Siang itu lalu lalang kendaraan diterminal Dompu memekakkan
telinga, terik matahari membuat keringat mengguyur seluruh tubuh, bagian
punggung baju kotak-kotak Rangga terlihat basah oleh keringatnya. Terik ini
pula yang dirasa oleh Aurora. Siang yang berbeda, tidak hanya oleh matahari
tetapi gemuruh perasaan yang menguasai hati mereka. Ini kali terakhir mereka
bertemu setelah jalinan cinta yang mereka rajut dengan perantara seorang Ustad
ternama di daerahnya. Rangga hendak berangkat ke pulau Lombok, pulau sekaligus
yang menyatukannya dengan ibukota propinsi Nusa Tenggara Barat.
Disudut terminal itu mereka berdiri dibatasi jarak yang
cukup jauh. Jarak yang bisa dipastikan tak ada yang mengetahui dialog cinta dihati mereka. Harapan kasih
sayang sedang diproses untuk bersatu saat itu harus terpisah sementara oleh tuntutan
pekerjaan kantor Rangga yang harus meninggalkan tidak hanya obsesinya untuk
menikah tetapi juga seluruh amanah organisasi, serta keluarga pula
sahabat-sahabatnya.
Simbah keringat sengaja tidak dihiraukan oleh mereka, ingin
rasanya tempat mereka berdiri ini dibuat seperti sebuah monumen yang bisa
disaksikan suatu saat nanti. Saat dimana cinta itu telah terajut sah dalam
bingkai syariat. Tak ada dialog yang membuktikan mereka saling mengenal siang
itu. Hanya sesekali tatapan kearah keduanya yang masing-masing mereka
interpretasikan sama. Kalimat yang mewakili perasaannya saat itu. “Aku titip
secuil cinta dihatimu, aku menunggu hingga waktu mempersatukan kita. Allah
menyaksikan siang ini bahwa hatiku berjanji untuk melanjutkan proses menuju
bahtera pernikahan”.
Begitu kiranya dendang perasaan yang sama terlontar dalam
hati kecil mereka. Sembari harapan ini diyakinkannya kuat mengisi setiap sudut
hati mereka. Ada do’a. Ada cita-cita segera menyempurnakan agama.
“Mas, ayo!!busnya mau berangkat..” kondektur bus menyela
interaksi hati mereka. Aurora mencoba mengalihkan perasaan sedihnya. Antara
keyakinan dan ketakutan tentang akhir dari kisah cintanya. Dia lalu mencoba
pergi menjauh dari tempatnya berdiri. Dalam berat rasa hatinya dia mencoba
kuat, tidak ingin kemudian keberadaannya memberatkan Rangga.
Rangga pun naik ke dalam bus. Dan duduk tepat kursi nomor 10
dekat jendela. Buspun berangkat meninggalkan terminal Dompu. Terminal yang
tidak hanya menjadi terminal bus tetapi akan menjadi terminal cinta Rangga dan
Aurora.
“Selamat tinggal Dompu, aku akan meninggalkan semuanya
sementara untuk mengejar citaku ini, semoga dua tahun kemudian aku kembali
dalam keadaan yang sama. Amin..” Seraya mengangkat kedua tangannya tanpa
terpengaruh oleh bapak tua yang duduk dikursi sebelahnya.
***
Siang tepat jam 11.00 keesokan
harinya. Rangga sampai diterminal Mandalika Mataram. Lalu Rangga menuju rumah
dinas yang sudah disiapkan oleh pihak Pemerintah.
Sampailah iya di tempat
tinggalnya yang baru. Suasana sejuk ditempat barunya terasa mendekatkan dia
dengan kampung asalnya. Tidak jauh berbeda, nuansa alami yang melukiskan
kekuasaan Ilahi tak ada duanya. Seperti tidak berpindah dari tempat tinggalnya
di Dompu.
Setelah istirahat. Ba’da magrib
Rangga segera melapor ke Ketua RT tentang keberadaannya yang menempati rumah
dinas yang sudah hampir setahun tidak berpenghuni. Sambutan Pak RT dan
keluarganya menghangatkan perasaan Rangga dengan suasana disekiitar situ.
Rangga kembali ke rumah dan mulai
menyiapkan berkas-berkas untuk keperluannya bekerja besok.
Keesokan harinya pagi-pagi Rangga
berangkat ke tempat kerjanya. Dia berjalan kaki karena tidak begitu jauh dari
perkampungan itu. Sesampai di kantor tampak semua karyawan yang hendak
siap-siap untuk mengikuti apel pagi. Rangga langsung ikut bergabung.
Setelah apel pagi berlangsung
Rangga langsung menuju ruang Kepala Dinas Pertanian. Ia Rangga bekerja di Dinas
Pertanian. Setelah melapor Ranggo langsung diperkenalkan oleh Kepala Dinas
kepada semua pegawai yang ada di instansi tersebut.
Aktivitas dikantornya selama
seminggu itu sangat dinikmatii oleh Rangga. Lingkungan baru yang menjanjikan
pembelajaran yang berharga, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan budaya kerja yang
sangat profesional. Rangga yakin sepulang dari sini akan membagi semua ilmunya
di Dinas pertanian di daerahnya. Rangga ingin juga bahwa selama di Mataram dia
tetap menjaga ibadah hariannya sehingga dia pun mendatangi kelompok-kelompok
kajian Islam disekitar perkampungan itu.
***
Enam bulan sudah berlalu,
kesibukannya di Mataram mengikis ingatannya tentang Dompu, Aktivitasnya dahulu,
dan juga Aurora. Tetapi dalam hati terdalam komitmennya untuk menikah dengan
gadis yang sudah ia kenal sebelumnya masih tersimpan rapi dalam hati.
Kadang-kadang ingatannya terhadap Aurora terbawa hingga ia sering bermimpi
ketemu Aurora.
Selama merantau di negeri orang Rangga sudah sangat akrab
dengan masyarakat di kampung ini, karena keramahan dan pribadinya yang sholeh
menempatkan ia di setiap hati tetangga-tetangganya. Dan ternyata ketua RT di
tempat itu menaruh perhatian khusus sama Rangga.
Suatu ketika seperti biasanya selepas shalat magrib Rangga
mengisi waktu dengan tilawah Qur’an, dan membaca buku-buku agama di masjid.
Dihampirilah ia oleh ketua RT yang sekaligus menjadi imam di masjid jami’ Baiturrahman.
“Assalamu’alaikum nak Rangga” sembari mengulurkan tanggan
untuk berjabat tangan dengan Rangga.
“Wa’alikumussalam, eh Pak Ridwan. Apa kabar pak?sehat?”
Jawabnya ramah.
“Nak Rangga betah tinggal di kampung ini”
“Alhamdulillah, saya berah sekali pak. Selain ramah-ramah,
masyarakat sini juga taat beribadah pak”
“Alhamdulillah Nak Rangga, Bapak juga berharap Nak Rangga
betah disini. Dan jika ada hal-hal yang tidak berkenan dihati, langsung saja
sampaikan ke Bapak”
“Insya Allah pak. Yang pasti sampai saat ini saya kagum
dengan suasana di desa ini”
Pak Ridwan merasa cukup untuk berbasa-basi mencairkan suasan
sebelum ia memulai pada pembicaraan inti. Lalu sambil memegang lengan Rangga
Pak Ridwan melanjutkan pembicaraannya.
“Ngomong-ngomong Nak Rangga sudah berkeluarga?”
“Alhamdulillah belum pak, saya masih sendiri, minta do’anya
setelah tugas dinas ini saya bisa menggenapkan separuh Dien”
“Wah kebetulan neh nak Rangga, Bapak punya anak perempuan
yang seumur dengan nak Rangga, namun sampai hari ini dia belum menikah, selama
ini banyak yang datang melamar tetapi sering ditolak sama anak saya. Yang
sederhana dia sampaikan adalah karena tidak ada yang berjenggot.”
“Aduwh terimakasih sekali pak, Bapak sudah menawarkan
kebaikan untuk saya, tetapi maaf pak tanpa mengurangi rasa hormat saya ke pak
Ridwan, saya belum bisa jawab sekarang pak karena saya masih ingin menuntaskan
tugas saya selama disini”.
Belum tuntas pembicaraan adzan isya sudah berkumandang.
Saatnya kembali menghadap Robbil Izzati. Karena keduanya masih dalam kondisi
berwudhu, mereka langsung melaksanakan shalat sunat kemudian melanjutkannya
dengan shalat isya berjamaah.
Sepulang dari masjid, Rangga meresapi tawaran dari Pak
Ridwan tadi. Dia sedikit kepikiran. Satu sisi dia merasa saat ini, diusia yang
menginjak ke 26 tahun tepat baginya untuk mengakhiri masa lajangnya. Satu sisi
yang lain Aurora disana, sedang menanti kepastian proses yang tidak kunjung
usai karena pertimbangan keluarga yang cukup memberatkan. Dan kali ini tawaran
kebaikan itu menghampiri tanpa syarat satupun. Pilihan-pilihan yang membuat
Rangga cukup berat untuk mengambil sikap. Dia kembalikan kepada takdir Allah
SWT. Semoga ada yang terbaik bagi kebimbangannya tentang pilihan menikah.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Tak
terasa hari-hari dilewati Rangga dengan tanpa perubahan yang berarti. Hanya
kepercayaan diri untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya setelah nanti kembali
ke tempat asal ia bekerja. Satu perasaan yang berbunga dalam hatinya ketika dia
ingat bahwa sebentar lagi akan datang masa kebahagiaan baginya, saat di
tersenyum indah kala duduk bersanding di pelaminan, tentu dengan seorang wanita
yang selama ini menantikan kehadirannya pulang kembali dalam hati yang terus
mendendangkan cinta.
Enam bulan lagi masa tugas
belajarnya berakhir. Pekerjaannya tinggal merapikan evaluasi akhir dan
pelaporan kepada dinasnya di Dompu. Ingin rasanya hari itu segera pulang ke
rumah dinas untuk mengabarkan kepada keluarganya, kemudian melanjutkan
pembicaraan yang sempat tertunda setahun yang lalu tentang rencana
pernikahannya dengan Aurora.
Jam 15.00 dia pulang bekerja.
Sesampai dirumah, belum dia mengganti pakaiannya dia lebih dulu mengambil
handphone di kantong kecil tas ranselnya. Rangga ingin bicara dengan
keluarganya di kampung.
“Assalamu’alaikum” suara jernih
ibu tercintanya yang mengangkat telepon.
“Wa’alaikumussalam. Ibu
sehat?keluarga dirumah sehat?”
“Alhamdulillah sehat semua,
tapi...”
Tut..tut..tut..handphonenya
tiba-tiba mati. Rangga mencoba menghubungi kembali nomor handphone ibunya
tetapi jaringan sibuk, nampaknya jaringan seluler kembali error seperti
biasanya. Tidak bisa menyambung untuk menelpon. Tetapi lancar untuk
menyampaikan sms. Tiba-tiba nada pesan handphone Rangga berbunyi.
“Maaf Nak, ibu mencoba
menghubungi kembali tidak bisa. Maafkan ibu nak”
“Iya bu. Disini juga tidak bisa
tersambung” tetapi Rangga merasa aneh. Kenapa tumben ibunya meminta maaf
seperti itu di sms. Lalu dia kembali mengirimkan sms kepada ibunya.
“Minta maaf untuk apa bu?”
“Maaf nak. Ibu tidak bisa menjaga
kekasihmu. Aurora”
“Maksud ibu?”
“Iya nak. Semua masyarakat disini
sudah tahu kalau Aurora ternyata diam-diam menjalin hubungan dengan suami orang”
“Astagfirullahal’adzim. Ibu tidak
bercanda kan?”
“Iya nak. Ibu juga malu sama tetangga.”
"Iya bu. Yang sabar ya.."
Hati rangga seperti telah hancur
berkeping-keping. Seluruh semangat dan obsesinya selama ini kandas oleh kabar
ini. Dia terdiam. Melamun. Tak habis fikir dengan kabar yang baru saja
didengarnya. Dia mencoba tenang dengan semua ini tetapi perasaan kecewa lebih
kuat menggenggam hatinya. Tersayat hati kecilnya. Seperti hilang semangatnya
untuk melanjutkan tugas yang sudah setahun dia jalani. Dia sadar bahwa salah
satu kekuatan yang mengantarkannya pada tugas dinas ini adalah ukiran nama
Aurora yang tak bisa dihapuskan dengan apapun dihatinya. Tapi berita malam itu
membuatnya tak berbekas sama sekali.
Dia melamun hingga lupa dengan
makan malamnya. Tak ingin malam itu lewat berakhir dan berganti pagi sebelum
dia hapus semua cerita, angan-angan, cita-cita yang dirangkai dan
disutradarainya dengan dua pemain inti yaitu dia dan Aurora. Semakin berjalan
menuju jam 23.59 wita dia mencoba realistis, dia masih punya Tuhan yang maha
mengatur segala sesuatu. Memberikan yang terbaik sesuai dengan yang Tuhan
inginkan kepada dirinya. Lalu Ranggapun berbaring dan tertidur pulas sampai
subuh.
Keesokan harinya. Pagi cerah
secerah biasanya. Hanya perasaannya yang mendung tanpa cahaya optimisme kala
biasanya. Rangga kembali bekerja seperti hari-hari sebelumnya.
Sesampai disana dia membaca
pengumuman di papan informasi tentang peserta tugas belajar terbaik yang akan
melanjutkan program tugas belajar dari pemerintah di Bali 6 bulan lagi. Program
itu akan berlangsung selama setahun dan di setiap dinas hanya diwakili oleh dua
orang dan salah satunya adalah Rangga. Tidak ada yang istimewa juga dengan
berita ini karena sekali lagi bagi Rangga tak ada yang istimewa selain
bersanding dipelaminan dengan seorang gadis idamannya. Dan dia adalah Aurora
Fitriana.
***
Enam bulan kemudian. Rangga sudah
cukup berubah. Orientasi hidup baginya adalah bekerja dan karir. Nomor
handphone yang biasa dia pakai sudah diganti dengan yang baru. Daftar kontak
yang mengisi handphonenya juga adalah orang-orang baru. Dan disana sudah tidak
ada yang bernama Aurora. Rangga telah mengkondisikan hatinya untuk melupakan
semua kenangan itu. Harapan. Dan rencana indahnya dahulu.
Tiba saatnya dia berangkat ke Bali
melanjutkan program dinas yang sekaligus menjadi penghargaan bagi dua orang
peserta tugas belajar di dinas pertanian.
Pagi-pagi tepatnya jam 06.00
Rangga menuju Bandara Internasional Lombok. Dia dapat jadwal pesawat pagi.
Sampai di sana masih ada waktu sekitar 20 menit untuk menunggu pemberangkatan. Sedang
duduk membaca harian Lombok post Rangga dihampiri oleh seorang bapak-bapak.
“Assalamu’alaikum nak Rangga”
Dengan mata yang masih menatap
fokus pada koran yang dibacanya Rangga menjawab “Wa’alaikumussalam”. Lalu dia
mengangkat kepala dan melihat orang yang menyapanya, ternyata Pak Ridwan, ketua
RT sekaligus imam masjid Baiturrahman.
“Pak Ridwan, mau kemana pak?”
“Saya mau ke Bali. Loh..Nak
Rangga kenapa tidak ke rumah?”balasnya dengan ekspresi berharap.
“Iya pak. Saya minta maaf kemarin
belum sempat pamit sama Bapak. Kebetulan tugas belajar saya di Mataram sudah
selesai. Dan saya salah satu peserta tugas belajar di dinas pertanian yang
mendapat penghargaan. Dan sekarang diutus ke Bali untuk melanjutkan program ini”
“iya saya sudah tahu nak Rangga.”
“Maksud bapak?kok bapak sudah
tahu?”
“Iya anak saya yang cerita. Anak
saya juga dapat tugas belajar di tempat yang sama dengan nak Rangga. Dia dari
dinas pertanian Bandung karena dulu sekolahnya di Bandung. Dan salah satu
peserta dari dua peserta yang di utus ke bali itu adalah anak saya Dwi Srikandi”
“Ooo begitu Subhanallah dunia itu
sempit ya ternyata..”
“Perkenalkan nak Rangga, ini anak
saya Dwi”
“Dwi..” Sambil memberi isyarat
perkenalan pada Rangga tanpa berjabat tanggan.
Rangga kaget karena seorang
wanita yang berjilbab panjang warna hijau daun saa itu. Yang sempat menyita
perhatiannya dengan keramahan dan wajah bersih yang selalu ceria. Dan selalu
dilihat Rangga sedang membaca al-qur’an disetiap waktu dhuha adalah Dwi anaknya
ketua RT. Rangga tidak menyangka ternyata satu dinas sama dia, selama ini dia
mengira Dwi ini bekerja di dinas disamping dinas pertanian yang kebetulan tidak
memiliki mushollah.
“Iya..perkenalkan saya Rangga”
balasnya.
“Alhamdulillah akhirnya niat
bapak mempertemukan kalian terjadi juga. Ini lah nak Rangga anak saya yang dulu
pernah mau bapak kenalkan ke nak Rangga”
Rangga tidak begitu memberi
tanggapan yang memberi kesan menjawab harapan terhadap Pak Ridwan. Dia hanya
memberi jawaban datar saja.
“Iya pak sekali lagi terimakasih.
Insya Allah jika jodoh tidak akan kemana”
Pak Ridwan tersenyum dengan jawab
Rangga yang cukup diplomatis. Akhirnya pemberangkatan pesawat ke mengakhiri
pembicaraan mereka.
Selama di pesawat Rangga berfikir
serius tentang keinginan pak Ridwan menjodohkannya dengan Dwi. Dia berfikir
bahwa inilah mungkin jalan takdir yang Allah inginkan untuknya. Setelah sekian
lama tidak membuka pembicaraan tentang keinginannya Pak Ridwan ternyata masih
menyimpan harapan besan untuk menikahkan anaknya dengan Rangga, pemuda sholeh
yang luar biasa.
Sesampai di tempat penginapan di
Bali. Kali ini mereka menginap di hotel yang sudah sekian lama bekerja sama
dengan pemerintah dalam program ini. Tetapi mereka menginap di hotel yang
berbeda. Karena ruangan hotel tempat Rangga menginap sudah penuh, memang untuk
kali ini kapasitas peserta tugas belajar semua dipusatkan di Bali sehingga
sangat banyak.
***
Seminggu Rangga mengkhususkan
waktu untuk shalat istikhoroh, mengembalikan semua rencana dan pilihan pada
keputusan Allah. Satu anjuran Islam yang dia fahami, yang dianjurkan kepada
setiap orang yang ingin memilih sesuatu dan bimbang memutuskan satu perkara.
Setelah waktu-waktu ini
dimanfaatkannya. Mantap rasa hatinya untuk mengiyakan tawaran pak Ridwan. Lalu
Rangga mengkomunikasikan semuanya kepada orang tuanya dan meminta pertimbangan.
Sambutan baik pula kebahagiaan yang ditunjukkan orang tua Rangga semakin
memantapkan pilihannya. Dan Rangga memutuskan untuk bertemu dengan pak Ridwan
yang kebetulan selama sebulan menemani putri semata wayannya di Bali.
Pertemuan antara mereka
berlangsung di sebuah masjid besar yang terletak di perkampungan antara kedua
hotel tempat mereka menginap. Selepas shalat berjamaah Ashar Rangga
menyampaikan isi hatinya untuk menerima tawaran Pak Ridwan. Rangga juga berbicara
banyak hal tentang pemahamannya tentang menikah, dari awal tentang khitbah,
kemudian mahar, lalu akad nikah, dan acara resepsi pernikahan. Pak Ridwan juga
orang yang sudah sangat faham tentang aturan Islam yang berkaitan dengan
menikah, ditambah lagi pemahaman anaknya Dwi Srikandi yang selama di Bandung
berkecimpung dalam aktivitas tarbiyah selalu memberikan pencerahan pada ayahnya
selama ini. Dan pertemuan saat itu sudah sangat mantap sampai pada keputusan
waktu khitbah dan mempertemukan dua keluarga besar.
Masa yang dinanti itu segera
tiba. Mengurai cinta dalam mahligai Ilahi. Memulai langkah untuk merangkai
pernikahan suci yang ditaburi kasih sayang yang selama ini tersimpan rapat
dalam hati keduanya. Rangga terlihat sangat bersemangat menyambut detik-detik
kesempurnaan Dien yang akan dilewatinya.
***
Seminggu kemarin sudah terjadi
pertemuan dua keluarga besar. Lamaran. Sekaligus membiacarakan mahar dan waktu
akad nikah.
Persiapan yang tidak menghabiskan
waktu lama. Sangat singkat. Dan menyepakati hal-hal yang tentu akan menjadi
kebahagian dan masa depan bagi Rangga Wiradesa dengan Dwi Srikandi. Tiba
saatnya waktu untuk menyatukan ikatan cinta keduanya dalam ikatan yang sah.
Besok pagi akan berlangsung akad nikah mereka, berlangsung di Mataram, di
tempat tinggal Dwi Srikandi dan keluarga besarnya.
Malam itu, Rangga tampak tenang
dan menyiapkan fisik serta mental untuk menghadapi momentum bersejarah dalam
hidupnya. Saat yang menjadi batas masa lajangnya dengan kesempurnaan Dien,
diamana semua akan dilewatinya dengan seorang gadis pilihan, tentu dengan
mengumpulkan segala cinta yang selama ini memenuhi hati nya sendiri.
Keesokan harinya. Suasana tampak
ramai, undangan mulai berdatangan. Menyaksikan proses sakral kedua insan ini,
dan saat itu tidak hanya manusia, tetapi malaikat juga ikut berdoa meminta
keberkahan proses ini.
Barakallahu laka wabaraka alaika
wajama-a bainakuma fii khori.
Disaat-saat menunggu acara
dimulai, nada pesa di handphone Rangga berbunyi. Biasa saja Rangga membuka
handphonenya karena sejak semalam banyak sms yang masuk mengucapkan do’a dan
ucapan selamat atas pernikahannya. Tetapi kali ini sms berasal dari nomor yang
tak bernama.
“Assalamu’alaikum. Bagaimana kabarnya
kak Rangga?sepertinya masa tugas di Matarama sudah selesai. Bagaimana dengan
rencana pernikahan kita?”
Rangga sinis melihat sms ini lalu
membalas sms itu “Maaf ini siapa?”
“Ini Aurora. Aurora Fitriana”
Rangga semakin sinis, dan
menjawab agak ketus. “Maaf, jalan kita sepertinya sudah berbeda. Syariat yang
selama ini membungkus aktivitas kita sudah ternodai. Saya ingin perjalanan saya
tetap dalam rel keridhoan-Nya.”
“Maksudnya apa?saya selama dua
tahun menunggu mengisi hari-hari saya dengan kajian Islam, Kajian tentang membentuk
keluarga muslim, dan menjaga diri saya dan komitmen cinta saya menunggu kak
Rangga”
Rangga tampaknya sangat marah.
Dia merasa Aurora semakin menjadi wanita yang menyepelekan agama. Berbohong. Dan
berlindung dibalik busana muslimahnya.
“Jangan berdusta. Bukankah kau
telah menjalin hubungan haram dengan suami orang” smsnya sambil gerang
memegangi handphonenya keras.
“Astagfirullah. Wallahi!! Saya
tidak pernah melakukan itu. Justru saya selama ini tinggal di pesantren tempat
saya mengajar karena disana ada aktivitas ibu-ibu pengajian dan pembinaan
terhadap mereka”
Rangga tersentak. Keringat
bercucuran membasahi baju pengantinnya. Dia merasa berdosa telah menuduh
Aurora. Dia merasa bersalah karena mengambil sikap sepihak yang tidak mencari
informasi sesungguhnya tentang Aurora. Mukanya merah. Kebingungan antara dua
pilihan yang sama-sama berat. Dia ingin cintanya dahulu bersemi seperti bunga
mawar, tetapi dia juga bingung karena sudah berada di gerbang pernikahan dengan
seorang gadis lain yang baru dia kenal.
“Ya Rabb..Tolong lah aku, berikan
ketenangan kepada hatiku. Jangan biarkan pilihanku mendzolimi mereka yang
pernah singgah dihatiku".
Tidak bisa dibayangkan kondisi
perasaan yang sudah tidak jelas menguasainya. Air matanya terasa di ujung mata.
Ingin membasahi nuansa bahagianya saat itu. Bercampur tak berasa.
Beberapa saat kemudian suara
handphonenya berbunyi ada yang menelponnya. Tanpa melihat siapa yang menelpon
Rangga lalu mengangkatnya.
“Hiks..hiks..hiks..Barakallahu
laka wabaraka alaika wajama-a bainakuma fii khoiri. Maafkan segala khilafku. Semoga
engkau bahagia disana..” tut..tut..tut..
“Halloo..halloo..halloo..Aurora..!!!”
Ternyata Aurora barusan
mendapatkan sms lanjutan dari teman SMA nya bahwa Rangga melangsungkan akad
nikah pada saat itu.
Ekspresi Rangga yang mengangkat
telfon dan suaranya yang keras menyebut nama Aurora membuat semua undangan
berdiri melihatnya. Dan keluarga terutama ibunya menghampiri Rangga dan
menenangkan suasana hatinya. Rangga menangis dihadapan ibunya, selama ini dia
telah memelihara prasangka buruk terhadap wanita yang telah ia janjikan
menikah. Isak tangis itu diikuti oleh perasaan ibunya yang halus karena sangat
mengetahui bagaiman cita-cita Rangga terhadap aurora dan masa depan mereka.
Setelah ditenangkan akhirnya
suasana kembali normal dan Rangga akhirnya melangsungkan pernikahan dengan Dwi
Srikandi saat itu juga.
Bagus mas cerpennya...
BalasHapusBagus gimana?
BalasHapusminta kritik, dan masukannya,..
Salam..
BalasHapusBuru-buru sepertinya nih, nulisnya. Banyak redaksi kata yang masih belum selesai. Ada beberapa kata, meski tidak sedikit :) yang masih memakai bahasa lisan. Saya merasa amanatnya belum dapat. Menurut saya endingnya terkesan maksa. Maaf, sebelumnya jika tidak berkenan.
Tapi, Kakak lebih baik lah daripada saya yang belum bisa nyelesaikan cerpen. ^_^. Terus berkarya Kak Noval.
matur suwun deh,...semoga saya bisa lebih baik lagi..
BalasHapus