Berubah status dari lajang menjadi
menikah dan berkeluarga kemudian punya anak membuat setiap orang seperti mulai
memerankan lakon baru. Waktu yang biasanya selalu dilewati berdua dengan suami
ataupun istri berubah karena dibagi dengan tamu baru di rumahnya, buah hati
yang menjadi generasi penerus cita-cita orang tuanya.
Memiliki anak serasa mengalirkan energi
baru buat orang tuanya. Hidup seolah semakin berwarna. Pertanda bahwa
dimulainya orang tua mengumpulkan banyak harapan dan keinginan untuk anak
kesayangannya, dari mulai dia tumbuh besar, pendidikannya, dan lain sebagainya.
Begitupula dengan saya. Saya sedang
melewati fase ini. Berganti status dari hanya punya istri sekarang bertambah
satu yaitu anak yang baru 25 hari yang lalu, hadir ditengah-tengah kami
semuanya.
Status baru ini kalau tidak pandai
mengelola rasanya seperti terbawa dalam nuansa yang terlalu lebay. Senang
bercampur haru menyelimuti hingga sulit dikendalikan. Saya pandangi dia, saya
cium, saya ajak dia bicara sekalipun dia belum bisa bicara. Saya foto saat dia mandi,
saat tidur, saat dia bangun, saat dia menangis, kemudian saya share di media sosial
dan sebagainya. Sungguh saya melewati suasana itu dengan penuh perasaan. Tak
ada maksud untuk berlebihan tetapi itulah ekspresi dari rasa bahagia menyambut
mujahid baru dirumah kami.
Setelah menginjak usia 7 hari, anak
yang baru lahir disunnahkan untuk memberi dia nama. Terus terang sejak dia
dalam kandungan, saya dan istri telah bersepakat dengan satu nama yang
mengekspresikan harapan, do’a, sekaligus keterwakilan dari banyak cita-cita
kami yang berlum tercapai, semoga dia mampu meraihnya.
Mufid
Azzamy, itulah nama yang sudah kami sepakati. Mufid, orang yang selalu bermanfaat bagi orang banyak. Sedangkan Azzamy, orang yang memiliki azzam atau
komitmen yang kuat.
Kami memilih dua suku kata ini bukan
tanpa alasan. Saya terus terang tertarik dengan nama Mufid sejak lama, sejak saya masih kuliah. Salah satu faktor
mungkin karena saya pernah berinteraksi langsung dengan seseorang bernama Mufid. Memang saya punya teman kontrakan
yang bernama Mufid atau lengkapnya Mufid Salim. Dia dititipkan oleh orang tuanya kepada saya, entah apa
alasannya tetapi seingat saya orang tuanya menginginkan anaknya dititipkan
kepada orang yang tepat di tempat dia kuliah. Sekalipun saya tidak merasa saya
adalah orang yang tepat, karena memang saya juga sedang belajar banyak hal
tentang hidup, tetapi inilah kepercayaan, saya juga mesti bersyukur bahwa saya
masih dipercaya. Singkat cerita pertemuan dan perkenalan pertama kami cukup
memberi energy positif buat saya, kesan pertama yang saya tangkap adalah Mufid merupakan sosok yang punya visi,
dia punya semangat yang tidak umum dimiliki oleh mahasiswa baru yang baru
menginjakkan kaki di kota Malang. Entah saat itu apa deskripsi jelas tentang
kesan saya itu. Tetapi cukup lama kami tinggal bersama dalam satu rumah yang
kami kontrak bersama 3 saudara yang lain. Sehari-hari sosok Mufid adalah sosok yang tidak pernah
menolak untuk membantu, dimintai tolong—apapun bentuknya, selama dia bisa lakukan
dia akan membantu. Sosok itu yang kami semua kenal, penilaian saya dan juga
dari semua anggota kontrakan.
Kemudian belakangan setelah istri saya hamil,
pada saat saya sibuk mencari nama untuk calon bayi saya, saya baru mengetahui
bahwa Mufid berarti orang yang
bermanfaat bagi orang banyak. Ternyata nama adalah do’a sekaligus cita-cita
orang tua terhadap anaknya. Mungkin cita-cita itu yang diinginkan orang tuanya Mufid ketika memberi nama anaknya dengan
nama Mufid. Saya sangat tertarik
dengan suku kata ini (Mufid), itulah alasan kenapa saya kemudian memilih suku
kata pertama dari nama anak saya adalah Mufid. Semoga dia juga merupakan
wajah dari do’a saya.
Kemudian selanjutnya adalah Azzamy.
Terus terang satu kesamaan saya dan istri adalah sama-sama tidak konsisten atau
kurang memiliki komitmen yang kuat untuk beberapa urusan di dalam rumah tangga
kami. Agenda-agenda pribadi dalam rumah tangga sering tidak dijalankan. Atau
dijalankan tetapi susah untuk istiqomah. Soal waktu baca buku, soal kerapian,
jadwal silaturrahim, jadwal refreshing, sering juga soal ibadah sunnah harian
yang tidak istiqomah saya lakukan dan agenda-agenda yang serupa sering kali
menguap begitu saja. Sampai diusia ini terus terang saya masih belajar
istiqomah. Dan aktivitas menulis yang tertanam di dalamnya cita-cita yang
tinggi dalam diri saya sampai hari ini tidak cukup menjadi tradisi yang erat
dengan hari-hari saya. Saya masih sulit istiqomah, saya masih belajar untuk
istiqomah terhadap azzam-azzam saya.
Dan itulah alasannya kemudian kami bersepakat memberi suku kata
berikutnya untuk nama anak kami dengan Azzamy.
Semoga dia tumbuh menjadi pemuda yang memiliki keinginan, dan cita-cita yang
kuat, sampai dia meraihnya. Semoga dia menjadi anak yang sholeh, menjadi anak
yang istiqomah terhadap ketaatannya kepada Allah SWT., berbakti kepada kedua
orang tuanya, dan pada saatnya menjadi generasi yang siap dengan hadapan
zamannya. Amin
Semakin dekat dengan usia 7 hari memang
ada banyak usulan nama yang menjadi alternatif seperti Alif Fikry, Fandy Azzam, Muhammad Fatih Azzamy, Fatih Saferagic dan
banyak lagi pilihan nama yang lain. Dalam rangka berbagi kebahagiaan kepada
keluarga, saudara, dan teman-teman organisasi, kami juga meminta usulan nama
kepada mereka. Banyak sekali usulan nama, dan kami menampungnya sebagai bagian
dari pertimbangan. Sempat juga kami bersepakat memberinya nama Muhammad Fatih Azzamy. Tetapi perasaan
saya lebih kuat dengan nama Mufid Azzamy karena memang filosofi nama ini begitu
melekat dengan perjalanan hidup dan perasaan saya dan istri saya.
Pada akhirnya ketika tepat pada usia 7 hari,
saya memutuskan untuk memberinya nama Mufid Azzamy, Pemuda yang memiliki Azzam yang kuat dan bermanfaat
bagi orang banyak. Semoga nama ini adalah menjadi do’a sekaligus cita-cita kami
yang kemudian mengalir bersama darah kehidupannya. Amin
0 komentar:
Posting Komentar