Menulis adalah kebiasaan yang sudah cukup lama saya geluti. Dari memiliki diary ala anak remaja sampai punya blog
pribadi. Dari tulisan yang saya sangat malu jika dibaca orang lain karena isi
dan sistematika menulisnya yang tidak karuan, sampai merasa layak tulisan saya
dibaca orang banyak karena kualitasnya. Bahkan beberapa kali tulisan saya dimuat
di rubric opini salah surat kabar di NTB. Ini napak tilas menulis yang sungguh
progresif karena semakin hari eksistensi menulis saya mulai mendapat tempat di
percaturan karya menulis tingkat lokal sampai layak dibaca oleh orang lain
dimana-mana karena saya ekspos di media online.
Tetapi satu hal yang membuat saya
mesti bertanya. Pertanyaan yang kemudian menuntut satu progres yang lebih nyata
kepada setiap orang yang hobi menulis. Kapan tulisan-tulisan itu menjadi
buku?Kapan dia menjadi satu kumpulan ide yang layak terbit menjadi sebuah buku
yang kemudian bisa berada di tangan manusia yang ada diseluruh pelosok negeri.
Menulis di media online pasti punya batas pembaca, hanya mereka yang melek
tekhnologi saja yang bisa menikmati sekumpulan ide dari tulisan saya. Tetapi
jika dia berhasil dicetak menjadi sebuah buku pasti orang-orang tua, remaja dan
pemuda, bahkan pelajar yang membutuhkan inspirasi bisa menenteng buku karya
saya kemana saja. Tidak hanya mereka yang melek tekhnologi tetapi mereka anak
remaja dan pelajar yang setiap pulang sekolah mengisi waktunya dengan bertani,
bisa membawa buku karya saya ke tempat-tempat itu untuk mengisi waktu mereka.
Dan pada saat itulah saya bisa masuk ke dalam pikiran mereka untuk memberi
inspirasi, motivasi, dan semangat, bahwa orang-orang yang mampu hidup adalah
bukan mereka yang punya duit banyak tetapi mereka yang punya mimpi.
Saya ingat betul bahwa tulisan yang
memuat tanya seperti ini sering saya tulis. Tulisan seperti ini lahir karena
beberapa sebab; pertama saya membaca
satu buku yang judul dan covernya bagus tetapi gaya menulisnya sederhana,
artinya saya yakin saya mampu juga jika menulis dengan gaya yang sama. Kedua, semakin hari semakin banyak
kawan lama yang mempublikasikan buku tulisannya sendiri di media sosial, dan
saya kalah start. Ketiga, setiap
awal tahun seperti ini sering kali keinginan besar membukukan tulisan tentang
perjalanan hidup sendiri mengganggu saya, kenapa belum ada hasil dari belajar
nulis selama ini? Apa yang mesti dilakukan? Tiga hal itu selalu menggagu
ketenangan saya. Sejak awal memang saya memasang standar sukses salah satunya
adalah mempunyai karya menulis yang dibukukan. Rupanya target itu sangat
melekat bersama hari-hari saya sehingga hal-hal kecil yang ada kaitannya dengan
hasil karya menulis selalu saja mengarahkan pikiran saya kepada keterbatasan
saya melahirkan karya itu sampai detik ini.
Saya harus mengidentifikasi hal-hal
yang menghambat saya untuk menulis serius tentang satu tema yang layak masuk ke
dapur penerbitan. Karena ibarat tobat sambal, diawal tahun seperti ini, target
pertama yang selalu saya tulis adalah target menulis, berikut target susulan
yang mendukung target itu. Tetapi kendala terbesarnya adalah mood. Visi yang
belum mampu menaklukkan pertimbangan perasaan adalah selalu saja membuat
ketegasan dan kedisplinan itu tumpul. Dan kemudian akhir tahun hanya memetik
buah kekecawaan atas waktu yang tidak pernah termanfaatkan dengan baik untuk
menulis.
Ada beberapa hal yang menghambat sampai
hari ini, yaitu:
1.
Visi
menjadi penulis yang lemah.
Cara dan praktek hidup itu dilihat
dari visi apa yang dibangun. Kalau hidup orang itu berantakan padahal secara ekonomi dan
keilmuan sangat mumpuni maka yang salah pasti bangunan visinya. Begitu juga
dengan visi menulis ini. Visi yang kuat adalah visi yang mampu dijiwai dalam
diri dan tindak tanduk kehidupan. Visi menulis saya jelas, tetapi belum
terjiwai sepenuhnya dalam kehidupan saya. Dari proses panjang belajar menulis
sampai hari ini saya mampu melahirkan banyak tulisan yang menurut beberapa
teman-teman yang membaca cukup memberi inspirasi. Tetapi ternyata itu tidak
cukup, melihat jumlah tulisan yang ada di rumah menulis saya
(novalpalandi.blogspot.com) setiap satu bulan saya hanya mampu membuat
rata-rata 5 tulisan. Artinya 1 tulisan untuk 6 hari. Kemudian setiap saya
menemukan ide untuk menulis, pada awalnya semangat, tetapi seringkali kandas
karena masih ada perasaan tidak penting untuk menuliskan ide itu. Padahal bisa
jadi ide itu penting bagi orang lain yang membacanya.
2.
Turunan
visi yang tidak turut membantu visi.
Berikutnya adalah visi kuat tetapi
turunannya lemah. Seharusnya jika visi ini kuat saya kira semua perangkatnya
harus saya siapkan; bolpoint dan kertas khusus menuliskan ide. Sehingga ketika
muncul ide tentang sesuatu yang menarik untuk ditulis bolpoint dan kertas
bermanfaat sekali untuk menuliskan point pentingnya, sehingga tidak hilang
begitu saja karena lupa. Kemudian buku-buku atau artikel yang memotivasi untuk
menulis harus sering dibaca untuk meningkatkan kemampuan menulis dan trik-trik
baru yang membantu. Selanjutnya juga intensitas membaca sangat membantu
meningkatkan jumlah kosa kata sehingga tulisannya tidak monoton. Hal-hal ini
tidak konsisten dilakukan, sehingga semakin membuat jarak yang jauh dengan pencapaian
visi.
3.
Strategi
meraih visi ada, tetapi tidak istiqomah.
Saya tidak jarang menuliskan beberapa
target dan strategi menulis. Misalnya saja satu hari satu tulisan. Atau satu
minggu satu buku yang dibaca. Tetapi saya tidak konsisten melaukannya. Sehingga
lupa dengan target-target itu.
4.
Gagal
fokus
Selanjutnya adalah menunda-nunda.
Salah satu kelemahan saya dalam menulis adalah gagal fokus. Laptop sudah siap,
ide sudah ada. Tetapi karena tidak fokus akhirnya ide kabur. Ada juga yang
berhenti pada judul, ada pula yang berhenti pada paragraf pertama. Setelah
semua ditunda karena berharap diwaktu yang lain bisa kembali fokus ternyata
diwaktu itu justru sudah ada ide baru yang lebih hangat untuk ditulis.
Empat hal ini yang secara umum
merupakan penghambat karya menulis saya. Tentu hanya orang-orang yang merugi
yang hari ini sama dengan hari kemarin. Untuk menjawab itu semua tentu harus
ada komitmen yang lahir secara sadar dalam diri.
1.
Memperbarui
visi
Mengevaluasi implementasi visi setelah
setahun adalah hal yang tepat dilakukan. Kemudian hasil evaluasi itu
rekomendasinya adalah mengganti visi ataukah memperbarui. Mengganti visi karena
visi sebelumnya dianggap tidak relevan dengan kondisi hari ini. Tetapi jika
visi dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian dengan adanya
penyesuaian-penyesuaian setelah melihat perjalanan selama setahun yang harus
dilakukan adalah memperbarui. Atau menambal sulam. Ini yang saya harus lakukan
kedepan sehingga visi ini benar-benar menjadi ruh dalam menulis.
2.
Strategi
meraih visi harus lebih praktis
Tidak hanya itu, strategi meraih visi
harus lebih sederhana sehingga mudah untuk dilakukan. Harus dibuat bertahap
sehingga terbiasa melakukannya.
3.
Meningkatkan
kapasitas
Dan terakhir adalah saya harus
meningkatkan kapasitas menulis dengan banyak membaca dan banyak melatih diri
mengartikulasi ide-ide. Perlu meningkatkan intesitas membaca, sehingga
memperkaya kosa kata dan memperkaya gaya mengungkap satu model ide dengan
caranya masing-masing. Sehingga tahun 2015 menjadi tahun momentum mengakhiri
paceklik menulis.
Semua hambatan sudah coba
diidentifikasi. Tidak ada lagi karya yang tersumbat karena krannya telah
dibuka. Solusinya kemudian tinggal dibuat dalam program harian, mingguan, dan
bulanan. Dengan ini kemudian pertanyaan “kapan karyaku jadi buku?” mendapatkan
jawaban nyata pada tahun 2015 ini. Semoga niat tulus saya memberi inspirasi
keseluruh pelosok negeri mendapatan ridho dan rahmat dari Allah, serta
diberikan kemudahan-kemudahan dalam meraihnya. Amin
its great.....
BalasHapus