa dunia. Amin

Dua Hari Cukup

Satu bulan berada berjauhan dan sudah saatnya waktu ini berdialog dengan cinta kembali. Membersamai hari-hari berdua bersamanya, kekasih hatiku. Aku meski sadar bahwa karena pertarungan ini masih berhelat maka tidak ada cukup waktu untuk menyapanya. Dua hari saja cukup untuk dia, untuk memupuk senyum dan bahagia dihatinya.

Dari Politik Ke Peradaban (part 1)

Semangat saya kembali ber-api membaca transkrip taujih @anismatta "Dari Politik ke Peradaban" dalam buku Integritas Politik dan Dakwah.Ini kira-kira isi taujih yang membuat saya bersemangat. Momentumnya tepat untuk membakar jiwa ditengah perang saat ini. Monggo dinikmati..Kedepan ada 3 cita-cita yang akan kita kejar, yaitu: cita-cita politk, cita-cita dakwah, dan cita-cita peradaban.

Dari Politik Ke Peradaban (part 2)

Cita-cita yang harus kita kejar yang ketiga adalah Cita-cita peradaban.Terjemahan implementasi dari apa yang disebutkan oleh Imam Hasan Al Banna sebagai cita-cita tertinggi dakwah kita,yaitu Ustaziatul Alam.Sementara sekarang peradaban barat tidak lagi mampu memberikan semua unsur yang diperlukan manusia untuk berbahagia.Sekarang ada kekeringan yang luar biasa. Sehingga yang dipikirkan oleh barat adalah mempertahankan hegemoni.

Merangkai Hidup Baru

#MerangkaiHidupBaru adalah episode baru yang aku adalah sutradara sekaligus pemainnya.Kenapa kok #MerangkaiHidupBaru padahal kan sudah 1 tahun lebih menikah? 1 tahun lebih menikah adalah episode yang berbeda karena muatan ujiannya berbeda.Kalau boleh aku ingin memberinya nama #MencariFormatHidup

Perjalanan Menuju Menang

Ingin mengurai satu demi satu cerita perjalanan #menang di 2014 ini. Karena ada banyak hikmah yang akan menjadi penguat langkah kedepan..Perjalanan ini harus dicatat karena ada pelajaran tentang perjuangan sungguh-sungguh kita untuk #menang..Kami ingin sefaham bahwa amanah berat ini adalah amanah semua..tugas saja yang beda..Masyarakat sudah tunggu bukti..semoga kami bisa amanah..Semoga ustad Nasaruddin diberi kuat,sehat, untuk penuhi dan perjuangkan hak rakyat.. Semoga istiqomah..Amin

Tebar Inspirasi Hingga Tak Terbendung

Tanggal 10 Mei 2014. Selamat Milad. Semoga usianya berkah. Semoga istiqomah. Semoga menjadi istri sholehah dan kemudian menjadi ibu teladan bagi anak-anaknya. Waktu-waktu belum habis untuk belajar semoga tetap mau belajar, semoga selalu memberi manfaat dimanapun, dan menjadi apapun. Tebar inspirasi hingga sekat tak mampu lagi membendungi arusnya.

Rabu, 29 Desember 2010

DERMAGA PENUH MEMORY*


Senja di darmaga
Lagi-lagi menghadirkan rona gadis temaram nan lugu,,
Dermaga,
lagi-lagi melahirkan memory
Memaksa mengumpulkan puzzle yg terlupakan

Dermaga,
Saksi bisu dikala itu,
Aku tersenyum melihat jejakku dimasa lalu,
Menatap perjuangan yang penuh cerita,

Senja ini aku dibawa terbang dimasa yang telah lalu,
Aku susuri jalan ini semampuku,
Dikala tak ada kuasa selain DIA,
Penuh ke ajaiban, penuh kenangan yang terindah,

Dikala hutan berlantara itu menutup ruangku,
Seketika tak ada harap kecuali keajaiban,
Tak ada doa selain tawakkal,
Dan sesosok malaikat itu hadir pada momentum itu,

Bahagia rasanya memberi warna pada sejarah,
Tinta emas itu ku raih dalam jalan setapak yang ku lalui,
Ini kisah yang tak pernah mati,
Hingga perjalanan ini mengantarkanku pada keabadian.

Dermaga ini,
Menyatu dalam sejarahku,
Semoga ukiran namaku selalu ada,
Dermaga penuh memory,.
Dermaga penuh cerita,
Bersama segala perhelatan yang aku pernah lalui,.

*Hanya sekedar mencoba mewakilkan sebuah perjalanan seorang sahabat pada suatu perhelatan yang pernah ia lalui,..

Selasa, 28 Desember 2010

“JANGAN BERHENTI TANGAN MENDAYUNG, NANTI ARUS MEMBAWA HANYUT.......” : PESAN KEMERDEKAAN BUYA M. NATSIR.*


Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Mohammad Natsir -- yang pada tahun 2008 mendapat hadiah gelar Pehlawan Nasional dari pemerintah RI-- menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Artikel Natsir ini sangat penting untuk kita renungkan saat peringatan Kemerdekaan RI ke-64 tahun ini. Berikut ini petikan tulisan pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia ini:

Hari ini, kita memperingati hari ulang tahun negara kita. Tanggal 17 Agustus adalah hari yang kita hormati. Pada tanggal itulah, pada 6 tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa besar di tanah air kita. Suatu peristiwa yang mengubah keadaan seluruhnya bagi sejarah bangsa kita. Sebagai bangsa, pada saat itu, kita melepaskan diri dari suasana penjajahan berpindah ke suasana kemerdekaan... Kini! Telah 6 tahun masa berlalu. Telah hampir 2 tahun negara kita memiliki kedaulatan yang tak terganggu gugat. Musuh yang merupakan kolonialisme, sudah berlalu dari alam kita. Kedudukan bangsa kita telah merupakan kedudukan bangsa yang merdeka. Telah belajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Telah menjadi anggota keluarga bangsa-bangsa. Penarikan tentara Belanda, sudah selesai dari tanah air kita. Rasanya sudahlah boleh bangsa kita lebih bergembira dari masa-masa yang lalu. Dan memang begitulah semestinya! Akan tetapi, apakah yang kita lihat sebenarnya? Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseri-seri. Seolah-olah nikmat kemerdekaan yang telah dimilikinya ini, sedikit sekali faedahnya. Tidak seimbang tampaknya laba yang diperoleh dengan sambutan yang memperoleh! Mendapat, seperti kehilangan! Kebalikan dari saat permulaan revolusi. Bermacam keluhan terdengar waktu itu. Orang kecewa dan kehilangan pegangan. Perasaan tidak puas, perasaan jengkel, dan perasaan putus asa, menampakkan diri. Inilah yang tampak pada saat akhir-akhir ini, justru sesudah hampir 2 tahun mempunyai negara merdeka berdaulat. Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Mengapa keadaan berubah demikian? Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya: Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!... ” ”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkayuh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”

Demikian pesan-pesan perjuangan M. Natsir, seperti dapat kita baca selengkapnya pada buku Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008). Mengambil pelajaran dari petuah M. Natsir tersebut, kita dapat memahami bahwa akar persoalan bangsa Indonesia yang harus dipecahkan, khususnya oleh kaum Muslim, adalah penyakit ”hubbud-dunya” atau penyakit cinta dunia yang sudah menggurita. Betapa pun sistem pengawasan dan UU anti-korupsi diperbaiki dengan secanggih-canggihnya, tetapi jika penyakit cinta dunia itu sudah mendarah daging, maka ada saja peluang untuk mengakalinya. Lihatlah kasus yang melilit berbagai lembaga penegakan hukum sekarang ini! Orang yang semula dipuja sebagai tokoh pemberantas korupsi, tiba-tiba harus berhadapan dengan kasus serupa yang menimpa dirinya. Godaan harta, tahta, dan wanita, sudah banyak membawa korban bagi para pemuka negeri ini.

Dalam lapangan pendidikan, misalnya, kita bersyukur, saat ini anggaran di bidang pendidikan semakin membesar. Kesejahteraan guru semakin diperhatikan. Biaya bantuan untuk operasional sekolah juga ditingkatkan. Tetapi, pada sisi lain, karena penyakit cinta dunia yang sudah mendarah daging, berapa pun gaji yang diterimanya, tidaklah dia akan merasa cukup. Banyak orang korupsi bukan karena terpaksa untuk sekadar mengisi perut atau mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, tetapi korupsi dilakukan karena keserakahan, karena ingin hidup mewah. Banyak yang sudah bergaji puluhan juta rupiah per bulan, tetapi tetap saja tidak mencukupi kebutuhan hawa nafsunya. Maka, ketika ditanya oleh para cendekiawan Muslim, seperti Dr. Amien Rais dan kawan-kawan, pada 1980-an, penyakit apakah yang paling berbahaya bagi bangsa Indonesia, dengan tegas M. Natsir menjawab: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh dia katakan: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat).

Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (Lihat, buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (DDII, 1989). Kita perlu benar-benar menggarisbawahi dan merenungkan kata-kata M. Natsir tersebut. Jika penyakit cinta dunia sudah merasuki umat Islam, pasti umat ini akan binasa. Tidak mungkin perjuangan Islam akan menang. Rasulullah saw pun sudah menegaskan, ”Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam.” Banyak hadits serupa ini bisa kita baca. Jika syahwat dunia sudah mencengkeram, maka tidak mungkin diharapkan akan muncul semangat dakwah dan semangat pengorbanan. Bangsa yang sudah hilang semangat berkorbannya, tidak akan mungkin bangkit menjadi bangsa yang besar. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, al-Arba’iin fii Ushuuliddin, menulis: ”Wa i’lam anna hubba ad-dunya ra’su kulli khathiiatin.” (Ingatlah, sesungguhnya cinta dunia itu adalah pangkal segala kejahatan). Penyakit inilah yang telah menghancurkan umat Islam di masa lalu. Rasulullah saw sudah banyak mengingatkan umat Islam akan bahaya penyakit ini.

Kita patut waspada jika sekolah-sekolah Islam, perguruan tinggi Islam, juga lembaga-lembaga dakwah, dan lembaga perekonomian Islam ikut andil dalam melahirkan manusia-manusia yang gila dunia dan gila jabatan. Untuk meraih posisi jabatan atau kepegawaian tertentu, tak jarang kita mendengar adanya praktik-praktik suap dalam proses penerimaan. Orang yang mencintai dunia, kata al-Ghazali, sebenarnya orang yang sangat bodoh. ”Ketahuilah bahwa orang yang telah merasa nyaman dengan dunia sedangkan dia paham benar bahwa ia akan meninggalkannya, maka dia termasuk kategori orang yang paling bodoh,” kata al-Ghazali. Islam tidak mengharamkan dunia. Bahkan, Islam memberikan kemerdekaan kepada umatnya untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya, selama diperoleh dengan cara yang halal. Islam tidak mengharamkan kenikmatan dunia. Bahkan, umat Islam dipersilakan menikmatinya. Islam bukanlah agama yang mengajarkan spiritualisme ekstrim, bahwa seorang tidak dapat dekat dengan Allah selama masih menikmati dunia. Jika ingin dekat dengan Tuhannya, kata mereka, maka dia diharuskan meninggalkan wanita, tahta, atau harta; lalu pergi ke goa-goa atau belantara, menjauhi dunia dan mendekati Sang Maha Kuasa dengan bertapa. Islam tidak seperti itu ajarannya. Seorang Muslim dapat menjadi orang yang takwa, dengan bergelimang harta dan hidup bersama istrinya. Seorang

Muslim adalah seorang yang meletakkan harta dalam genggaman tangannya, dan bukan mencengkeram harta dengan hatinya, sehingga dia bersifat bakhil, pelit, dan takut kehilangan dunia. Pesan M. Natsir tentang manusia Indonesia ini kiranya bisa didengar oleh penguasa. Kita berharap, pemimpin bangsa kita adalah orang-orang yang tidak terkena penyakit cinta dunia. Mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih jika menelantarkan rakyatnya, sementara mereka hidup dalam gemerlap dunia dengan menggunakan uang negara. Orang yang terkena penyakit cinta dunia, biasanya akan enggan menginfakkan hartanya. Apalagi, jika dia berpikir, harta yang dia miliki adalah hasil keringatnya sendiri, dan tidak ada hubungannya dengan pemberian Allah. Padahal, dia mendapatkan harta itu, juga semata-mata karena izin Allah. Jika Allah menghendaki, terlalu mudah untuk memusnahkan hartanya, termasuk mencabut nyawanya. Allah SWT sudah mengingatkan bahwa orang yang salah paham terhadap dunia, yang mencintai dunia, dan enggan menginfakkan hartanya, pasti akan menyesal di kala ajalnya tiba, dan kemudian dia meminta waktu sedikit saja agar bisa bersedekah di dunia. Allah SWT memperingatkan dalam al-Quran yang artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ”Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Munafiqun: 9-11).

Pesan lain dari Mohammad Natsir yang perlu kita camkan dan renungkan adalah agar kita tidak pernah berhenti dalam melaksanakan amanah perjuangan Islam. Jangan berhenti tangan mendayung, nanti kita terbawa arus. Begitu pesan Natsir. Pesan dari tokoh yang kenyang makan asam garam perjuangan ini seyogyanya mendorong kita untuk memahami ajaran Islam dan situasi dengan cermat dan tepat.

Kita perlu memahami sejarah perjuangan umat Islam, baik di dunia, dan khususnya juga di Indonesia. Para tokoh pejuang Islam telah berjuang menegakkan Islam di negeri ini, dengan segenap liku-liku dan hambatan dan rintangan. Tidaklah patut kita sekarang mengabaikan jasa-jasa dan prestasi yang diraih oleh para pejuang Islam. Kita bisa tidak puas, atau berbeda pendapat dengan pemikiran atau langkah yang ditempuh para pendahulu kita. Tetapi, tidak sepatutnya kita meremehkan hasil perjuangan mereka, apalagi mencerca perjuangan mereka. Kita bisa berbeda, tetapi para pejuang Islam itu telah melakukan hal yang besar, yang belum tentu prestasi mereka dapat dicapai oleh generasi kita sekarang ini.

Para pejuang dan tokoh Islam di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) secara bulat berusaha menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara Islam atau negara berdasar Islam. Mereka sangat gigih dan jelas menyuarakan aspirasi mereka, berhujjah dengan berbagai kelompok yang berseberangan ideologi dan aspirasi. Ketika aspirasi mereka ”membentur tembok”, mereka tidak patah arang, dan menerima Piagam Jakarta sebagai konsep kompromi. Ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta pun diganjal, para tokoh dan pejuang Islam tidak menyerah. Mereka menerima konsep Pembukaan UUD 1945, dengan menegaskan pemahaman konsep Tauhid Islam. Tokoh-tokoh Islam, seperti KH Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, terus menggelorakan semangat juang tiada kenal kata menyerah. Maka, tidak sepatutnya kita menafikan hasil-hasil perjuangan yang telah dicapai oleh para pejuang Islam terdahulu di Indonesia. Keislaman kita, ibu bapak kita, kakek-nenek kita, dan nenek moyang kita pun merupakan hasil perjuangan para pendakwah Islam yang ratusan tahun lalu telah berjuang mendakwahkan Islam di negeri ini. Alhamdulillah, apa pun kondisinya saat ini, Indonesia masih mayoritas Muslim, dan insya Allah akan menjadi negeri Muslim yang semakin kokoh dan jaya, jika umat Islam bekerja lebih keras dan lebih cerdas dalam berdakwah.

*http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/

Jumat, 24 Desember 2010

MUTASI MASSAL (Sebuah Refleksi)

Membaca judul ini sekilas memori kita mungkin akan menghadirkan beberapa kegiatan sosial yang marak dilakukan oleh kelompok tertentu dalam masyarakat kita. Menyebut mutasi massal ini secara spontanitas kita mungkin akan menyejajarkannya dengan sunatan massal, nikahan massal, dan beberapa kegiatan lain yang menjadi rangkaian bakti sosial padahal keduanya merupakan dua hal yang kontraproduktif. Kalau berbicara tentang bakti sosial secara defintif ini adalah kegiatan sosial yang menjadi bagian terkecil dari kegiatan mensejahterakan masyarakat. Sementara ketika kita berbicara tentang Mutasi Massal sangat akrab dengan tendensi politik yang mewarnai konstruksi sebuah pemerintahan di daerah. Seperti sedang terjadi di Kabupaten Dompu. Mutasi Massal ini biasanya beriringan dengan proses pergantian kekuasaan, Pergantian kekuasaan Bupati yang satu ke Bupati yang lain. Ketika pilihan ini berstandar profesionalisme dalam arti luas saya kira ini adalah progres yang sangat bagus untuk kemudian memberikan reward pada
orang-orang yang berprestasi melakukan bakti kepada Bangsa dan Negara atau khususnya Kabupaten Dompu. Begitupun sebaliknya mutasi ini juga dilakukan dalam rangka memberikan punishment kepada Pejabat Negara yang tidak amanah sehingga proses mutasi ini dilakukan untuk memberikan ruang refleksi kepada mereka sehingga bisa bekerja lebih baik lagi kedepannya.

Sangat ironis ketika Mutasi Massal atau Mutasi besar-besaran ini dilakukan hanya untuk memuaskan libido politik beberapa orang. Saya mencoba positif thinking dengan Pemimpin kita hari ini yang ingin melakukan perubahan yang terejawantahkan dalam visi dan misi bupati selama satu periode kedepan. Namun ketika melihat Mutasi Massal ini kita akan bertanya Kemudian siapa yang melakukan mutasi besar-besaran ini?Bupati kah?Atau mungkin orang-orang terdekat Bupati?Atau bahkan hanya pendatang baru yang sebenarnya tidak tahu tentang raport para pegawai tetapi karena politik balas dendam sudah menjadi orientasinya sehingga menutup ruang rasionalitasnya.

Mutasi ini seringkali terjadi pada masa awal pergantian kekuasaan, ketika legalitas Bupati sudah ada maka yang akan dilakukan pertama kali adalah Mutasi pegawai Negeri. Ini adalah masa transisi yang sangat berat dirasakan oleh rakyat negeri ini terutama oleh para pegawai yang sekian lama telah mengabdi di bumi Nggahi Rawi Pahu. Tan Malaka dalam risalahnya yang berjudul Massa Aksi, mengatakan bahwa setelah rezim otoriter ditaklukan oleh kekuatan rakyat, maka selalu saja ada satu masa yang disebut sebagai masa peralihan. Dan ini sesungguhnya adalah masa yang sangat kritis. Menyetir ungkapan Tan Malaka ini saya ingin melanjutkan bahwa kita memang tidak sedang hidup di masa orde baru, kita sebenarnya hidup dimasa kemerdekaan tetapi kita tidak pernah merdeka dengan hak dan kebebasan berekspresi kita karena dibatasi oleh represifitas penguasa. Dan masa peralihan yang disebut Tan Malaka dalam risalahnya merupakan masa paceklik yang berkepanjangan dirasakan oleh rakyat kita sampai hari ini.

Bagaimana tidak mutasi ini dilakukan sangat bebas standar, sangat jelas pemimpin kita menggunakan standar ganda. Disatu sisi mengelus sementara disisi yang lain membanting mereka yang ingin merdeka. Wajar tidak ketika kita menyebut ini adalah emperialis di negeri sendiri?Kita bisa melihat bagaimana para kepala sekolah yang punya prestasi bagus kemudian dimutasi menjadi guru biasa bahkan diberhentikan dari jabatannya, begitupun sebalinya ada pegawai negeri yang masih awam mengenal realitas pendidikan di daerah kita tetapi kemudian didongkrak ke jabatan yang sangat strategis. Sehingga di saat beberapa kelompok yang sedang memperjuangkan nasib dan orientasi pendidikan kita tetapi disaat yang bersamaan pendidikan dijadikan sebagai komoditas politik. Bisa dibayangkan oleh kita ketika intrik poltik yang tidak bermoral ini menghegemoni kemurnian proses pendidikan yang sedang kita lakukan. Lantas siapa yang akan memperhatikan pendidikan kita?Mau dibawa kemanakah orientasi pendidikan kita?

Sekilas menghadirkan memori lama tentang fakta-fakta yang terjadi sekitar tahun 2000-2001, atau mungkin fakta itu masih membumi hingga saat ini. Dimana ketika terdapat beberapa murid yang tidak naik kelas maka insiden pengejaran terhadap guru dengan benda tajam, pemukulan terhadap guru-guru kelas, menghancurkan gedung sekolah, bahkan disalah satu sekolah ada seorang murid yang melepas panah tajam dan menusuk leher gurunya. Nah ini realitas yang ironis yang sangat nampak di mata kita sekalian. Ketika fakta ini ada lalu apakah yang terjadi pada pendidikan kita?Apakah yang belum terselesaikan?

Dan bagaimana dengan hari ini ketika libido politik telah menghegemoni dunia pendidikan kita, Atau jangan-jangan ini adalah propaganda besar yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang ingin menghancurkan kearifan lokal bumi Nggahi Rawi Pahu ini, sehingga cara strategis untuk membuat kita hancur berkeping-keping adalah hanya dengan memecah belah dan membuat konsep pendidikan kita tidak pernah tentu arah.

Mari kita semua berangkat dari titik yang sama untuk merefleksikan eksistensi perjuangan kita hari ini, sekaligus memulai tindakan efektif kita untuk berbuat demi bangsa dan Negara teutama Islam yang kita cintai. Dalam buku Merebut Masa Depan : Sebuah refleksi untuk Aksi (Sebuah Pengantar), Syamsudin Kadir mengatakan Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi dan aksi sekaligus. Syamsudin Kadir juga menambahkan bahwa disamping kemampuan reflektif, kita sebagai bangsa-terutama kaum muda-indonesia juga perlu melatih diri dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunya agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana tetapi juga agenda aksi yang nyata.

Yang pasti kita harus berubah! Siapapun yang membaca tulisan ini saya kira kita harus bersuara lantang dan menyamakan ritme dengan satu notasi. Sekerasnya kita harus katakan bahwa “Kita harus Berubah!!”. Marilah kita mencoba untuk menghadirkan nurani kita untuk berbicara sesungguhnya apa yang sedang kita kalutkan saat ini, supaya kemudian tidak ada yang hanya berseloroh dan meratapi kegagalan disetiap lompatan yang sedang kita lalui. Bangsa ini milik kita, daerah yang menjadi medan juang kita hari ini adalah milik kita bersama, siapapun saya yang menulis ini yang pasti nurani saya berkata selayaknya pemimpin dan orang-orang besar daerah ini bermimpi tentang masa depan rakyat kita nanti.

Kita tanggalkan baju-baju kuasa kita, ego-ego politik kita, tendensi-tendensi primordial kita, mari kita sama kan visi untuk formulasi gerak yang lebih lincah, produktif, dan sangat efektif sebelum nurani kita hilang oleh apatisme dan pragmatisme belaka. Dan sebelum langkah pertama ini kita mulai sejenak kita memandangi masa lalu yang cukup kelam yang telah terlewati-hitamnya masih belum pekat, ikhtiar kita harus lebih keras dari pekatnya masa lalu sehingga menatap masa depan gemilang itu dengan semangat dan optimisme.

Dan pertanda perubahan ini sudah mulai nampak dipermukaan, mari kita baca bersama-sama, jangan terus bersembunyi dibalik bayang-bayang kekuasaan, atau hanya menjadi boneka suruhan, kita harus merdeka mencerdaskan orang-orang yang tertindas, dan mengambil bagian dari jejak sejarah ini atau akan tergilas oleh jaman yang tak pandang bulu.
Mari berjuang untuk sebuah perubahan!!

Rabu, 22 Desember 2010

PERSEMBAHAN UNTUKMU IBU


Pagi ini begitu cerah,
Lewat senyum terindahmu,
Aku menatap dunia penuh obsesi,
Harapku atas doamu termakbul,.

Dentang nafasmu menyeruak hari hingga senja,
Tak ada keluh menggores diwajahmu,
Tak ada ratapan kala semua kau lewati,
Kau sungguh sempurna di mataku,

Mimpimu tergambar dalam gerakmu,
Kau berlari mengejar bintang,
Pesona mu penuh harap,
Ingin aku menjadi mutiara terindahmu


Dalam lelah pun kau tersenyum indah buatku,
Tertatih-tatih hidup ini kau lalui,
Namun kau masih Mendera doa disetiap detik nafasku,
Ibu... kau berlian dihati ku,

Relung hatimu begitu indah Ibu
Hingga aku tak sanggup menggapai dalamnya,
Muliamu tak mampuku balas,
Derai air matamu menguntai sebuah harap dalam do,amu,

Ibu...
Aku ingin menjadi impian terindahmu,
Kau selalu ada dalam setiap kisah indah yang ku alami,
Kau menggerakan nafas ku yang hampir habis,
Kau selalu ada dihatiku

Ibu…
Ingin ku persembahkan seluruh mimpi ini untukmu,
Suara lirihmu selalu hadir dalam doa-doa terbaikku untukmu Ibu,
Kau selalu sempurna di mataku ibu,



Puisi ini ku persembahkan untuk ibuku tercinta, yang penuh semangat, yang selalu diselimuti oleh obsesinya tentang mimpi beliau yang belum teraih. Dalam hatiku menyadari bahwa dia lah inspiratorku, selalu hadir disaat aku membutuhkannya, selalu ada dikala aku perlu motivasi tentang sebuah pilihan hidupku. Aku bangga dengannya. Aku bangga terlahir dari seorang ibu yang tak patah arang meski hidup ini begitu keras menempanya. Dia begitu mengerti, memahami jika aku menerangkan tentang pilihan yang ingin aku raih.
Disaat aku mempersembahkan puisi ini untuknya, aku sadar bahwa aku kehabisan kata untuk memuji beliau, aku tak mampu mengartikan kebaikannya lewat kata.

Puisi ini aku tulis sebelum cahaya, setelah ruang hati (Shalat Shubuh), aku melihat hari ini dia memberikan senyum terindahnya untuk pagi, sangat menyejukkan, aku selalu nyaman didekatnya. Hari ini-saat dimana setiap anak mengucapkan selamat hari ibu, semoga kehadiran puisiku bukan atas euphoria itu, tetapi lahir dari ketulusannya menyentuh dinding hatiku yang begitu polos merasakan kebaikan dan kemuliannya. Momentum ini ku ciptakan untuk seketika menghadiahkan senyum terindahmu untukku, mimpiku, dan hidup yang akan kita jalani besok.

WAHAI RUMAH PARA PEJUANG

Aku terkadang berkaca-kaca,
Dikala tatapanku menyorot memoar para pejuang itu
Seruan itu telah menyatu dalam qolbu,
Namun aku tak sanggup meraihnya,
Fakta ini begitu erat mencengkeram gerak ku,
Ingin ku melompat dan terbang setinggi anganku dahulu,
Mengejar barisan mereka yang telah mengarungi samudera ini,

Obsesiku membabi buta,
Citaku setinggi langit,
Inginku kenakan baju perjuangan itu,
Selempang bengorbanan,
Bersama nilai dan idialisme yang selalu bersemi,

Dibatas kota ini aku merenung,
Suara hatiku begitu jelas terdengar,
Ingin menjelajah nuansa perjuangan di ibu kota,
Bersamamu wahai rumah para pejuang,

PII ku,.
Kau hadir bersama cahaya-Nya,
Meneramkan jiwa yang resah ini,
Dikala ku berdiri dibalik bayang kehidupan,
Kau mengetengahkan janji abadi itu,.
Kau menghadirkan hatiku dalam euphoria perjuangan masa lalu itu.

PII ku,..
Kau tetap bersemi di hati,
Suaramu membuatku merinding,
Kau lah yang terbaik sepanjang usiaku,
Kau bentangkan seluruh sudut kisah dalam perjuangan bersamamu,
Andai momentum itu tepat, ku arungi jalan ini sepahit apapun itu,

Senin, 20 Desember 2010

IKHLAS AKU,..

Ku terbangun dalam tidurku,
Tak ada cahaya,
Gelap,
Sunyi,
Rasaku tak menentu,
Ku bertanya tentang ini,
Air mataku menetes,
Mewarnai hatiku,
Aku bingung,,
Tak berani ku sendiri,
Apa lagi menyendiri dalam gelapku,
Ku berlari mengejar dimanapun cahaya itu,
Jemariku mengungkap kata,
Meluapkan rasa hati yang berkaca,
Aku merinding jika ini adalah pertanda cita ku,
Aku tak mengerti inikah yang diisyaratkan hatiku,
Aku juga bukan penjaga hati,
Yang tahu segala untuk membukanya,
Aku ingat hati terdalamku,
Memohon segala pada-Nya,
Dari relung hati ini aku bersujud,
Pinta segala doa yang terbaik menurut-Nya,
Hapus segala obsesi dan ambisi,
Ikhlas aku atas jalan yang diberi,
Semoga yang terbaik,
Tebentang bersama luasnya dunia dan isinya.

Jumat, 17 Desember 2010

GADIS TEMARAM*

Kotak biru
Di relung terdalam melihatmu
tabir masa lalu terkurai,,
Senjaku kilau memancar pesona kilau,
Senyumku..
Gadis temaram yang kau sembunyikan,
indah dalam keanehannya,
Tegar dlm kemisteriusannya,
Bahagia dalam tangis
Kuat dalam harapan.,
Oh senjaku...
Kau berbisik,
Menjelma menjadi panglima malam,
mengiring gadis temaram dlm tangisnya,
Senjaku..
Ronamu semakin indah menerpa,.

*Jendela masa lalu Sang LenFih.

Kamis, 16 Desember 2010

KONFLIK TAK SELAMANYA KONFRONTATIF

Seperti telah menjadi model. Sukses tidaknya sebuah kepemimpinan bangsa dan masyarakat kita diawali dengan eksiden. Kita bisa menjejaki kembali sejarah munculnya Soeharto di awal orde baru didahului dengan peristiwa Gerakan G 30 S PKI, Munculnya tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Megawati, dan Gus Dur mengikuti auforia politik akibat gerakan reformasi mahasiswa, dan munculnya Susilo Bambang Yudhoyono didahului eksiden “polemik” antara dirinya dengan Taufik Kiemas. Begitu juga ketika ruang lingkup tatapan ini diperkecil pada skala kabupaten Dompu, hingga tahun 2003 konflik yang mengawali pesta demokrasi sangat akrab dengan proses politik. Maka tidak heran jika miniaturnya terjadi pada organisasi-organisasi politik, organisasi mahasiswa, organisasi pelajar, hingga organisasi tingkat RT sekalipun. Ini menembus dinding idiologi, tak ada pengecualian ketika kita ingin melingkari satu batas lingkaran untuk tidak melibatkan organ Islam disana. Apakah ini kemudian dikatakan sebagai spektrum politik kita?

Seolah-olah proses menjadi tokoh bangsa harus melalui satu tantangan untuk mendesain konflik dan kisruh menjadi peluang. Maka ini kemudian seolah membuka satu celah masalah ketika orang-orang yang tidak bertanggung jawab sengaja menciptakan kekisruhan sebagai lompatan politik personal. Ini kemudian melahirkan satu pertanyaan aneh, bagaimana jika tidak ada eksiden, tak ada huru-hara, tak ada konflik?apakah berarti akan terjadi krisis kepemimpinan?

Pertanyaan itu akhirnya mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang jauh lebih aneh bahwa kalau tidak ada konflik sosial maka tak akan ada suksesi kepemimpinan, tak akan terjadi regenerasi kepemimpinan, yang ada adalah status quo, Itu sebabnya selama 30 tahun, Soeharto berusaha keras menjaga statbilitas kepemimpinan dengan pendekatan keamanan untuk membendung kematangan kepemimpinan lain disekitarnya.
Dalam realitas rezim yang represif, ditengah kekangan kepemimpinan yang begitu otoriter, menjadi satu kesempatan emas untuk membangun citra kepahlawanan, entah ini adalah desain kesengajaan ataukah muncul secara kebetulan bersama derasnya arus politik di masa transisi. Ini momentum yang tepat untuk dimanfaatkan, belum menjadi kajian kritis apakah momentum ini dimanfaatkan sebagai lompatan efektif membangun bangsa ataukah citra kepahlawanan untuk mendongkrak citra pribadi. Karena legitimasi yang paling besar adalah kesan pribadi yang mempunyai kombinasi antara citra membela orang lain dengan keberanian melawan regim yang dianggap otoritarian. Kombinasi ini membentuk ekspektasi tentang masa depan yang lebih baik andai mereka ini yang menggantikan kekuasaan tiran.

Meskipun masyarakat sendiri sudah cukup cerdas melihat dan telah membuktikan bahwa statement di atas tidak selalu terbukti, artinya siapapun yang muncul dan menjadi pemimpin menggantikan para pemimpin dahulu tetapi dengan gaya khas orde baru-memanfaatkan situasi konflik sebagai pencitraan “malaiklatnya” maka tak ada bedanya. Tetapi seringkali bacaan ini tidak sampai ke “akar rumput”, dialektika dan komunikasi politik yang dibangun oleh mereka membius masyarakat awam.
Meskipun lompatan ini selalu berakhir dengan cerita yang sama bahwa masyarakat merasa ini adalah kamuflase. Tetapi ini pun akan berbalik menjadi emas ketika uang sudah menjadi raja, masyarakat tidak pernah kapok ketika hak politiknya dihargakan dengan rupiah. Selalu saja masyarakat kita tergoda untuk memilih pemimpin yang mengesankan, yang mencitrakan kepahlawanan, penolong disiang bolong, dan simbol perlawanan. Kita selalu tergoda oleh baju-baju kerajaan tetapi sebenarnya ekspresi mereka adalah ekspresi para pengemis. Kita selalu tertipu oleh politik penampilan tetapi tidak untuk nilai yang diperjuangkan. Padahal Bung Hatta jelas memberi gambaran dengan politik garam yang diinginkannya bukan politik gincu yang terlihat sangat cantik tetapi hilang jika dibasahi dengan air. Masyarakat kita nampaknya memang enjoy atau menikmati kebohongan-kebohongan, menikmati situasi yang semakin merampas hak mereka, pembodohan-pembodohan sistemik, dan pencerdasan-pencerdasan yang dipaksakan, dan kemudian diakhir perjalanan suksesi kepemimpinan ketika tinta hitam “blepotan”mewarnai perjalanan pemimpin itu masyarakat kita hanya bisa berseloroh, “apa boleh buat nasi telah menjadi bubur”

Rezim Soeharto boleh hilang dari permukaan cerita masa kini, hujan cacian, dan segala “pisuan” seperti badai menghadang sejarah kepemimpinan soeharto, tetapi kultur politik bangsa ini masih kental dengan rezim otoriter itu. Sudono Syueb dalam bukunya Paradoks Politik mengatakan “Sering saya menduga dalam hati, jangan-jangan kita ini memang bangsa yang tidak suka damai, tapi justru suka kisruh, suka intrik, dan suka bermusuhan”. Tak ada kedewasaan untuk melihat lebih jeli tentang ruang penyelesaian konflik yang lebih intelek , orang-orang yang dianggap harusnya punya andil dalam menyelesaikan konflik tidak beranjak dari singgasananya untuk meredam benturan yang ada. Disisi lain diluar sana banyak orang yang mengais rejeki dari kekisruhan-media massa misalnya merasa sangat potensial untuk memanfaatkan konflik sebagai berita terbaik mereka. Prinsip jurnalistik yang menganggap “konflik” sebagai nilai berita telah menyebabkan potret konflik semakin suram dan memperkeruh keadaan. Orang-orang tidak bertanggung jawab sangat ringan tangan untuk memberikan besaran rupiahnya kepada para demonstran yang ingin dijajah dan menggadaikan idialismenya. Hari ini hampir sering muncul slogan perubahan dari para kelompok mahasiswa yang sebenarnya adalah boneka suruhan dari orang-orang yang tidak ingin ada kedamaian dinegeri tercinta ini. Tanpa kekisruhan sepertinya tak Nampak eksistensi orang-orang yang “ingin” menjadi pahlawan, karena dalam situasi damai tak ada orang yang akan menyoroti reputasinya.

Keberanian yang berlebihan membuat semua kelemahan tidak terlihat, membuat ketidakbecusan dalam bekerja tak nampak, dan sebaliknya yang muncul dan terlihat darinya adalah selalu ada dibarisan paling depan ketika terjadi konflik atau konfrontasi. Dan laku sosiologis berintrik itulah yang justru ditengarai lingkungan sebagai pembuat jasa sesat. Sehingga dalam situasi demikian, orang-orang yang memiliki potensi besar dan berkarya nyata menjadi bias, dan terpental, menjadi kehilangan semangat untuk maju dan berkembang. Lingkungan ini seolah mengkondisikan mereka untuk merasa tidak memperoleh tempat untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan gagasan-gagasannya. Sehingga pada titik kulminasi kemudian lebih memilih “tiarap” atau bila situasi dan kondisi tidak bersahabat dengan hati nuraninya, maka ia memilih menjaga jarak, mengucilkan diri, bahkan keluar dari arena perjuangan bukan untuk merapat pada kedzoliman dan kemaksiatan tetapi berijtihad tentang lompatan yang ingin ia lalui. Tak ada gunanya berdiam diri pada komunalitas yang polos dan lugu, komunal yang sensitivitasnya sudah membeku, dan cenderung pragmatis. Sangat fenomenanal.

Dalam beberapa kasus di tingkat organisasi, seringkali tidak bisa membedakan antara potensi konflik yang berakhir konfrontatif dengan perbedaan yang menstimulus produktivitas. Nah sering kali perbedaan-perbedaan cara pandang dalam melihat visi, dan rencana strategis organisasi ditengarai sebagai potensi konflik padahal ini adalah ruang heterogenitas ide yang memperkaya, berbeda latar belakang maka berbeda pula konstruksi berfikir yang melahirkan ide yang berbeda pula, ini adalah kekayaan yang luar biasa yang harus dijaga dan dirawat sebagai potensi dan kearifan organisasi yang kita miliki bukan malah paranoid dan akhirnya gagap melihat hadapan yang sudah ada di depan mata. Dan disisi yang lain potensi membaca perubahan sosial yang membuat kita optimis mengkaji futuritas hadapan kita semakin hari mulai tumpul, kita akhirnya menjadi orang yang (meminjam istilahnya Kuntowijoyo) “miopis” yaitu hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat.

Padahal jika obyektif melihat sikap kita yang melahirkan terpentalnya sumber daya manusia yang potensial membuat kita harus gigit jari. Lingkaran yang kita buat sebenarnya bukan generasi malaikat yang tanpa dosa tetapi manusia yang memiliki kesamaan, tetapi kita juga tidak ingin jujur bahwa pembesar kita sebenarnya juga sangat gagap dan bias memahami medan perjaungannya saat ini. Kita juga tidak tahu bahwa orang-orang yang terbuang itu adalah bukan individu yang terisolir dari lingkungannya, tetapi mereka yang memiliki jaringan yang sekecil apapun pasti akan memberi dampak pada kohesivitas organisasi. Mungkin organisasi sendiri beranggapan bahwa suatu ketika akan memperoleh “darah segar”dari para pendatang baru yang lebih cerdas, militan, memiliki loyalitas atau dedikasi terhadap organisasi. Padahal jika ditatap secara konferehensif para pendatang baru ini pada satu titik tertentu akan menimbulkan masalah baru, adaptasinya dilingkungan internal belum tentu membuat seluruh pihak akan welcome terhadapnya. Serba dilematis menurut mereka yang yang ingin menghindari perbedaan padahal semua adalah proses pendewasaan.

Ini seolah memberi sinyal kepada kita tentang begitulah kondisinya ketika sebuah organisasi yang tidak dibesarkan dengan menajemen konflik yang baik. Memang dilingkaran elit kondisi ini menjadi sangat ramping dalam pucuk piramida kekuasaan tetapi organisasi pada akhirnya akan kehilangan sumberdaya yang potensial karena semakin hari tidak nyaman dan kemudian memilih untuk melewati jalan yang lain dalam perjuangannya.

Konflik sebenarnya tidak selamanya bermakna konfrontatif tetapi sesungguhnya bisa menjadi media untuk berkembang menjadi lebih baik, jika dan hanya jika ada mekanisme kompetisi yang sehat, ada kedewasaan dalam melihatnya, ada kesiapan untuk menghadapi warna karakter lain selain warna yang selama ini diyakini oleh masing-masing orang. Sehingga penyelesaian atas konflik dapat terselesaikan sesuai dengan keinginan secara komunal dan keinginan untuk menunjukkan aspek-aspke yang positif dan konstruktif, tetapi ketika konflik tidak kelola dengan sebaik-baiknya apalagi kemudian dipergunakan untuk kepentingan status quo bisa berakibat terjadinya pelebaran konflik dan penumpukan masalah.

Akhirnya lahir organisasi yang tidak karuan seperti benang kusut yang sulit ditemukan ujung dan pangkalnya. Orang-orang didalamnya juga hanyalah generasi mental krupuk yang selalu mencari aman dan menghindari perbedaan yang menukik kenyamanan mereka yang relative membuat mereka tidak produktif. Lebih celaka ketika konflik sudah menjadi kebutuhan pokok, maka masing-masing pihak akan terus-menerus mencari kesalah untuk meletupkan konflik, Lalu kalau konflik berkepanjangan menjadi cirri khas kita terus kapan kita akan sempat melakukan hal yang produktif.

KAU MIOPIS SAUDARAKU

kau miopis saudaraku,
coba tatap utuh semua yag terbentang luas,
bukankah semua tersenyum,
bintang justru menari melihatnya,
air mata tak harus beriringan dengan kesedihan,
tapi terkadang membungkus kebahagiaan,
tidak kah kau ingat hari ini,
semua dosa diampuni jika qt mengamalkannya,
ini kebahagiaan yg terbalas,
kebahagiaan yg tidak bias dan semu,
ini kebahagiaan yang harus dibagi,
ini adalah mata air yang tak pernah mati,.

DIAM ADALAH MATI

Tak indah termenung dalam gelap,
walau cahaya adalah api,
tinggalkan selimutmu pejuang,
desingan peluru telah memecah keheningan ini,
ada barisn dsana,
semua telah memilih kemuliaan,
bergegaslah mengampiri,
sambut seruan itu,
tak elok berdiam diri,
engkau tahu bahwa diam adalah mati.

Rabu, 15 Desember 2010

HAPUS SEGALA KERESAHAN

kabut dan hujan bersaudara,
gelap, pekat menjadi satu,
ini warna yg tak akan berganti,
berjalan, berlari, kemudian melompat,
mengganti jiwa yg telah kering,
menyusuri lorong-lorong perjuangan,
menghadirkan keindahan hati kini,
gilasan ini membunuh,
berdirilah,
kokoh,
gigitlah dengan gigi gerahammu,
genggam panji itu,
jangan biarkan kedzoliman mencekam,
hapus segala resah,
raih semangat yang tak pernah mati,
terobos dan lawan arus itu,
hingga kau berdiri di ujung jalan yg sedang kau lalui,
kepalkan dan takbir hancurkan dahaga yang mematikan,

Selasa, 14 Desember 2010

RUANG HATI

Ku jejaki sejarah itu
Tampak warna disetiap sudut jalan yang ku lalui
Suara itu begitu khas terdengar,
Nyanyiannya tentang kebesaran pemilik jagad ini,
Senyumku terwarna ketika jejak ini begitu indah dimataku
Sejuta rasa membungkamku seketika,
Aura ini hangat dalam selimut perjuangan,
Ada saat aku menembus batas,
Menerobos ruang yang tak menentu,
Ruang hati yang bagitu polos,
Menerima asa yang begitu asing,
Membuka tabir yang tak kuasa tuk di elak,
Hanya satu pinta untuk menjadikannya mulia,
Jika semua hadir dan kembali atas kekuasaanNya.

HATI ITU JUJUR

Hati itu terlampau jujur untuk dicampakkan,
Suaranya menggelegar dalam rongga hati terdalam,
Jejak ini susah ditangkap logika
Karena hati begitu tulus untuk bersuara
Berkata tentang sesuatu yang bersemayam dalam keindahan
Lamunan,
Cinta,
Berjuta rasa,
Sulit terungkap,
Sketsa itu sepeti hadir di alam nyata.

Rabu, 08 Desember 2010

DIALOG DUA HATI

Kenapa keresahan ini mengisi sudut hatiku,.

Coba luaskan satu ruang dalam dada yang tetutup noktah
Dan dengarkan dzikir-dzikir kerinduanNYA
maka akan menemukan hakikatnya

Aku gundah tapi belum menemukan bisikan apakah ini
Ruang ini seluas bumi tapi kebimbanganku menutup semuanya
Keresahan ini seperti kabut
Adakah dirimu hadir bersama cahaya-NYA
Itupun jika kau berbesar hati

Tenanglah wahai saudaraku
Engkau orang baik
Hibaklah sedikit kabut di hatimu
Agar cahaya menerobos lembut

Cahaya ini hadir begitu halus
Bersama lantunan kalimat penguat jiwa
Aku baik oleh kebaikan orang-orang terdekatku
Detik ini berputar bersama hilangnya keresahan ini

Keresahan yang bergerak menjelma menjadi keindahan

Kenapa kegundahanku tidak berbalas
Tidak inginkah engkau menjadi malaikatku hari ini
Bukalah ruang hatimu

Aku tak pantas menjadi malaikat kecil
Yang menerobos bak cahaya dalam hatimu
Menghibak kabut itu dan merubah riuh gerimis menjadi embun keindahan
Menyentuh lembut rongga di sudut hatimu

Kenapa kau merangkak dan menundukkan kepalamu
Padahal kau memiliki sayap
Terbanglah semaumu, sentuh awan bersama kebaikanmu
Bawalah menghampiriku
Symbol dan pertanda itu akan ku kabarkan kepadamu

Simbol keresahan itu keindahan yang ingin kau tunjukkan?
Janganlah menyuruhku terbang karena aku takut mengepakkan sayapku
Masanya belum tepat untuk membawa pesan itu

Terserah kau menafsirkan siulku merpati
Jika itu makna yang kau tangkap dari nyanyianku
Kapankah pesan itu ingin kau sampaikan
Aku takut lompatan ini runtuh sebelum waktunya

Selasa, 07 Desember 2010

PII KU

Dalam kegundahan,
disorientasi diri,
kerisauan akan eksistensi,
dalam kegelapan itu,
ia hadir, menjelma dalam cahaya kebaikan,
panji itu kokoh hingga menerobos sanubari yang terdalam,
ada malaikat disana,
ada kegelapan berselimut,
PII ku,..
cahayamu membangkitkan semangatku yang hampir mati,
ada senyum dikala air mata mengalir,
ada ego disaat hati disatukan,
ada tendensi ketika nilai diperjuangkan,
dan ada air mata ketika ruang dan waktu memisahkan kita,
warna-warni itu begitu menyatu dalam diri,
Yang Maha Tinggi lindungi PII.

Kamis, 18 November 2010

DAKWAH KAMMI MENDOBRAK KEUMUMAN MASYARAKAT BUMI GORA

Judul buku : Gerakan Dakwah KAMMI di Bumi Seribu Masjid, Selayang Pandang Gerakan Pemuda

Penulis : Mawardi Khaeri

Tebal Halaman : xxxii, 227 halaman

Penerbit : KAMMI Daerah NTB

Peresensi : Noval Palandi, S.P

Ada tiga pesan penting dari Mawardi Khaeri ketika menulis buku “Gerakan Dakwah KAMMI di Bumi Seribu Masjid, Selayang Pandang Gerakan Pemuda” bahwa pertama, KAMMI go Public. Buku ini diinspirasi oleh bacaan eksternal yang tidak begitu faham tentang KAMMI, logika sederhana bahwa obyek dakwah yang kesehariannya menjadi tanggung jawab kader kammi untuk mengenalkannya tidak mengetahui tentang eksistensi organisasi ini. Nah untuk itu buku ini lahir bukan hanya menjadi buku wajib para kader KAMMI tetapi juga untuk orang-orang dan siapapun yang ingin mengenal dan memahami KAMMI. Kedua, estafeta sejarah. Buku ini lahir di masa kini untuk bercerita tentang sejarah masa lalu dan prediksi mendepan gerakan KAMMI, sehingga kehadiran buku ini menjadi penghubung cerita dalam kepingan sejarah pada masa yang berbeda. Ketiga, Tradisi literasi. Buku ini muncul sebagai bukti karya intelektual kader KAMMI, bahwa membangun peradaban dapat dimulai dengan mengkonstruk budaya intelektual, budaya ilmiah, menulis, dan membaca, serta berdiskusi tentang karya-karya pendahulu. Dan sekarang kita sedang menikmati dan menciptakan sejarah, karena sejarah adalah relativitas. Memahami sebuah narasi historis memerlukan interpretasi yang kontekstual dan holistik untuk menghindari pemihakan secara apriori.

Buku ini juga lahir dari karya intelektual kaum muda dan menjadi jawaban atas kekhawatiran seluruh kalangan. Di tengah realitas mutakhir bahwa angka pengangguran, penggunaan narkoba, kriminalitas, tawuran dan minuman keras masih menjadi trend yang disematkan kepada generasi muda, dan disaat itu pula buku ini lahir dan membungkam masyarakat sipil, elit politik, sampai pejabat Negara. Kecemasan tersebut sangat wajar, sebagian pemuda adalah harapan masa depan, namun menghadapi berbagai tantangan yang cukup rumit.

Membaca kemunculan gerakan KAMMI, kita terlebih dahulu akan mengkaji sosio-histori sejarah gerakan di Nusa Tenggara Barat, karena relevansi kelahiran KAMMI akan kita temukan irisannya dengan dan setelah mengkaji sejarah masuknya Islam, penjajahan Belanda, dan masuknya organisasi-organisasi politik di bumi seribu masjid ini. Kemudian kita akan menapaki jejak masuk dan berkembangnya Islam di Pulau Lombok, Sumbawa, Dompu, dan Bima. Bacaan ini sangat mempengaruhi bentukan antropogis masyarakat Bumi Gora yang kemudian terjiwai dalam sikap kader-kader KAMMI di Nusa Tenggara Barat.

Kepemimpinan Orde baru selama 32 tahun dengan kuku hegemoninya melahirkan bacaan akan pembunuhan karakter dan potensi generasi bangsa ini, bagaimana tidak represifitas orde baru meninggalkan cerita kelam para aktivis dan mahasiswa yang menginginkan perubahan dan perbaikan kondisi bangsa. Upaya mahasiswa dari zaman ke zaman menemui titik klimaks ketika tahun 1998 dengan bergulirnya reformasi.
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa mahasiswa Islam merupakan elemen potensial kampus yang paling solid dan kokoh untuk menjadi kekuatan alternatif dalam menggelindingkan bola salju reformasi. Ketika suara umat Islam mulai terabaikan, dan kepentingannya tidak terakomodir maka disaat itu pula umat Islam merasa bahwa merekalah yang memiliki kepentingan untuk menggulirkan orde baru. Dan disaat ini pula KAMMI menemukan momentum untuk tampil di permukaan sebagai kekuatan alternatif mahasiswa berbasis muslim dalam menjawab problematika yang melanda bangsa saat itu. Dengan momentum Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus se-Indonesia yang ke-X (FS-LDKN ke-X) yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur dan dibentuklah KAMMI yang kemudian tertuang dalam deklarasi Malang.

Setelah bergulirnya reformasi KAMMI menyadari bahwa tugas perjuangan ini belum tuntas, reformasi adalah pintu awal kebangkitan sehingga jejaknya harus dikawal hingga akhirnya menemui cita besar sesuai dengan visi peradaban yang ingin di bangun oleh gerakan Islam, dan KAMMI adalah bagian terkecil yang mendambakan itu, tetapi pasca reformasi menuai harapan dan kecemasan akan implikasi logis dari sejarah yang sedang diukir, sebagaimana M. Taufik Riyadi (Ketua BEM Universitas Indonesia periode 2000-2001) dalam Bergerak Mengawal Reformasi-Epilog Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus-mengatakan bahwa Reformasi Mei 1998 telah melahirkan harapan dan kecemasan. Harapan karena dengan reformasi perubahan kearah perbaikan dapat segera dilakukan, dan kecemasan karena khawatir ia tidak sampai pada tujuannya. Karena Penyelewengan dan pengkhianatan selalu saja menjadi kemungkinan yang menakutkan. Ungkapan ini sejalan dengan kata-katanya Tan Malaka dalam risalahnya yang berjudul Massa Aksi, bahwa setelah rezim otoriter ditaklukan oleh kekuatan rakyat, maka selalu saja ada satu masa yang disebut sebagai masa peralihan. Dan ini sesungguhnya adalah masa yang sangat kritis.

Untuk itu KAMMI menyadari untuk mengokohkan eksistensinya dan melakukan pelebaran sayap demi tugas mulia yang dicitakan. Lahir dan berdirinya KAMMI di berbagai wilayah maupun daerah merupakan implikasi dari semua itu, sehingga menyebar dan berdiri pula KAMMI di bumi Gora, Nusa Tenggara Barat.

Sepulang dari menghadiri dan menjadi delegasi dalam FS-LKD ke-X tim delegasi yang terdiri dari Muhammad Syaeful Bahri (Ketua Umum Unit Kegiatan Ke-Islam As-Siraj Fak. Teknik Unram Angkatan ‘95) dan Palgunadi Bayu Sasongko (Ketua Umum KSI Al-Isra’ Fak. Pertanian Unram Angkatan ‘96) melakukan konsolidasi-konsolidasi dengan pihak-pihak yang terkait di antaranya Eko Anugraha Prianto dari unsur LDK Unram, Unsur-unsur Senat Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa se-Unram yang dipegang oleh Aktivis Dakwah Kampus saat itu di antaranya Erwin Sudarman, Suryadi Jaya Purnama, Johan Rosihan, M. Khairul Rijal, Iskandar Zulkarnain, Ahmad Jafri, Agil Al-Haddar, dan lain-lain. Sepekan sebelumnya diadakannya rapat formal dengan agenda Rencana deklarasi dan aksi pertama KAMMI-NTB, dan hari Rabu, 13 Mei 1998 M bertepatan dengan 17 Muharram 1419 H, pukul 11.00 WITA dideklarasikannya KAMMI NTB. Pasca berdirinya, KAMMI mulai melakukan pelebaran sayap dan memperkuat pondasi struktural dengan melahirkan 7 KAMMI Komisariat antara lain KAMMI Komisariat Universitas Mataram, KAMMI Komisariat IAIN Mataram, KAMMI Komisariat IKIP Mataram, KAMMI Komisariat Lombok Barat, KAMMI Komisariat Lombok Timur, KAMMI Komisariat Sumbawa Barat, KAMMI Komisariat Bima, dan KAMMI Komisariat Dompu.

Setelah itu KAMMI menorehkan tinta emas dalam sejarahnya di NTB, ketika KAMMI sadar akan peran dan tanggung jawabnya sebagai anak bangsa sekaligus sebagai implementasi permahaman terhadap kesempurnaan Islam. KAMMI mencoba menyadari bahwa apa yang dirasakan oleh kita dan bangsa ini adalah akumulasi dari peran-peran antar generasi bangsa ini, dan KAMMI sadar bahwa cara terbaik dalam menghargai para pendahulu adalah dengan mengulangi kebaikan-kebaikan yang mereka torehkan di masa lalu, agar apa yang diperoleh di masa depan bagi umat dan bangsa ini adalah kejayaan yang terberi.

Karena itulah kader KAMMI seperti elang yang selalu menebar kebaikannya, Syamsudin Kadir dalam pengantar buku Mengapa Aku mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang mengatakan “memiliki kesadaran keberlanjutan perjuangan seperti elang yang menghadang angin yang akan terus saja menerjang. Mereka adalah elang-elang muda. Maka masa depan Indonesia-bahkan umat manusia-adalah elang-elang muda itu. Elang muda yang tumbuh dalam lingkungan kebaikan dan cinta. Elang muda yang berhasil memebangkan kecenderungan kebaikannya (taqwa) atas ego kejahatannya (fujuur). Yang akan terus menerus tumbuh besar untuk menghadang angin. Terus menerus hingga angin kelelahan dan pulang”.

KAMMI sesungguhnya ingin menjadi dapur manusia dan pemimpin ditengah krisis dan musibah nasional terbesar yang di alami oleh bangsa ini. M. Anis Matta, LC dalam bukunya Dari Gerakan ke Negara mengatakan bahwa krisis kepemimpinan nasional-saat ini-adalah musibah nasional terbesar, yang pernah dialami bangsa kita sepanjang sejarah kemerdekaan. Ini merupakan suatu potongan sejarah yang disebut masa kekosongan kepemimpinan karena dalam masa ini ada pemimpin yang tidak memimpin.
Oleh karena itu harapan terbesar adalah setiap kader KAMMI akan menempati pos-pos strategis pengambil kebijakan sehingga mampu menyebar kebaikan hingga keseluruh pelosok negeri.

Dan kita memiliki potensi untuk melahirkan manusia (meminjam istilahnya Anis Matta) abad ke-21, asalkan seluruh elemen mendukung dalam proses ini. Keyakinan ini mengingatkan kita tentang ungkapannya DR. Yusuf Qardhawi bahwa “kalau saja kita diberi kebebasan selama dua puluh tahun untuk membina umat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa atau konflik dengan mereka, itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan umat Islam kembali”.

Dalam Garis-garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) difahami ada empat paradigma gerakan KAMMI, yaitu pertama, KAMMI adalah gerakan tauhid, kedua, KAMMI adalah Gerakan Intelektual Profetik, Ketiga, KAMMI adalah Gerakan Sosial Independen, dan keempat, KAMMI adalah Gerakan Politik Ekstraparlementer. Paradigma Gerakan ini difahami seluruh kader tanpa memandang jenis kelamin laki-laki ataukah perempuan. Masing-masing memiliki kesempatan yang sama dalam menggapai keridhaan dan kedudukan terbaik di hadapan Allah SWT.

Diawal kehadirannya di NTB peran strategis kader-kader putri (akhwat) KAMMI cukup signifikan dalam mendobrak kultur di bumi Gora. Di balik kesuksesan para pemimpin selalu saja ada peran perempuan hebat dibaliknya. Di balik keberhasilan dari perjuangan KAMMI, akhwat (muslimah) KAMMI juga mengambil peran penting, misalnya pada kasus pelarangan jilbab. Ikhtiar kader akhwat KAMMI dalam mendobrak kebijakan pelarangan jilbab pada foto ijazah dari waktu ke waktu hingga menemui jalan terang dan mendapatkan resmi dari sekolah-sekolah. Pilihan-pilihan langkah yang diambil oleh kader-kader KAMMI terutama para kader akhwatnya merupakan pilihan yang mendobrak keumuman masyarakat NTB, dimana langkah-langkah ini adalah langkah yang sangat tabu dimata masyarakat pada umumnya, dan inilah yang kemudian melahirkan kekhasan kader KAMMI sebagai generasi ghurabah.

Para pejuang Muslimah KAMMI dahulu, sekarang tidak sekedar menjadi kader kacangan di negeri ini tetapi orang-orang yang telah menempati posisi strategis di pemerintahan. Orang-orang yang berkat kesungguhan ikhtiarnya mendapatkan buah yang bisa dipetik tidak hanya oleh mereka saja tetapi juga oleh masyarakat yang mengharapkan uluran tangan dari mereka.

Napak tilas kader KAMMI dari seluruh kepingan cerita kesuksesan dan keberanian mereka melakukan penjajakan pola perjuangan baru di Bumi Gora membuat kita tersentil untuk mengkaji lebih dalam tentang hal apa yang kemudian membuat mereka lahir seperti ini, membuat kita mengkaji filosofi gerakan yang terwarna dalam pola fikir, pilihan sikap, dan perjuangan kader KAMMI dalam menembus batas keumuman masyarakat NTB masa kini.

Secara idialitas kita menatap filosofi gerakan KAMMI sebagai konsepsi mendasar tentang fondasi yang kemudian mengerucut pada semua konsep yang pada akhirnya didialogkan dalam visi periode yang merupakan lompatan-lompatan yang dikaji berdasarkan kearifan lokal, dan akan bermuara pada tujuan mewujudkan bangsa dan Negara Indonesia yang Islami.

Obyektivikasi tentang filosofi gerakan KAMMI menemukan alasan besar tentang bentukan setiap kader KAMMI yang tertuang dalam misi gerakan yang salah satunya adalah membina ke-Islaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim Indonesia. Terinspirasi oleh kelompok kecil yang ada di rumahnya seorang Arqam bin Arqam, yang memulai kultur intelektual dan lompatan peradaban yang di bangun Rasulullah dari sana.

Tetapi fakta mutakhir tentang kondisi generasi ini membuat kita harus mengakui bahwa ada gap antara teori dengan praktek. Hari ini kita kehilangan pijakan, wahyu yang seharusnya kita tatap sebagai sesuatu yang mulia dan kita referensikan terlupakan. M. Anis Matta, LC mengatakan “kita membawa sebuah misi besar dan menghadapi sebuah realitas yang sangat kompleks tetapi dengan akal yang sederhana, biasa melakukan penyederhanaan yang berelebihan, dan generalisasi yang salah kaprah. Dengan realitas ini kedepan kita tentu harus menajamkan posisi dan peran KAMMI.

Gerakan Dakwah Tauhid, sesungguhnya gerakan membebaskan manusia dari penghambaan selain Allah merupakan titik awal menemukan eksistensi kader KAMMI dan memahami secara mendalam bahwa sesuangguhnya sebelum menjadi kader mereka adalah hamba Allah yang harus taat kepada-Nya. Setelah itu mendeklarasikan tata peradaban dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Dan dakwah KAMMI bukanlah pragmatistik, bukan juga reaksioner, tetapi gerakan yang pilihannya adalah pilihan filosofi, mengandung nilai-nilai universal wahyu yang dikonstruk ke dalam perjuangan yang berkelanjutan.

Profetisme gerakan adalah langkah mengubah nasib manusia, mencerahkan, dan berjuang menggerakkan massa. Misi kenabian ini kemudian tersirat dalam Q.S. Al-Imran ayat 110 yaitu konsep tentang umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran, dan dan berilmu sebagai etika profetik.

Gerakan kritis, kultural, dan pembebasan adalah manifestasi dari gerakan sosial independent yaitu gerakan kritis dalam merekonstruksi peradaban manusia berbasis tauhid, gerakan cultural yang berakar pada nurani kerakyatan, dan gerakan pembebasan dari hegemoni kekuasaan yang represif.

Realitas hukum rimba yang terermin dalam sistem bernegara kita hari ini membuat KAMMI merasa bahwa tirani ini harus dilawan, bukan mengkampanyekan konfrontatifisme tetapi memberikan gebrakan terciptanya demokrasi yang egaliter, kemudian melakukan pencerdasan terhadap masyarakat baik secara struktural maupun kultural.

Orang tua biasanya berbicara nostalgia masa lalu, berbicara tentang apa yang telah digoreskan dalam sejarahnya, sedangkan anak muda berbicara masa kini dan masa depan, strategi gerakan yang hendak dituang dalam langkanya hari ini dan ide cerdas serta cita-cita besar yang ingin diraihnya esok hari. Salah satu motivator yang menginspirasi dunia asal Libanon-Nido Qubein mengatakan masa lalu adalah tempat yang indah untuk dikunjungi tetapi tempat yang buruk untuk tinggal. Sehingga masa lalu menjadikan batu lompatan kita untuk bermimpi tentang hari esok. Tugas kita adalah berangan, bermimpi tentang hari esok, sembari menyusun kekuatan untuk membangun dunia dan menjayakan Islam, Hasan Al-Banna juga pernah mengatakan mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok. Dengan itu kemudian KAMMI juga menyusun kekuatan masa datang, KAMMI memformulasi khittah perjuangan tentang KAMMI dengan mahasiswa-gerakan kepemudaan, institusi pendidikan, gerakan Islam, rakyat, elemen masyarakat, partai politik, pemerintah dan media massa yang kesemuanya merupakan elemen yang bersentuhan langsung dalam mendukung dan mensukseskan eksistensi dan visi yang menjadi cita-cita KAMMI.

Buku “Gerakan Dakwah KAMMI di Bumi Seribu Masjid, Selayang Pandang Gerakan Pemuda” karya Mawardi Kheri ini adalah ekspresi intelektual kader KAMMI yang ingin melakukan transformasi nilai melalui sebuah karya menulis. Buku ini KAMMI banget, kental dengan nuansa idiologi, nilai Islam yang mengakar, syarat historis, romantisme perjuangan yang penuh warna, dan sangat menghargai para tokoh gerakannya.

Buku ini bagus dan tepat dibaca oleh kader-kader KAMMI untuk semakin menginternalisasi nilai ke-KAMMI-an, mengokohkan jati diri sebagai kader karena buku ini meriview sejarah KAMMI dengan latar perjuangan yang penuh keringat dan air mata. Serta buku ini cocok dibaca oleh orang-orang baru yang ingin bergabung di barisan KAMMI, serta masyarakat umum yang ingin mengenal sepak terjang KAMMI terutama KAMMI NTB karena karya Mawardi Khaeri ini mengulas hal-hal mendasar tentang konsep gerakan KAMMI serta rekomendasi kedepan tentang arah langkah yang akan di jejaki KAMMI.

Namun buku ini cenderung eksklusif, karena monoton berbicara tentang KAMMI. Buku ini tidak banyak mengulas tentang irisan yang begitu erat antara KAMMI dengan gerakan pemuda di luar KAMMI yang se-visi, dan memiliki ritme yang sama dalam mengokohkan eksistensi mereka serta mengangkat isu-isu yang seirama dan kontekstual saat itu.

Selasa, 16 November 2010

USIA YANG HAMPIR SENJA (Persembahan dihari Jadi)

Rentang waktu…..
terkadang membuat kita lupa bahwa kita semakin dewasa

Rentang waktu…..
terkadang membuat kita lupa bahwa kita telah melanggar titah Yang Kuasa

Rentang waktu…..
terkadang membuat kita sadar bahwa kita hanya manusia yang tak punya apa-apa
selain jasad yang tak berguna

Rentang waktu…..
terkadang membuat kita sadar bahwa Tuhan tidak melihat harta dan rupa
melainkan hati yang ada di dalam dada dan amal jasad yang lata

Walau Einstein berkata bahwa rentang waktu itu berbeda
tergantung dalam keadaan apa kita berada
Namun Tuhan telah berkata,
“Hanya Akulah yang tahu umur manusia”.

Sekuler barat berkata,
“Waktu adalah dollar di dalam kantung”

Namun Hasan Al-Bana berkata,
“Waktu adalah pedang, potong atau terpotong”.

Waktu…..
Alam terus menari dalam simfoninya

Waktu…..
Umur manusia didikte olehnya

Waktu….. setiap detaknya
memakukan kita di persimpangan jalan Tuhan atau jalan setan

Rentang waktu…..
semoga tak melalaikan kita tuk terus berjalan di jalan-Nya

Waktu….
Mempertemukanku di titk puncak usia yang hampir senja..

Waktu…
Membuatku terbelalak menatap usia yang telah pergia dengan segala nodanya

Waktu…
Membuatku harus berdiri kokoh, menatap masa depan dengan cita hidup yang mulia

Allahu Akbar,..!!!

Kamis, 11 November 2010

DIALOG KULTUR

Dialog antar kultur, mungkin ini bahasa yang menurutku tepat untuk judul sebuah tulisan yang berangkat dari obrolan lewat telfon seluler. Dialog yang muncul dilatar belakangi oleh kesamaan cara pandang melihat satu obyek diskusi di jejaring sosial. Ketika itu aku menyitir ungkapan Presiden pertama Repulik ini yang mengatakan bahwa berikanlah aku seribu pemuda maka akan ku cabut Sumeru dari akarnya dan berikan aku satu pemuda maka akan ku guncangkan dunia. Status yang aku perbarui dengan bahasa daerah dengan asumsi teman-teman bisa memaknai ungkapan itu dan mejadi motivasi tersendiri ketika berbuat sesuatu.

Ketika sinyal kebaikan itu begitu kuat memancar dan terjiwai dalam konsep berfikir dan pola sikap maka dialog itu muncul dan mengalir seperti air, deras, dan menghadirkan khasanah yang tidak pernah ku temukan sebelumnya. Selayaknya diskusi pada umumnya tentu selalu ada titik kesamaan dan selalu ada sisi perbedaan yang muncul. Berkembang dan memperkaya. Sehingga proses ini sampailah pada kesempatan untuk membuka ruang dialog lebih besar. Kutipannya kira-kira begini :

Visionis : Saya sang Visionis,..
Unik : Ohh iya,..sepertinya kita pernah bersua di masa lalu.

Visionis : Oiya,..barangkali kesamaan visi membuat kamu merasa kita pernah
bersua sebelumnya..tapi mudah-mudahan itu adalah saya..
Unik : ohh gitu,..okey lah..

Visionis : Saya ingin melontarkan satu pertanyaan buat kamu,..dan ini penting buat saya,..

Unik : Emang mau Tanya apa,..tapi sepertinya saya kemungkinan besar tidak bisa menjawab pertanyaan kamu,..karena saya merasa kamu tahu semuanya,..

Visionis : Jangan merendahlah,..
Unik : Ga,..saya beneran,..

Visionis : Tapi gak masalah karena barangkali filosofi padi cukup dijiwai,..
Unik : owh gitu,..iya emang semua pejuang disini kan mengikuti filosofi padi,..

Visionis : Iya tapi kan kalian sangat phobi terhadap nyanyian, dan lagu-lagu,..
Unik : kata siapa,..kita tidak mungkin kaku karena kalau kaku kita bisa dijauhi,.

Visionis : Iyakah..? Salah satu hal yang saya khawatirkan ketika komunikasi lewat phone seluler dengan kamu adalah adanya persepsi kamu beda, dan tafsir mu salah. Kenapa kemudian saya katakana seperti itu, saya ini kan orang nya cenderung diplomatis, sehingga kemudian membuka ruang tafsir orang terhadap bahasa sms saya.
Unik : Terus,..

Visionis : Saya pernah punya pengalaman, ketika dahulu saya sering komunikasi dengan teman-teman yang secara priomordialitas mereka sangat dekat dengan kamu. Dimana mereka dalam kacamata budaya jika dilihat secara nasional kalian sangat normatif-cenderung Islami banget..Cuman kalau ketika berbicara tentang interaksi dengan lawan jenis sensitivitas mereka itu berlebihan.
Saya pernah komunikasi sama teman seperjuangan kamu dan berbicara tentang intensitas komunikasi saya dengan saudara perempuan saya di Jogja, dan dia memberikan respon yang sangat kaku dan mengatakan beda wilayah beda kultur. Jadi saya menafsirkan kalau NTB itu kaku.
Unik : Tidak perlu belajarlah tetapi medan dakwah memaksa kita melakukan
improvisasi terhadap cara kita menyampaikan pesan dakwah..heh

Visionis : Sedikit tapi banyak itu lebih baik dari pada banyak tapi sedikit. Saya mau Tanya solusi terhadap problem yang muncul di rumah kami ini. Rumah Kita ini kan baru dibangun, makanya konsepnya apa?lompatan2 kamu mungkin bisa dibagi
Unik : Teman-teman kemarin kan kesana, masa tidak ada dialog minimal ada
transformasi tentang cara membangun konsep baru, strateegi baru,..

Visionis : Ohw begitu ya,..tapi teman-teman gak mampir juga.
Unik : Emang kata teman saya gimana?

Visionis : Kamu kan tahu sendiri kalau teman-teman kita dimanapun berada
memiliki kemampuan motivasi yang berbeda dengan orang lain, teapi ya gitu kita kan tidak butuh bahasa motivasi kita butuh solusi yang produktif bagi kita.
Unik : Sesuaikan dengan kondisilah,..Misalnya gayanya teman-teman kita ya jangan terlalu dipakasakan dengan kondisi masyarakat..Kalau bersosialisasi dengan masyarakat maka gaya dan sikap kita tidak harus kaku karena pola tindak kita akan jadi ukuran bagi masyarakat..Apalagi kondisi orang-orang di sekitar rumahmu itu kan keras-keras tuh makanya tidak bisa terlalu kaku,..
Kalau saya mikirnya sederhana, saya dulu pernah di ajak oleh rumah yang lain karena mereka lebih fleksibel, maksudnya mereka lebih bisa menghargai pola piker kita yang masih belum terasah, tapi karena saya berusaha mencintai rumah ini ya jadinya saya bisa bertahan disini..tapi cara mereka mengajak kita gabung itu lebih fleksibel..


Visioner : berarti kita hanya diminta mencintai aja terus titik gitu??
Unik : Itu kan pilihan kawan, seperti pernah kamu sampaikan bahwa masa mau dipaksakan untuk mencintai??hehehe bahasa mencintai sensitifi euy,..haha

Visioner : Tapai kalau sudah ada cinta,..cinta,..gitu kayaknya kamu lebih tahu deh,..soalnya saya kalau berbicara cinta cenderung melankolis,..haha
Unik : Tapi gak masalah bro,..justru dengan kondisi teman-teman seperti
sekarang ini saya justru sepakat gaya yang digunakan itu cenderung melankolis,..haha

Visioner : yeahhh….Saya itu kan dulu kena kebijakan wajib militer,..tetapi
kemudian dikembalikan ke rumah dan masyarakat saya,..saya meresa dirumah saya hari ini tidak cenderung membebaskan, cenderung mengekang, cenderung tidak membiarkan kita berproses ala kita, karena setiap kader itu memiliki cara masing-masing untuk kemudian mengejar cita-cita di rumah ini. Dan saya merasa dirumah kita saat ini cenderung represif..Dan kulturnya membuat kita harus terus mengalah dan ikut ritmenya..sehingga kemudian saya memilih minggat..walaupun dulu saya sudah didepag untuk tidak menjelajah kemana-kemana,..
Dalam proses situ cara pandang kita terhadap rumah itu relative dimanjakan,..sehingga rumah ini sudah tidak istimewa lagi,..
Tetapi ketika ada dekrit untuk kembali ke rumah ini ya tak ada bahasa untuk menolak dan membangkang,. Karakter yang dibentuk dalam organisasi kita mengekspresikan sikap, pola pokir, cara pandang, dan sebagainya,..

Dan satu hal kawan bahwa ad apemikiran yang salah tentang Dompu ini. Dompu ini menjadi seperti ini karena persepsi masyarakatnya. Contoh kecil saja bahwa banyak mahasiswa asli dompu yang kuliah ke luar kota tidak ingin kembali ke Dompu karena merasa tidak mendapatkan apa-apa di Dompu. Padahal maju mundurnya Dompu ini tergantung creator-kreator di dalamnya..
Gitu juga kammi tidak kreatif, tidak sense, pendekatannya cenderung birokratis, formalis, birokratis..
Terjadi gap dinamikan antara subyek dakwah dengan obyek dakwah dimana dinamika yang terjadi pada obyek dakwah tidak mampu dikerjar oleh subyek dakwah..

Unik : Kalau saya berfikir tentang kaderisasi pribadi, karena kalau structural saya sudah cukup mumet karena hanya terlihat formal saja tanpa memberikan nilai yang lebih, jadi bergerak nya kita itu hanya fisiknya saja tapi tanpa nilai, jadi saya berfikir bahwa, okeylah masing-masing komsat itu punya otonomi bebas, mereka harus mengembangkan konsepnya masing-masing dan menyesuaikan dengan kondisi kearifan local masing-masing. Karena Lombok dan Bima itu berbeda, sehingga kalau Bima di ajak formalitas cendrung susah mereka lebih condong informal, kultural,

Kita bukan organ eksiten tetapi nilai, tidak perlu memaksakan gaya kita tetapi kita sesuaikan dengan gaya mereka dan kita masuk untuk memberi warna, dan justru lebih efektif..Makanya gunakan bahasa antum sekalian untuk melakukan pendekatan. Bagaimana coba ketika mahasiswa di daerah Bima-Dompu cenderung konfrontatif, sehingga bagaimana cara kita melakukan pendekatan terhadap kultur mereka. Satu hal bahwa dakwah itu mengikuti geografis..
Kita juga melihat sesuai tidak bisa langsung menjustifikasi sesorang, ketika pada waktunya NTB atau Indonesia berada pada zona aman, maka perempuan keluar malam, maka silahkan saja..

Nah, penggalan diskusi yang beberapa hal sudah disempurnakan ini memberi warna tentang hasil dialog dua kultur yang berbeda, berbeda karena pengalaman hidup dan proses hidupnya yang berbeda, sehingga bentukan pola pikir dan pilihan sikapnya dalam menentukan media menemukan idialisme jug berbeda pula..







Jumat, 05 November 2010

KELUARLAH SAUDARAKU

Saudaraku kau tahu bencana datang lagi
Porak lagi negeri ini
Hilang sudah selera orang-orang untuk mengharap
Sementara jiwa-jiwa nelangsa itu
Sudah sedari lama berbaris-baris memanggil-manggil

Keluarlah keluarlah saudaraku
Dari kenyamanan mihrabmu
Dari kekhusuan I’tikafmu
Dari keakraban sahabat-sahabatmu

Keluarlah keluarlah saudaraku
Dari keheningan masjidmu
Bawalah roh sajdahmu ke jalan-jalan
Kepasar-pasar ke majelis dewan yang terhormat
kekantor-kanotr pemerintah dan pusat-pusat pengambilan keputusan

Keluarlah keluarlah saudaraku
Dari nikmat kesendririanmu satukan kembali hati-hati yang berbserakan ini
Kumpulkan kembali tenaga-tenaga yang tersisa
Pimpinlah dengan cahayamu kafilah nurani yang terlatih
Di tengah badai gurun kehidupan

Keluarlah keluarlah saudaraku
Berdirilah tegap di ujung jalan itu
Sebentar lagi sejarah kan lewat
Mencari actor baru untuk drama kebenarannya

Sambutlah saja dia
Engkaulah yang ia cari,..

Rabu, 03 November 2010

MENGANTARKANKU PADA MOMENTUM YANG TEPAT

Perjalanan panjang mengantarkan ku harus berhenti dan pindah pada kereta jurusan kota itu. Dahulu aku besar dan meraup selembar rupiah di kereta jadul demi menghidupi dunia idealisme yang bibitnya hasil fermentasi antara berbagai kelompok gerakan yang dahulu menyusuri garis perjuangan bangsa ini. Pada etape itu ketika aku harus berdialog dengan lingkungan sosio-antropologi yang berbeda dengan dunia tempat aku disulap menjadi seperti anak kecil yang melankolis dengan sejuta idealita yang terobsesi menyatu dalam konsep berfikir dan visi hidup yang menurutku ketika itu adalah pondasi. Fase itu membuat semuanya harus runtuh kecuali nilai normatif yang aku fahami tak mampu digeser oleh apapun.

Ruang hidup yang begitu baru menurutku melahirkan tidak hanya sekedar dialog tetapi benturan dan peperangan. Benturan kultur asal dengan sosiologis masyarakat yang begitu menghargai prinsip anti kemapanan. Darah berkesimbah di tanah yang saat itu aku ditakdirkan menjadi Raja. Menurut catatanku aku tidak punya prestasi hebat di kerajaan itu tetapi barangkali rakyat di negeri itu melihat lompatan sejarah yang terekam dalam jejakku menjadi ruang ijtihad yang membuatku harus terpaksa berdiri di garda terdepan. Dengan perdebatan yang sangat akut, mengantarkan pada titik temu yang cukup mendamaikan seluruh pelosok kerajaan. Ada penat yang hilang digantikan oleh rasa lega yang diselimuti oleh optimisme dan janji produktivitas dakwah yang membuat kita berani bermimpi, berani bernyanyi lepas di jagad itu.

Aku juga manusia, yang kesempurnaannya adalah keterbatasan itu sendiri. Mimpi itu akhirnya kering meronta, lemas tak bergejolak memompa barisan juang saat itu. Dunia mengamuk, rakyat berkoar minta keadilan Sang Raja. Di sudut negeri duduk Sang Raja dengan performa sosial yang begitu tinggi lebih dari sekedar status sosial seorang raja. Tersenyum, wajah merona, idenya mengalir deras tak terbendung, rekayasa konstruksi sebuah gerakan terpola dalam sorotan akan masa depan yang begitu indah. Kala itu begitu indah karena bergumul dalam epistemologi konsep yang begitu menjanjikan kedirian, kelincahan gerakan, dan rekayasa sosial yang sudah cukup mapan, walau di sudut lain disana ada sekelompok kecil anak manusia menatap semua ini utopis.

Hampir satu dekade terlewati dengan dialog panjang yang hingga kini mungkin tak kunjung usai. Tetapi dalam renungan panjang kutemukan satu semangat untuk melompat lebih tinggi dan menerobos ruang yang represif ini. Yang pasti aku ingin merdeka seperti sediakala, aku ingin terbang sepuasku, aku ingin bermesraan dengan awan putih yang memberi warna baru bagi birunya langit di atas sana, mereka sepertinya merasakan kehidupan yang lebih indah, mereka menari dan bernyanyi, berjalan dan berlari hingga ujung dunia, aku ingin seperti mereka tapi aku tidak ingin terbang hingga keluar angkasa. Aku ingin tetap disini dirumah dan kerajaan kita tercinta.
Rintangan itu begitu sulit, ku menerobosnya, sampai aku merasa semua tak pernah ada, berbondong-bondong manusia melewati gerbang diperbatasan sana tapi tak pernah menyapa, tak pernah menghampiri, aku merasa seperti berada di alam lain-dunia metafisik. Di jalan itupun aku temukan bongkahan kereta jadul itu, kereta produk asli negeri ini tetapi lahir disaat para imperialis menjajah kemerdekaan para pribumi.

Tak ada satu sudut kereta jadul itu yang tidak ku sentuh. Bahan asli kereta itu bagus, mesinnya masih kuat hingga sekalipun harus mengelilingi negeri ini, mengumpulkan keping-keping sejarah yang masih tersisa, kultur-kultur intelektual yang masih diterangi oleh lilin-lilin klasik. Ini potensi besar yang harus di jarah, di renovasi, diperindah menjadi kekuatan baru yang akan menjadi sumber inspirasi. Sepuluh tahun negeri ini ku jejaki dengan kereta jadul yang tak bertuan itu, rasanya seperti pendekar sakti yang telah menaklukkan naga pengganggu dan sumber keresahan, lega rasanya. Kini aku siap berdiri di perbatasan kota untuk melawan penjajah baru, aku ingin berdeklarasi tuntaskan misi perjuangan ini.

Lompatan itu memberi semangat untuk menjadi reformis sejati. Hingga proses dialog dan berdamai dengan alam telah usai. Disaat itu pula kereta baru hadir menjanjikan segala cerita indah, ada pejuang disana dengan segala persenjataan lengkap, tapi rel kereta belum usai di konstruk, masih butuh energi baru, ide baru, semangat baru. Hingga aku harus memilih dan bertanggung jawab menjadi arsitek perjuangan dikereta itu.

Menyelemi lebih jauh samudera perjuangan yang dilewati oleh para pejuang ini, hingga harus menjaga ritme untuk menjaga keindahan gerak. Bahasanyapun menggunakan bahasa sansekerta walau beberapa menemui akulturasi hingga asimilasi bahasa lewat proses yang dibenturkan. Aku mengeluh, penatku kambuh, langkah ini tiba-tiba terhenti oleh irama yang cukup asing bagi gerakku. Aku harus belajar melompat untuk bisa melompat, aku harus membuat sayap dan belajar melambaikannya untuk bisa menggapai awan putih disana. Dan ternyata adaptif semua diluar dugaan peta itu diketengahkan secara gamblang, konprehensif. Aku harus membaca simbol dan pertanda ini untuk merekonstruksi kondisi alam yang sangat stagnan.

Aku hadir pada momentum yang sangat tepat, birokratisme ditubuh gerakan ini tidak boleh menggurita, sakralitas ini sungguh tidak proporsional, ini salah satu sumber tersumbatnya siklus proses membentuk manusia, kemudian sensitivitas yang nihil membuat kita seperti robot, egosenstri dan egomani komunitas yang membuat kita terlalu bereuforia dan menutup celah penyempurnaan dari orang lain. Tatapan ini adalah diagnosa sederhana yang menyimpulkan kita seperti momok bagi obyek transformasi kita.

Membedah solusi akan menghasilkan produktivitas demi menhindari kebencian sang pencipta terhadap kita-Allahu Rabbal ‘Alamin (As-Shaff : 4). Kajian sosio-antropologi dakwah kekinian dan kedisinian mengawali lompatan ini. Meminta kita membuka lebar-lebar rahasia alam tentang struktur manusia, psiko-sosio, dan kemapanan yang muncul dari proses interaksinya dengan segala hadapan mereka. Yang kedua kita butuh sadar bahwa tak ada mutualitas materi dalam kerja transformasi, semua adalah metafisik-ghaib tentang balasan baik maupun buruk yang akan kita peroleh sehingga sensitivitas terhadap obyek dakwah ini perlu di asah untuk memahami lebih jauh tentang kebutuhan mereka dan solusi kita untuk menjaga kenyamanan mereka bersama barisan pejuang ini, dan terakhir sepertinya kita sejenak harus menanggalkan baju-baju kebesaran kita untuk berada di luar garis tempat kita berdiri-sekedar hanya untuk mebaca utuh tentang kelincahan gerakan kita, sesekali kita perlu merekam aksi kita dilapangan untuk menilai sejauh apa kelincahan kita bermain bola, sehingga tak ada waktu sedetik untuk tidak melakukan penyempurnaan, tak ada diksi menunda mengatakan tidak mungkin. Semua akan indah pada waktunya, bukan dengan apatis dan pasif tetapi dengan aksi dan gerakan.

Wallahu alam,.

Sabtu, 30 Oktober 2010

PERAN PEMUDA DALAM MENGAWAL PEMERINTAHAN BARU*

Tema Kajian kita hari ini adalah Peran Pemuda Dalam Mengawal Pemerintahan Baru. Ada peran, pemuda, mengawal, dan ada pemerintahan baru. Kita perlu memaknai lebih dalam tentang arti kata-kata dalam tema ini sehingga kita faham secara menyeluruh tentang peran kita sebagai pemuda di daerah Dompu ini.

Arti kata peran adalah bagian yang dikerjakan. Kemudian ada beban dan ada tindakan. Kemudian jika kita berbicara pemerintahan baru kita akan berbicara tentang kepemimpinan. Kepemimpinan untuk menjalankan visi dan misi di daerahnya. Nah ini adalah kepemimpinan. Kemudian peran yang imainakna oleh pemuda adalah dalam rangka mengawal kerja-kerja yang dilakukan oleh pemimpin daerah. Sudah sesuai dengan apa yag dijanjikan tidak?Apakah sudah bisa menghadirkan hasil yang sesuai dengan misi tidak??Atau belum sama sekali?

Nah kita lebih mendalami ini sebagai kerja rill para mahasiswa di lapangan.
Contohnya saja problematika yang kita hadapi saat ini adalah masalah atau kasus korupsi, pengangkatan PNS yang selalu menggunakan uang, atau proyek-proyek yang banyak tapi tidak ada arealisasi di lapangan. Kita bisa membuka lagi raport pemerintah ketika menangani PDAM dengan dana 7,5 M. Di awal-awal LSM dan wartawan menyuarakan dana ini tetapi pada akhirnya kita tidak menemukan penyelesaian yang memuaskan, terus realisasinya seperti apa?Kemakah bocornya?atau transparansi pemerintah dalam mengelola uang rakyat ini tidak jelas sama sekali. Kemudian kasus lain-lain yang membuat kita harus membuka mata kita.

Ini adalah masalah daerah yang sudah menjadi konsumsi public, sudah menjadi rahasia umum, tetapi tidak ada yang mengambil bagian dalam konteks ini. Dan apakah ini menjadi sesuatu yang harus kita biarkan juga??
Ketika kita tidak mengambil bagian dan terdiam memandang kasus-kasus di daerah ini maka tidak heran Dompu masih terbelakang, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di NTB ini, contohnya saja kabupaten bima.

Kejadian-kejadian ini sadar atau tidak pada akhirnya akan berimbas pada berkurangnya lapangan pekerjaan, dan masalah ini sudah menjadi kultur di daerah tercinta ini. Dan masyarakat akan menjadi korban, saudara kandung kita, keluarga kita, atau mungkin kita sendiri.

Bulan oktober kemarin adalah pelantikan Bupati. Masyarakat menaruh harapan besar kepada pemimpin baru kita. Apakah mampu memberikan warna yang berbeda di bumi nggahi rawi pahu ini, karena janji-janji yang disampaikan ketika kampanye merupakan konsepsi kepemimpinan beliau selama menjabat Bupati. Konsep kepemimpinannya adalah kemandirian dan religius.

Mahasiswa berperan untuk mengawal semua ini. Mengawal janji Pemimpin kepada rakyatnya, Janji Bupati Dompu kepada masyarakatnya. Dan jangan sampai berganti pemimpin saja tetapi masalahnya sama dengan pemimpin sebelumnya. Berganti orang yang duduk disinggasana Bupati tetapi problem dan hal yang belum terselesaikan di daerah Dompu semakin menjadi-jadi.

Ketika kemarin dialog persuasive dilakukan bersama tim sukses dari Calon Bupati ada kontrak politik yang bisa kita buka kembali untuk mengawal mereka. Bupati terpilih misalnya berbicara tentang beberapa hal, antara lain:
  1. Kemandirian. Dalam konsep kemandirian ini ekonomi harus digairahkan. Hari ini kita bertumpu pada PNS sehingga tidak ada usaha untuk memandirikan masyarakat. Padahal kemandirian ini harus lahir dari masyarakat.
  2. Menyediakan lapangan kerja.
  3. Pembangunan yang berkelanjutan dan bukan tambal sulam.
  4. Reposisi fungsi birokrat. Dahulu birokrat menguasai segala sisi di dalam masyarakat. Nah kultur itu dirubah. Birokrat tidak lagi mendominasi segala aspek tetapi menjadi mediasi bagi masyarakat, mereka hanya menjadi fasilitator.
  5. Fungsi religius. Di awali dengan membangun nuansa yang religius di dinas-dinas.
  6. Adanya keadilan.
  7. Ciptakan kesejahteraan di dalam masyarakat.

Ini beberapa janji Bupati terpilih ketika melakukan kampanye, selanjutnya tugas kita adalah mengawal sejauh mana konsistensi Pemimipin kita dalam merealisasikan visinya selama 5 tahun kedepan. Dan jika dalam perjalanannya mulai terdapat indikasi inskonsistensi maka mahasiswa harus mengambil peran untuk melakukan protes atau mempertanyakannya. Dan masalah lain yang harus menyentil semangat kita untuk mengawal Bupati adalah KKN di lingkungan birokrasi, jika kasus ini kita temukan maka tidak ada jalan lain kecuali aspirasi kita harus disampaikan melalui demonstrasi.
Inilah isu-isu yang diangkat oleh Bupati baru kita saat ini. Kita harus membuka mata kita dan sense terhadap problem Daerah Dompu kekinian.

Kemudian beberapa hal yang harus kita tekankan bersama dalam perjuangan mahasiswa bahwa ada isu-isu besar yang harusnya menjadi tema diskusi kita. Misalnya saja masalah anggaran. Apakah sudah pro rakyat atau tidak. Selama ini persentasenya adalah 80 % untuk aparat Negara dan 20 % untuk rakyat. Pembagian ini butuh kita pertanyakan keberpihakannya, ingin mensejahterakan masyarakat ataukah ingin memperkaya dan meninakbobok-an aparat Negara yang seharusnya berfikir juga tentang nasib rakyat di Dompu ini. Oleh karena itu maka diskusi kita mendepan harus lebih banyak tentang struktur anggaran, atau sesekali perlu melakukan hearing dengan anggota dewan dalam rangka memahawi secara mendalam kajian anggaran ini. Sehingga selanjutnya pengawalan yang kita lakukan berbasis data.

Semua ini adalah tugas mulia yang akan dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa, tugas dimana kita menyuarakan isu-isu kerakyatan, dan melakukan perubahan terhadap kondisi yang tidak bisa dirubah oleh manusia pada umumnya. Kita bisa membuka kembali sejarah reformasi 1998 diaman puncaknya adalah tumbangnya orde baru yang berkuasa selama 32 tahun dengan taring otoriternya. Dan mahasiswa menunjukkan kemampuannya untuk melakukan perubahan. Karena perubahan adalah indikator sebuah kemajuan. Semangat reformasi 1998 selayaknya menjadi semangat kita dalam melakukan perubahan di daerah Dompu ini kunci lainnya adalah control public dan satu hal bahwa ini adalah hadiah terbesar yang akan kita persembahkan untuk generasi kedepan.

Manfaatkan keberanian kita untuk melakukan perubah. Pintu reformasi itu sudah dibuka maka mari kita lanjutkan dengan melakukan perubahan sehingga tidak akan ada lagi birokrasi yang korupsi, nepotisme,.dan lainnya, serta tidak aka nada lagi di sudut daerah kita ini masyarakat yang memelas perhatian dan kesejahteraan padahal mereka adalah bagian dari kita semua. Sebagai penutup mari kita rawat idealisme, mari kita berjuang, mari kita kumpulkan kekuatan kita. Dan kita jemput aura-aura kemenangan bersamaan dengan semangat kita.

* Notulensi Sarasehan Politik-Dompu

Senin, 11 Oktober 2010

NGGUSU WARU

Nggusu Waru adalah delapan sifat/karakteristik yang menyatu sedemikian kuatnya dalam diri seseorang yang menjadi pemimpin (dumudou, ama dou, amarasa) (bahasa lokal). Kedelapan sifat/karakteristik itu sekaligus dapat dijadikan kriteria alternatif bagi seseorang yang akan dipilih/diangkat menjadi pemimpin, yaitu sebagai berikut :


(Sa’orikaina) “dou maja labo dahu dinadai Ruma Allahu Ta’ala”. Artinya orang yang merasa malu dan takut kepada allah SWT. Takwa dalam artian hati-hati dan selektif dalam hidupnya. Ia tidak mau bersikap sembarangan. Karena ia yakin bahwa meskipun mata kepalanya tidak dapat melihat allah, tapi mata hatinya yakin bahwa allah SWT pasti memperhatikan dia, sebagaimana dirumuskan dalam pengertian ihsan, yaitu: “hendaklah engkau menyembah allah, seakan-akan kau meliha-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa allah pasti melihat engkau”. Jadi, kriteria yang satu ini mendasari sekaligus menjiwai ketujuh sifat yang lainnya. Sifat ma sabua ake, nakapisiku sifat ma pidumbua ma kalai ede.


(Dua orikaina)
“ dou ma bae ade”. Artinya, orang yang memiliki kapasitas intelektual serta kepekaan jiwa (spiritual) yang mendalam sehingga dengan mudah menanggapi berbagai permasalahan yang terjadi, secara rasional dan intuitif serta tidak mudah bersikap emosional dalam arti negatif. Karena itu, ia selalu mampu mengontrol dirinya sedemikian rupa sehingga tidak mampu terbawa oleh pemikiran yang bersifat polaritas: prokontra, kiri-kanan, hitam-putih, dan sejenisnya (unca-anca, ngu’e-nga’e). Tapi ia mampu mengajukan pikiran yang partisipatif, akomodatif, dan adaptif. Jadi ia mampu memodernisasi, menjembatani, mencari titik temu, dari dua/lebih hal yang ekstrim sedemikian rupa sehingga ia mampu berada “ditengah-tengah”, menjadi wasit, adil dan santun. Dia tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan, ia anti kekerasan sesuai dengan makna instrinsik dari kata DOMPU atau DOMPO. Bukan secara kebetulan kalau Kabupaten DOMPU itu secara geografis berada “persis” ditengah-tengah pulau Sumbawa, sehingga sangat relevan dengan kata DOMPU/DOMPO.


(Tolu orikaina) “dou ma mbani labo disa”. Bukan orang yang “kebe” (orang yang kebal) karena memiliki ilmu-ilmu tertentu yang bersifat mistik. Dou mbani labo disa Artinya orang yang memiliki sifat berani melakukan perubahan (reformasi) kearah yang lebih positif-konstruktif karena diyakini kebenarannya. Karena itu, ia berani mempertanggungjawabkan perbuatanya kini disini, di dunia, dihadapan UUD 45 dan pancasila serta dihadapan Allah SWT, yaitu dihari perhitungan yang amat cermat lagi teliti, di yaumul hisab, nantinya. Dalam al-quran telah dijelaskan yang artinya “Sesungguhnya aku yakin bahwa sesungguhnya kelak aku akan menemui hisab oleh dan terhadap diriku sendiri(QS. Al Haqqah, 69:20). Karena itu tidak ada seorangpun yang mampu “bersandiwara” seperti yang pernah ia lakukan semasa hidupnya di dunia. Perhatikan pula QS. Yasin, 36:65, yang artinya “Pada hari itu kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberikan kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.
Jadi, mbani labo disa berarti, berani dan dapat/sanggup berbuat sesuatu, sesuai dengan aturan main yang ada/berlaku, yang tentu saja ia yakin akan kebaikan dan kebenaran.


(Upa orikaina), “dou ma lembo ade ro ma na’e sabar”. Artinya orang yang lapang dada (berjiwa demokratis dan akomodatif) yang mampu menjembatani hal-hal yang dapat menimbulkan polaritas (pro-kontra). Dengan berkat kesabarannya ia tidak mudah memihak kepada hal-hal yang nampaknya secara lahiriah, menguntungkan, padahal justru membahayakan. Dengan demikian ia, mampu mengatasi berbagai krisis yang terjadi. Karena ia memiliki tekad/semangat yang membaja dalam meraih tujuan yang lebih luhur, lebih membahagiakan. Ia mantapkan tekad/semangat dengan mengatakan” kalembo ade, kana’e saba, kapaja syara’, sia sawa’u, su’u sawale. Insya Allah, Allah SWT akan menolong siapa saja, selama orang tersebut memiliki sikap seperti itu. Perhatikan QS. Al-Baqarah, 2: 45 dan 153 yang artinya “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. Sabar itu selalu pahit pada awalnya, tetapi manis pada akhirnya. “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan”(QS. Ali Imran, 3:186).


(Lima orikaina), “dou ma ndinga nggahi rawi pahu”. Artinya, orang yang jujur. Orang yang satu kata dengan perbuatannya (tidak hipokrit), karena apa yang telah dikatakan atau yang telah disepakati bersama misalnya, itu pulalah yang akan dilaksanakanbersama secara arif, sehingga menghasilkan suatu yang sangat positif dan konstruktif, ntau pahu. Hal itu dimungkinkan karena ia memiliki kemampuan terutama dalam hal penggunaan kata/kalimat yang secara psikologis dan secara moral dapat mengantarkan dirinya dan orang lain kepada satunya kata dan perbuatan.
Ungkapan tersebut sesungguhnya merupakan manifestasi dari orang yang kuat imannya (cia imbina) kepada adanya Allah SWT sebagai pencipta alam semesta sekaligus sebagai pelindung dan pemeliharanya. Keimanan seperti itu, harus diyakini dengan hati (kapodaku ba ade), diucapkan dengan lisan (rentaku ba rera/lera) dan diamalkan dengan anggota badan (karawiku ba weki/sarumbu). Ketiga-tiganya harus berjalan secara simultan dan seimbang. Bukan sebaliknya, nggahi wari pahu (hipokrit). Bukan seperti itu. Karena ia yakin bahwa allah SWT sangat marah (benci) kepada orang-orang dengan tipe seperti itu. QS. As-Saf, 61: 1-2, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan (sesuatu) apa yang kamu tidak perbuat. Amat besar kebencian di hadirat Allah SWT (apabila) kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.


(Ini orikaina), “dou ma taho hid’i” atau “londo dou ma taho”. Artinya, orang yang memiliki integritas kepribadian yang kokoh-kuat dan berwibawa. Dedikasinya tinggi serta loyal akan perjuangan, menegakkan keadilan dan kebenaran. Jadi, taho hid’i disini, bukan pada penampakan fisik kejasmaniannya yang tampan, cantik, dan/atau gagah saja. Bukan itu, itu belum cukup. Tetapi yang sangat penting pada aspek integritas kepribadian yang sidik (jujur), tidak bohong, amanah (dapat dipercaya), tidak khianat, tabaliq (transparan dan komunikatif) tidak sembunyi-sembunyi, serta fatonah (cerdas dan kreatif), tidak bohong/dungu, sedemikian rupa, sehingga menampakkan pribadi manusia seutuhnya: proporsional dan harmonis. Harmonis antara fisik-kejasmanian dan psikhis-kerohanian, secara sempurna. Atau meminjam istilah dalam tasawuf, ia menjadi “insan kamil”, yaitu manusia yang selalu dalam “proses menjadi” sempurna.
Jadi “dou ma taho hid’i” atau “londo dou ma taho”. Artinya orang yang seimbang antara struktur tubuhnya yang gagah (pria) atau cantik (wanita) dan berakhlak baik/akhlakul karimah.


(Pidu orikaina), “dou ma d’i woha dou”. Artinya, orang yang selalu merasa terpanggil untuk mengambil tanggung jawab, ditengah-tengah komunitasnya, baik ditingkat lokal, memiliki akses tingkat nasional, dan syukur-syukur di tingkat Internasional. Dan karenanya, ia selalu dekat di hati rakyat, ia selalu dicintai rakyatnya. Dengan demikian, ia selalu unggul dalam setiap kegiatan yang bersifat kompetitif dan yang melibatkan orang banyak (publik). Betapa tidak, karena ia selalu hadir di tengah-tengah publik, baik dikala suka maupun dikala duka, dengan tidak membeda-bedakan status sosial; kaya-miskin, orang kota-orang gunung, bangsawan-budak (ada dou). Ia berkeyakinan bahwa kesusahan, penderitaan orang lain, adalah peluang baginya untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan cara memudahkan urusan sedemikian rupa, sehingga orang itu merasa berbahagia berada di sampingnya.


(Waru orikaina), “dou ma ntau ro wara”. Artinya, orang yang memiliki kekayaan (maksudnya, bukan hanya memiliki kekayaan bersifat materi-kebendaan saja, tetapi yang penting, kaya rokhani), sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang bersifat materi. Betapapun ia menghajatkannya. Atau menurut ungkapan yang populer di era roformasi dewasa ini, ia tidak mau melakukan KKN alias Kuku Keko Ndimba (istilah lokal). Betapapun ia menghajatkan materi-uang, karena sangat bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan sifat-sifat yang terpuji seperti yang tersebutkan di atas. Jadi, dia sudah merasa kaya secara rokhaniah maupun secara moral. Dengan demikian, ia mampu menilai bahwa sebuah benda yang berharga itu, tidak ubahnya ibarat sebutir batu/kerikil yang berserakan disepanjang jalan. Ia sama sekali tidak terusik untuk memilikinya melebihi porsi yang diperlukannya. Lagipula, sesuai dengan haknya tidak lebih dari itu.

Tulisan ini disadur oleh Bahtiar Malingi (Dosen IAIN Mataram NTB - Mahasiswa S2 UNY Yogyakarta)dari sebuah buku karangan sesepuh yang nama panggilannya guru melo (Abdul Malik Mahmud Hasan) dengan judul “Ngusu Waru” Sebuah Kriteria Pemimpin Menurut Budaya Lokal Mbojo (Dompu-Bima).

Sumber : Langgusuwaru.blogspot.com

Selasa, 05 Oktober 2010

KAMBOHA MENAMPA*

Ndakeku Anae!
Samenana lamparawi edede
Sataho-tahona
Kamboha-mboha menampa

Aina wa'a huru ra mbao
Aina nono nocu nono aru
watipehe, Anae!

Warajapu naisi
Ro wajrajapu d'id'isi

Aina pana rumpa
Aina pana pere
watipehe, Anae!!

*Abdul Malik Mahmud Hasan dalam Memikirkan Makna DOMPU dalam rangka mencari identitasnya

Sabtu, 02 Oktober 2010

ANAK,..

Jika anak dibesarkan dengan celaan,
ia belajar memaki

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,
ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan,
ia belajar rendah diri

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,
ia belajar menyeasali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi,
ia belajar menahan diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian,
ia belajar menghargai

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan,
ia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman,
ia belajar menaruh kepercayaan

Jika anak dibesarkan dengan dukungan,
ia belajar menyenangi diri

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin