Kamis, 06 November 2014
MUFID AZZAMY
Berubah status dari lajang menjadi
menikah dan berkeluarga kemudian punya anak membuat setiap orang seperti mulai
memerankan lakon baru. Waktu yang biasanya selalu dilewati berdua dengan suami
ataupun istri berubah karena dibagi dengan tamu baru di rumahnya, buah hati
yang menjadi generasi penerus cita-cita orang tuanya.
Memiliki anak serasa mengalirkan energi
baru buat orang tuanya. Hidup seolah semakin berwarna. Pertanda bahwa
dimulainya orang tua mengumpulkan banyak harapan dan keinginan untuk anak
kesayangannya, dari mulai dia tumbuh besar, pendidikannya, dan lain sebagainya.
Begitupula dengan saya. Saya sedang
melewati fase ini. Berganti status dari hanya punya istri sekarang bertambah
satu yaitu anak yang baru 25 hari yang lalu, hadir ditengah-tengah kami
semuanya.
Status baru ini kalau tidak pandai
mengelola rasanya seperti terbawa dalam nuansa yang terlalu lebay. Senang
bercampur haru menyelimuti hingga sulit dikendalikan. Saya pandangi dia, saya
cium, saya ajak dia bicara sekalipun dia belum bisa bicara. Saya foto saat dia mandi,
saat tidur, saat dia bangun, saat dia menangis, kemudian saya share di media sosial
dan sebagainya. Sungguh saya melewati suasana itu dengan penuh perasaan. Tak
ada maksud untuk berlebihan tetapi itulah ekspresi dari rasa bahagia menyambut
mujahid baru dirumah kami.
Setelah menginjak usia 7 hari, anak
yang baru lahir disunnahkan untuk memberi dia nama. Terus terang sejak dia
dalam kandungan, saya dan istri telah bersepakat dengan satu nama yang
mengekspresikan harapan, do’a, sekaligus keterwakilan dari banyak cita-cita
kami yang berlum tercapai, semoga dia mampu meraihnya.
Mufid
Azzamy, itulah nama yang sudah kami sepakati. Mufid, orang yang selalu bermanfaat bagi orang banyak. Sedangkan Azzamy, orang yang memiliki azzam atau
komitmen yang kuat.
Kami memilih dua suku kata ini bukan
tanpa alasan. Saya terus terang tertarik dengan nama Mufid sejak lama, sejak saya masih kuliah. Salah satu faktor
mungkin karena saya pernah berinteraksi langsung dengan seseorang bernama Mufid. Memang saya punya teman kontrakan
yang bernama Mufid atau lengkapnya Mufid Salim. Dia dititipkan oleh orang tuanya kepada saya, entah apa
alasannya tetapi seingat saya orang tuanya menginginkan anaknya dititipkan
kepada orang yang tepat di tempat dia kuliah. Sekalipun saya tidak merasa saya
adalah orang yang tepat, karena memang saya juga sedang belajar banyak hal
tentang hidup, tetapi inilah kepercayaan, saya juga mesti bersyukur bahwa saya
masih dipercaya. Singkat cerita pertemuan dan perkenalan pertama kami cukup
memberi energy positif buat saya, kesan pertama yang saya tangkap adalah Mufid merupakan sosok yang punya visi,
dia punya semangat yang tidak umum dimiliki oleh mahasiswa baru yang baru
menginjakkan kaki di kota Malang. Entah saat itu apa deskripsi jelas tentang
kesan saya itu. Tetapi cukup lama kami tinggal bersama dalam satu rumah yang
kami kontrak bersama 3 saudara yang lain. Sehari-hari sosok Mufid adalah sosok yang tidak pernah
menolak untuk membantu, dimintai tolong—apapun bentuknya, selama dia bisa lakukan
dia akan membantu. Sosok itu yang kami semua kenal, penilaian saya dan juga
dari semua anggota kontrakan.
Kemudian belakangan setelah istri saya hamil,
pada saat saya sibuk mencari nama untuk calon bayi saya, saya baru mengetahui
bahwa Mufid berarti orang yang
bermanfaat bagi orang banyak. Ternyata nama adalah do’a sekaligus cita-cita
orang tua terhadap anaknya. Mungkin cita-cita itu yang diinginkan orang tuanya Mufid ketika memberi nama anaknya dengan
nama Mufid. Saya sangat tertarik
dengan suku kata ini (Mufid), itulah alasan kenapa saya kemudian memilih suku
kata pertama dari nama anak saya adalah Mufid. Semoga dia juga merupakan
wajah dari do’a saya.
Kemudian selanjutnya adalah Azzamy.
Terus terang satu kesamaan saya dan istri adalah sama-sama tidak konsisten atau
kurang memiliki komitmen yang kuat untuk beberapa urusan di dalam rumah tangga
kami. Agenda-agenda pribadi dalam rumah tangga sering tidak dijalankan. Atau
dijalankan tetapi susah untuk istiqomah. Soal waktu baca buku, soal kerapian,
jadwal silaturrahim, jadwal refreshing, sering juga soal ibadah sunnah harian
yang tidak istiqomah saya lakukan dan agenda-agenda yang serupa sering kali
menguap begitu saja. Sampai diusia ini terus terang saya masih belajar
istiqomah. Dan aktivitas menulis yang tertanam di dalamnya cita-cita yang
tinggi dalam diri saya sampai hari ini tidak cukup menjadi tradisi yang erat
dengan hari-hari saya. Saya masih sulit istiqomah, saya masih belajar untuk
istiqomah terhadap azzam-azzam saya.
Dan itulah alasannya kemudian kami bersepakat memberi suku kata
berikutnya untuk nama anak kami dengan Azzamy.
Semoga dia tumbuh menjadi pemuda yang memiliki keinginan, dan cita-cita yang
kuat, sampai dia meraihnya. Semoga dia menjadi anak yang sholeh, menjadi anak
yang istiqomah terhadap ketaatannya kepada Allah SWT., berbakti kepada kedua
orang tuanya, dan pada saatnya menjadi generasi yang siap dengan hadapan
zamannya. Amin
Semakin dekat dengan usia 7 hari memang
ada banyak usulan nama yang menjadi alternatif seperti Alif Fikry, Fandy Azzam, Muhammad Fatih Azzamy, Fatih Saferagic dan
banyak lagi pilihan nama yang lain. Dalam rangka berbagi kebahagiaan kepada
keluarga, saudara, dan teman-teman organisasi, kami juga meminta usulan nama
kepada mereka. Banyak sekali usulan nama, dan kami menampungnya sebagai bagian
dari pertimbangan. Sempat juga kami bersepakat memberinya nama Muhammad Fatih Azzamy. Tetapi perasaan
saya lebih kuat dengan nama Mufid Azzamy karena memang filosofi nama ini begitu
melekat dengan perjalanan hidup dan perasaan saya dan istri saya.
Pada akhirnya ketika tepat pada usia 7 hari,
saya memutuskan untuk memberinya nama Mufid Azzamy, Pemuda yang memiliki Azzam yang kuat dan bermanfaat
bagi orang banyak. Semoga nama ini adalah menjadi do’a sekaligus cita-cita kami
yang kemudian mengalir bersama darah kehidupannya. Amin
Senin, 03 November 2014
15 MENIT
Menanti status baru memang penuh rasa
yang tak biasa, menjadi suami yang penuh siaga, harap-harap cemas karena ini
merupakan pertarungan antara hidup dan mati.
Sejak awal bulan September, usia
kehamilan istri sudah masuk 8 (delapan) bulan lebih, saya dan istri memutuskan
untuk menyiapkan kelahiran bayi pertama kami di rumah mertua. Pilihan terbaik
menurut kami sekaligus memenuhi keinginan mertua yang berharap mereka jadi
orang pertama yang mendengar tangisan cucu pertama mereka.
Selama 1 (satu) bulan di rumah mertua,
aktivitas saya tidak terlalu banyak, hanya membantu mertua berjualan, dan
membantu istri untuk disiplin soal jadwal jalan kaki pagi dan sore hari, karena
menurut saran beberapa orang yang pernah melahirkan, sering berjalan kaki
sangat membantu memudahkan ketika proses melahirkan.
Sudah genap 1 (satu) bulan kami dirumah
mertua. Masuk bulan Oktober membuat saya jadi suami siaga. Menurut hasil USG, dokter
memperkirakan istri saya akan melahirkan antara tanggal 15-18 Oktober 2014.
Tinggal menghitung hari kami akan berubah status menjadi bapak dan ibu. Karena
ini adalah anak pertama kami, tentu perasaan kami tidak bisa diterjemahkan
dengan kata-kata, ikhtiar yang terbaik tentunya kami lakukan untuk calon
mujahid/mujahidah kami.
Hari Perkiraan Lahir (HPL) makin dekat, buat
kami semakin siaga. Bapak dan ibu mertua juga ikut menyiapkan semuanya; dari
konsultasi ke bidan, konsultasi ke dokter kandungan, sampai menyiapkan segala
perlengkapan bayi. Dalam kecemasan tentu kami turut diselimuti kebahagiaan
karena sebentar lagi tamu baru yang telah ditunggu lebih kurang setahun akan
hadir ditengah kami semuanya.
Semakin dekat dengan tanggal 15 dan 18
semakin sering saya mendengar curahan hati istri yang takut menghadapi proses
melahirkan. Dia selalu inget cerita sulit dan sakitnya proses melahirkan. Saya
sering mengatakan kepada istri saya bahwa yang melahirkan itu tidak hanya dia,
tetapi semua wanita merasakan proses itu, tetapi mereka tetap hidup setelah
berusaha kuat melewati perjuangan hidup mati. Saya juga mengingatkan bahwa
luruskan niat dan orientasinya, tanamkan dalam diri bahwa niat melahirkan
adalah sebagai bagian dari ibadah, membantu seorang manusia yang bakal menjadi
generasi muslim. Dengan menanamkan niat seperti ini, meninggalpun telah dicatat
sebagai kebaikan.
Dan saat-saat seperti ini saya rasa
sebagai saat-saat terindah, adalah saat terbaik bagi kami untuk mulai
menanamkan keikhlasan dalam diri jika saja melahirkan menjadi jalan buat saya untuk kehilangan salah satunya; istri saya atau calon bayi saya. Mungkin ini
adalah rasa yang sulit dihadirkan apalagi untuk diterima oleh kami disaat yang
semua orang pasti merasa ini adalah saat-saat yang sangat membahagiakan, tetapi
kami mesti mulai membangun kesadaran bahwa kami tidak mungkin memaksa Allah untuk
mengikuti nafsu atau keinginan kami, kami mesti mulai belajar untuk yakin bahwa
apapun yang kami hadapi sebagai bagian dari ketetapan Allah sudah tentu menjadi
yang terbaik menurut Allah buat kami.
Saya merasa bahwa membangun nilai-nilai
ikhlas, nilai tawakkal, dan nilai-nilai yang lain dalam konsep membangun
keluarga Islami menjadi kewajiban saya sebagai suami, kewajiban pula bagi istri
sebagai calon ibu dari anak kami nanti. “Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan”
sehingga diskusi dan berbagi ilmu memang sering kami lakukan ketika sedang
berdua. Semoga tak ada kata terlambat bagi kita semua untuk belajar menjadi
suami, menjadi istri, dan menjadi orang tua.
Sudah masuk tanggal 15 bahkan sudah
lewat dari tanggal 18 Oktober 2014. Tepatnya sudah tanggal 19 Oktober 2014.
Belum juga ada tanda-tanda mau melahirkan pada istri saya. Bapak mertua setiap
pagi bahkan selalu menanyakan kepada istri saya, ibu mertua juga mulai sedikit
khawatir, takut kehamilan anak pertamanya ini sudah lebih jauh jaraknya dari waktu
yang diperkirakan oleh dokter. Saya hanya semakin sering mengingatkan istri
bahwa momentum itu selalu tepat, pasti ada waktunya sendiri, kalau saatnya
melahirkan sudah datang tidak ada kuasa kita untuk menghalangi, jadi
menenangkan diri lebih baik sembari berdo’a kepada Allah semoga semuanya
lancar, semuanya sehat, dan istri saya dan bayi kami selamat.
Keesokan harinya, tanggal 20 Oktober
2014. Jam 07.00 pagi. Istri saya melihat ada keluar darah dan lendir. Kami
mengartikan bahwa inilah waktu yang ditunggu-tunggu itu. Saya dan ibu mertua
menyiapkan perlengkapan melahirkan dan perlengkapan bayi. Kami bergegas menuju
rumah bidan. Bidan ini yang jadi tempat konsultasi selama ini, tempat bertanya
seputar keluhan kehamilan. Bapak dan ibu mertua menunggu didepan rumah bidan
sementara saya dan istri masuk ke ruangan praktek. Setelah istri saya
dibaringkan dan diperiksa ternyata menurut bu bidan, belum ada tanda-tanda
bahkan waktu melahirkannya masih lama. Setelah berkonsultasi banyak hal dan
merasa tidak puas dengan penjelasan bu bidan yang dikenal cukup ramah dan
tenang menangani pasien ini, mertua dan istri saya memilih datang ke tempat
praktek dokter kandungan yang dikenal cukup bagus di kota Mataram. Dan setelah
berkonsultasi ke sana pun mereka mendapatkan jawaban yang sama. “Masih belum
ada tanda-tanda mau melahirkan, sekitar seminggu lagi kalau masih belum ada
tanda-tanda mau melahirkan, nanti kesini lagi”. Begitulah kira-kira jawaban
dari dokter kandungan.
Antara sedikit tenang dan khawatir
sepulang dari dokter kandungan, bapak dan ibu mertua serta istri memilih untuk
berjalan-jalan di mall di pusat kota Mataram. Setelah satu setengah jam mereka
berkeliling area mall merekapun pulang ke rumah. Dan suasana dan aktivitas
kembali seperti biasa, mengurusi warung makan dan mengobrol ringan dengan
keluarga dirumah hingga waktu shalat magrib tiba.
Sekitar jam 21.10 wita istri saya mulai
mengeluh sakit perut. Rasa sakit yang tidak biasa. Sebentar sakit kemudian
sebentar lagi kembali tidak sakit. Lebih kurang jaraknya sekitar 10 menit.
Akhirnya kami satu keluarga mengantar istri saya ke Rumah Sakit Bersalin Tresna
Mataram. Lebih kurang pukul 21.50 wita istri saya ditangani oleh petugas dan
dokter disana.
Terdengar pembicaraan dari petugas yang
menangani, “ini sudah bukaan 10” sebentar lagi melahirkan. Setelah itu saya
diminta menemui perawat dimeja kerjanya.
Maaf
pak, istri bapak sudah bukaan 10.
Sebentar
lagi akan keluar.
Tetapi
maaf sebelumnya, istri bapak ingin melahirkan normal jadi akan banyak resiko.
Kalau
tidak ibunya ya anaknya.
Kepala
bayinya masih diatas belum bisa keluar.
Sekitar
1 jam lagi dari sekarang mudah-mudahan langsung bisa keluar bayinya.
Kalau
tidak bisa terpaksa kami ambil tindakan operasi.
Atau
sewaktu-waktu jika ada kondisi yang membahayakan ibu maupun anaknya kami juga
akan ambil tindakan operasi.
Terimakasih
bapak Noval, silahkan tanda tangani (sambil menyerahkan berkas penanganan
medis).
Setelah itu saya kembali menghampiri
istri saya yang sedang terbaring dan menahan rasa sakit. Semakin dia berkeringat
dan menahan rasa sakit, saya mengusap dahinya dan mengingatkan dia untuk
berzikir. Dan datanglah dokter yang menangani proses melahirkan. Namanya dokter
Lily. Tidak lebih dari 15 menit istri saya berjuang merasakan sakit dan
berusaha sekuat tenaga akhirnya bayinya keluar. Cowok.
Antara percaya dan tidak, hanya butuh
waktu 15 menit buat istri saya untuk melewati proses hidup mati itu. Dan detik
itu juga kami resmi menjadi ayah dan ibu. Luar biasa, saya bersyukur kepada
Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam proses melahirkan, dan bangga
kepada istri saya yang telah mampu melewati proses ini dengan mudah.
Dan sekarang mulailah cinta ini kami
bagi seiring bertambahnya anggota keluarga yang akan selalu menjadi perlipur
lara dan penyemangat hari-hari kami kedepan. Semoga kami mampu menjadi orang
tua teladan dan anak kami menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada kedua
orang tua serta menjadi generasi terbaik di zamannya.Amin
Langganan:
Postingan (Atom)
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin