`

`

Rabu, 03 November 2010

MENGANTARKANKU PADA MOMENTUM YANG TEPAT

Perjalanan panjang mengantarkan ku harus berhenti dan pindah pada kereta jurusan kota itu. Dahulu aku besar dan meraup selembar rupiah di kereta jadul demi menghidupi dunia idealisme yang bibitnya hasil fermentasi antara berbagai kelompok gerakan yang dahulu menyusuri garis perjuangan bangsa ini. Pada etape itu ketika aku harus berdialog dengan lingkungan sosio-antropologi yang berbeda dengan dunia tempat aku disulap menjadi seperti anak kecil yang melankolis dengan sejuta idealita yang terobsesi menyatu dalam konsep berfikir dan visi hidup yang menurutku ketika itu adalah pondasi. Fase itu membuat semuanya harus runtuh kecuali nilai normatif yang aku fahami tak mampu digeser oleh apapun.

Ruang hidup yang begitu baru menurutku melahirkan tidak hanya sekedar dialog tetapi benturan dan peperangan. Benturan kultur asal dengan sosiologis masyarakat yang begitu menghargai prinsip anti kemapanan. Darah berkesimbah di tanah yang saat itu aku ditakdirkan menjadi Raja. Menurut catatanku aku tidak punya prestasi hebat di kerajaan itu tetapi barangkali rakyat di negeri itu melihat lompatan sejarah yang terekam dalam jejakku menjadi ruang ijtihad yang membuatku harus terpaksa berdiri di garda terdepan. Dengan perdebatan yang sangat akut, mengantarkan pada titik temu yang cukup mendamaikan seluruh pelosok kerajaan. Ada penat yang hilang digantikan oleh rasa lega yang diselimuti oleh optimisme dan janji produktivitas dakwah yang membuat kita berani bermimpi, berani bernyanyi lepas di jagad itu.

Aku juga manusia, yang kesempurnaannya adalah keterbatasan itu sendiri. Mimpi itu akhirnya kering meronta, lemas tak bergejolak memompa barisan juang saat itu. Dunia mengamuk, rakyat berkoar minta keadilan Sang Raja. Di sudut negeri duduk Sang Raja dengan performa sosial yang begitu tinggi lebih dari sekedar status sosial seorang raja. Tersenyum, wajah merona, idenya mengalir deras tak terbendung, rekayasa konstruksi sebuah gerakan terpola dalam sorotan akan masa depan yang begitu indah. Kala itu begitu indah karena bergumul dalam epistemologi konsep yang begitu menjanjikan kedirian, kelincahan gerakan, dan rekayasa sosial yang sudah cukup mapan, walau di sudut lain disana ada sekelompok kecil anak manusia menatap semua ini utopis.

Hampir satu dekade terlewati dengan dialog panjang yang hingga kini mungkin tak kunjung usai. Tetapi dalam renungan panjang kutemukan satu semangat untuk melompat lebih tinggi dan menerobos ruang yang represif ini. Yang pasti aku ingin merdeka seperti sediakala, aku ingin terbang sepuasku, aku ingin bermesraan dengan awan putih yang memberi warna baru bagi birunya langit di atas sana, mereka sepertinya merasakan kehidupan yang lebih indah, mereka menari dan bernyanyi, berjalan dan berlari hingga ujung dunia, aku ingin seperti mereka tapi aku tidak ingin terbang hingga keluar angkasa. Aku ingin tetap disini dirumah dan kerajaan kita tercinta.
Rintangan itu begitu sulit, ku menerobosnya, sampai aku merasa semua tak pernah ada, berbondong-bondong manusia melewati gerbang diperbatasan sana tapi tak pernah menyapa, tak pernah menghampiri, aku merasa seperti berada di alam lain-dunia metafisik. Di jalan itupun aku temukan bongkahan kereta jadul itu, kereta produk asli negeri ini tetapi lahir disaat para imperialis menjajah kemerdekaan para pribumi.

Tak ada satu sudut kereta jadul itu yang tidak ku sentuh. Bahan asli kereta itu bagus, mesinnya masih kuat hingga sekalipun harus mengelilingi negeri ini, mengumpulkan keping-keping sejarah yang masih tersisa, kultur-kultur intelektual yang masih diterangi oleh lilin-lilin klasik. Ini potensi besar yang harus di jarah, di renovasi, diperindah menjadi kekuatan baru yang akan menjadi sumber inspirasi. Sepuluh tahun negeri ini ku jejaki dengan kereta jadul yang tak bertuan itu, rasanya seperti pendekar sakti yang telah menaklukkan naga pengganggu dan sumber keresahan, lega rasanya. Kini aku siap berdiri di perbatasan kota untuk melawan penjajah baru, aku ingin berdeklarasi tuntaskan misi perjuangan ini.

Lompatan itu memberi semangat untuk menjadi reformis sejati. Hingga proses dialog dan berdamai dengan alam telah usai. Disaat itu pula kereta baru hadir menjanjikan segala cerita indah, ada pejuang disana dengan segala persenjataan lengkap, tapi rel kereta belum usai di konstruk, masih butuh energi baru, ide baru, semangat baru. Hingga aku harus memilih dan bertanggung jawab menjadi arsitek perjuangan dikereta itu.

Menyelemi lebih jauh samudera perjuangan yang dilewati oleh para pejuang ini, hingga harus menjaga ritme untuk menjaga keindahan gerak. Bahasanyapun menggunakan bahasa sansekerta walau beberapa menemui akulturasi hingga asimilasi bahasa lewat proses yang dibenturkan. Aku mengeluh, penatku kambuh, langkah ini tiba-tiba terhenti oleh irama yang cukup asing bagi gerakku. Aku harus belajar melompat untuk bisa melompat, aku harus membuat sayap dan belajar melambaikannya untuk bisa menggapai awan putih disana. Dan ternyata adaptif semua diluar dugaan peta itu diketengahkan secara gamblang, konprehensif. Aku harus membaca simbol dan pertanda ini untuk merekonstruksi kondisi alam yang sangat stagnan.

Aku hadir pada momentum yang sangat tepat, birokratisme ditubuh gerakan ini tidak boleh menggurita, sakralitas ini sungguh tidak proporsional, ini salah satu sumber tersumbatnya siklus proses membentuk manusia, kemudian sensitivitas yang nihil membuat kita seperti robot, egosenstri dan egomani komunitas yang membuat kita terlalu bereuforia dan menutup celah penyempurnaan dari orang lain. Tatapan ini adalah diagnosa sederhana yang menyimpulkan kita seperti momok bagi obyek transformasi kita.

Membedah solusi akan menghasilkan produktivitas demi menhindari kebencian sang pencipta terhadap kita-Allahu Rabbal ‘Alamin (As-Shaff : 4). Kajian sosio-antropologi dakwah kekinian dan kedisinian mengawali lompatan ini. Meminta kita membuka lebar-lebar rahasia alam tentang struktur manusia, psiko-sosio, dan kemapanan yang muncul dari proses interaksinya dengan segala hadapan mereka. Yang kedua kita butuh sadar bahwa tak ada mutualitas materi dalam kerja transformasi, semua adalah metafisik-ghaib tentang balasan baik maupun buruk yang akan kita peroleh sehingga sensitivitas terhadap obyek dakwah ini perlu di asah untuk memahami lebih jauh tentang kebutuhan mereka dan solusi kita untuk menjaga kenyamanan mereka bersama barisan pejuang ini, dan terakhir sepertinya kita sejenak harus menanggalkan baju-baju kebesaran kita untuk berada di luar garis tempat kita berdiri-sekedar hanya untuk mebaca utuh tentang kelincahan gerakan kita, sesekali kita perlu merekam aksi kita dilapangan untuk menilai sejauh apa kelincahan kita bermain bola, sehingga tak ada waktu sedetik untuk tidak melakukan penyempurnaan, tak ada diksi menunda mengatakan tidak mungkin. Semua akan indah pada waktunya, bukan dengan apatis dan pasif tetapi dengan aksi dan gerakan.

Wallahu alam,.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin