`

`

Minggu, 27 September 2009

NAPAK TILAS KADERISASI PII JAWA TIMUR (Sebuah Persembahan)

Kaderisasi adalah proses sosialisasi, transformasi, dan idiologisasi tata nilai melalui sistem organisasi. Sosialisasi adalah penanaman tata nilai yang dianut oleh suatu komunitas tertentu kepada satu generasi ke generasi berikutnya. Dan transformasi adalah dinamisasi tata nilai dimaksud untuk menghadapi tantangan perubahan yang dihadapi oleh komunitas tersebut. Sedangkan idiologisasi adalah penanaman nilai-nilai ilahiyah dan kejuangan dalam rangka mewujudkan tata nilai yang dijadikan misi perjuangan komunitas tersebut.

Ini adalah konsepsi mendasar tentang kaderisasi yang juga kemudian menggambarkan bahwa proses kaderisasi adalah proses pendidikan karena di dalam proses sosialisasi, transformasi, dan idiologisasi berlangsung upaya penanaman dan pembentukan sikap dan kepribadian berdasarkan ajaran Islam, transfer ilmu, pembekalan kemampuan, dan ketrampilan pada seseorang dalam komunitas untuk kelangsungan misi dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Ini menjadi satu kesepahaman tentang kaderisasi tanpa memandang periodesasi karena ada estafesitas perjalanan kaderisasi yang gayung bersambut antara satu periode ke periode berikutnya.

Eksistensi kaderisasi pada dasarnya adalah tidak sekedar menjadi sebuah bagian dari eksistensi organisasi tetapi lebih dari itu bahwa kaderisasi adalah jantung dari organisasi. Bisa dibayangkan ketika tak ada setetes darah pun yang mengalir ke jantung maka manusia tak akan pernah bisa berkutik, sama halnya dengan organisasi bahwa darah itu di analogikan sebagai kader yang selalau menegasikan keberadaan organisasi.
Perjalanan sejarah kaderisasi PII sejak tahap perintisan (1952-1958) sampai kini merupakan lompatan-lompatan yang tak terpisah, karena keutuhan memandang proses ini menjadikan satu pisau analisa dalam mengkaji signifikansi dan relevansi kaderisasi PII dengan realitas keummatan yang menjadi hadapan PII.

Termasuk memandang periode ini, bahwa keseluruhannya adalah bagian dari napak tilas kaderisasi PII secara umum. Napak tilas PII di periode ini adalah satu realitas-otentik tentang resistensi dan konsistensi PII dalam mejadikan kaderisasi sebagai ujung tombak eksistensi PII. Tidak hanya itu bahwa selama ini proses sosialisasi, transformasi, dan idiologisasi telah terindikasikan kuat dengan adanya produk training, kursus, taklim yang bertujuan membentuk kader yang mempunyai kepribadian muslim, cendekia, dan pemimpin.

Berbicara kaderisasi juga kita akan berbicara tentang regenerasi, bahwa keberlanjutan ini mensyaratkan dua hal, yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas sebagai masifikasi massa gerakan yang akan menjadi idiolog, transformator, dan sosialisator, yang akan melakukan rekayasa sosial membangun peradaban yang menjadi impian PII. Sedangkan yang kedua adalah eskalasi kualitas bahwa kader maupun massa kental PII bukan lah generasi yang termarginalkan secara kualitas tetapi mereka memiliki posisi strategi di hati ummat, apakah sebagai muslim, seorang cendekiawan, maupun pemimpin dalam konteks yang sangat luas.

Pencapaian kuantitas dan kualitas seharusnya menjadi salah satu entry point yang senantiasa dibawa dalam setiap proses implementasi kaderisasi sehingga tidak hanya menjadi teks atau wacana tetapi menjadi salah satu semangat gerakan.

Berbicara kualitas di level struktural PII sudah memiliki bargaining untuk up grade kualitas apakah kualitas yang menjadikannya semakin kokoh sebagai generasi muslim maupun kecendekiaan. Tetapi lagi-lagi ditingkat terkecil struktur yaitu kaderisasi penuh dengan keterbatasan dalam mengejawantahkannya ke level aksi. Kadang-kadang ada mitos struktur (dalam hal ini wacana yang berkembang dalam kajian tentang kaderisasi) bahwa konsepsi yang terlalu melangit sehingga tak mampu dijangkau, ”mitos” ini akhirnya terjawab setelah hal yang sama menjadi diskusi hangat di moment Sarasehan Muadib Nasional, 20 s.d 23 Maret 2008 lalu, Inti dari jawabannya adalah persoalan yang ada adalah kecakapan dalam implementasi ta’dib yang lemah.

Tapi setidaknya ini jadi realitas yang mesti ditatap positif oleh kader instruktur untuk mengambil wilayah mana yang sekiranya jadi pijakan untuk melompat lebih tinggi.
Saya jadi teringat tulisan saya untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Instruktur Lanjut yang berjudul, Instruktur, Sosok Guru Peradaban bahwa:

”Ditengah kegoncangan eksistensi PII yang ditandai dengan problematika yang beranekaragam tidak mungkin menyerahkannya kepada pelajar yang menjadi obyek dakwahnya, juga kurang ada jaminan mutu penyelesaian ketika menyerahkannya ketingkat struktur organisasi karena benturan kebijakan dan realitas dilapangan kadang-kadang membawanya pada kekerdilan dalam memandang realitas sehingga lebih banyak waktu untuk untuk mengidentifikasi persoalan dari pada merealisasikan solusi konstruktif yang telah diformulasikan. Satu-satunya jawaban adalah memulainya dari level yang paling atas dari jenjang kualifikasi kader di PII dengan asumsi bahwa mereka sebagai poros kaderisasi.

Instruktur adalah jenjang kualifikasi kader yang dikonstruk oleh model pembinaan yang sistemik. Pada tingkatan inilah seorang kader mampu melihat kronologis alur kaderisasi maupun filosofi yang termaktub di dalamnya serta nilai-nilai yang dianut di dalamnya.
Pada tingkatan ini seorang kader bisa milihat konprehensifitas kaderisasi PII yang telah di konstruk. Dari pembinaan tunas sampai kepada misi Izzul Islam wal muslimin. Dari latar belakang kemnculannya, konsepsi yang mendasari, orientasi pembinaan, modul-modul, tujuan, maupun target akan menjadi bahan konsumsi instruktur, dan pada saat tertentu mereka bebas memandang system kaderisasi dari sesuatu yang tidak di teks-kan di dalamnya.

Ini potensi besar yang dimiliki PII untuk menjawab segala problematika hari ini. Dan butuh melihat obyektif terhadap kekurangan-kekurangnya, makanya harus kembali bahwa seorang instruktur adalah soko guru peradaban, yang lewat mereka misi transformasi lebih utuh di salurkan, dan karakter khas yang dibangun yang kemudian memberi warna khusus terhadap pembinaan PII.”

Ini sekelumit kutipan yang diambil, saya melatari tulisan itu dari sejarah bangsa indonesia; sejak perdebatan di BPUPKI, masa orde lama, orde baru sampai kemudian reformasi, kemudian mencoba memandang realitas internal-eksternal PII sebagai sebuah realitas obyektif yang mestinya di ungkap dalam melihat PII dan goal nya adalah instruktur sebagai jawaban karena instruktur adalah sosok guru peradaban.

Sosok guru peradaban seyogyanya menyusuri jejak Rasulullah sebagai prototipe, maka harus memiliki beberapa hal, yaitu:
1.Memiliki sifat rabbani,
2.Menyempurnakan Sifat Rabbaniyahnya
3.Kesabaran dalam segala hal
4.Konsistensi
5.Berpengetahuan luas
6.Bersikap tegas dan meletakan sesuatu sesuai dengan proporsinya.
7.Memahami orang lain,
8.Kepekaan
9.Bersikap adil

Ini sembilan capaian yang sama-sama coba kita jejaki dan kita raih untuk mengkonfigurasi aksioma yang sudah kita fahami. Dan sepertinya memulai semua ini terlihat sangat susah untuk berikhtiar secara nfirodhi, dan lebih ringan jika berjamaah. Mengangkat batu besar akan sangat membutuhkan tenaga dan waktu jika energinya kecil tetapi berbeda dengan jika enrginya besar, kekuatannya besar maka batu sebesar apapun akan ringan untuk di angkat.

Obyek yang sama akan kita pandang dalam kesamaan status yang mendorong kita sama-sama berada disini untuk berbicara, dan mengarsiteki misi dakwah yang telah kita fahami. Mengurai satu persatu perbedaan akan membutuhkan waktu yang lama, sementara disana obyek dakwah pelajar telah menunggu uluran tangan PII. Kita para instruktur harus meyakini bahwa hari ini banyak pelajar yang ingin bersama kita disini tetapi barangkali karena PII yang terus berselimut akhirnya tak pernah menyambut kemenangan itu bersama pelajar. Ziaudin Sardar ketika berbicara tentang globalisasi mengatakan; Umat Islam akan segera menunjuk ketidak adilan yang dilakukan Amerika dan Eropa dengan hegemoninya tetapi hegemoni tidak selalu ditimpakan tetapi kadang ia diundang. Situasi internal dalam Islam adalah sebuah undangan terbuka.

Mungkin tidak nyambung dengan uraian sebelumnya tetapi bisa dibahasakan begini bahwa pelajar tidak tahu PII mungkin bukan karena mereka benci dan tak pernah tertarik dengan PII tetapi karena situasi internal PII yang akhirnya mempengaruhi itu.
Tapi kawan, ini selain berbicara sejarah, realitas kekinian, kita juga harus berbicara prediksi masa depan. PII walau telah berumur 61 tahun memiliki ruang potensial untuk menjadi solusi terhadap persoalan kepelajaran dan keummatan. Bagaimana kita memprediksi tentang keikut sertaan pelajar dalam membicarakan kebijakan pemerintah, menjawab problematika pelajar, dan menkonstruk peradaban. Keseluruhan itu adalah mimpi yang bisa diraih dengan belajar di PII.

Kita melihat hampir sebagian besar kader PII yang berada di komunitas, organisasi, perkumpulan-perkumpulan, birokrasi, atau dimanapun itu kader PII mesti menjadi yang teratas, kader PII mesti menjadi leader. Nah ini realitas yang seharusnya menjadi potensi terbesar dalam mewujudkan cita besar PII. Kita harus aktif untuk bermimpi tentang PII esok hari dan masa depannya nanti, maka apa yang di upayakan hari ini merupakan sebuah kenyataan yang akan kita raih besok. Dan selian bermimpi kita akan beikhtiar untuk mewujudkan itu. Harapan terbesar adalah optimisme untuk menjadikan PII sebagai bagian dari solusi atas problematika kebangsaan hari ini, dan instruktur diasumsikan cukp mampu melihat obyektif potensi besar yang dimiliki PII untuk maju dengan segala semangat perubahan. Dan ingat Instruktur adalah sosok guru perdaban yang akan memulai perubahan itu.

Malang, 17 Mei 2008

*Ditulis sebagai wacana pra training, dan diberikan waktu sarasehan Instruktur PII Jawa Timur.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin