`

`

Selasa, 29 September 2009

BERTANGGUNG JAWAB ATAS PILIHANKU

Tulisan ini saya buat hanya untuk menghilangkan penat. Banyak hal yang saya pikirkan, apalagi saya sebagai anak pertama yang biasanya diserahi beban yang lebih dibandingkan adik-adiknya. Saat ini waktu saya hampir sebagian besar terforsir untuk berfikir tentang saya hari ini dan esok. Yah mungkin karena study saya yang belum kelar sehingga saya merasa seperti dipersimpangan jalan, dan kalaupun memilih sudah bisa dipastikan saya akan memilih maju karena perjalanan ini sudah cukup jauh. Namun masa ini sangat rentan, masa dimana saya banyak menemukan teman-teman yang mengalami disorientasi terhadap cita-citanya bahkan sampai berguguran. Fisiknya hidup tapi seperti tong kosong yang tak berarti. Ngeri tidak kawan? Bukankah karena eksistensi ini kita sampai rela mempertaruhkan semua untuk meraihnya.

Kalau boleh berbagi; ketika awal kuliah, saya begitu banyak bermimpi tentang diri dan masa depan saya nanti, selayaknya mahasiswa pada umumnya; ingin menjadi yang terbaik, aktivis, pintar, cerdas, dan religius. Ini seperti remote kontrol yang menggerakkan ambisi dan cita pribadi untuk menjadi yang terbaik di mana pun kaki berpijak.

Pada perjalanan ini saya kemudian mencoba untuk merasakan sesuatu yang bernama rahmat, ya tepatnya rahmat yang telah dilimpahkan dibeberapa tempat yang bernama organisasi, buku, dan berbagai informasi. Saya begitu ingin menjelajah. Bukan sebab saya terlahir sebagai anak petani dan nelayan, tetapi saya ingin mencari sesuatu yang mampu menjawab ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri. Mencari kepribadian,..!! ya mencari kepribadian.

Salah satu matakuliahnya ketika itu adalah skala prioritas. Bisa dibayangkan dari sekitar lima organisasi yang saya cicipi menuntut harus fokus, mengkader, dan all out. Belum ditambah dengan tugas kuliah yang menguras waktu, energi, dan pikiran. Ini pelajaran yang begitu berat, sampai saya harus menghadirkan Yusuf Qardhawi untuk berbicara tentang fiqh awlawiat. Cukup? Tentu belum karena kesenjangan antara teori dengan praktek begitu kuat. Satu jawaban pragmatisnya adalah menyerah dengan kenyataan. Kenyataan sebagai mahasiswa, kenyataan sebagai aktivis, kenyataan sebagai manusia yang secara manusiawi butuh apa. Namun ditengah kenyataan ini satu hal yang tidak pernah ditemukan jawabannya, yaitu waktu.

Untuk menyandang status sebagai aktivis semua direlakan, juga dikorbankan. Sampai-sampai tak pernah punya waktu kecuali untuk belahan jiwa, yeah..begitulah kita mengagungkan organisasi. Katanya aktivis tapi jarang silaturrahim, dari teman kelas sampai silaturrahim ke tetangga yang menjual deterjenpun tidak pernah atau mungkin jarang begitu..oia ke penjual deterjen bukan dalam rangka silturrahim sebenarnya tetapi membeli deterjen untuk cucian yang sudah menumpuk. Sampai pakaian jadi kayak Disk VCD yang ada Side A, B, dan mungkin C. Pemakluman muncul ketika ini diklaim sebagai fase adaptasi. Tetapi apapun ini tetap tidak seharusnya begitu.

Cerita semakin panjang ketika umur semakin tua wilayah garapan semakin luas. Semua dijejaki dari pelosok Jawa Timur sampai menghampiri ibukota negara. Waktu 24 jam tak cukup jika diurai untuk merampungkan semua agenda. Akhirnya tak ada waktu selain untuk beraktivitas. Semua tercapai, semua dirasakan, dari jadi anggota inti sampai ketua organisasi, tidak percuma dan tak pernah ada yang cuma-cuma. Sampai semua rampung dan dipertanggung jawabkan secara profesional

Siklus hidup selalu terjadi, setelah semua tidak menjabat dialog dalam diri muncul dan mempertanyakan semua yang telah dialami. Menpertanyakan esensi kesibukan dulu, implikasinya, dan hubungannya dengan waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk berorganisasi. Walaupun hanya sekedar dialog tetapi cukup membingungkan, terlebih orang-orang yang pernah melihat kita juga mempertanyakan, kok bisa begini? Ditengah kondisi seperti ini pertahanan yang baik adalah menyerang, maksudnya saya tak mungkin berdiam diri dan hanya mendengarkan celotehan seperti itu, saya harus menjawab, saya harus melawan, tetapi bukan ujuk-ujuk menyerang mereka tetapi menguatkan konsekwensi dari pilihan itu. Kita tidak hanya berani memilih tetapi harus berani bertanggung jawab terhadap pilihan itu. Realita yang menjadi hadapan sekarang bukanlah sulapan atau jebakan tetapi sesuatu yang telah dipilih secara sadar dan saat ini bukan cerita yang terpisah tetapi satu cerita yang belum usai dan harus diakhiri dengan happy ending. Dan satu hal lagi sebagai sebuah bukti bahwa semua ini bukanlah sesuatu yang terjadi dengan tiba-tiba adalah menyelesaikan bagian akhir cerita ini dengan teori yang pernah diramu dan dipraktekan dalam berbagai kesempatan yang telah lalu. Dan hanya ini uji coba terakhir tentang kualitas diri yang telah tertempa selama ini.

Selamat Berjuang..!!

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin