`

`

Senin, 02 April 2012

SECUIL CINTA, WARNA CINTA DI ATAS OBSESI


Siang itu lalu lalang kendaraan diterminal Dompu memekakkan telinga, terik matahari membuat keringat mengguyur seluruh tubuh, bagian punggung baju kotak-kotak Rangga terlihat basah oleh keringatnya. Terik ini pula yang dirasa oleh Aurora. Siang yang berbeda, tidak hanya oleh matahari tetapi gemuruh perasaan yang menguasai hati mereka. Ini kali terakhir mereka bertemu setelah jalinan cinta yang mereka rajut dengan perantara seorang Ustad ternama di daerahnya. Rangga hendak berangkat ke pulau Lombok, pulau sekaligus yang menyatukannya dengan ibukota propinsi Nusa Tenggara Barat.

Disudut terminal itu mereka berdiri dibatasi jarak yang cukup jauh. Jarak yang bisa dipastikan tak ada yang mengetahui  dialog cinta dihati mereka. Harapan kasih sayang sedang diproses untuk bersatu saat itu harus terpisah sementara oleh tuntutan pekerjaan kantor Rangga yang harus meninggalkan tidak hanya obsesinya untuk menikah tetapi juga seluruh amanah organisasi, serta keluarga pula sahabat-sahabatnya.

Simbah keringat sengaja tidak dihiraukan oleh mereka, ingin rasanya tempat mereka berdiri ini dibuat seperti sebuah monumen yang bisa disaksikan suatu saat nanti. Saat dimana cinta itu telah terajut sah dalam bingkai syariat. Tak ada dialog yang membuktikan mereka saling mengenal siang itu. Hanya sesekali tatapan kearah keduanya yang masing-masing mereka interpretasikan sama. Kalimat yang mewakili perasaannya saat itu. “Aku titip secuil cinta dihatimu, aku menunggu hingga waktu mempersatukan kita. Allah menyaksikan siang ini bahwa hatiku berjanji untuk melanjutkan proses menuju bahtera pernikahan”.
Begitu kiranya dendang perasaan yang sama terlontar dalam hati kecil mereka. Sembari harapan ini diyakinkannya kuat mengisi setiap sudut hati mereka. Ada do’a. Ada cita-cita segera menyempurnakan agama.
“Mas, ayo!!busnya mau berangkat..” kondektur bus menyela interaksi hati mereka. Aurora mencoba mengalihkan perasaan sedihnya. Antara keyakinan dan ketakutan tentang akhir dari kisah cintanya. Dia lalu mencoba pergi menjauh dari tempatnya berdiri. Dalam berat rasa hatinya dia mencoba kuat, tidak ingin kemudian keberadaannya memberatkan Rangga.

Rangga pun naik ke dalam bus. Dan duduk tepat kursi nomor 10 dekat jendela. Buspun berangkat meninggalkan terminal Dompu. Terminal yang tidak hanya menjadi terminal bus tetapi akan menjadi terminal cinta Rangga dan Aurora.

“Selamat tinggal Dompu, aku akan meninggalkan semuanya sementara untuk mengejar citaku ini, semoga dua tahun kemudian aku kembali dalam keadaan yang sama. Amin..” Seraya mengangkat kedua tangannya tanpa terpengaruh oleh bapak tua yang duduk dikursi sebelahnya.

***

Siang tepat jam 11.00 keesokan harinya. Rangga sampai diterminal Mandalika Mataram. Lalu Rangga menuju rumah dinas yang sudah disiapkan oleh pihak Pemerintah.

Sampailah iya di tempat tinggalnya yang baru. Suasana sejuk ditempat barunya terasa mendekatkan dia dengan kampung asalnya. Tidak jauh berbeda, nuansa alami yang melukiskan kekuasaan Ilahi tak ada duanya. Seperti tidak berpindah dari tempat tinggalnya di Dompu.

Setelah istirahat. Ba’da magrib Rangga segera melapor ke Ketua RT tentang keberadaannya yang menempati rumah dinas yang sudah hampir setahun tidak berpenghuni. Sambutan Pak RT dan keluarganya menghangatkan perasaan Rangga dengan suasana disekiitar situ.

Rangga kembali ke rumah dan mulai menyiapkan berkas-berkas untuk keperluannya bekerja besok.
Keesokan harinya pagi-pagi Rangga berangkat ke tempat kerjanya. Dia berjalan kaki karena tidak begitu jauh dari perkampungan itu. Sesampai di kantor tampak semua karyawan yang hendak siap-siap untuk mengikuti apel pagi. Rangga langsung ikut bergabung.

Setelah apel pagi berlangsung Rangga langsung menuju ruang Kepala Dinas Pertanian. Ia Rangga bekerja di Dinas Pertanian. Setelah melapor Ranggo langsung diperkenalkan oleh Kepala Dinas kepada semua pegawai yang ada di instansi tersebut.

Aktivitas dikantornya selama seminggu itu sangat dinikmatii oleh Rangga. Lingkungan baru yang menjanjikan pembelajaran yang berharga, ilmu-ilmu yang bermanfaat, dan budaya kerja yang sangat profesional. Rangga yakin sepulang dari sini akan membagi semua ilmunya di Dinas pertanian di daerahnya. Rangga ingin juga bahwa selama di Mataram dia tetap menjaga ibadah hariannya sehingga dia pun mendatangi kelompok-kelompok kajian Islam disekitar perkampungan itu.

***

Enam bulan sudah berlalu, kesibukannya di Mataram mengikis ingatannya tentang Dompu, Aktivitasnya dahulu, dan juga Aurora. Tetapi dalam hati terdalam komitmennya untuk menikah dengan gadis yang sudah ia kenal sebelumnya masih tersimpan rapi dalam hati. Kadang-kadang ingatannya terhadap Aurora terbawa hingga ia sering bermimpi ketemu Aurora.

Selama merantau di negeri orang Rangga sudah sangat akrab dengan masyarakat di kampung ini, karena keramahan dan pribadinya yang sholeh menempatkan ia di setiap hati tetangga-tetangganya. Dan ternyata ketua RT di tempat itu menaruh perhatian khusus sama Rangga.

Suatu ketika seperti biasanya selepas shalat magrib Rangga mengisi waktu dengan tilawah Qur’an, dan membaca buku-buku agama di masjid. Dihampirilah ia oleh ketua RT yang sekaligus menjadi imam di masjid jami’ Baiturrahman.

“Assalamu’alaikum nak Rangga” sembari mengulurkan tanggan untuk berjabat tangan dengan Rangga.
“Wa’alikumussalam, eh Pak Ridwan. Apa kabar pak?sehat?” Jawabnya ramah.
“Nak Rangga betah tinggal di kampung ini”
“Alhamdulillah, saya berah sekali pak. Selain ramah-ramah, masyarakat sini juga taat beribadah pak”
“Alhamdulillah Nak Rangga, Bapak juga berharap Nak Rangga betah disini. Dan jika ada hal-hal yang tidak berkenan dihati, langsung saja sampaikan ke Bapak”
“Insya Allah pak. Yang pasti sampai saat ini saya kagum dengan suasana di desa ini”
Pak Ridwan merasa cukup untuk berbasa-basi mencairkan suasan sebelum ia memulai pada pembicaraan inti. Lalu sambil memegang lengan Rangga Pak Ridwan melanjutkan pembicaraannya.
“Ngomong-ngomong Nak Rangga sudah berkeluarga?”
“Alhamdulillah belum pak, saya masih sendiri, minta do’anya setelah tugas dinas ini saya bisa menggenapkan separuh Dien”
“Wah kebetulan neh nak Rangga, Bapak punya anak perempuan yang seumur dengan nak Rangga, namun sampai hari ini dia belum menikah, selama ini banyak yang datang melamar tetapi sering ditolak sama anak saya. Yang sederhana dia sampaikan adalah karena tidak ada yang berjenggot.”
“Aduwh terimakasih sekali pak, Bapak sudah menawarkan kebaikan untuk saya, tetapi maaf pak tanpa mengurangi rasa hormat saya ke pak Ridwan, saya belum bisa jawab sekarang pak karena saya masih ingin menuntaskan tugas saya selama disini”.

Belum tuntas pembicaraan adzan isya sudah berkumandang. Saatnya kembali menghadap Robbil Izzati. Karena keduanya masih dalam kondisi berwudhu, mereka langsung melaksanakan shalat sunat kemudian melanjutkannya dengan shalat isya berjamaah.

Sepulang dari masjid, Rangga meresapi tawaran dari Pak Ridwan tadi. Dia sedikit kepikiran. Satu sisi dia merasa saat ini, diusia yang menginjak ke 26 tahun tepat baginya untuk mengakhiri masa lajangnya. Satu sisi yang lain Aurora disana, sedang menanti kepastian proses yang tidak kunjung usai karena pertimbangan keluarga yang cukup memberatkan. Dan kali ini tawaran kebaikan itu menghampiri tanpa syarat satupun. Pilihan-pilihan yang membuat Rangga cukup berat untuk mengambil sikap. Dia kembalikan kepada takdir Allah SWT. Semoga ada yang terbaik bagi kebimbangannya tentang pilihan menikah.

***

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa hari-hari dilewati Rangga dengan tanpa perubahan yang berarti. Hanya kepercayaan diri untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya setelah nanti kembali ke tempat asal ia bekerja. Satu perasaan yang berbunga dalam hatinya ketika dia ingat bahwa sebentar lagi akan datang masa kebahagiaan baginya, saat di tersenyum indah kala duduk bersanding di pelaminan, tentu dengan seorang wanita yang selama ini menantikan kehadirannya pulang kembali dalam hati yang terus mendendangkan cinta.
Enam bulan lagi masa tugas belajarnya berakhir. Pekerjaannya tinggal merapikan evaluasi akhir dan pelaporan kepada dinasnya di Dompu. Ingin rasanya hari itu segera pulang ke rumah dinas untuk mengabarkan kepada keluarganya, kemudian melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda setahun yang lalu tentang rencana pernikahannya dengan Aurora.

Jam 15.00 dia pulang bekerja. Sesampai dirumah, belum dia mengganti pakaiannya dia lebih dulu mengambil handphone di kantong kecil tas ranselnya. Rangga ingin bicara dengan keluarganya di kampung.

“Assalamu’alaikum” suara jernih ibu tercintanya yang mengangkat telepon.
“Wa’alaikumussalam. Ibu sehat?keluarga dirumah sehat?”
“Alhamdulillah sehat semua, tapi...”
Tut..tut..tut..handphonenya tiba-tiba mati. Rangga mencoba menghubungi kembali nomor handphone ibunya tetapi jaringan sibuk, nampaknya jaringan seluler kembali error seperti biasanya. Tidak bisa menyambung untuk menelpon. Tetapi lancar untuk menyampaikan sms. Tiba-tiba nada pesan handphone Rangga berbunyi.

“Maaf Nak, ibu mencoba menghubungi kembali tidak bisa. Maafkan ibu nak”
“Iya bu. Disini juga tidak bisa tersambung” tetapi Rangga merasa aneh. Kenapa tumben ibunya meminta maaf seperti itu di sms. Lalu dia kembali mengirimkan sms kepada ibunya.
“Minta maaf untuk apa bu?”
“Maaf nak. Ibu tidak bisa menjaga kekasihmu. Aurora”
“Maksud ibu?”
“Iya nak. Semua masyarakat disini sudah tahu kalau Aurora ternyata diam-diam menjalin hubungan dengan suami orang”
“Astagfirullahal’adzim. Ibu tidak bercanda kan?”
“Iya nak. Ibu juga malu sama  tetangga.”
"Iya bu. Yang sabar ya.."

Hati rangga seperti telah hancur berkeping-keping. Seluruh semangat dan obsesinya selama ini kandas oleh kabar ini. Dia terdiam. Melamun. Tak habis fikir dengan kabar yang baru saja didengarnya. Dia mencoba tenang dengan semua ini tetapi perasaan kecewa lebih kuat menggenggam hatinya. Tersayat hati kecilnya. Seperti hilang semangatnya untuk melanjutkan tugas yang sudah setahun dia jalani. Dia sadar bahwa salah satu kekuatan yang mengantarkannya pada tugas dinas ini adalah ukiran nama Aurora yang tak bisa dihapuskan dengan apapun dihatinya. Tapi berita malam itu membuatnya tak berbekas sama sekali.

Dia melamun hingga lupa dengan makan malamnya. Tak ingin malam itu lewat berakhir dan berganti pagi sebelum dia hapus semua cerita, angan-angan, cita-cita yang dirangkai dan disutradarainya dengan dua pemain inti yaitu dia dan Aurora. Semakin berjalan menuju jam 23.59 wita dia mencoba realistis, dia masih punya Tuhan yang maha mengatur segala sesuatu. Memberikan yang terbaik sesuai dengan yang Tuhan inginkan kepada dirinya. Lalu Ranggapun berbaring dan tertidur pulas sampai subuh.

Keesokan harinya. Pagi cerah secerah biasanya. Hanya perasaannya yang mendung tanpa cahaya optimisme kala biasanya. Rangga kembali bekerja seperti hari-hari sebelumnya.

Sesampai disana dia membaca pengumuman di papan informasi tentang peserta tugas belajar terbaik yang akan melanjutkan program tugas belajar dari pemerintah di Bali 6 bulan lagi. Program itu akan berlangsung selama setahun dan di setiap dinas hanya diwakili oleh dua orang dan salah satunya adalah Rangga. Tidak ada yang istimewa juga dengan berita ini karena sekali lagi bagi Rangga tak ada yang istimewa selain bersanding dipelaminan dengan seorang gadis idamannya. Dan dia adalah Aurora Fitriana.

***

Enam bulan kemudian. Rangga sudah cukup berubah. Orientasi hidup baginya adalah bekerja dan karir. Nomor handphone yang biasa dia pakai sudah diganti dengan yang baru. Daftar kontak yang mengisi handphonenya juga adalah orang-orang baru. Dan disana sudah tidak ada yang bernama Aurora. Rangga telah mengkondisikan hatinya untuk melupakan semua kenangan itu. Harapan. Dan rencana indahnya dahulu.
Tiba saatnya dia berangkat ke Bali melanjutkan program dinas yang sekaligus menjadi penghargaan bagi dua orang peserta tugas belajar di dinas pertanian.

Pagi-pagi tepatnya jam 06.00 Rangga menuju Bandara Internasional Lombok. Dia dapat jadwal pesawat pagi. Sampai di sana masih ada waktu sekitar 20 menit untuk menunggu pemberangkatan. Sedang duduk membaca harian Lombok post Rangga dihampiri oleh seorang bapak-bapak.

“Assalamu’alaikum nak Rangga”
Dengan mata yang masih menatap fokus pada koran yang dibacanya Rangga menjawab “Wa’alaikumussalam”. Lalu dia mengangkat kepala dan melihat orang yang menyapanya, ternyata Pak Ridwan, ketua RT sekaligus imam masjid Baiturrahman.
“Pak Ridwan, mau kemana pak?”
“Saya mau ke Bali. Loh..Nak Rangga kenapa tidak ke rumah?”balasnya dengan ekspresi berharap.
“Iya pak. Saya minta maaf kemarin belum sempat pamit sama Bapak. Kebetulan tugas belajar saya di Mataram sudah selesai. Dan saya salah satu peserta tugas belajar di dinas pertanian yang mendapat penghargaan. Dan sekarang diutus ke Bali untuk melanjutkan program ini”
“iya saya sudah tahu nak Rangga.”
“Maksud bapak?kok bapak sudah tahu?”
“Iya anak saya yang cerita. Anak saya juga dapat tugas belajar di tempat yang sama dengan nak Rangga. Dia dari dinas pertanian Bandung karena dulu sekolahnya di Bandung. Dan salah satu peserta dari dua peserta yang di utus ke bali itu adalah anak saya Dwi Srikandi”
“Ooo begitu Subhanallah dunia itu sempit ya ternyata..”
“Perkenalkan nak Rangga, ini anak saya Dwi”
“Dwi..” Sambil memberi isyarat perkenalan pada Rangga tanpa berjabat tanggan.
Rangga kaget karena seorang wanita yang berjilbab panjang warna hijau daun saa itu. Yang sempat menyita perhatiannya dengan keramahan dan wajah bersih yang selalu ceria. Dan selalu dilihat Rangga sedang membaca al-qur’an disetiap waktu dhuha adalah Dwi anaknya ketua RT. Rangga tidak menyangka ternyata satu dinas sama dia, selama ini dia mengira Dwi ini bekerja di dinas disamping dinas pertanian yang kebetulan tidak memiliki mushollah.
“Iya..perkenalkan saya Rangga” balasnya.
“Alhamdulillah akhirnya niat bapak mempertemukan kalian terjadi juga. Ini lah nak Rangga anak saya yang dulu pernah mau bapak kenalkan ke nak Rangga”
Rangga tidak begitu memberi tanggapan yang memberi kesan menjawab harapan terhadap Pak Ridwan. Dia hanya memberi jawaban datar saja.
“Iya pak sekali lagi terimakasih. Insya Allah jika jodoh tidak akan kemana”

Pak Ridwan tersenyum dengan jawab Rangga yang cukup diplomatis. Akhirnya pemberangkatan pesawat ke mengakhiri pembicaraan mereka.

Selama di pesawat Rangga berfikir serius tentang keinginan pak Ridwan menjodohkannya dengan Dwi. Dia berfikir bahwa inilah mungkin jalan takdir yang Allah inginkan untuknya. Setelah sekian lama tidak membuka pembicaraan tentang keinginannya Pak Ridwan ternyata masih menyimpan harapan besan untuk menikahkan anaknya dengan Rangga, pemuda sholeh yang luar biasa.

Sesampai di tempat penginapan di Bali. Kali ini mereka menginap di hotel yang sudah sekian lama bekerja sama dengan pemerintah dalam program ini. Tetapi mereka menginap di hotel yang berbeda. Karena ruangan hotel tempat Rangga menginap sudah penuh, memang untuk kali ini kapasitas peserta tugas belajar semua dipusatkan di Bali sehingga sangat banyak.

***

Seminggu Rangga mengkhususkan waktu untuk shalat istikhoroh, mengembalikan semua rencana dan pilihan pada keputusan Allah. Satu anjuran Islam yang dia fahami, yang dianjurkan kepada setiap orang yang ingin memilih sesuatu dan bimbang memutuskan satu perkara.

Setelah waktu-waktu ini dimanfaatkannya. Mantap rasa hatinya untuk mengiyakan tawaran pak Ridwan. Lalu Rangga mengkomunikasikan semuanya kepada orang tuanya dan meminta pertimbangan. Sambutan baik pula kebahagiaan yang ditunjukkan orang tua Rangga semakin memantapkan pilihannya. Dan Rangga memutuskan untuk bertemu dengan pak Ridwan yang kebetulan selama sebulan menemani putri semata wayannya di Bali.

Pertemuan antara mereka berlangsung di sebuah masjid besar yang terletak di perkampungan antara kedua hotel tempat mereka menginap. Selepas shalat berjamaah Ashar Rangga menyampaikan isi hatinya untuk menerima tawaran Pak Ridwan. Rangga juga berbicara banyak hal tentang pemahamannya tentang menikah, dari awal tentang khitbah, kemudian mahar, lalu akad nikah, dan acara resepsi pernikahan. Pak Ridwan juga orang yang sudah sangat faham tentang aturan Islam yang berkaitan dengan menikah, ditambah lagi pemahaman anaknya Dwi Srikandi yang selama di Bandung berkecimpung dalam aktivitas tarbiyah selalu memberikan pencerahan pada ayahnya selama ini. Dan pertemuan saat itu sudah sangat mantap sampai pada keputusan waktu khitbah dan mempertemukan dua keluarga besar.

Masa yang dinanti itu segera tiba. Mengurai cinta dalam mahligai Ilahi. Memulai langkah untuk merangkai pernikahan suci yang ditaburi kasih sayang yang selama ini tersimpan rapat dalam hati keduanya. Rangga terlihat sangat bersemangat menyambut detik-detik kesempurnaan Dien yang akan dilewatinya.

***

Seminggu kemarin sudah terjadi pertemuan dua keluarga besar. Lamaran. Sekaligus membiacarakan mahar dan waktu akad nikah.

Persiapan yang tidak menghabiskan waktu lama. Sangat singkat. Dan menyepakati hal-hal yang tentu akan menjadi kebahagian dan masa depan bagi Rangga Wiradesa dengan Dwi Srikandi. Tiba saatnya waktu untuk menyatukan ikatan cinta keduanya dalam ikatan yang sah. Besok pagi akan berlangsung akad nikah mereka, berlangsung di Mataram, di tempat tinggal Dwi Srikandi dan keluarga besarnya.

Malam itu, Rangga tampak tenang dan menyiapkan fisik serta mental untuk menghadapi momentum bersejarah dalam hidupnya. Saat yang menjadi batas masa lajangnya dengan kesempurnaan Dien, diamana semua akan dilewatinya dengan seorang gadis pilihan, tentu dengan mengumpulkan segala cinta yang selama ini memenuhi hati nya sendiri.

Keesokan harinya. Suasana tampak ramai, undangan mulai berdatangan. Menyaksikan proses sakral kedua insan ini, dan saat itu tidak hanya manusia, tetapi malaikat juga ikut berdoa meminta keberkahan proses ini.
Barakallahu laka wabaraka alaika wajama-a bainakuma fii khori.

Disaat-saat menunggu acara dimulai, nada pesa di handphone Rangga berbunyi. Biasa saja Rangga membuka handphonenya karena sejak semalam banyak sms yang masuk mengucapkan do’a dan ucapan selamat atas pernikahannya. Tetapi kali ini sms berasal dari nomor yang tak bernama.

“Assalamu’alaikum. Bagaimana kabarnya kak Rangga?sepertinya masa tugas di Matarama sudah selesai. Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?”
Rangga sinis melihat sms ini lalu membalas sms itu “Maaf ini siapa?”
Ini Aurora. Aurora Fitriana”
Rangga semakin sinis, dan menjawab agak ketus. “Maaf, jalan kita sepertinya sudah berbeda. Syariat yang selama ini membungkus aktivitas kita sudah ternodai. Saya ingin perjalanan saya tetap dalam rel keridhoan-Nya.”
“Maksudnya apa?saya selama dua tahun menunggu mengisi hari-hari saya dengan kajian Islam, Kajian tentang membentuk keluarga muslim, dan menjaga diri saya dan komitmen cinta saya menunggu kak Rangga”
Rangga tampaknya sangat marah. Dia merasa Aurora semakin menjadi wanita yang menyepelekan agama. Berbohong. Dan berlindung dibalik busana muslimahnya.
“Jangan berdusta. Bukankah kau telah menjalin hubungan haram dengan suami orang” smsnya sambil gerang memegangi handphonenya keras.
“Astagfirullah. Wallahi!! Saya tidak pernah melakukan itu. Justru saya selama ini tinggal di pesantren tempat saya mengajar karena disana ada aktivitas ibu-ibu pengajian dan pembinaan terhadap mereka”

Rangga tersentak. Keringat bercucuran membasahi baju pengantinnya. Dia merasa berdosa telah menuduh Aurora. Dia merasa bersalah karena mengambil sikap sepihak yang tidak mencari informasi sesungguhnya tentang Aurora. Mukanya merah. Kebingungan antara dua pilihan yang sama-sama berat. Dia ingin cintanya dahulu bersemi seperti bunga mawar, tetapi dia juga bingung karena sudah berada di gerbang pernikahan dengan seorang gadis lain yang baru dia kenal.

“Ya Rabb..Tolong lah aku, berikan ketenangan kepada hatiku. Jangan biarkan pilihanku mendzolimi mereka yang pernah singgah dihatiku".

Tidak bisa dibayangkan kondisi perasaan yang sudah tidak jelas menguasainya. Air matanya terasa di ujung mata. Ingin membasahi nuansa bahagianya saat itu. Bercampur tak berasa.

Beberapa saat kemudian suara handphonenya berbunyi ada yang menelponnya. Tanpa melihat siapa yang menelpon Rangga lalu mengangkatnya.

“Hiks..hiks..hiks..Barakallahu laka wabaraka alaika wajama-a bainakuma fii khoiri. Maafkan segala khilafku. Semoga engkau bahagia disana..” tut..tut..tut..
“Halloo..halloo..halloo..Aurora..!!!”

Ternyata Aurora barusan mendapatkan sms lanjutan dari teman SMA nya bahwa Rangga melangsungkan akad nikah pada saat itu.

Ekspresi Rangga yang mengangkat telfon dan suaranya yang keras menyebut nama Aurora membuat semua undangan berdiri melihatnya. Dan keluarga terutama ibunya menghampiri Rangga dan menenangkan suasana hatinya. Rangga menangis dihadapan ibunya, selama ini dia telah memelihara prasangka buruk terhadap wanita yang telah ia janjikan menikah. Isak tangis itu diikuti oleh perasaan ibunya yang halus karena sangat mengetahui bagaiman cita-cita Rangga terhadap aurora dan masa depan mereka.

Setelah ditenangkan akhirnya suasana kembali normal dan Rangga akhirnya melangsungkan pernikahan dengan Dwi Srikandi saat itu juga.




4 komentar:

  1. Bagus mas cerpennya...

    BalasHapus
  2. Bagus gimana?
    minta kritik, dan masukannya,..

    BalasHapus
  3. Salam..
    Buru-buru sepertinya nih, nulisnya. Banyak redaksi kata yang masih belum selesai. Ada beberapa kata, meski tidak sedikit :) yang masih memakai bahasa lisan. Saya merasa amanatnya belum dapat. Menurut saya endingnya terkesan maksa. Maaf, sebelumnya jika tidak berkenan.

    Tapi, Kakak lebih baik lah daripada saya yang belum bisa nyelesaikan cerpen. ^_^. Terus berkarya Kak Noval.

    BalasHapus
  4. matur suwun deh,...semoga saya bisa lebih baik lagi..

    BalasHapus

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin