Jumat, 16 November 2012
POTRET PERJALANAN DAN MIMPI MENUJU ANGKA 28.
Jumat, November 16, 2012
Curhat, Curhat Perjuangan, Curhatku tentang Obsesi, TulisanQ, Wacana
2 comments
Ternyata hari ini tanggal 16 November 2012,
bertepatan dengan tanggal kelahiranku. Setelah 28 tahun yang lalu dilahirkan
oleh seorang ibu tersayang yang sekarang sedang melanjutkan perjalanan menuju
surga-Nya (Amin). Diusia yang sudah sangat muda ini tentu banyak perhelatan
kehidupan yang telah ku lalui, kalau diingat-ingat tidak cukup kapasitas
memoriku untuk memutar kembali segala perhelatan itu. Sebagai sebuah estafeta
perjalanan aku hanya mampu mereview
beberapa waktu terakhir. Ingin mencoba memutar kembali potret
perjalanan setahun sebelum menuju 28 tahun hingga hari ini.
Banyak inseden luar biasa, peristiwa berharga, serta kejadian-kejadian yang
membuatku harus berkesimpulan bahwa tahun ini-aku melewati
tanjakan kehidupan yang sangat berat. Melaluinya
dengan tertatih-tatih, tetapi bersama semua ini pula
membuatku belajar untuk bijaksana, dewasa menempatkan diri bahwa sedih itu tak
harus melepasnya dengan air mata, dan bahagia itu tidak harus membuatku harus
tertawa bahagia dengan hidup ini. Tetapi pergantian cerita senang hingga perih dihati
membelajarkanku untuk membaca hikmah dibalik semua cerita itu. Dan aku ingin memotret semua perjalanan ku setahun ini serta mimpi menuju
dan melewati angka 28 tahun.
Bertahan ditengah Perbedaan
Pada saat mengawali usia ke-27 lalu aku genap setahun
di LSM. Ruang proses sekaligus tempatku menggantung sisi materi dalam menopang
ekonomi di keluarga. Hal-hal yang terlewatkan sangat berarti dalam peningkatan
kapasitas dan kepemimpinan diri yang terus ditempa. Saat itu merupakan tahun
pertama aku bekerja sebagai petugas lapangan di sebuah LSM yang sedang
konsentrasi dibidang pelayanan publik terutama di ranah pelayanan kesehatan.
Mendampingi 5 desa tentu bagi aktivis pemula LSM merupakan hal yang tidak
sederhana juga, karena indikator keberhasilan program yang sedang diseriusi
oleh Lembaga bergantung pada sejauh mana capaian-capain serta keberhasilan-keberhasilan
yang ada di desa. Kita mendampingi warga untuk peningkatan kapasitas warga
dalam mendorong Pelayanan publik terutama kesehatan yang pro masyarakat miskin,
perempuan, dan masyarakat marginal. Kemudian selama setahun capaian berkaitan
dengan perubahan perilaku ditingkat kader dampingan dan pelayan kesehatan yang
diintervensi oleh teman-teman aktor di desa semakin bagus.
Modalku sebenarnya adalah keyakinan akan pengalaman
proses yang dulu pernah ku geluti ketika masih bersematkan aktivis PII.
Aktivitas mengelola training yang berorientasi proses pada paradigma orang
dewasa membuatku bekerja serasa memainkan peran ketika dahulu sering terlibat
menjadi instruktur di training-training PII.
Aku merasa nyaman. Itu yang bisa ku sampaikan setelah
merasa idealisme kampus dan suasana setelah bermasyarakat mengalami kesenjangan
yang sangat jauh. Tetapi “ber-LSM” membuatku menemukan kembali duniaku dahulu
meski tidak persis sama, tetapi kultur diskusi, apresiasi terhadap sebuah
kapasitas, menghargai perbedaan, egalitas, membuatku nyaman. Aku merasa sangat
nyaman karena dunia birokrasi yang begitu otoriter dengan logika raja dan pelayan
menjadi pembanding bagiku disaat semua orang mengejar dunia birokrasi sebagai
satu-satunya ruang memperoleh rejeki.
Bijaksana. Kata ini juga yang bisa aku rasakan
mengalir bersama aliran darah prosesku menempa diri menjadi orang sedang
belajar menjadi pemimpin. Tentu ini kata yang meski menyatu dalam diri ketika
dahulu menjadi aktivis LDK dengan nilai normatif memandang interaksi sebagai
sebuah hal yang sangat kaku. Aku ingin katakan bahwa disini aku belajar
mempertahankan nilai normatif yang ku fahami ditengah kebebasan berekspresi
dengan gaya yang begitu halus. Disini juga aku semakin kuat karena kebebasan berekspresi
salah satu terjemahannya adalah kita bebas memilih nilai mana yang kita jadikan
pijakan dalam memilih spektrum berfikir kita. Aku tentu merasa bahwa kader umat
itu justru semakin kuat ketika berada diantara kemajemukan berfikir manusia
karena kita tahu tantangan apa yang sedang kita hadapi.
Hingga kini aku ingin tetap menjadi agen perubahan
lewat model perjuangan dengan kawan-kawan di LSM, memulai dan mengawal
perubahan berbasis masyarakat lalu pada saatnya mampu mengintervensi kebijakan
yang pro terhadap kepentingan rakyat.
Srikandi, Inspirasi Kehidupanku
Momentum sekaligus insiden luar biasa juga yang ku
hadapi di usia menuju 28 tahun adalah saat-saat dimana aku melewati pembekalan
untuk sebuah masa transisi yang sangat luar biasa beratnya. Bermula dari aku
harus menunda kesempatan menaklukan ketinggian gunung rinjani karena menuruti
permintaan seorang ibu tercinta yang minta ditemani sakitnya. Ternyata beberapa
waktu kemudian beliau kembali untuk menuju kehidupan yang abadi. Beliau
meninggal dunia. Pasca itu setelah beliau meninggal pada tanggal 2 Desember 2011
aku baru merasa bahwa selama 6 bulan lamanya beliau membekali aku dengan segala
peran untuk menggantikan beliau. Tiba-tiba hati ini merasakan perhatian yang
sangat luar biasa bedanya, seolah menumpahkan air dari bak air hingga tak
tersisa. Tiba-tiba sering berbicara tentang harapannya untuk menikahkan aku sebagai
anak sulung. Lalu ditengah peliknya persoalan yang tengah ia hadapi seolah
mengalirkan doktrin ketegaran dan optimisme ke dalam setiap aliran darahku.
Kemudian hati ku begitu merasa beliau sangat memberi inspirasi tentang
kehidupan, ide-ide yang sederhana tetapi logis dan rasional. Serta banyak peran
dirumah tangga yang secara langsung beliau ajarkan dengan prakteknya dalam
kehidupan sehari-hari. Hingga setelah ia kita antarkan ke tempat peristirahatan
terakhir namanya tetap harum hingga air mata perpisahan tertahan oleh senyum
kebanggaan karena terlahir dari lahir seorang Srikandi yang tetap menjadi
inspirasi kehidupanku hingga bersamanya nanti di alam baka.
Peran ini Berat
Ibu memang hanya melahirkan kami berdua-yaitu kedua
anak laki-lakinya yang sangat dia sayangi. Ekspresi sayang yang tidak bisa
diapresiasi dengan sekedar kata pujian. Hanya do’a yang bisa kami berikan untuk
keselamatan dan kebahagiaan hidupnya di alam sana. Semoga Allah memberikan
rahmat-Nya, dijauhkan dari siksa kubur, diberikan kenikmatan kubur, hingga
saatnya beliau menikmati syurga Allah SWT.
Rumah sepeninggal ibu diisi oleh kami berdua dan
seorang Bapak yang sudah menyembunyikan rasa lelahnya menemani ibu yang berobat
di Bali, belum selesai merasakan kesedihan beliau juga harus memainkan peran
yang pincang tanpa pasangan peran untuk menyempurnakan pilihan dan hadapan
kehidupannya sehari-hari. Dan aku pribadi merasa segala beban itu bertumpuk
pada bahu mungilku yang masih terlalu dini untuk menanggung beban yang seberat
ini. Tetapi aku tetaplah sebagai Noval yang sangat pintar menyembunyikan keluh
dan kesedihan didepan orang lain, hanya sajadah dan sujudku yang mendengarkan
isak tangis perpisahan serta adaptasiku akan kehidupan baru saat itu. Pada saat
itu pula sangat terasa aliran peralihan beban yang sangat mengundang tangis
dalam mata hati.
“Semua sudah jadi Takdir-Nya. Allah yang mensutradarai
semua cerita ini tentu Dia yang paling tau hikmah terbaik apa yang hendak
dititipkan dalam fase ini. Dia pula Pemilik segala yang ada dan dititipkan
kepada manusia, sehingga meratapi segala hal yang telah berlalu hanya
mengurangi waktu berharga untuk merencakan kehidupan terbaik esok hari. Ibu
boleh hilang dari kehidupanku tetapi semangat dan motivasinya selalu hidup dan
menjadi inpirasi bagi kehidupanku sehari-hari. Semoga engkau diberikan tempat
yang tebaik disana.”
Kalimat ini membuatku kembali belajar tentang hidup.
Bagiku ini adalah fase yang pasti menjadi siklus. Setiap orang pasti
melewatinya, dan aku hanya satu diantara semua manusia yang hidup dimuka bumi
ini yang juga melewati fase yang sama. Aku tegar dan aku yakin ketegaranku akan
mengembalikan kondisi dikeluargaku.
Hari-hari tentu aku lewati dan perankan dengan berat.
Lalu rasa yang sering melankolik entah kemana perginya, mungkin sudah hilang
bersama hembusan angin yang tak tau ujung kembali. Yang ada tinggal bertahan
dengan segala rasa yang mungkin tak berasa lagi. Tetapi aku merasa justru semakin
tegar dan bijak menghadapi aliran kehidupan yang tidak searus dengan fikiran
manusiaku. Aku justru belajar untuk selalu melihat kehidupan dengan sisi yang
lain yang beda dengan keumuman orang banyak.
Aku sudah terbiasa dengan soal-soal yang berbeda meski
belum pernahku temukan jawaban sebelumnya. Hingga saatnya aku meminta dan
mensukseskan bapak untuk menikah kedua kalinya. Aku hanya sebagai seorang anak
yang tidak mungkin mewakilkan diriku untuk memerankan segala peran yang akan
dimainkan oleh seorang ibu bagi kami sekaligus sebagai istri bagi bapak. Dan
kebutuhan dan fase kehidupan yang dihadapi oleh bapak jelas berbeda dengan aku
yang masih melajang. Aku mencoba memahami dan membijaksanai itu. Aku tetap
meyakini bahwa menikah sebagai sebuah sunnatullah tidak mungkin menjadi sumber
keterpurukan bagi siapapun yang memilihnya. Menikah bahkan menjadi solusi. Pada
akhirnya bapak menikah kedua kalinya dengan seorang wanita yang terbaik kedua
setelah ibuku. Dan alhamdulillah juga menjadi sumber pahala bagi kami sebagai
anaknya untuk selalu mendapatkan pahala berbakti kepada mereka.
Saatnya Untuk Menikah
Saatnya untuk menikah mungkin mengingatkan kita semua
dengan bukunya Muhammad Fauzil Adhim. Tetapi aku tidak sedang bicara tentang
buku itu aku ingin katakan momentum menikah saat ini membuka ruangnya untuk aku
pilih. Jika dahulu ada beberapa alasan yang membuatku begitu berat menjatuhkan
pilihan pada pilihan menggenapkan separuh Dien ini karena pilihan “berbakti
kepada orang tua” serta ibu masih belum bisa diduakan karena menderita sakit
tumor payudara dan harus dirawat intensif.
Momentum menikah ini terasa sudah sangat dekat. Aku
mencoba menghadirkan alasan-alasan yang membuatku menunda justru alasan-alasan
itu menjawab dirinya sendiri. Dan aku yakin saatnya untuk menikah. 10 hari
terakhir bulan Ramadhan 1433 H kemarin aku menengadahkan tangan dan menundukkan
kepala kepada Rabbi sekalian alam, menabur mimpi dan meminta untuk dijaga
diistiqomahkan oleh Allah SWT sehingga niat menyempurnakan agama ini mampu
kutunaikan tahun ini.
Aku menanam komitmen untuk menikah tahun ini, tahun
2012 yang tersisa tidak sampai dua bulan. Takdir harus diikhtiari. Takdir tidak
mungkin hanya ditunggu didalam rumah, tetapi harus dijemput. Dikejar waktu
tentu lebih menakutkan dari pada dikejar hewan buas karena waktu tidak mungkin
bisa diputar kembali, tetapi jika melawan hewan buas masih ada pilihan untuk
mati dan hidup. Karena waktu sangat berharga!
Diwaktu yang tinggal beberapa saat ini, semoga tulisan
ini menjadi bagian dari do’a untuk didekatkan dengan jodoh terbaik yang Allah
berikan. Karena kita semua sudah terlahir dengan takdir jodoh masing-masing dan
selanjutnya adalah meyakini bahwa jodoh itu tidak mungkin tertukar.
Bertambahnya Usia menjadi Momentum untuk Berdo’a
Pada pertambahan usia yang ke-28 ini, pertama kali yang
bisa ku katakan adalah menyadari bahwa sesungguhnya jatah umur ini semakin
berkurang. Kemudian mencoba introspeksi, sampai dititik ini sudah sebaik apa
kualitas diri, kapasitas semakin bertambah atau malah terdegradasi oleh
keadaan, untuk kesuksesan sudah sampai pada tahan mana?hal-hal yang perlu
direnungkan untuk lembaran baru mulai esok hari.
Milad yang bertepatan dengan momentum tahun baru
hijriah ini memebuatku merenung sejenak, menggali kedalaman obsesi dan mimpi
tentang hari esok. Atau menambal sulam mimpi yang telah ditanam dahulu dengan
strategi pencapaian yang lebih efektif.
Aku ingin mengawalinya dengan memupuk benih kedewasaan
yang masih terlalu kerdil, sehingga kedepan dia bisa tumbuh, tinggi, berbuah
besar, dan tidak mudah dimakan oleh ulat yang membuatnya tak bermakna.
Sekaligus adalah proyek penaklukan ego diri yang masih tersisa hingga saat ini.
Implikasi dari kedua hal di atas adalah kerja
profesional. Sampai hari ini aku belum terlalu bijak untuk menatap
kelemahan-kelemahan proses dikantor sebagai sesuatu peluang untuk berbuat baik.
Aku perlu belajar banyak untuk meraih salah satu tahapan ini. Dan komitmen
untuk menuju kesana selalu terjaga dalam prosesnya.
Istiqomah, ini doa yang selalu ku panjatkan, karena
sampai detik ini aku masih merasa menjadi orang yang belum terlalu istiqomah
dengan amal yaumiah padahal penopang istiqomah sebagiannya ada disana.
Menikah, aku merasa tahun ini adalah kesempatanku
untuk menciptakan momentum terbaik ini. Semoga diberikan kemudahan dan
kelancaran dalam proses menuju pernikahan. Insya Allah.
Aku ingin menjadi penulis. Mimpi yang sudah hampir 5
(lima) tahun terlewatkan tanpa bekas, ada bekas tetapi tersendat kualitas, ada
harapan terhadap kualitas tetapi lusuh oleh kepercayaan diri. Semoga menulis
ini mampu ku raih di usia 28 tahun ini.
Dan semoga beberapa impian ini disaat mengurutkan
huruf-huruf ini sekaligus menjadi do’a di usia yang makin bertambah dan lembaran
baru di tahun hijriah ini, dan semoga Allah membimbing langkah ku mencapainya. Amien
*Usia ini sudah tidak muda tapi tidak mau terlalu renta untuk
menjemput mimpi
*Milad ke 28 tahun
Rabu, 17 Oktober 2012
UNTUK MIMPI INI
Membaca makna tersirat..
Kala waktu mengharuskan
jarak
bukan kematian
tetapi kehidupan
untuk besok katanya
untuk lusa ucapnya
aku yakin ini untuk masa depan
ruang waktu yang tidak bisa ditafsir kapan akhirnya
beribu tanya menghujam
bertumpuk bersama kertas sisa dibak sampah
aku tak bisa memberi jawaban hari
ini
apa lagi kepastian yang hanya DIA
yang bisa mengatur
namun..
aku hanya bisa membentangkan
azzam yang kuat dihati kecil ini
memberi jawab itu pada yakinmu
atas obsesi itu
ribuan tantangan ini berbaris
seperti pasukan semut merah
bagai prajurit yang tak memberi
ampun pada musuh perangnya
lalu tak ada ruang celah untuk menerobos
mimpi itu
tetapi sekali lagi
ada Allah...Zat Yang Maha Segalanya
Mari menghadirkan kejernihan pada
keajaiban hati yang Allah titipkan
Sanubari halus yang mampu menatap
kejujuran disamudera terdalam hari setiap insan
Maka..
Dengannya yakin ku kokohkan dalam nurani kecil ini
Bahwa keberkahan ini pasti
Tinggal memberi ruang pilihan pada keberanian
Kecuali kita ingin menjadi pecundang atas setiap
rangkaian mimpi kita
Lalu yang pasti adalah satunya obsesi
Peta yang sama tentang masa depan yang maya
Tetapi awal nyata itu adalah mimpi
Merangkailah..
Menyusun kepingan-kepingan masa depan yang masih
berserakan
Bersabar hingga semua sempurna
Menghadirkan berkahnya setiap ikhtiar
Hingga Dien itu sempurna separuhnya
Oleh mimpi ini
Dan mimpi membangun peradaban Ilahi di bumi
Sampai senyum ini tak terasa ada di Jannah-Nya
*Masa batas yang masih maya
Sabtu, 08 September 2012
DIANTARA KEKANGAN GELAP
Malam larut bersama waktu
Tinggalkan aku sendiri yang tak bersahabat dengan waktu
semakin larut mata susah terpejam
Merebah lelah, memelas waktu berbalas
ingin penuhi hak jasad ini
semakin larut tapi terasa menyangsikan masa
tersiksa,,,
menghela nafas panjang
tak mengerti,..
gerah dengan sumbat fikir ini
ingin terbawa amarah
tetapi mencoba bijak dengan fakta
mencoba damai dengan diri
mencoba faham dengan alam yang bernyanyi
Malam,..inginku kau kau menemaniku
tak ikhlas rasanya kau menjemput pagi
jangan kau membisu
berbalaslah dengan keluhku
menjawab kesah yang aku tak bisa pecahkan
Mimpi,..maafkanlah
Malam ini aku tak bisa menemanimu seromantis masa lalu
Hati gundah tak pecahkan apa-apa
Jantungku berdetak kencang tak biasa
Entah suara apa yang tak jelas ku dengar itu
inikah transisi kembali yang pernah mendekat?
ataukah kegundahan yang tak akan pernah habis?
Malam,..aku tau bisumu membaca detak jantungku
yang bernyanyi tak berirama
Ya Rabb...Kuatkanlah..
Aku ingin selalu berada dalam dekapan-MU
dan bermanfaat bagi yang lain selayaknya matahari
* Diantara kekangan gelap dan kepelikan kenyataan hari ini
Pukul 03.00 dini hari
Jumat, 07 September 2012
USAI REHAT MENULIS
Alhamdulillah, setelah melewati perjuangan hampir tiga jam mengingat kembali kunci (password) Rumah ku Sang Musafir akhirnya bisa dan sukses dibuka kembali. Luar biasa, begitu penuh mengisi ruang hati antara pasrah menjadikan malam ini adalah terakhir untuk bersua dengannya, dengan kesungguhanku memutar kembali memory yang menyimpan kata sandi blog ini. Satu yang terlintas dalam fikiranku-adalah hanya dia yang selama ini khusu' mendengarkan ocehan jemariku mencatat jejak-jejak berwarna dalam perjalananku.Itu yang buatku tidak sekedar persoalan mengikhlaskan dia dalam keadaan pintunya tertutup untuk selamanya.Tetapi ada kebersamaan yang tidak bisa ku lepaskan begitu saja.
Terimakasih Tuhan, Tidak ada secuil kejadianpun di atas dunia ini yang terjadi diluar kehendak-MU.
Dua bulan rasanya mengurung diri dalam cerita-cerita hidup. Perjalanan-perjalanan yang mendebarkan, menggetarkan diri, membuat tersenyum kecut menghiasi bibir, membuka jala keterbatasan semakin menguat, tentu membunuh produktivitas berkarya.
Dua bulan adalah waktu yang tidak sebentar untuk sebuah kesuksesan, waktu yang lama untuk mengumpulkan kemenangan-kemenangan kecil. Begitu pula rasanya, sumbat fikir telah membanjir melewati batas normal. Kekangan ini membuat fikiran ini memberontak, mendemonstrasi cara hidup yang tidak bernilai. Itu rasanya pula tangan ini beradu dengan jumlah huruf yang berbaris rapi pada keyboard komputerku. Tak ada alasan lagi untuk menahan ia melompat mengekspresikan rasa bahagianya yang telah lama terhenti.
Aku ingin menulis lagi, seolah itu pesannya. Aku mencoba menderetkan poin-poin penting mempersiapkan jika jemari ini mendekat untuk berdialog. Yang pasti semua kebaikan dan cerita sukses itu harus di share kepada semua orang, semoga lagi-lagi memberi inspirasi.
Dan foto itu membuatku bangkit dalam kefakuman. Bergegas dari tempat singgah yang tak produktif. Cukup untuk sebuah aktivitas yang menggores sejarah biasa-biasa saja.
Mari kembali merefresh sebuah perjalanan panjang itu, urutkan segala ceritanya menjadi episode-episode yang bermakna bagi orang lain. Kepelikan yang memberi pesan kebaikan kepada banyak orang, serta kebijaksanaan yang memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang lain.
Selamat berkarya kembali,.
Rabu, 30 Mei 2012
AKU GILA DENGAN OBSESI INI
Sudah dua tahun aku melewati dunia pasca kampus. Dunia yang pastinya sangat berbeda. Dunia yang sering membenturkan idealisme kita dengan kenyataan hidup yang sesungguhnya. Dunia yang pada akhirnya kita selalu berkesimpulan bahwa hidup ini harus realistis. Tetapi aku berbeda. Aku masih belum mampu memaknai bahasa realistis itu kedalam pilihan konsen perjuangan untuk mensukseskan misi profetik.
Ketika
didunia kampus dahulu garis besar gaya hidup kita hanya tiga, adalah menjadi
mahasiswa yang sukses secara akademis, belajar bahwa dengan moralitas yang
baiklah harapan kejayaan bangsa ini akan terjaga, dan berikut menjadi aktivis
mahasiswa yang berteriak sekeras mungkin ketika ada masalah yang tidak pro
rakyat dan anti kebenaran. Sungguh situasi yang membentuk kita menjadi orang
yang sangat idealis. Tidak jarang juga kita temukan mahasiswa yang sangat
utopis dengan dunianya dan dunia disekelilingnya.
Pada
fase itu kita merasa tingkat aktualisasi kita sudah sangat purna. Ada kepuasan
tersendiri, jika kita bisa mengilustrasikannya dalam sebuah model grafik-saat
itu mungkin kita sudah ada titik paling atas. Titik yang dimana kita merasa
bahwa gelar sarjana dan gelar aktivis menjadi satu pencapaian yang tidak bisa
tertandingin dalam sejarah apapun dalam hidup kita. Begitu pula yang aku rasa
memenuhi relung hatiku. Ada kepuasan karena sejarah sukses menurutku itu ku
goreskan sendiri bersama tumbangnya waktu, bersama terisinya segala kesempatan
untuk berproses menjadi-aku artikan sebagai mahasiswa yang sesungguhnya.
Waktu
ini berlalu ternyata membuat aku harus mengatakan bahwa waktu adalah makhluk
misterius. Ia selalu memberi kejutan. Selalu menawarkan sesuatu yang baru.
Tidak jarang ia membuatku memompa adrenalin. Dan sangat sering ia menegangkan
urat-uratku, mengerutkan dahi dan memusingkan kepala.
Menjadi
sarjana dan bergelar aktivis ternyata hanya mampu menciptakan ketenangan dalam
waktu yang sangat terbatas. Pasca kampus aku merasa dua gelar itu justru tumpul
dan tidak mampu memberikan kekuatan tersendiri menepis segala beban fikir yang
muncul. Aku mahasiswa yang kuliah jauh sampai ke pulau jawa. Masuk Universitas
ternama. Menjadi aktivis. Lalu pulang kampung tetapi tidak bisa berbuat
apa-apa. Harapan dieluk-elukan sebagai lulusan universitas di pulau jawa
hanyalah menjadi pepesan kosong dan mimpi disiang bolong. Justru semakin kuat
kabar angin yang menyerang seperti badai yang mengisi halaman-halaman rumah
tetangga. Mengatakan “Tak ada gunanya kuliah jauh tetapi tidak bisa apa-apa dan
tidak punya pekerjaan”. Kata-kata yang menyesakkan dada ini membuat aku semakin
sering mengurung diri dikamarku. Hanya bisa mengeluh dan mencibir netbook yang
selalu menatap sayup ketika aku mengekspresikan amarah lewat tulisan-tulisanku.
Beberapa
waktu kemudian aku sudah bekerja. Aku diterima bekerja di sebuah LSM yang
bergerak dibidang Advokasi pelayanan Publik. Enam bulan ketika aku magang
disana, aku yakin bahwa inilah wadah yang membuatku mampu memelihara
idealismeku, kultur intelektual, budaya diskusi, dan seabrek model aktivitas
yang sewarna dengan dunia mahasiswa. Aku memang sangat khawatir ketika disuatu
saat nanti idealisme yang melekat hari ini terkikis dan terbuang lalu berterbangan
seperti kapas yang tidak jelas mengikuti angin yang membawanya. Tetapi dunia
LSM membuatku yakin bahwa idealisme ini akan semakin mendarah daging.
Nilai-nilai yang disebut Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis yang jadi
ruh disana terinternalisasi dalam gerak aku dan kawan-kawan. Nilai-nilai
partisipatif, transparan, akuntabel, keswadayaan, kesetaraan, berpihak,
keberlanjutan, kemandirian, pemberdayaan dan pengkaderan, dan demokratis. Kita
bekerja meningkatkan Kapasitas warga dan organisasi warga dalam mendorong
pelayanan kesehatan yang optimal. Mendampingi sepuluh desa, menjajaki semua
problem pelayanan kesehatan, kemudian memilih kader terbaik desa untuk menjadi
pioner dan mereka menginisiasi lahirnya organisasi warga yang konsen memberikan
informasi berkaitan dengan standar pelayanan, lalu membelajarkan organisasi ini
dan masyarakat menjadi warga yang berdaya, serta menampung segala keluhan dan
pengaduan masyarakat untuk diadvokasi di pihak pelayan kesehatan dan pengambil
kebijakan. Lalu diantara aktivitas-aktivitas itu ada peningkatan kapasitas kita
sebagai NGO dan warga serta organisasi warga tentang regulasi-regulasi yang
berkaitan dengan isu yang sedang kita perjuangkan.
Aktivitas-aktivitas
ini sangat mulia. Aku begitu nyaman. Aku bisa memenuhi kebutuhan otak-ku untuk
bergulat dengan segala diskursus tentang konsep pengorganisasian, dan tekhnik
fasilitator. Dan secara langsung menyiapkan diri untuk berlajar menjadi
konseptor perubahan. Inilah mungkin cara aku dan kawan-kawan di LSM melakukan
rekayasa untuk perubahan sosial. Menjiwai dan berubah wujud menjadi aktivis LSM
mengajarkan aku untuk selalu meningkatkan kapasitas, karena fungsi pendampingan
dan pengorganisasian ditingkat warga menuntut kita untuk memberi banyak hal
untuk itu.
Dalam
kenyamanan ini aku merasa tidak ingin berpindah dari tempat dudukku yang begitu
banyak memberi input kapasitas. Lalu bersama dengan waktu ini pula aku merasa
seperti ada sesuatu yang masih kurang. Ada sesuatu yang masih perlu aku kejar.
Bergelar aktivis mahasiswa sudah aku tempuh, memelihara idealisme dengan tempat
bekerja yang cukup nyaman sedang juga aku alami dengan sepenuh hati. Bahkan
mencoba membentuk kultur baca dan diskusi di taman kota sudah aku seriusi.
Tetapi aku merasa masih ada yang tersumbat dalam obsesiku. Beberapa kali mendapat
sindiran sebagai orang yang tidak jelas arah tujuannya. Seringkali juga
dianggap sebagai kutu loncat. Hanya karena aku melakukan pekerjaan lebih dari
satu tetapi masih merasa ini bukan sesuatu yang ku kejar selama ini. Bahkan
ketika aku menjadi dosen yang menurutku nanti mampu menemukan sesuatu yang
sedang aku cari. Ternyata tetap saja aku merasa melewatinya sebagai rutinitas
ansih.
Ada
keinginan besar yang masih harus ku tuntaskan dalam perjalananku. Entah apa
dia. Tetapi aku menafsirkan ini adalah keinginan untuk menjadi penulis dan
menerbitkan buku karyaku sendiri. Aku serasa gila dengan obsesi ini. Tidak
jarang waktuku terkuras hanya dengan memandangi buku-buku yang berbaris di
mejaku. Hanya untuk melihat dan ter-kagum-kagum dengan karya luar biasa yang
mereka ciptakan. Ada juga terkadang aku mencibir beberapa buku yang ku anggap
tulisannya sangat sederhana tetapi laku di pasaran. Sungguh menyentil untuk
beradu ide dan karya. Aku sering belajar menulis mengikuti gaya mereka menulis,
sering belajar tentang cara mereka mengungkap keluh kesah, belajar
mengekspresikan bahagia lewat artikulasi bahasa yang bisa membuat pembaca ikut
tersenyum, dan belajar tentang cara para penulis itu mengungkap kebobrokan
pemerintah dengan bahasa yang eufimistik.
Dan
aku puas dengan semua itu. Ingin rasanya berteriak dan mengangkat tangan serta
mengatakan “Aku merdeka dari segala keluh kesah yang membuat hidupku redup dan
senyumku mengkerut”. Maka dari itu aku ingin benar-benar menjadi penulis dan
disaatnya nanti menciptakan buku yang bisa membuat orang lain tersenyum,
ter-inspirasi, terdorong melakukan kebaikan, dan merdeka dari segala kepelikan
hidup. Tentu sekali lagi ini bukan untuk kepentingan prestise tetapi dalam
rangka mengambil bagian dalam upaya mencerdaskan manusia. Dalam rangka
berperang melawan kebobrokan moralitas. Hanya dengan menulis membuat orang lain
bisa menyelami makna kebaikan yang selama ini menggerakkan kita. Hanya dengan
menulis membuat pesan-pesan kebaikan yang kita sampaikan bisa dibaca oleh
manusia diseantero negeri. Menulis ini mencoba menyampaikan kecemerlangan ide
yang kita dapatkan dari suara langit. Suara Penguasa Abadi.
Mari
menulis.
*Merapat bersama obsesi ini
Sabtu, 05 Mei 2012
GENERASI EMAS PII, OSIS, DAN OSES
Oleh Muhadjir Effendy (Ketua Perhimpunan KB PII Jawa Timur)
Jawapos, Sabtu, 5 Mei 2012
PADA
4 Mei 1947 di ibu kota Republik Indonesia, waktu itu Jogjakarta,
berdiri organisasi yang diberi nama Pelajar Islam Indonesia (PII). PII
menjadi organisasi pelajar pertama yang berdiri di era setelah
kemerdekaan. Tatkala Jogjakarta menjadi pusat perlawanan untuk
mempertahankan kemerdekaan, anak-anak sekolahan dalam PII yang baru
lahir itu langsung ikut menjadi pejuang. Momentum dan suasana kelahiran
tersebut, dipadu dengan anutan ideologi plus gejolak usia remaja,
membuat watak organisasi itu menjadi khas, yaitu fanatik, militan,
idealis-utopis dibumbui dengan romantisme perjuangan.
Watak
semacam itu tetap terbawa ketika bangsa Indonesia memasuki tahap mengisi
kemerdekaan. Ketika itu berbagai kekuatan ideologi menjelma menjadi
partai-partai politik yang saling bersaing. Ada dua ideologi dan partai
yang jelas-jelas tidak mungkin dipersatukan, yaitu Masyumi (Majelis
Syura Muslimin) yang mewakili agama dan PKI (Partai Komunis Indonesia)
yang komunis-ateis. Di tengah persaingan sengit itu, sekalipun
menyatakan diri sebagai organisasi independen, PII mau tidak mau
memiliki kedekatan dengan Partai Masyumi. Saking dekatnya, orang-orang
PKI menjulukinya “Masyumi berkatok pendek”.
Sikap antikomunis
PII termanifestasi dalam kegiatan pengaderan. Baik sebagai bagian dari
materi training, yel-yelnya, maupun nyanyian-nyanyian. Misalnya yang
terdapat dalam sebuah lirik: …hai PII! Maju terus maju, galanglah
ukhuwah islamiah, jadilah pemersatu umat, jadilah pedang umat Islam,
hancur leburkan ateisme, maju terus pantang mundur!
Bagi PII,
keberadaan Partai Masyumi dan dirinya memang memiliki sejarah khusus.
Salah satu doktrin yang ditanamkan kepada kader PII adalah pentingnya
menggalang persatuan umat Islam. Dalam Ikrar Malioboro para pemimpin
Islam bersepakat akan pentingnya satu kesatuan umat Islam. Mereka
berikrar hanya Masyumi-lah satu-satunya partai Islam, organisasi
pelajarnya adalah PII, organisasi mahasiswanya HMI, organisasi pemudanya
adalah GPII, dan Pandu Islam (PI) satu-satunya organisasi kepanduannya.
PII juga merujuk fatwa yang pernah diucapkan Hadhratusy Syaikh KH
Hasyim Asy’ari, pendiri NU, bahwa haram hukumnya partai Islam selain
Masyumi. Namun, kesepakatan itu berlangsung tidak lama karena pada 1948
PSII keluar dari Masyumi untuk menjadi partai politik sendiri dan
disusul NU pada 1952.
PII pelan-pelan mulai kehilangan hak
monopolinya ketika ormas dan orpol Islam mulai membentuk organisasi
sayap pelajarnya sendiri. Di NU berdiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) pada 1954. Di Muhammadiyah, setelah terjadi pro-kontra akhirnya
pada 1961 juga berdiri Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Kendati
begitu, doktrin akan pentingnya satu kesatuan umat Islam tetap menjadi
cita-cita utopia PII. Ketika pada 1960 Presiden Soekarno membubarkan
Partai Masyumi, PII terkena imbasnya. PKI dan onderbouw-nya kian
beringas terhadap si Masyumi bercelana pendek itu. Kasus yang sangat
terkenal, misalnya, peristiwa Kanigoro pada 1965. Ketika itu BTI,
organisasi onderbouw PKI, menyerbu tempat terselenggaranya training PII
di Kanigoro, Kediri.
PII dan TNI
Pada 1966 keadaan
jadi berbalik. Para aktivis PII -bersama IPNU, IPM, GSNI, dan lain-lain-
dengan dukungan ABRI ramai-ramai mengganyang PKI melalui Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Beda dengan KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) yang wilayah operasinya terbatas di kota-kota
perguruan tinggi, jangkauan KAPPI bisa sampai ke pelosok tempat sekolah.
Mereka bekerja sama dengan ABRI sampai level komando paling bawah,
yaitu koramil. Saking dekatnya para aktivis KAPPI dengan ABRI, mereka
semacam mendapat prioritas diterima di Akabri. Terutama ketika gubernur
Akabri dijabat Sarwo Edhie (1970-1973). Banyak lulusan Akabri angkatan
tahun ’70-an yang berasal dari aktivis KAPPI, terutama PII. Sebagaimana
kita tahu, mertua Presiden SBY itu tatkala menjadi komandan RPKAD
(1964-1967) sangat terkenal dalam memimpin penumpasan G 30 S/PKI.
Seperti melupakan andil organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah
(OSES), justru kemudian pemerintah Orde Baru secara sistematis mencegah
kehadiran organisasi ekstrasekolah masuk di sekolah. Di sekolah hanya
boleh ada OSIS (organisasi siswa intrasekolah) dan pramuka.
Bagaimanapun, organisasi ekstrasekolah telah menunjukkan keunggulannya
dalam menyiapkan pemimpin-pemimpin bangsa. Sebut saja, misalnya, PII
telah melahirkan Jusuf Kalla. GSNI melahirkan Taufik Kiemas, dari IPM
memunculkan Busyro Muqoddas. Kalau ada kekhawatiran organisasi ekstra
memunculkan sikap fanatisme sempit dan kaku, itu tidak sepenuhnya benar.
Bisa disaksikan bahwa PII bisa melahirkan tokoh NU seperti KH Hasyim
Muzadi sekaligus tokoh Muhammadiyah seperti Prof A. Malik Fadjar. IPNU
yang notabene organisasi sayap NU bisa melahirkan tokoh Muhammadiyah
seperti Prof M. Din Syamsuddin. Di jajaran kabinet saat ini ada para
menteri yang mulai mengasah bakat kepemimpinan sejak usia remaja melalui
organisasi ekstrasekolah.
Generasi Emas Perlu Utopia
Masa remaja ibarat lempengan besi yang sedang membara, saat yang mudah
ditempa untuk dibikin menjadi apa saja. Termasuk saat yang paling tepat
untuk ditempa menjadi calon pemimpin bangsa. Sayang, keadaan
sekolah-sekolah kita saat ini tidak cukup kondusif untuk menyemai
calon-calon pemimpin itu. Anak-anak sekolah kita tidak mampu membangun
“mimpi besar” karena imajinasi dan cita-cita utopis mereka tidak
berkembang seperti yang seharusnya terjadi pada anak usia remaja yang
bakal menjadi pemimpin masa depan. Akibatnya, naluri militansi,
fanatisme, dan romantisme perjuangan mereka lampiaskan lewat tawuran
masal, geng motor, vandalisme, bahkan tindakan kriminal.
Dalam
memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, menteri pendidikan dan
kebudayaan mengangkat masalah mempersiapkan generasi emas Indonesia
(Jawa Pos, 2 Mei 2012). Menyiapkan generasi emas yang menguasai berbagai
keterampilan perakitan dan produksi sangat penting.
Akan
tetapi, saya kira itu bukan jalan untuk menyemai pemimpin bangsa.
Tetapi, justru potensi persemaian itu ada pada organisasi-organisasi
ekstrasekolah. Karena itu, demi lahirnya pemimpin generasi emas
Indonesia, diperlukan kebijaksanaan yang mendorong dan memfasilitasi
kembalinya organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah alias OSES tersebut
untuk berkiprah di sekolah-sekolah, seperti OSIS.
*) Ketua umum terpilih 2012-2015 Keluarga Besar PII Jawa Timur. Tilisan ini diterbitkan di JawaPos
MERINDUKAN SEMANGAT PERJUANGAN KI HAJAR DEWANTARA
(Dimuat di Lombok post. Jum'at, 4 Mei 2012)
Siapa yang tidak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Diakhir-akhir bulan april dan menyambut Mei, namanya sering disebut, karena tanggal kelahirannya yaitu 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional, tidak hanya itu pada 28 November 1959 melalui surat keputusan Presiden RI no. 305 Tahun 1959, Ki Hadjar ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.
Tokoh yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat merupakan peletak dasar pendidikan nasional. Sekilas melihat latar belakangnya, Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar dan setelah lulus ia meneruskan ke Stovia di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda RM Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang baginya yaitu di seksi propaganda.
Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, , dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda!.
Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya.
Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah atau bawahannya. Banyak pimpinan saat ini yang sikap dan perilakunya kurang mencerminkan sebagai figur seorang pemimpin, sehingga tidak dapat digunakan sebagai panutan bagi anak buahnya.
Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitkan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seorang pemimpin ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya. Karena itu seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja.
Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh bawahan, karena paling tidak hal ini dapat menumbuhkan motivasi dan semangat kerja.
Beliau meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Sebagai wujud melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara oleh pihak penerus perguruan Tamansiswa didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Dalam museum terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Uraian diatas adalah sekilas potongan sejarah perjuangan Ki Hadjar dan terlihat jelas jiwa kebangsaannya telah tertanam sejak muda. Dan jiwa kebangsaannya itu memberikan kontribusi dan dorongan kuat pada dirinya untuk melahirkan konsep-konsep pendidikan yang berwawasan kebangsaan.
Ketika Masa orde lama beliau menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Melihat jejak sejarah KI Hadjar Dewantara, beliau sangat berjasa memikirkan tentang pendidikan Indonesia. Banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hadjar dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan. Tagore dan Ki Hadjar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tindakan Ki Hadjar itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat.
Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari "strategi" untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.
Kita sebagai generasi muda, selayaknya menyambut perjuangan beliau dan melanjutkan cita-citanya untuk memajukan pendidikan diIndonesia. Kalau saja KI Hadjar Dewantara mampu berfikir dan mengonsep beberapa ajaran yang akhirnya sangat dikenal oleh masyarakat yang seiring dengan itu masalah sosial-politik negara sedang belum stabil, kenapa tidak menjadi satu semangat kita untuk menatap masa depan cemerlang bagi pendidikan kita.
Melihat semakin hari realitas pendidikan kita semakin tidak “merakyat” menurut KI Hadjar Dewantara, tak selayaknya kita berdiam diri, apalagi dizaman yang “serba ada” ini, mestinya generasi muda mampu selangkah lebih maju dari tokoh-tokoh yang telah mendahuluinya seperti KI Hadjar sehingga dimasa yang akan datangpun akan mampu memperbaiki dan menyempurnakan wajah pendidikan bangsa Indonesia.
Realitas pendidikan masa kini semakin tak tentu arah, proses ikhtiar yang panjang dilakukan oleh para siswa maupun guru hanya ditentukan oleh tiga hari ujian. Ini mengundang usaha-usaha yang tidak jujur dari beberapa oknum yang ingin mengejar nama sekolah menjadi baik, terkenal pintar hanya karena jumlah siswanya yang lulus lebih sedikit dari sekolah lain, selain itu oknum yang merasa system ini tidak adil akan membuat trik khusus untuk membocorkan soal, memberi tahu jawaban, dan lainnya untuk membantu siswanya.
Dan mungkin banyak kasus lain yang jika diurai satu persatu akan menjadi satu paket system pendidikan yang hari ini sedang carut marut. Implikasi yang bisa dirasakan oleh seluruh komponen pendidikan hari ini adalah ekspresi siswa terhadap keputusan lulus ataupun tidak. Siswa-siswa yang merasa diri telah mendapatkan predikat kelulusan akan mengekspresikan kebahagiaannya sampai pada titik ekstrim kebahagiaan; konvoi motor, balapan sepeda motor, coret-coretan baju, dan lainnya. Coba kita obyektif melihat ini, tidak adakah satu ekspresi kebahagiaan yang lain yang lebih berbau pendidikan?atau symbol-simbol lain sebagai indikator keberhasilan proses pendidikan selama ini?
Dan jika mereka adalah siswa yang belum beruntung karena tidak lulus ujian, bukan proses introspeksi dari usaha yang mereka lakukan selama ini tetapi mengkambing hitam; teman benci, guru jadi sasaran, gedung sekolah dihancurkan untuk menunjukkan kekecewaan mereka. Inikah hasil dari pendidikan yang menciptakan generasi bangsa yang beradab itu.
Jika demikian, wajar ketika kita harus merindukan apa yang dulu diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Seharusnya kita mencoba memfalsafahi kembali sebuah cita yang pernah ada pada pendidikan kita, melahirkan para tokoh dan orang-orang yang hari ini menjadi “orang” bagi bangsa dan Negara Indonesia.
Senin, 23 April 2012
TANPA SAPA
Malam syahdu
lewati gelap
Menembus
batas yang hampir tak terlihat
Wajahnya
sayup, matanya berkedip
Airmatanya
bercucuran
Ada trauma
mencekam
Ada
ketakutan yang menghadang
Ada redup
mengisi warna masa depannya
Dia seperti
terlahir tanpa hati
Dia seperti
hidup dengan mata hati yang telah mati
Tak bersuara
ia se-kata pun
Hadir
ikhtiar menggugat pilihan ambivalen ini
Tapi lagi ia
tak bergeming
Lagi ia tak
bergeser dari tempat ia berdiri
Tak kuasa
menahan perih
Tak kuasa
menahan derita hati
Dalam pilu
ada air mata yang tak diingini
Terisak memohon
Berharap ada
ruang disudut hati
Memelas
senyum
Menanti sapa
Menyentil
empati
Meraih
simpati
Membuka
kembali hati
Biar matamu
menyorot sudut hati yang hampa
Hati kosong
tanpa sapa
Lalu
menangis terisak
Tak tertahan
pilu hatinya
Tak terbendung
beban perasannya
Hampir mati
oleh takdir keegoisannya
Ternyata
masih ada ruang kecil dihatinya
Berbalut
senyum ia mengulur tangan
Memberi
isyarat harap akan rasa
Ini berat,
begitu ia berucap
Inginkan
harapan kembali dia dalam mimpinya
Mimpi yang
telah bersimbah airmata mengejarnya
Sampai akhir
satu kata menyapa dalam cinta
Dan menyulap
dunia menjadi surga
Sabtu, 07 April 2012
Dari Mahfudz Siddiq untuk Rakyat Indonesia
#Apakah untuk 3 kasus tsb koalisi satu suara? Tidak. Bbrp partai koalisi beda dgn pemerintah. Tp label "pengkhianat" ditujukan hanya ke PKS.
#PKS dukung angket Century jelas krn perampokan Bank yg kemudian ditutup uang negara hrs diusut dan tdk boleh jadi pola berulang!
#PKS dukung angket mafia pajak jelas krn rugikan potensi penerimaan keuangan negara puluhan bahkan ratusan trilyun per-tahun. Kasus Gayus??
#PKS tolak harga BBM naik jelas krn masih ada solusi lain dan masy tdk siap dan tdk mampu. Faktanya skrg harga minyak dunia terus turun!
#Sekarang media ributkan "kejanggalan" APBNP yg diduga ada "barter" soal uang negara tuk gantirugi korban "Lapindo". Ada kaitan dgn isu BBM??
#Jika ada yg paham hebatnya mafia BBM di Indonesia, siapa paling diuntungkan jika BBM subsidi jadi naik 1 april lalu? Pastinya bukan PKS!
#PKS koalisi dgn Pres SBY krn mau bantu negara dan rakyat. Bukan bantu seorang SBY dan PD.
http://yfrog.com/odtjtgsj#Koalisi pernah disebut pengamat sbg "kerumunan politik yg sarat kepentingan". Jadi wajar kalo ada intrik, saling incar, belah bambu, etc!
#Saya tdk kaget jika seorang Ketum partai besar tiba2 jadi jubir istana tuk katakan bhw "PKS tlah berkhianat". Kami tdk akan komen ttg Anda!
#Saya jg tdk kaget ktk bbrp partai Islam minta PKS tdk dukung PT tinggi yg diusul 3 parpol besar dlm UU Pemilu. Kami setuju. Lalu Anda skrg??
#Banyak pihak nilai pemerintah asyik dgn pencitraan. Aneh saat PKS tolak harga BBM naik, buru2 mereka tuding PKS cari pencitraan. Haha..?!
#2 periode, PKS tahu persis bgm manajemen koalisi dijalankan. Yakinkah bhw proses pengambilan keputusan baik jika style leadership sprt ini?
#Amar ma'ruf - Nahi munkar: prinsip PKS dlm berpolitik, baik di dalam ataupun di luar pemerintahan. Katakan kebenaran meski pahit (resikonya)
#PKS tdk punya media besar tuk bangun opini. Media kami adl nurani & akal sehat rakyat ini yg paham soal century, mafia pajak & kisruh BBM!
#PKS mmg partai seumur jagung tp pelajaran sejarah menyambung umur perjuangan kami tuk sadar dan paham bertindak. Meski banyak yg blm sadari.
#Kepada kader PKS trus arungi gelombang samudera dgn sampan kecil kalian! Kelak kapal2 besar yg akan karam akan butuh "tangan" kalian!
#Kader PKS: Trus pelajari sejarah, firasati keadaan dan bertindak tanpa pamrih untuk kebaikan sebanyak2nya orang di sekeliling kalian!
#Selamat berhari libur, tp jgn sekali2 liburkan nurani & akal kita! Rakyat negeri ini sdh lama lelah dgn keadaan, tp mrk msh simpan harapan!
Senin, 02 April 2012
SECUIL CINTA, WARNA CINTA DI ATAS OBSESI
Siang itu lalu lalang kendaraan diterminal Dompu memekakkan
telinga, terik matahari membuat keringat mengguyur seluruh tubuh, bagian
punggung baju kotak-kotak Rangga terlihat basah oleh keringatnya. Terik ini
pula yang dirasa oleh Aurora. Siang yang berbeda, tidak hanya oleh matahari
tetapi gemuruh perasaan yang menguasai hati mereka. Ini kali terakhir mereka
bertemu setelah jalinan cinta yang mereka rajut dengan perantara seorang Ustad
ternama di daerahnya. Rangga hendak berangkat ke pulau Lombok, pulau sekaligus
yang menyatukannya dengan ibukota propinsi Nusa Tenggara Barat.
Disudut terminal itu mereka berdiri dibatasi jarak yang
cukup jauh. Jarak yang bisa dipastikan tak ada yang mengetahui dialog cinta dihati mereka. Harapan kasih
sayang sedang diproses untuk bersatu saat itu harus terpisah sementara oleh tuntutan
pekerjaan kantor Rangga yang harus meninggalkan tidak hanya obsesinya untuk
menikah tetapi juga seluruh amanah organisasi, serta keluarga pula
sahabat-sahabatnya.
Simbah keringat sengaja tidak dihiraukan oleh mereka, ingin
rasanya tempat mereka berdiri ini dibuat seperti sebuah monumen yang bisa
disaksikan suatu saat nanti. Saat dimana cinta itu telah terajut sah dalam
bingkai syariat. Tak ada dialog yang membuktikan mereka saling mengenal siang
itu. Hanya sesekali tatapan kearah keduanya yang masing-masing mereka
interpretasikan sama. Kalimat yang mewakili perasaannya saat itu. “Aku titip
secuil cinta dihatimu, aku menunggu hingga waktu mempersatukan kita. Allah
menyaksikan siang ini bahwa hatiku berjanji untuk melanjutkan proses menuju
bahtera pernikahan”.
Begitu kiranya dendang perasaan yang sama terlontar dalam
hati kecil mereka. Sembari harapan ini diyakinkannya kuat mengisi setiap sudut
hati mereka. Ada do’a. Ada cita-cita segera menyempurnakan agama.
“Mas, ayo!!busnya mau berangkat..” kondektur bus menyela
interaksi hati mereka. Aurora mencoba mengalihkan perasaan sedihnya. Antara
keyakinan dan ketakutan tentang akhir dari kisah cintanya. Dia lalu mencoba
pergi menjauh dari tempatnya berdiri. Dalam berat rasa hatinya dia mencoba
kuat, tidak ingin kemudian keberadaannya memberatkan Rangga.
Rangga pun naik ke dalam bus. Dan duduk tepat kursi nomor 10
dekat jendela. Buspun berangkat meninggalkan terminal Dompu. Terminal yang
tidak hanya menjadi terminal bus tetapi akan menjadi terminal cinta Rangga dan
Aurora.
“Selamat tinggal Dompu, aku akan meninggalkan semuanya
sementara untuk mengejar citaku ini, semoga dua tahun kemudian aku kembali
dalam keadaan yang sama. Amin..” Seraya mengangkat kedua tangannya tanpa
terpengaruh oleh bapak tua yang duduk dikursi sebelahnya.
***
Siang tepat jam 11.00 keesokan
harinya. Rangga sampai diterminal Mandalika Mataram. Lalu Rangga menuju rumah
dinas yang sudah disiapkan oleh pihak Pemerintah.
Sampailah iya di tempat
tinggalnya yang baru. Suasana sejuk ditempat barunya terasa mendekatkan dia
dengan kampung asalnya. Tidak jauh berbeda, nuansa alami yang melukiskan
kekuasaan Ilahi tak ada duanya. Seperti tidak berpindah dari tempat tinggalnya
di Dompu.
Setelah istirahat. Ba’da magrib
Rangga segera melapor ke Ketua RT tentang keberadaannya yang menempati rumah
dinas yang sudah hampir setahun tidak berpenghuni. Sambutan Pak RT dan
keluarganya menghangatkan perasaan Rangga dengan suasana disekiitar situ.
Rangga kembali ke rumah dan mulai
menyiapkan berkas-berkas untuk keperluannya bekerja besok.
Keesokan harinya pagi-pagi Rangga
berangkat ke tempat kerjanya. Dia berjalan kaki karena tidak begitu jauh dari
perkampungan itu. Sesampai di kantor tampak semua karyawan yang hendak
siap-siap untuk mengikuti apel pagi. Rangga langsung ikut bergabung.
Setelah apel pagi berlangsung
Rangga langsung menuju ruang Kepala Dinas Pertanian. Ia Rangga bekerja di Dinas
Pertanian. Setelah melapor Ranggo langsung diperkenalkan oleh Kepala Dinas
kepada semua pegawai yang ada di instansi tersebut.
Aktivitas dikantornya selama
seminggu itu sangat dinikmatii oleh Rangga. Lingkungan baru yang menjanjikan
pembelajaran yang berharga, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan budaya kerja yang
sangat profesional. Rangga yakin sepulang dari sini akan membagi semua ilmunya
di Dinas pertanian di daerahnya. Rangga ingin juga bahwa selama di Mataram dia
tetap menjaga ibadah hariannya sehingga dia pun mendatangi kelompok-kelompok
kajian Islam disekitar perkampungan itu.
***
Enam bulan sudah berlalu,
kesibukannya di Mataram mengikis ingatannya tentang Dompu, Aktivitasnya dahulu,
dan juga Aurora. Tetapi dalam hati terdalam komitmennya untuk menikah dengan
gadis yang sudah ia kenal sebelumnya masih tersimpan rapi dalam hati.
Kadang-kadang ingatannya terhadap Aurora terbawa hingga ia sering bermimpi
ketemu Aurora.
Selama merantau di negeri orang Rangga sudah sangat akrab
dengan masyarakat di kampung ini, karena keramahan dan pribadinya yang sholeh
menempatkan ia di setiap hati tetangga-tetangganya. Dan ternyata ketua RT di
tempat itu menaruh perhatian khusus sama Rangga.
Suatu ketika seperti biasanya selepas shalat magrib Rangga
mengisi waktu dengan tilawah Qur’an, dan membaca buku-buku agama di masjid.
Dihampirilah ia oleh ketua RT yang sekaligus menjadi imam di masjid jami’ Baiturrahman.
“Assalamu’alaikum nak Rangga” sembari mengulurkan tanggan
untuk berjabat tangan dengan Rangga.
“Wa’alikumussalam, eh Pak Ridwan. Apa kabar pak?sehat?”
Jawabnya ramah.
“Nak Rangga betah tinggal di kampung ini”
“Alhamdulillah, saya berah sekali pak. Selain ramah-ramah,
masyarakat sini juga taat beribadah pak”
“Alhamdulillah Nak Rangga, Bapak juga berharap Nak Rangga
betah disini. Dan jika ada hal-hal yang tidak berkenan dihati, langsung saja
sampaikan ke Bapak”
“Insya Allah pak. Yang pasti sampai saat ini saya kagum
dengan suasana di desa ini”
Pak Ridwan merasa cukup untuk berbasa-basi mencairkan suasan
sebelum ia memulai pada pembicaraan inti. Lalu sambil memegang lengan Rangga
Pak Ridwan melanjutkan pembicaraannya.
“Ngomong-ngomong Nak Rangga sudah berkeluarga?”
“Alhamdulillah belum pak, saya masih sendiri, minta do’anya
setelah tugas dinas ini saya bisa menggenapkan separuh Dien”
“Wah kebetulan neh nak Rangga, Bapak punya anak perempuan
yang seumur dengan nak Rangga, namun sampai hari ini dia belum menikah, selama
ini banyak yang datang melamar tetapi sering ditolak sama anak saya. Yang
sederhana dia sampaikan adalah karena tidak ada yang berjenggot.”
“Aduwh terimakasih sekali pak, Bapak sudah menawarkan
kebaikan untuk saya, tetapi maaf pak tanpa mengurangi rasa hormat saya ke pak
Ridwan, saya belum bisa jawab sekarang pak karena saya masih ingin menuntaskan
tugas saya selama disini”.
Belum tuntas pembicaraan adzan isya sudah berkumandang.
Saatnya kembali menghadap Robbil Izzati. Karena keduanya masih dalam kondisi
berwudhu, mereka langsung melaksanakan shalat sunat kemudian melanjutkannya
dengan shalat isya berjamaah.
Sepulang dari masjid, Rangga meresapi tawaran dari Pak
Ridwan tadi. Dia sedikit kepikiran. Satu sisi dia merasa saat ini, diusia yang
menginjak ke 26 tahun tepat baginya untuk mengakhiri masa lajangnya. Satu sisi
yang lain Aurora disana, sedang menanti kepastian proses yang tidak kunjung
usai karena pertimbangan keluarga yang cukup memberatkan. Dan kali ini tawaran
kebaikan itu menghampiri tanpa syarat satupun. Pilihan-pilihan yang membuat
Rangga cukup berat untuk mengambil sikap. Dia kembalikan kepada takdir Allah
SWT. Semoga ada yang terbaik bagi kebimbangannya tentang pilihan menikah.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Tak
terasa hari-hari dilewati Rangga dengan tanpa perubahan yang berarti. Hanya
kepercayaan diri untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya setelah nanti kembali
ke tempat asal ia bekerja. Satu perasaan yang berbunga dalam hatinya ketika dia
ingat bahwa sebentar lagi akan datang masa kebahagiaan baginya, saat di
tersenyum indah kala duduk bersanding di pelaminan, tentu dengan seorang wanita
yang selama ini menantikan kehadirannya pulang kembali dalam hati yang terus
mendendangkan cinta.
Enam bulan lagi masa tugas
belajarnya berakhir. Pekerjaannya tinggal merapikan evaluasi akhir dan
pelaporan kepada dinasnya di Dompu. Ingin rasanya hari itu segera pulang ke
rumah dinas untuk mengabarkan kepada keluarganya, kemudian melanjutkan
pembicaraan yang sempat tertunda setahun yang lalu tentang rencana
pernikahannya dengan Aurora.
Jam 15.00 dia pulang bekerja.
Sesampai dirumah, belum dia mengganti pakaiannya dia lebih dulu mengambil
handphone di kantong kecil tas ranselnya. Rangga ingin bicara dengan
keluarganya di kampung.
“Assalamu’alaikum” suara jernih
ibu tercintanya yang mengangkat telepon.
“Wa’alaikumussalam. Ibu
sehat?keluarga dirumah sehat?”
“Alhamdulillah sehat semua,
tapi...”
Tut..tut..tut..handphonenya
tiba-tiba mati. Rangga mencoba menghubungi kembali nomor handphone ibunya
tetapi jaringan sibuk, nampaknya jaringan seluler kembali error seperti
biasanya. Tidak bisa menyambung untuk menelpon. Tetapi lancar untuk
menyampaikan sms. Tiba-tiba nada pesan handphone Rangga berbunyi.
“Maaf Nak, ibu mencoba
menghubungi kembali tidak bisa. Maafkan ibu nak”
“Iya bu. Disini juga tidak bisa
tersambung” tetapi Rangga merasa aneh. Kenapa tumben ibunya meminta maaf
seperti itu di sms. Lalu dia kembali mengirimkan sms kepada ibunya.
“Minta maaf untuk apa bu?”
“Maaf nak. Ibu tidak bisa menjaga
kekasihmu. Aurora”
“Maksud ibu?”
“Iya nak. Semua masyarakat disini
sudah tahu kalau Aurora ternyata diam-diam menjalin hubungan dengan suami orang”
“Astagfirullahal’adzim. Ibu tidak
bercanda kan?”
“Iya nak. Ibu juga malu sama tetangga.”
"Iya bu. Yang sabar ya.."
Hati rangga seperti telah hancur
berkeping-keping. Seluruh semangat dan obsesinya selama ini kandas oleh kabar
ini. Dia terdiam. Melamun. Tak habis fikir dengan kabar yang baru saja
didengarnya. Dia mencoba tenang dengan semua ini tetapi perasaan kecewa lebih
kuat menggenggam hatinya. Tersayat hati kecilnya. Seperti hilang semangatnya
untuk melanjutkan tugas yang sudah setahun dia jalani. Dia sadar bahwa salah
satu kekuatan yang mengantarkannya pada tugas dinas ini adalah ukiran nama
Aurora yang tak bisa dihapuskan dengan apapun dihatinya. Tapi berita malam itu
membuatnya tak berbekas sama sekali.
Dia melamun hingga lupa dengan
makan malamnya. Tak ingin malam itu lewat berakhir dan berganti pagi sebelum
dia hapus semua cerita, angan-angan, cita-cita yang dirangkai dan
disutradarainya dengan dua pemain inti yaitu dia dan Aurora. Semakin berjalan
menuju jam 23.59 wita dia mencoba realistis, dia masih punya Tuhan yang maha
mengatur segala sesuatu. Memberikan yang terbaik sesuai dengan yang Tuhan
inginkan kepada dirinya. Lalu Ranggapun berbaring dan tertidur pulas sampai
subuh.
Keesokan harinya. Pagi cerah
secerah biasanya. Hanya perasaannya yang mendung tanpa cahaya optimisme kala
biasanya. Rangga kembali bekerja seperti hari-hari sebelumnya.
Sesampai disana dia membaca
pengumuman di papan informasi tentang peserta tugas belajar terbaik yang akan
melanjutkan program tugas belajar dari pemerintah di Bali 6 bulan lagi. Program
itu akan berlangsung selama setahun dan di setiap dinas hanya diwakili oleh dua
orang dan salah satunya adalah Rangga. Tidak ada yang istimewa juga dengan
berita ini karena sekali lagi bagi Rangga tak ada yang istimewa selain
bersanding dipelaminan dengan seorang gadis idamannya. Dan dia adalah Aurora
Fitriana.
***
Enam bulan kemudian. Rangga sudah
cukup berubah. Orientasi hidup baginya adalah bekerja dan karir. Nomor
handphone yang biasa dia pakai sudah diganti dengan yang baru. Daftar kontak
yang mengisi handphonenya juga adalah orang-orang baru. Dan disana sudah tidak
ada yang bernama Aurora. Rangga telah mengkondisikan hatinya untuk melupakan
semua kenangan itu. Harapan. Dan rencana indahnya dahulu.
Tiba saatnya dia berangkat ke Bali
melanjutkan program dinas yang sekaligus menjadi penghargaan bagi dua orang
peserta tugas belajar di dinas pertanian.
Pagi-pagi tepatnya jam 06.00
Rangga menuju Bandara Internasional Lombok. Dia dapat jadwal pesawat pagi.
Sampai di sana masih ada waktu sekitar 20 menit untuk menunggu pemberangkatan. Sedang
duduk membaca harian Lombok post Rangga dihampiri oleh seorang bapak-bapak.
“Assalamu’alaikum nak Rangga”
Dengan mata yang masih menatap
fokus pada koran yang dibacanya Rangga menjawab “Wa’alaikumussalam”. Lalu dia
mengangkat kepala dan melihat orang yang menyapanya, ternyata Pak Ridwan, ketua
RT sekaligus imam masjid Baiturrahman.
“Pak Ridwan, mau kemana pak?”
“Saya mau ke Bali. Loh..Nak
Rangga kenapa tidak ke rumah?”balasnya dengan ekspresi berharap.
“Iya pak. Saya minta maaf kemarin
belum sempat pamit sama Bapak. Kebetulan tugas belajar saya di Mataram sudah
selesai. Dan saya salah satu peserta tugas belajar di dinas pertanian yang
mendapat penghargaan. Dan sekarang diutus ke Bali untuk melanjutkan program ini”
“iya saya sudah tahu nak Rangga.”
“Maksud bapak?kok bapak sudah
tahu?”
“Iya anak saya yang cerita. Anak
saya juga dapat tugas belajar di tempat yang sama dengan nak Rangga. Dia dari
dinas pertanian Bandung karena dulu sekolahnya di Bandung. Dan salah satu
peserta dari dua peserta yang di utus ke bali itu adalah anak saya Dwi Srikandi”
“Ooo begitu Subhanallah dunia itu
sempit ya ternyata..”
“Perkenalkan nak Rangga, ini anak
saya Dwi”
“Dwi..” Sambil memberi isyarat
perkenalan pada Rangga tanpa berjabat tanggan.
Rangga kaget karena seorang
wanita yang berjilbab panjang warna hijau daun saa itu. Yang sempat menyita
perhatiannya dengan keramahan dan wajah bersih yang selalu ceria. Dan selalu
dilihat Rangga sedang membaca al-qur’an disetiap waktu dhuha adalah Dwi anaknya
ketua RT. Rangga tidak menyangka ternyata satu dinas sama dia, selama ini dia
mengira Dwi ini bekerja di dinas disamping dinas pertanian yang kebetulan tidak
memiliki mushollah.
“Iya..perkenalkan saya Rangga”
balasnya.
“Alhamdulillah akhirnya niat
bapak mempertemukan kalian terjadi juga. Ini lah nak Rangga anak saya yang dulu
pernah mau bapak kenalkan ke nak Rangga”
Rangga tidak begitu memberi
tanggapan yang memberi kesan menjawab harapan terhadap Pak Ridwan. Dia hanya
memberi jawaban datar saja.
“Iya pak sekali lagi terimakasih.
Insya Allah jika jodoh tidak akan kemana”
Pak Ridwan tersenyum dengan jawab
Rangga yang cukup diplomatis. Akhirnya pemberangkatan pesawat ke mengakhiri
pembicaraan mereka.
Selama di pesawat Rangga berfikir
serius tentang keinginan pak Ridwan menjodohkannya dengan Dwi. Dia berfikir
bahwa inilah mungkin jalan takdir yang Allah inginkan untuknya. Setelah sekian
lama tidak membuka pembicaraan tentang keinginannya Pak Ridwan ternyata masih
menyimpan harapan besan untuk menikahkan anaknya dengan Rangga, pemuda sholeh
yang luar biasa.
Sesampai di tempat penginapan di
Bali. Kali ini mereka menginap di hotel yang sudah sekian lama bekerja sama
dengan pemerintah dalam program ini. Tetapi mereka menginap di hotel yang
berbeda. Karena ruangan hotel tempat Rangga menginap sudah penuh, memang untuk
kali ini kapasitas peserta tugas belajar semua dipusatkan di Bali sehingga
sangat banyak.
***
Seminggu Rangga mengkhususkan
waktu untuk shalat istikhoroh, mengembalikan semua rencana dan pilihan pada
keputusan Allah. Satu anjuran Islam yang dia fahami, yang dianjurkan kepada
setiap orang yang ingin memilih sesuatu dan bimbang memutuskan satu perkara.
Setelah waktu-waktu ini
dimanfaatkannya. Mantap rasa hatinya untuk mengiyakan tawaran pak Ridwan. Lalu
Rangga mengkomunikasikan semuanya kepada orang tuanya dan meminta pertimbangan.
Sambutan baik pula kebahagiaan yang ditunjukkan orang tua Rangga semakin
memantapkan pilihannya. Dan Rangga memutuskan untuk bertemu dengan pak Ridwan
yang kebetulan selama sebulan menemani putri semata wayannya di Bali.
Pertemuan antara mereka
berlangsung di sebuah masjid besar yang terletak di perkampungan antara kedua
hotel tempat mereka menginap. Selepas shalat berjamaah Ashar Rangga
menyampaikan isi hatinya untuk menerima tawaran Pak Ridwan. Rangga juga berbicara
banyak hal tentang pemahamannya tentang menikah, dari awal tentang khitbah,
kemudian mahar, lalu akad nikah, dan acara resepsi pernikahan. Pak Ridwan juga
orang yang sudah sangat faham tentang aturan Islam yang berkaitan dengan
menikah, ditambah lagi pemahaman anaknya Dwi Srikandi yang selama di Bandung
berkecimpung dalam aktivitas tarbiyah selalu memberikan pencerahan pada ayahnya
selama ini. Dan pertemuan saat itu sudah sangat mantap sampai pada keputusan
waktu khitbah dan mempertemukan dua keluarga besar.
Masa yang dinanti itu segera
tiba. Mengurai cinta dalam mahligai Ilahi. Memulai langkah untuk merangkai
pernikahan suci yang ditaburi kasih sayang yang selama ini tersimpan rapat
dalam hati keduanya. Rangga terlihat sangat bersemangat menyambut detik-detik
kesempurnaan Dien yang akan dilewatinya.
***
Seminggu kemarin sudah terjadi
pertemuan dua keluarga besar. Lamaran. Sekaligus membiacarakan mahar dan waktu
akad nikah.
Persiapan yang tidak menghabiskan
waktu lama. Sangat singkat. Dan menyepakati hal-hal yang tentu akan menjadi
kebahagian dan masa depan bagi Rangga Wiradesa dengan Dwi Srikandi. Tiba
saatnya waktu untuk menyatukan ikatan cinta keduanya dalam ikatan yang sah.
Besok pagi akan berlangsung akad nikah mereka, berlangsung di Mataram, di
tempat tinggal Dwi Srikandi dan keluarga besarnya.
Malam itu, Rangga tampak tenang
dan menyiapkan fisik serta mental untuk menghadapi momentum bersejarah dalam
hidupnya. Saat yang menjadi batas masa lajangnya dengan kesempurnaan Dien,
diamana semua akan dilewatinya dengan seorang gadis pilihan, tentu dengan
mengumpulkan segala cinta yang selama ini memenuhi hati nya sendiri.
Keesokan harinya. Suasana tampak
ramai, undangan mulai berdatangan. Menyaksikan proses sakral kedua insan ini,
dan saat itu tidak hanya manusia, tetapi malaikat juga ikut berdoa meminta
keberkahan proses ini.
Barakallahu laka wabaraka alaika
wajama-a bainakuma fii khori.
Disaat-saat menunggu acara
dimulai, nada pesa di handphone Rangga berbunyi. Biasa saja Rangga membuka
handphonenya karena sejak semalam banyak sms yang masuk mengucapkan do’a dan
ucapan selamat atas pernikahannya. Tetapi kali ini sms berasal dari nomor yang
tak bernama.
“Assalamu’alaikum. Bagaimana kabarnya
kak Rangga?sepertinya masa tugas di Matarama sudah selesai. Bagaimana dengan
rencana pernikahan kita?”
Rangga sinis melihat sms ini lalu
membalas sms itu “Maaf ini siapa?”
“Ini Aurora. Aurora Fitriana”
Rangga semakin sinis, dan
menjawab agak ketus. “Maaf, jalan kita sepertinya sudah berbeda. Syariat yang
selama ini membungkus aktivitas kita sudah ternodai. Saya ingin perjalanan saya
tetap dalam rel keridhoan-Nya.”
“Maksudnya apa?saya selama dua
tahun menunggu mengisi hari-hari saya dengan kajian Islam, Kajian tentang membentuk
keluarga muslim, dan menjaga diri saya dan komitmen cinta saya menunggu kak
Rangga”
Rangga tampaknya sangat marah.
Dia merasa Aurora semakin menjadi wanita yang menyepelekan agama. Berbohong. Dan
berlindung dibalik busana muslimahnya.
“Jangan berdusta. Bukankah kau
telah menjalin hubungan haram dengan suami orang” smsnya sambil gerang
memegangi handphonenya keras.
“Astagfirullah. Wallahi!! Saya
tidak pernah melakukan itu. Justru saya selama ini tinggal di pesantren tempat
saya mengajar karena disana ada aktivitas ibu-ibu pengajian dan pembinaan
terhadap mereka”
Rangga tersentak. Keringat
bercucuran membasahi baju pengantinnya. Dia merasa berdosa telah menuduh
Aurora. Dia merasa bersalah karena mengambil sikap sepihak yang tidak mencari
informasi sesungguhnya tentang Aurora. Mukanya merah. Kebingungan antara dua
pilihan yang sama-sama berat. Dia ingin cintanya dahulu bersemi seperti bunga
mawar, tetapi dia juga bingung karena sudah berada di gerbang pernikahan dengan
seorang gadis lain yang baru dia kenal.
“Ya Rabb..Tolong lah aku, berikan
ketenangan kepada hatiku. Jangan biarkan pilihanku mendzolimi mereka yang
pernah singgah dihatiku".
Tidak bisa dibayangkan kondisi
perasaan yang sudah tidak jelas menguasainya. Air matanya terasa di ujung mata.
Ingin membasahi nuansa bahagianya saat itu. Bercampur tak berasa.
Beberapa saat kemudian suara
handphonenya berbunyi ada yang menelponnya. Tanpa melihat siapa yang menelpon
Rangga lalu mengangkatnya.
“Hiks..hiks..hiks..Barakallahu
laka wabaraka alaika wajama-a bainakuma fii khoiri. Maafkan segala khilafku. Semoga
engkau bahagia disana..” tut..tut..tut..
“Halloo..halloo..halloo..Aurora..!!!”
Ternyata Aurora barusan
mendapatkan sms lanjutan dari teman SMA nya bahwa Rangga melangsungkan akad
nikah pada saat itu.
Ekspresi Rangga yang mengangkat
telfon dan suaranya yang keras menyebut nama Aurora membuat semua undangan
berdiri melihatnya. Dan keluarga terutama ibunya menghampiri Rangga dan
menenangkan suasana hatinya. Rangga menangis dihadapan ibunya, selama ini dia
telah memelihara prasangka buruk terhadap wanita yang telah ia janjikan
menikah. Isak tangis itu diikuti oleh perasaan ibunya yang halus karena sangat
mengetahui bagaiman cita-cita Rangga terhadap aurora dan masa depan mereka.
Setelah ditenangkan akhirnya
suasana kembali normal dan Rangga akhirnya melangsungkan pernikahan dengan Dwi
Srikandi saat itu juga.
Langganan:
Postingan (Atom)
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin