Jumat, 06 Maret 2015
BEGINI CARA KAMI MERAWAT TRADISI
Foto : Hanya berempat, padahal kami berenam :)
Dompu adalah kabupaten kecil yang
sedang tumbuh. Ibarat anak kecil yang sedang belajar berjalan dan mengeja kata
demi kata menjadi kalimat. Itu pula yang menggambarkan segala tahapan
perjuangan yang sedang kami bangun.
Setiap mahasiswa Dompu yang telah
menikmati proses belajarnya, dan ia tumbuh besar kemudian menjadi aktivis
pergerakan di tanah rantauan, dan ketika pada saatnya dia harus menentukan
pilihan medan untuk beraktualisasi pasca kampus, bisa dipastikan Dompu tidak
menjadi pilihan utama, kalaupun jadi pilihan utama selalu bukan karena
kesadaran diri untuk membangun Dompu. Bisa jadi karena faktor eksternal diri,
salah satunya adalah karena paksaan orang tua. Hampir semua putra daerah
Dompu lebih memilih bertahan didaerah orang lain, dan jika dia telah sukses,
dia lebih nyaman menggunakan segala potensi yang dia miliki untuk membangun
tanah orang lain.
Selain karena alasan mereka masih
memiliki potensi kuat untuk melanjutkan sekolah, Dompu memang selalu menjadi momok
bagi kenyamanan. Dompu seolah menjadi antiklimaks dari semua zona nyaman. Entah
apa alasan ilmiahnya. Tetapi kereta perjalanan bercerita tentang mereka yang
telah dibesarkan dengan dunia idiealisme di kampus tetapi tumbang satu demi
satu setelah berada di Dompu. Hampir semua kawan bercerita tentang beratnya
perjuangan mereka mempertahankan nilai kebaikan yang difahami ketika
berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat.
Lalu apakah kemudian orang-orang
yang masih memiliki idealisme harus ikut tumbang?
Kalau kita melihat Dompu secara
keseluruhan kita pasti akan jawab IYA. Dompu tidak ada yang berubah secara
umum. Dompu 10 tahun yang lalu dengan Dompu sekarang tidak banyak yang berubah.
Belum lagi kita bicara tentang sesuatu yang menurut mereka yang biasa
beraktualisasi diri dengan baca buku, dan diskusi, tidak ada sesuatu yang akan
membuat mereka merasa akan bertahan. Belum lagi banyak cerita tentang
kelompok-kelompok kecil yang dahulu sengaja dibuat sebagai media kumpul, media
bertukar ide, seketika harus hilang dari peredaran hanya karena alasan klasik
yang menurut sebagian orang Dompu ini adalah kebiasan orang Dompu yang susah
dirubah; malas misalnya, tidak disiplin, atau semua diukur dengan materi
sehingga setiap ada diskusi selalu pertanyaannya adalah berapa rupiah yang saya
bisa dapat dengan berdiskusi?Dan opsi lainnya juga bukan menghadirkan bisnis
tetapi kongko-kongko, pilihan yang dianggap lebih terhormat.
Saya kira semakin hari tumpukan
keresahan pada diri mereka yang masih punya harapan tentang Dompu mendepan
mulai meletup sedikit demi sedikit. Memang tidak baik menumpuk resah tanpa aksi
yang menjawab keresahan-keresahan itu. Harus dijawab. Harus diselesaikan. Cukup
sudah kita mencoba bertahan dengan kegamangan memandang Dompu, kita mesti merubah
keresahan menjadi narasi solusi yang melahirkan aksi. Kita mesti mengambil
bagian perubahan sekecil apapun, dan disisi manapun.
Atas harapan-harapan itulah saya
dengan beberapa kawan merasa penting untuk menjawab keresahan-keresahan itu,
sebelum secercah harapan yang kami milikipun sedikit demi sedikit ikut terkikis
dan menambah daftar orang-orang yang tumbang dalam perjalanan-yang menurut
Hasan Al-banna sebagai jalan yang panjang dan berliku bahkan jalan yang penuh
dengan onak dan duri ini.
Saya terus terang pernah merasa
dimana tradisi yang saya bangun tidak lagi diminati, tidak lagi dianggap
sebagai sesuatu yang memberi manfaat. Saya sejak lulus kuliah tahun 2010 lalu,
sangat sadar bahwa tradisi “ngopi” sebagai satu istilah tradisi yang mewakilkan
aktivitas diskusi, bertukar ide, dan sejenisnya sebagai tradisi yang mampu
membuat saya mempertahankan idealisme dan jauh dari pragmatisme yang menggerus
nilai dalam diri.
Dalam perjalanannya kemudian
tradisi itu hilang, sampai tak ada lagi yang merasa ia harus ada atau
dipertahankan. Tentu saja makin hari membuat saya makin pasif, hanya terkurung
dalam rumah tanpa aktivitas pikiran dan kegiatan-kegiatan berarti. Kebekuan
pikiran mulai menyerang, dan ini keadaan yang paling ekstrim selama melewati
proses belajar dari SMA, kuliah, kemudian dimedan kehidupan yang sesungguhnya.
Harapan dan doa hanya menjadi senjata terakhir menyelamatkan diri sebelum
tergilas dan terlempar dari kebersamaan dengan orang-orang sholeh.
Dan ketika awal tahun 2011 saya
kemudian dipertemukan dengan kawan-kawan yang se-ide. Kawan-kawan yang berlatar
belakang proses yang berbeda tetapi memiliki cara pandang yang sama tentang
jalan melewati kegalauan dan ikhtiar untuk mempertahakan diri di Dompu, dan
saya mencoba meleburkan diri secara totalitas dengan mereka.
Karena kerisauan kami, dan cara
pandang kami sama untuk melewati masa-masa itu. Maka hari-hari saya selalu
dengan mereka. Kami banyak menghabiskan waktu untuk bertukar ide tentang
apapun, hal yang sederhana sekedar nongkrong saja sampai urusan bisnis besar
yang ingin kami rintis kami selesaikan bersama. Kami berenam, berasal dari
tempat tinggal yang berbeda, angkatan sekolah yang berbeda, tetapi mencoba
bersama melewati masa hidup yang berat menurut kami. Tetapi bukan berarti tanpa
masalah dan tanpa konflik, keduanya selalu bersama proses kami tetapi karena
semua kami bingkai dalam persaudaraan yang baik masalah dan konflik hanya jadi
bumbu yang semakin menjadi penyedap rasa persaudaraan kami.
Kami sadar bahwa ide, cara pandang,
dan tradisi harus jadi sesuatu yang satu dan tidak bisa dipisahkan. Semakin
kuat ketika kami kemudian diminta mengurusi sebuah proyek peradaban, ditugaskan
mencari sejumlah orang untuk mengemban proyek yang sama yaitu proyek
menciptakan manusia yang baik dengan cita-cita yang baik. Hampir tiap waktu
kami bertukar ide, gagasan, cara pandang dan strategi tentang itu, kami pula
menciptakan sarana yang memudahkan aliran komunikasi antara kami. Dan beginilah
cara kami merawat tradisi yang menguatkan kaki kami berjalan menuju cita-cita
kemanusiaan, cita-cita peradaban.
Beginilah cara kami merawat
tradisi, sebuah upaya membangun pola kebersamaan yang mendekatkan kami dengan
hal-hal yang baik. Ketika tradisi semakin menguat memformula strategi dan
solusi tidak hanya diselesaikan di forum resmi tetapi juga di warung kopi dan
tempat nongkrong yang mencairkan kebekuan ide di kepala kami. Merawat tradisi
menjadi sesuatu yang membelajarkan kami bahwa ada nilai komunal yang menuntun
sikap kami sehingga jauh dari egoisme, jauh dari keinginan bersikap semaunya,
karena komunalitas tadi sungguh secara sadar mengingatkan setiap sikap yang
tidak benar.
Cara kami merawat tradisi kami
sederhanakan dengan intensitas kami minum kopi bersama. Dengan itulah kami juga
membangun pola menyelesaikan masalah. Kami kemudian membuat indikator
kesuksesan tugas bersama kami dengan intensitas "ngopi" kami. Semakin
tinggi intensitas "ngopi" maka semakin banyak pula tugas-tugas yang
kami tuntaskan, semakin banyak pula inspirasi dan gebrakan baru mensukseskan
tugas-tugas perjuangan, semakin banyak pula kebaikan yang bisa menjadi
investasi di akhirat. Dan beginilah cara kami merawat tradisi merupakan
terjemahan dari ikhtiar kami berbuat untuk bumi Nggahi Rawi Pahu.
Selasa, 03 Maret 2015
PILKADA TIDAK SELAMANYA SOAL UANG
Satu jam yang lalu saya kebetulan duduk dan mengobrol dengan beberapa orang didepan kantor DPRD Dompu. Pada saat itu pula ada beberapa anggota DPRD yang berbincang disisi sebelah kami duduk. Kemudian dari dalam ruang loby kantor DPRD keluar salah seorang anggota DPRD dan menyapa kami kemudian pergi. Sepertinya hendak menuju kantor salah satu partai yang hari ini akan menerima kedatangan pasangan bacabup dan bawacabup Kisman Pangeran dan Ompu Beko. Setelah menyapa kami kemudian pamit. Anggota DPRD yang lain yg sedang duduk disamping tempat kami mengobrol tiba-tiba menyeletuk "raho lalo 3 M re". Dan sambil tertawa mendengar celetukan itu anggota dewan yang tadi langsung berangkat menuju kantor partainya.
Saya berfikir, apakah selalu Pilkada hanya soal uang?Kalaupun selalu adalah soal uang apa juga tidak ada sebelumnya berbincang soal visi, misi, dan renstra. Saya jadi teringat ketika PKS membuka pendaftaran Bacabup akhir bulan lalu. Pada saat itu Tim Komunikasi Calon Kepala Daerah PKS Dompu menolak meregistrasi Calon yang mendaftar tanpa membawa Rencana Strategis jika terpilih menjadi Bupati Dompu periode 2015-2020. Kemudian menolak Pendaftaran yang hanya mengirim Tim Sukses saja. Uang adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan operasional politik. Tetapi Ide tentang pembangunan jauh lebih mahal dari sekedar bicara uang. Dan uang seharusnya dijadikan sebagai hal yang sekunder dan yang primer adalah ide dan gagasan yang sudah diformula menjadi Renstra untuk Dompu kedepan. Sehingga perlu kita bangun tradisi politik yang melahirkan ide dan gagasan baru. Dan ide serta gagasan baru itu yang mungkin melahirkan pembangunan sumber daya yang baik di Kab.Dompu.
#Cuappagi
#temankopi
Langganan:
Postingan (Atom)
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin