Selasa, 06 Januari 2015
KAPAN KARYAKU JADI BUKU?
Menulis adalah kebiasaan yang sudah cukup lama saya geluti. Dari memiliki diary ala anak remaja sampai punya blog
pribadi. Dari tulisan yang saya sangat malu jika dibaca orang lain karena isi
dan sistematika menulisnya yang tidak karuan, sampai merasa layak tulisan saya
dibaca orang banyak karena kualitasnya. Bahkan beberapa kali tulisan saya dimuat
di rubric opini salah surat kabar di NTB. Ini napak tilas menulis yang sungguh
progresif karena semakin hari eksistensi menulis saya mulai mendapat tempat di
percaturan karya menulis tingkat lokal sampai layak dibaca oleh orang lain
dimana-mana karena saya ekspos di media online.
Tetapi satu hal yang membuat saya
mesti bertanya. Pertanyaan yang kemudian menuntut satu progres yang lebih nyata
kepada setiap orang yang hobi menulis. Kapan tulisan-tulisan itu menjadi
buku?Kapan dia menjadi satu kumpulan ide yang layak terbit menjadi sebuah buku
yang kemudian bisa berada di tangan manusia yang ada diseluruh pelosok negeri.
Menulis di media online pasti punya batas pembaca, hanya mereka yang melek
tekhnologi saja yang bisa menikmati sekumpulan ide dari tulisan saya. Tetapi
jika dia berhasil dicetak menjadi sebuah buku pasti orang-orang tua, remaja dan
pemuda, bahkan pelajar yang membutuhkan inspirasi bisa menenteng buku karya
saya kemana saja. Tidak hanya mereka yang melek tekhnologi tetapi mereka anak
remaja dan pelajar yang setiap pulang sekolah mengisi waktunya dengan bertani,
bisa membawa buku karya saya ke tempat-tempat itu untuk mengisi waktu mereka.
Dan pada saat itulah saya bisa masuk ke dalam pikiran mereka untuk memberi
inspirasi, motivasi, dan semangat, bahwa orang-orang yang mampu hidup adalah
bukan mereka yang punya duit banyak tetapi mereka yang punya mimpi.
Saya ingat betul bahwa tulisan yang
memuat tanya seperti ini sering saya tulis. Tulisan seperti ini lahir karena
beberapa sebab; pertama saya membaca
satu buku yang judul dan covernya bagus tetapi gaya menulisnya sederhana,
artinya saya yakin saya mampu juga jika menulis dengan gaya yang sama. Kedua, semakin hari semakin banyak
kawan lama yang mempublikasikan buku tulisannya sendiri di media sosial, dan
saya kalah start. Ketiga, setiap
awal tahun seperti ini sering kali keinginan besar membukukan tulisan tentang
perjalanan hidup sendiri mengganggu saya, kenapa belum ada hasil dari belajar
nulis selama ini? Apa yang mesti dilakukan? Tiga hal itu selalu menggagu
ketenangan saya. Sejak awal memang saya memasang standar sukses salah satunya
adalah mempunyai karya menulis yang dibukukan. Rupanya target itu sangat
melekat bersama hari-hari saya sehingga hal-hal kecil yang ada kaitannya dengan
hasil karya menulis selalu saja mengarahkan pikiran saya kepada keterbatasan
saya melahirkan karya itu sampai detik ini.
Saya harus mengidentifikasi hal-hal
yang menghambat saya untuk menulis serius tentang satu tema yang layak masuk ke
dapur penerbitan. Karena ibarat tobat sambal, diawal tahun seperti ini, target
pertama yang selalu saya tulis adalah target menulis, berikut target susulan
yang mendukung target itu. Tetapi kendala terbesarnya adalah mood. Visi yang
belum mampu menaklukkan pertimbangan perasaan adalah selalu saja membuat
ketegasan dan kedisplinan itu tumpul. Dan kemudian akhir tahun hanya memetik
buah kekecawaan atas waktu yang tidak pernah termanfaatkan dengan baik untuk
menulis.
Ada beberapa hal yang menghambat sampai
hari ini, yaitu:
1.
Visi
menjadi penulis yang lemah.
Cara dan praktek hidup itu dilihat
dari visi apa yang dibangun. Kalau hidup orang itu berantakan padahal secara ekonomi dan
keilmuan sangat mumpuni maka yang salah pasti bangunan visinya. Begitu juga
dengan visi menulis ini. Visi yang kuat adalah visi yang mampu dijiwai dalam
diri dan tindak tanduk kehidupan. Visi menulis saya jelas, tetapi belum
terjiwai sepenuhnya dalam kehidupan saya. Dari proses panjang belajar menulis
sampai hari ini saya mampu melahirkan banyak tulisan yang menurut beberapa
teman-teman yang membaca cukup memberi inspirasi. Tetapi ternyata itu tidak
cukup, melihat jumlah tulisan yang ada di rumah menulis saya
(novalpalandi.blogspot.com) setiap satu bulan saya hanya mampu membuat
rata-rata 5 tulisan. Artinya 1 tulisan untuk 6 hari. Kemudian setiap saya
menemukan ide untuk menulis, pada awalnya semangat, tetapi seringkali kandas
karena masih ada perasaan tidak penting untuk menuliskan ide itu. Padahal bisa
jadi ide itu penting bagi orang lain yang membacanya.
2.
Turunan
visi yang tidak turut membantu visi.
Berikutnya adalah visi kuat tetapi
turunannya lemah. Seharusnya jika visi ini kuat saya kira semua perangkatnya
harus saya siapkan; bolpoint dan kertas khusus menuliskan ide. Sehingga ketika
muncul ide tentang sesuatu yang menarik untuk ditulis bolpoint dan kertas
bermanfaat sekali untuk menuliskan point pentingnya, sehingga tidak hilang
begitu saja karena lupa. Kemudian buku-buku atau artikel yang memotivasi untuk
menulis harus sering dibaca untuk meningkatkan kemampuan menulis dan trik-trik
baru yang membantu. Selanjutnya juga intensitas membaca sangat membantu
meningkatkan jumlah kosa kata sehingga tulisannya tidak monoton. Hal-hal ini
tidak konsisten dilakukan, sehingga semakin membuat jarak yang jauh dengan pencapaian
visi.
3.
Strategi
meraih visi ada, tetapi tidak istiqomah.
Saya tidak jarang menuliskan beberapa
target dan strategi menulis. Misalnya saja satu hari satu tulisan. Atau satu
minggu satu buku yang dibaca. Tetapi saya tidak konsisten melaukannya. Sehingga
lupa dengan target-target itu.
4.
Gagal
fokus
Selanjutnya adalah menunda-nunda.
Salah satu kelemahan saya dalam menulis adalah gagal fokus. Laptop sudah siap,
ide sudah ada. Tetapi karena tidak fokus akhirnya ide kabur. Ada juga yang
berhenti pada judul, ada pula yang berhenti pada paragraf pertama. Setelah
semua ditunda karena berharap diwaktu yang lain bisa kembali fokus ternyata
diwaktu itu justru sudah ada ide baru yang lebih hangat untuk ditulis.
Empat hal ini yang secara umum
merupakan penghambat karya menulis saya. Tentu hanya orang-orang yang merugi
yang hari ini sama dengan hari kemarin. Untuk menjawab itu semua tentu harus
ada komitmen yang lahir secara sadar dalam diri.
1.
Memperbarui
visi
Mengevaluasi implementasi visi setelah
setahun adalah hal yang tepat dilakukan. Kemudian hasil evaluasi itu
rekomendasinya adalah mengganti visi ataukah memperbarui. Mengganti visi karena
visi sebelumnya dianggap tidak relevan dengan kondisi hari ini. Tetapi jika
visi dianggap masih relevan dengan kondisi kekinian dengan adanya
penyesuaian-penyesuaian setelah melihat perjalanan selama setahun yang harus
dilakukan adalah memperbarui. Atau menambal sulam. Ini yang saya harus lakukan
kedepan sehingga visi ini benar-benar menjadi ruh dalam menulis.
2.
Strategi
meraih visi harus lebih praktis
Tidak hanya itu, strategi meraih visi
harus lebih sederhana sehingga mudah untuk dilakukan. Harus dibuat bertahap
sehingga terbiasa melakukannya.
3.
Meningkatkan
kapasitas
Dan terakhir adalah saya harus
meningkatkan kapasitas menulis dengan banyak membaca dan banyak melatih diri
mengartikulasi ide-ide. Perlu meningkatkan intesitas membaca, sehingga
memperkaya kosa kata dan memperkaya gaya mengungkap satu model ide dengan
caranya masing-masing. Sehingga tahun 2015 menjadi tahun momentum mengakhiri
paceklik menulis.
Semua hambatan sudah coba
diidentifikasi. Tidak ada lagi karya yang tersumbat karena krannya telah
dibuka. Solusinya kemudian tinggal dibuat dalam program harian, mingguan, dan
bulanan. Dengan ini kemudian pertanyaan “kapan karyaku jadi buku?” mendapatkan
jawaban nyata pada tahun 2015 ini. Semoga niat tulus saya memberi inspirasi
keseluruh pelosok negeri mendapatan ridho dan rahmat dari Allah, serta
diberikan kemudahan-kemudahan dalam meraihnya. Amin
Sabtu, 03 Januari 2015
TAHUN BARU, BUKAN SEKEDAR MENIUP TEROMPET..
Tahun baru, tidak ada yang istimewa dari sekedar tahun baru. Siklus pergantian tahun yang meriah sisi luarnya namun keropos. Tanpa ruh. Tak lebih dari sekedar gegap gempita malam yang penuh dengan kemeriahan tanpa makna.
Tahun baru lahir sebagai tawaran ekspresi kebahagiaan yang lemah pesan moralitasnya. Berbeda ketika kita menghadirkan nuansa momentum besar Islam, kemeriahan dan keramaian yang ada memberi sentuhan jiwa. Ada kesenangan bathin yang diikuti oleh ekspresi merayakannya.
Tetapi jauh dari itu, tahun baru bisa dijadikan sebagai penanda sebuah cita-cita. Detik pertama di tahun baru bisa dijadikan sebagai lonceng star dimulainya setiap harapan dan mimpi yang kita tulis dan ingin kita raih ditahun itu.
Pada perjalanan kita sendiri misalnya, sebuah mimpi pribadi yang kita buat lebih sederhana dihadirkan dalam tanggalan masehi yang umum. Keumuman itu yang membuat kita merasa semakin kuat untuk berpacu karena banyak orang yang berdiri digaris star untuk berlomba bersama kita meraih mimpi-mimpi.
Kita mesti menemukan satu nilai yang bisa kita petik diantara suara terompet dimalam tahun baru. Sehingga tahun baru bisa menjadi momentum setiap kita untuk menghadirkan wajah baru. Wajah baru yang dibalut dengan harapan baru dan komitmen yang sudah dibarukan, atau cita-cita dan harapan lama yang sampai hari ini susah kita raih sehingga kemudian kita perlu menghadirkan "azzam" yang lebih kuat untuk meraihnya, dan strategi yang lebih luar biasa sehingga mampu kita genggam pada akhirnya.
Pada sapaan pertama matahari pagi diawal tahun baru semestinya setiap orang telah mengantongi buku baru yang berisi mimpi dan cita-citanya, sehingga ekspresi menjalani hari-hari jauh lebih produktif, jauh lebih disiplin, mengutamakan hari-hari dengan karya dari pada bermalas-malasan. Sehingga diakhir tahun, setiap orang bukan sibuk mencari terompet untuk tahun baru berikutnya tetapi sibuk membuka kembali dan mengevaluasi sejauh mana capain mimpi dan cita-citanya selama setahun itu. Sudah sejauh mana peta jalan yang dilewatinya dalam meraih mimpi dan cita-cita itu. Dan pada akhirnya lahirlah catatan-catatan dan sejumlah rekomendasi tentang pilihan cara dan strategi seperti apa yang akan dilakoni pada tahun berikutnya.
Jika tahun baru bisa kita lihat dengan cara pandang seperti ini, maka ekspresi menyambutnya pula akan menjadi berbeda dan bervariasi. Tidak hanya sekedar meniupkan terompet disudut-sudut kota dan berpawai ria. Tetapi lebih beragam, mungkin ada yang mengadakan syukuran karena sejumlah keinginannya tercapai diakhir tahun, mungkin ada yang berolahraga futsal dengan kerabat jauh sehingga menjadi ajang silaturrahim, atau ada yang mendaki gunung dengan ketinggian tertentu dalam rangka bertafakur kepada Allah SWT.
Hidup kita mesti kita tata dan kita rangkai dalam bingkai yang jelas. Dalam rencana-rencana yang terukur. Tidak boleh ada satu pilihanpun dalam menjalankan hidup yang diluar rencana, apalagi tiba masa tiba akal. Menjadi generasi tentu harus bersama dengan blue print yang berisi visi, misi, dan turunannya dalam melewati kehidupan ini. Sehingga sukses dunia dan sukses akhirat yang diraih pada akhirnya bukan karena nasib tetapi karena kita merencanakannya.
Jika perjalanan hidup kita sampai hari ini adalah hanya mengisi waktu yang kosong atau hanya menjadi peran pembantu bagi kehidupan orang lain, tahun baru menjadi momentum yang tepat bagi kita untuk menata ulang hidup dan masa depan kita. Sehingga jadilah kita orang-orang yang menjadi sutradara sekaligus pelaku bagi hidup kita sendiri.
BUTA APBD
Tugas saya sebagai staf ahli selanjutnya
adalah membuat tulisan tentang penyusunan APBD. Mencari banyak rujukan kemudian
menulis tentang APBD adalah sesuatu yang baru bagi saya. Dulu ketika di LSM,
ada sekitar 4 kali saya mengikuti Sekolah Anggaran. Kegiatan yang dilaksanakan
4 hari yang khusus membedah tentah APBD, dari filosofi, konsep, dan cara
membaca serta menganalisis APBD. Kegiatan ini berkolaborasi dengan LSM mitra.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh kader pemberdayaan yang ada di desa binaan.
Terus terang 4 kali saya ikut, saya belum terlalu mengerti, dan ini hal baru
yang ribet untuk saya fahami. Untuk hal-hal baru yang lain dan saya mencoba
mempelajarinya tidak cukup sulit untuk menyelami dan kemudian memahami. Berbeda
dengan APBD saya termasuk orang yang dulu gagal faham tentang APBD. Dan pada akhirnya
saya lebih nyaman buta APBD dari pada harus mumet sendiri untuk memahami.
Tetapi, saya kira semua orang pada awalnya
pasti berangkat dari titik nol. Titik dimana dia sesungguhnya tidak memahami
betul tentang sesuatu, tetapi keinginan yang tinggi dan proses belajar itulah
yang membuat dia menguasai dan menjadi ahli dibidang itu. Itu keyakinan yang
membuat saya memiliki motivasi untuk belajar. Termotivasi untuk mengetahui
sesuatu hal baru. Ini juga yang terjadi ketika saya mencoba memahami APBD.
Saya coba browsing tulisan-tulisan yang
memuat pembahasan tentang APBD, tinjaun hukum, dan kajian kritisnya. Setiap
hari saya jelajah google khusus untuk mencari sumber tentang APBD. Saya
kumpulkan, baca, dan fahami. Hampir satu bulan saya baca baru kemudian saya
merasa mengerti dengan tahapan penyusunan APBD dan penjelasannya. Saya kemudian
menulis ulang dengan bahasa yang bisa saya mengerti dan berharap orang lain
juga mengerti. Kemudian saya serahkan kepada semua pejuang rakyat dari Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai sebuah bahan bacan yang rutin dibaca setiap
tahun untuk menyiapkan pembahasan anggaran, saya pula mengirimnya ke email dan
blog fraksi yang dengan itu saya berharap setiap orang terutama anggota dewan
dari PKS bisa membuka kembali bahan bacaan itu sebagai input kapasitas keilmuan
baginya kapanpun itu.
Saya menyadari bahwa kajian yang saya tulis
itu kemudian menjadi sebuah kajian pustaka. Menjadi sebuah bahan bacaan baru
yang orang bisa temukan hal yang berbeda darinya karena merupakan penggabungan
dari banyak kajian orang tentang APBD. Dan hanya itu. Saya yang melakukan
kajian juga tidak terlalu memahami secara mendalam. Jika kemudian saya diminta
untuk menjelaskan kembali saya kira saya butuh waktu lagi untuk membaca dan
memahaminya. Saya ingin katakana bahwa dalam proses belajar saya memahami
Anggaran, butuh perjuangan yang luar biasa buat saya, seperti saya harus
menghancurkan tembok besar. Bahkan ketika semakin dekat dengan waktu pembahasan
APBD kami sering mengadakan diskusi rutin yang khusus mengupas secara mendalam
tentang muatan-muatan setiap tahapan penyusunan APBD. Dan saya sengaja tidak
pernah absen. Saya selalu hadir. Saya berharap intensitas diskusi itu memberi
berkah kepada saya untuk mampu memahami keseluruhan proses penyusunan APBD.
Sampai pada detik-detik akhir paripurna
tentang APBD, saya butuh teman diskusi untuk membuat kata akhir Fraksi tentang
Penyusunan APBD sekalipun pada akhirnya kata akhir fraksi bukan buah dari ide
dan goresan tangan saya. Saya belum memahami betul. Dan semoga waktu
mengajarkan saya mampu bersabar untuk memahaminya.
Setiap pembahasan APBD, menjadi niscaya
mengapungnya banyak kepentingan, konstalasi yang lebih cepat dari perputaran
jarum jam. Tidak boleh lengah. Para pejuang kebaikan di parlemen mestinya
menyadari itu. Dan mesti berjuang untuk memastikan bahwa APBD yang disepakati
mengutamakan kepentingan rakyat. Dan saya juga selalu berdo’a semoga eksitensi
saya bermanfaat. Dan semoga Allah memberi kekuatan untuk belajar memahami medan
juang ini. Kami sudah ada di medan pertempuran, tak boleh memelihara hasrat untuk
mundur walaupun sejengkal. Selanjutnya berjuang dan mengorientasikan setiap
dukungan dan sikap dalam rangka meninggikan kalimat Allah di bumi. Insya Allah.
KOMITMEN ADALAH JAWABANNYA
Proses yang diawali oleh keraguan kadang-kadang memberi pesan psikologis yang luar biasa. Apalagi kemudian menyentuh langsung pada jiwa, karakter, dan sifat kita sendiri. Pertarungan hebat itu terjadi antara obsesi untuk berubah menjadi lebih baik dengan egoisme yang telah mendarah daging. Hingga akhirnya jalan ini yang kita pilih untuk mendialog-kan keduanya.
Masih membekas jelas dalam ingatan kita bahwa 6 bulan yang lalu dialog tentang sebuah pilihan membangun tradisi peradaban di rumah ini. Sampai sebuah pilihan itu dijatuhkan.
Proses panjang dimulai. Mengumpulkan kepingan potensi yang berserakan. Tradisi-tradisi yang telah usang karena tak pernah tersentuh. Ia telah tertutup debu tebal yang menutup warna asli dari cover tradisi yang kita miliki. Ini yang kita kumpulkan menjadi satu. Memang perubahan itu selalu mensyaratkan korban. Minimal korban perasaan karena kita telah melupakan jejak kaki kecil yang telah membuat jalan setapak proses kaderisasi di PII.
Disana nuansa baru terasa mengekang kita. Tetapi kitalah para pejuang itu, yang menerobos kenyamanan ditengah pondasi kokohnya. Akhirnya perlahan demi perlahan justru kita semua mengeksplorasi segala sumber dari sumbat kemajuan kita. Sampai kita harus menarik ulur, menghadirkannya kembali, dan mengungkit-ungkit sejarah kita untuk disempurnakan. Sampai ruang-ruang kosong itu kita temukan lalu kita isi dengan tradisi baru yang memberi waktu untuk bernafas panjang pada masa depannya.
Perhelatan terus berlalu. Sebagai sifatnya yang niscaya bahwa proses itu menyaring manusia yang berkualitas untuk masa depannya. Karena orang-orang yang terlempar dari jantung proses adalah mereka yang tidak siap dengan kemajuan yang menantang, yang mem-bom-bardir segala kemapanan yang telah dibentuknya bertahun-tahun.
Komitmen adalah jawabannya. Sekaligus menjadi tameng dari segala tantangan yang membawa virus keraguan pada kemampuan, pada waktu, pada keyakinan akan imbalan bagi orang-orang yang berjuang. Tetapi memang kita adalah jamaah yang dibentuk bersama untuk mampu menjadi pemimpin dan disiapkan menjadi pejuang tangguh meski seorang diri. Yang pasti saringan itu selalu menjadi seperti mesin yang tidak pernah berhenti menyeleksi para pejuang tangguh dibarisan Pelajar Islam Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin