`

`

Minggu, 27 September 2009

INSTRUKTUR, SOSOK GURU PERADABAN

Val Rhamber '84

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia sejak 1945 merayakan kemerdekaannya, walaupun pasca itu Indonesia menghadapi kompleksitas persoalan yang kian waktu kian memperparah kondisinya. Pendidikan yang sebenarnya bisa jadi solusi pun mengalami disorientasi yang diindikasikan oleh dikotomisasi. Di tingkat yang lebih luas, sosio-politik semakin hari semakin memanas. Sejak perdebatan antara nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler yang terjadi di BPUPKI pun pasca itu menyisakan kekecewaan terhadap umat Islam, setelah dihapuskannya kesepakatn tetang dasar-dasar negara yang dimuat didalam piagam jakarta ataupun sila pertama Pancasila.

Pada tahun 1966 stabilitas politik semakin tidak terkondisikan, ditambah konflik antara pemerintah dan rakyat Indonesia yang diwakili oleh umat Islam yang semakin memanas. Konflik vertikal antara negara dan umat Islam membawa ketegangan tersendiri bagi rakyat Indonesia secara umum. Kondisi ini bertahan selama pemerintahan Orde Baru sampai ditumbangkan tahun 1998 diiringi lahirnya gerakan reformasi yang dipimpin oleh Amin Rais dan sejumlah mahasiswa Indonesia.

Tumbangnya orde baru menyisakan krisis bagi bangsa ini, krisis multidimensi yang tak kunjung usai. Dimulai dari krisis dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainya. Wajah perpolitikan bangsa ini telah banyak diwarnai oleh pertarungan berbagai kepentingan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, berbagai tindakan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam birokrasi pemerintahan. Perebutan kekuasaan telah menjadi salah satu bukti pertarungan kepentingan berbagai pihak dengan mengatasnamakan rakyat.

Sejak tahun 1997 krisis ekonomi telah melanda negeri ini, sejak saat itu pula rakyat telah merasakan penderitaan yang berkepanjangan, angka kemiskinan dari hari ke hari kian bertambah. Naiknya harga berbagai kebutuhan menambah penderitaan itu. Diantara akibatnya adalah perubahan cara berpikir masyarakat yang sebagian besar mereka adalah rakyat miskin dan berpendidikan rendah. Cara berpikir mereka begitu pragmatis, sebagian hanya berpikir bagaimana cara mereka untuk mendapat kan sesuap nasi untuk diri dan keluarga mereka, hingga kebutuhan pendidikan untuk anak-anak merekapun tidak mereka perhatikan. Apalagi memikirkan kondisi bangsa ini yang semakin hari permasalahan yang ada semakin parah. Angka pengangguran kian hari juga kian bertambah, dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik yang memutuskan hubungan kerja dengan para karyawannya karena tidak mampu lagi memberikan upah kepada mereka. Tak heran jika banyak diantara pengaangguran itu yang kemudian melakukan tindak kriminal untuk mencukupi kebutuhan mereka. Permasalahan ini akan semakin parah jika tidak segera disikapi.

Sepertinya kita telah menjadi buruh di negeri sendiri, tanah air kita yang sangat kaya raya ini seharusnya menjadikan bangsa ini bangsa yang makmur dan sejahtera, tetapi realitanya terbalik. Kekayaan alam yang apabila dikelola dengan baik akan mendatangkan kekayaan yang besar ini telah dikelola dan di eksploitasi oleh pihak asing, dan kita hanya menjadi penonton saja, karena SDM kita tidak mampu untuk mengelolanya.

Tujuh tahun reformasi, banyak perubahan yang sudah kita saksikan termasuk perubahan sistem yang ada di pemerintahan yang menjadi lebih akomodatif, tetapi semakin hari kondisi bangsa ini tak kunjung membaik, semakin hari kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin luntur. Kompleksitas persoalan yang terjadi di tubuh negara tercinta ini sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara merdeka sampai kini memberikan implikasi yang tak berpihak kepada pembangunan bangsa ini, lebih lagi terhadap perkembangan pola pikir, gaya bersikap, dan karakter tersendiri bagi masyarakat dan generasi bangsa Indonesia.

Rapuhnya kepribadian dan karakter khas rakyat Indonesia akhirnya menembus daya resistennya terhadap ancaman dari luar. Arus globalisasi mengambil peran tersendiri dalam memperparah kondisi bangsa ini. Budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada telah diadobsi tanpa saring oleh kalangan generasi muda. Modernisasi yang disalah pahami juga ikut melibas nilai-nilai yang ada. Bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang relijius kini mulai kehilangan jati diri. Kasus-kasus pornografi, pornoaksi, penyalahgunaan obat-obat terlarang, tindak kekerasan menjadi sajian setiap waktu di surat kabar ataupun media informasi yang lain. Pergaulan bebas dan free sex telah menjadi bagian dari gaya hidup remaja masakini. Kehadiran media tidak menjadi sebuah potensi kekuatan untuk berkembang tetapi menfasilitasi ruang-ruang yang lebih mempermudah masuknya budaya asing. Moralitas bangsa ini dicabik-cabik, parahnya kondisi ini juga memaksa anak bangsa ini untuk menjual moral bangsanya dengan harga yang begitu murah untuk kepentingan yang sesaat dan menghancurkan masa depan generasinya.

Pendidikan sebagai proses sistemik yang bisa digunakan untuk mewujudkan nilai-nilai trnsidental juga tidak luput dari krisis. Wajah pendidikan kita hari ini sedang memburam. Pendidikan kita saat ini menempati ranking yang mamprihatinkan. Pendidikan kita jauh tertinggal bila dibandingkan dengan pendidikan di negara-negara tetangga. Dana yang di alokasikan untuk pendidikan banyak diselewengkan kepada tempat yang tidak sesuai. Semakin hari pendidikan hanya bisa dirasakan oleh anak-anak konglomerat yang berduit, kesempatan mencicipi dunia pendidikan yang lebih tinggi bagi rakyat kecil hanya jadi mimpi disiang bolong. Lemahnya birokrasi menyebabkan sosialisasi kebijakan-kebijakan pendidikan tidak lancar, bahkan kadang tidak difahami oleh pelaku-pelaku pendidikan di tingkat bawah. Ini menandakan bahwa tidak meratanya mutu pendidikan di negara ini.

PII SEBAGAI DAPUR PERADABAN

PII sejak di dirikannya oleh Yoesdy Ghazali dan teman-temannya yang lain dan akhirnya setelah Kongres I Umat Islam diputuskan sebagai satu-satunya organisasi pelajar Islam,dan sampai hari ini pun tidak bisa dipisahkan dengan sejarah bangsa Indonesia.

Sejak memulai aksi-aksi pembinaan PII, pembinaan yang melakukan proses internalisasi nilai ketika itu memberikan implikasi yang signifikan terhadap perkembangan kader-kader PII.

Tidak sedikit sejarah yang dicetak oleh PII dalam mengantar bangsa indonesia bisa seperti hari ini. Diantaranya tahun 1950an PII memboyong masyarakat untuk membuat gerakan sparatisme sebagai ekspresi dari ketidak puasan terhadap kepemimpinan Soekarno, tahun 1965 peruntuhan PKI, tahun 1966 yang dikenal dengan angkatan 66 Husein Umar dengan massa pelajar dan mahasiswa memimpin gerakan dalam menolak keputusan untuk membubarkan HMI, tahun 1998 juga terlibat dalam menumbangkan orde baru, dan peristiwa lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Tapi yang ingin dikatakan bahwa ekspresi ini adalah sebuah implikasi dari produk yang diciptakan oleh PII dengan model trainingnya dan implikasi proses tansformasi nilai-nilai idealitas PII.

Nilai-nilai ke-Islaman begitu kental terinternalisasi pada pribadi kader-kader PII ketika itu, tergambar dari setiap sikap dan penolakan yang dilakukannya, bacaan-bacaan kader PII dibeberapa Pengurus Wilayah di Indonesia adalah karya tokoh-tokoh yang dikenal fundamentalis.

Seiring dengan waktu, informasi dan tekhnologi yang kian hari semakin merambah seluruh aspek, satu sisi memberikan dampak positif dan sisi yang lain membawa dampak negatif termasuk terhadap pelajar yang menjadi obyek garap PII. Karena pelajar yang jadi garapan PII kemudian ikut andil dalam setiap proses perjalanan PII kemudian terjadi akulturasi budaya majemuk, kebiasaan, gaya hidup, dan lain-lain yang bisa jadi pada titik tertentu kemudian mengadobsi budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa oleh organisasi, karena PII mencoba moderat dan mentolerir kondisi yang ada dengan alasan pluralis sehingga kemudian menjadi sebuah kultur dan pada akhirnya nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi kemudian diserahkan ke pribadi masing-masing. Ini akhirnya membudaya dan bertahan lama kemudian menjadi satu kultur yang alih-alih dibahasakan sebagai kearifan lokal.

PII adalah bagian dari mata rantai perjuangan umat Islam, yang setiap sikap dan ekspresi perjuangan PII tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan umat Islam. Ruh perjuangan yang dibangun memberikan warna khusus terhadap pola gerakan PII, semangat, militansi, pengorbanan, dan lainya mengantarkan PII masih bertahan sampai detik ini, berjuang di ranah pendidikan dan kebudayaan.

Tahun 1996, melalui system kaderisasinya PII mengusung isu peradaban yang mana gerakan Islam ketika itu belum menyentuhnya sama sekali. Itu menjadi ruh pergerakan PII. Kasuistik tahun-tahun 1998an di PII budaya oraganisasi begitu kuat dengan tradisi keilmuan, nuansa ke-Islaman, budaya Ilmiah, yang dibangun dan memberikan implikasi pada produktifitas dakwah PII. Bayangkan nuansa struktur itu begitu kental dengan nuansa peradaban yang mau dibangun. Berbeda dengan kondisi hari ini, PII lebih pantas mendapatkan pertanyaan tentang eksistensinya dan lahan dakwahnya.

Tidak banyak pelajar yang familiar dengan nama PII, tidak begitu ketika tahun 1980an yang performa PII begitu mengakar dalam benak umat dan rakyat Indonesia. Apa asal muasal yang menyebabkan kondisinya demikian, kajian kausalitas akan mampu memetakan akar persoalan ini, apa gerangan yang harus dilakukan oleh kader PII dalam menjawab problematika ini selanjutnya. Tapi memang peradaban-peradaban Islam yang telah dibangun dahulu kemudian runtuh adalah sebab problem Ilmu. Hari ini jika kita lihat secara umum ditubuh umat Islam terkait problem ilmu yang berarti juga problem pendidikan maka akibat langsungnya adalah rendahnya kualitas pemimpin dan kondisi politik umat Islam yang akhirnya juga kembali lagi berdampak kepada proses pengembangan ilmu pengetahuan di masyarakat. Terlepas dari mana kita mencari sebab sebab utama kelemahan ummat, tapi yang jelas situasi yang tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu telah mengakibatkan lemahnya penguasaan ummat Islam terhadap konsep-konsep sentral dan fundamental yang digali dari dalam ajaran dan pandangan hidup Islam.

Selain jawaban dari kondisi internal ummat Islam, terdapat pula bukti-bukti adanya faktor eksternal yang menjadi penyebab kelemahan ummat. Misalnya saja sebab non-fisik yang mempengaruhi pemikiran ummat Islam. Sebab-sebab itu tidak lain dari pemikiran Barat yang merasuk kedalam dan merusak pemikiran ummat Islam melalui berbagai bentuk dan medium. Dalam bidang pendidikan, misalnya, konsep pendidikan sekuler yang dibawa bersama dengan proses penjajahan membawa serta penyebaran prinsip-prinsip ilmu, filsafat dan pandangan hidup Barat; tradisi-tradisi kebudayaan sekuler disebarkan melalui medium hiburan, nilai-nilai postmodernisme dengan konsep liberalismenya dibawa bersama dengan konsep pasar bebas, dan teknologi informasi.

Kondisi ini bisa saja berpengaruh terhadap PII sebagai miniature peradaban bahwa hilangnya tradisi ilmu, budaya ilmiah, nuansa-nuansa ke-Islaman adalah penyebab kemunduran kualitas kader PII. Kita bisa melihat kondisi PII secara nasional saat ini sedang mengalami degradasi intelektual, ruhiyah, kepemimpinan, dan lainnya.

PII sebagai “dapur kader” tentunya memang harus merefleksikan kondisi saat ini untuk kemudian memulai dari mana dalam menjawab problematika yang ada. PII juga bertanggung jawab terhadap kualitas pelajar yang akan berpengaruh terhadap input kader PII. Tapi walapun secara input sedikit sulitan karena kuantitas pelajar yng sangat banyak dan dengan ketrebatasan yang ada PII tidak mampu menjawab itu, seharusnya ada logika proses yang bisa dimainkan. Godokan dalam proses pembinaan yang akan mengantarkan kader pada kualitas bisa di andalkan.

Nah, semakin di ungkap problematika kader PII hari ini akan semakin banyak; pelajar sebagai obyek garap PII yang butuh jawaban dari hadapan relitasnya saat ini, pembinaan kader, struktur oraganisasi yang sedikit banyak adalah implikasi dari pengelolaan kader pasca binaan, Instruktur yang menempati posisi poros sebagaimana training sebagai jalur utama kaderisasi kadang-kadang tidak mendapatkan sokongan intelektual sebagai sebuah kebutuhan mereka.

INSTRUKTUR SEBAGAI JAWABAN

Ditengah kegoncangan eksistensi PII yang ditandai dengan problematika yang beranekaragam tidak mungkin menyerahkannya kepada pelajar yang menjadi obyek dakwahnya, juga kurang ada jaminan mutu penyelesaian ketika menyerahkannya ketingkat struktur organisasi karena benturan kebijakan dan realitas dilapangan kadang-kadang membawanya pada kekerdilan dalam memandang realitas sehingga lebih banyak waktu untuk untuk mengidentifikasi persoalan dari pada merealisasikan solusi konstruktif yang telah diformulasikan. Satu-satunya jawaban adalah memulainya dari level yang paling atas dari jenjang kualifikasi kader di PII dengan asumsi bahwa mereka sebagai poros kaderisasi.

Instruktur adalah jenjang kualifikasi kader yang dikonstruk oleh model pembinaan yang sistemik. Pada tingkatan inilah seorang kader mampu melihat kronologis alur kaderisasi maupun filosofi yang termaktub di dalamnya serta nilai-nilai yang dianut di dalamnya.

Pada tingkatan ini seorang kader bisa milihat konprehensifitas kaderisasi PII yang telah di konstruk. Dari pembinaan tunas sampai kepada misi Izzul Islam wal muslimin. Dari latar belakang kemnculannya, konsepsi yang mendasari, orientasi pembinaan, modul-modul, tujuan, maupun target akan menjadi bahan konsumsi instruktur, dan pada saat tertentu mereka bebas memandang system kaderisasi dari sesuatu yang tidak di teks kan di dalamnya.

Ini potensi besar yang dimiliki PII untuk menjawab segala problematika hari ini. Dan butuh melihat obyektif terhadap kekurangan-kekurangnya, makanya harus kembali bahwa seorang instruktur adalah soko guru peradaban, yang lewat mereka misi transformasi lebih utuh di salurkan, dan karakter khas yang dibangun yang kemudian memberi warna khusus terhadap pembinaan PII. Ini adalah jawaban terhadap problematika hari ini bahwa instruktur harus menjadi sesosok “guru” yang sebagaimana dimiliki oleh Rasulullah. Ada beberapa ntara lain:

1. Memiliki sifat rabbani,

Artinya seorang Instruktur harus mengaitkan dirinya kepada Tuhan melalui ketaatan pada syariatnya. Ketika ini menjadi karakter karakter maka ruh yang dibawa oleh PII adalah yang mendekatkan diri mereka kepada Allah sebagai pencipta. Seperti apapun model personal kader dan bangunan kader yang dibentuk tetapi ketika ruh dan karakter instruktur yang dibangun adalah sesuai dengan konsep rabbaniyah maka itu akan menjadi “doktrin”khusus bagi kader yang akan dibentuk. Dan konsep rabbaniah yang dipahami pun menjadi satu karakter yang melekat dalam dirinya ketika distruktur.

2. Menyempurnakan Sifat Rabbaniyahnya

Ketika karakter Rabbaniyah sudah ada tinggal kemudian seorang Instruktur menyempurnakannya dengan keikhlasan, artinya aktivitas pengelolaan training yang dilakukan tidak hanya untuk sekedar menambah wawasan, menambah kuantitas kader, atau sekedar menggugurkan kewajiban sebagai instruktur melainkan lebih dari itu harus ditujukan untuk meraih keridaan Allah SWT. serta mewujudkan kebenaran. Sehingga ini menjadi kekuatan pergerakan yang selalu mengakar. Hal-hal ini yang mulai agak meredup dikalangan instruktur, bahwa pembersihan niat dalam membangun peradaban di PII atau pembinaannya harus dengan orientasi yang jelas dan kembali kepada keikhlasan kepada Allah. Ketika aktivitas training, berstruktur, pembinaan, dan tugas-tugas organisasi dilakukannya atas dasar keikhlasan kepada Allah.

3. Kesabaran dalam segala hal

Heterogenitas kader PII baik dari segi usia, latar belakang pendidikan, karakter, konsep diri maupun intelektualitas dan tingkat penerapan ilmu yang berbeda-beda maka kesabaran itu menjadi satu krakter yang harus dibangun oleh Instruktur. Sehingga ini melekat dan terekspresikan dalam setiap sikapnya dimana-mana.

4. Konsistensi

artinya yang diajarkan harus sesuai dengan yang dilakukan. Ini satu karakter yang benar-benar juga harus mangakar dalam diri instruktur. Karena terkadang beberapa fenomena keinstukrukturan masih belum memahami bahwa setiap apa yang kemudian disampaikan dihadapan peserta adalah sebuah kekuatan yang jika memiliki ruh akan terinternalisasi dalam diri tiap kader. Sehingga jangan-jangan inskonsistensi kader itu muncul karena pembelajaran dari instruktur yang tidak konsisten. Makanya karakter konsistensi ini harus ada pada diri instruktur.

5. Berpengetahuan luas

Bergerak lokal dan berpikir global. Ini bisa jadi satu jargon dalam poin ini bahwa seorang Instruktur bergerak ditingkatan lokalitas PII tetapi mereka memiliki wawasan yang sangat luas sebagai bekal dakwah mereka. Bisa dibayangkan ketika seorang Instruktur yang bertugas melakukan pembinaan dan menkonstruk jati diri kader tidak punya landasan ilmu yang luas dan bisa dipertanggung jawabkan. Ketika instrukturya memiliki kapabilitas maka obyek dakwahnya pun akan memiliki kapabilitas tinggi.

6. Bersikap tegas dan meletakan sesuatu sesuai dengan proporsinya.

Instruktur itu adalah bentukan system kaderisasi yang ada dititik puncak alur proses kaderisasi. Asumsinya seorang instruktur adalah ekspresi dari konsepsi tadib, dia yang sudah memelajari tadib baik konsepsinya maupun pelaksanaannya, maka demikian dia diasumsikan sebagai kader yang sudah matang.

Dalam hal ini seorang instruktur harus dewasa baik dari segi pemikiran maupun tingkah lakunya sehingga dia bisa menempatkan sesuatu dengan proporsinya, dia mengukur masalah secara obyektif. Dan keberpihakannya dalam memutuskan masalah secara jelas dan bijaksana.

7. Memahami orang lain,

Seorang Instruktur adalah sosok manusia yang tidak hanya berinteraksi di tingkat internal organaisasi tetapi juga makhluk sosial yang akan melakukan interaksi sosial ditengah masyarakat yang heterogen. Dia akan melakukan transformasi sosial, dia akan berhadapan dengan karakter manusia yang berbeda-beda. Dengan ini kemudian seorang instruktur harus memahami orang lain. Ini tidak hanya keahlian tetapi harus menjadi karakter seorang instruktur dan butuh latihan memang untuk menjadikannya sebgai sebuah karakter.

8. Kepekaan

Salah satu potensi yang tidak bisa diabaikan adalah kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan terhadap fenomena kehidupan. Ketika dakwah yang dilakukan PII adalah untuk diriya dan umat maka, maka seorang instruktur harus memiliki kepekaan terhadap perubahan dan kejadian yang mestinya disikapi oleh dia sebagai bagian dari misi yang dibawa. Dan tidak hanya itu bahwa kepekaan untuk memahami saudaranya dan memhami obyek dakwah yang mesti digarap.

9. Bersikap adil

Memiliki karakter untuk berbuat adil tidak mudah. Mesti belajar dan latihan yang akhirnya menjadikannya sebagai sesuatu yang mengakar menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi sebuah karakter. Apalagi seorang instruktur yang harus bersikap adil terhadap siapapun termasuk kepada obyek binaan PII.

Sembilan karakter di atas yang mestinya dimiliki oleh Instruktu PII sebagai jawaban terhadap realitasnya yang semakin hari jauh dari harapan. Ditengah kondisi hari ini karakter di atas harus mengakar dan terjiwai dalam setiap sikap dan tingkah laku instruktur sehingga ini akan menjadi satu kekuatan dalam melakukan proses pembinaan dan dakwahnya.

DAFTAR PUSTAKA

Khalid, N.A.1994.Tarbiyah Rasulullah,GIP:Jakarta

Thaba, A. A.1996.Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru.GIP: Jakarta

Ta’dib Sistem Kaderisasi PII

Http://fai.uhamka.ac.id

*Tulisan ini dibuat sebagai prasyarat untuk mengikuti pendidikan Instruktur Lanjut Nasional (PILNAS) Pelajar Islam Indonesia (PII) dari tanggal 16 s.d 20 Maret 2008 di Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin