Sudah dua tahun aku melewati dunia pasca kampus. Dunia yang pastinya sangat berbeda. Dunia yang sering membenturkan idealisme kita dengan kenyataan hidup yang sesungguhnya. Dunia yang pada akhirnya kita selalu berkesimpulan bahwa hidup ini harus realistis. Tetapi aku berbeda. Aku masih belum mampu memaknai bahasa realistis itu kedalam pilihan konsen perjuangan untuk mensukseskan misi profetik.
Rabu, 30 Mei 2012
AKU GILA DENGAN OBSESI INI
Sudah dua tahun aku melewati dunia pasca kampus. Dunia yang pastinya sangat berbeda. Dunia yang sering membenturkan idealisme kita dengan kenyataan hidup yang sesungguhnya. Dunia yang pada akhirnya kita selalu berkesimpulan bahwa hidup ini harus realistis. Tetapi aku berbeda. Aku masih belum mampu memaknai bahasa realistis itu kedalam pilihan konsen perjuangan untuk mensukseskan misi profetik.
Ketika
didunia kampus dahulu garis besar gaya hidup kita hanya tiga, adalah menjadi
mahasiswa yang sukses secara akademis, belajar bahwa dengan moralitas yang
baiklah harapan kejayaan bangsa ini akan terjaga, dan berikut menjadi aktivis
mahasiswa yang berteriak sekeras mungkin ketika ada masalah yang tidak pro
rakyat dan anti kebenaran. Sungguh situasi yang membentuk kita menjadi orang
yang sangat idealis. Tidak jarang juga kita temukan mahasiswa yang sangat
utopis dengan dunianya dan dunia disekelilingnya.
Pada
fase itu kita merasa tingkat aktualisasi kita sudah sangat purna. Ada kepuasan
tersendiri, jika kita bisa mengilustrasikannya dalam sebuah model grafik-saat
itu mungkin kita sudah ada titik paling atas. Titik yang dimana kita merasa
bahwa gelar sarjana dan gelar aktivis menjadi satu pencapaian yang tidak bisa
tertandingin dalam sejarah apapun dalam hidup kita. Begitu pula yang aku rasa
memenuhi relung hatiku. Ada kepuasan karena sejarah sukses menurutku itu ku
goreskan sendiri bersama tumbangnya waktu, bersama terisinya segala kesempatan
untuk berproses menjadi-aku artikan sebagai mahasiswa yang sesungguhnya.
Waktu
ini berlalu ternyata membuat aku harus mengatakan bahwa waktu adalah makhluk
misterius. Ia selalu memberi kejutan. Selalu menawarkan sesuatu yang baru.
Tidak jarang ia membuatku memompa adrenalin. Dan sangat sering ia menegangkan
urat-uratku, mengerutkan dahi dan memusingkan kepala.
Menjadi
sarjana dan bergelar aktivis ternyata hanya mampu menciptakan ketenangan dalam
waktu yang sangat terbatas. Pasca kampus aku merasa dua gelar itu justru tumpul
dan tidak mampu memberikan kekuatan tersendiri menepis segala beban fikir yang
muncul. Aku mahasiswa yang kuliah jauh sampai ke pulau jawa. Masuk Universitas
ternama. Menjadi aktivis. Lalu pulang kampung tetapi tidak bisa berbuat
apa-apa. Harapan dieluk-elukan sebagai lulusan universitas di pulau jawa
hanyalah menjadi pepesan kosong dan mimpi disiang bolong. Justru semakin kuat
kabar angin yang menyerang seperti badai yang mengisi halaman-halaman rumah
tetangga. Mengatakan “Tak ada gunanya kuliah jauh tetapi tidak bisa apa-apa dan
tidak punya pekerjaan”. Kata-kata yang menyesakkan dada ini membuat aku semakin
sering mengurung diri dikamarku. Hanya bisa mengeluh dan mencibir netbook yang
selalu menatap sayup ketika aku mengekspresikan amarah lewat tulisan-tulisanku.
Beberapa
waktu kemudian aku sudah bekerja. Aku diterima bekerja di sebuah LSM yang
bergerak dibidang Advokasi pelayanan Publik. Enam bulan ketika aku magang
disana, aku yakin bahwa inilah wadah yang membuatku mampu memelihara
idealismeku, kultur intelektual, budaya diskusi, dan seabrek model aktivitas
yang sewarna dengan dunia mahasiswa. Aku memang sangat khawatir ketika disuatu
saat nanti idealisme yang melekat hari ini terkikis dan terbuang lalu berterbangan
seperti kapas yang tidak jelas mengikuti angin yang membawanya. Tetapi dunia
LSM membuatku yakin bahwa idealisme ini akan semakin mendarah daging.
Nilai-nilai yang disebut Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis yang jadi
ruh disana terinternalisasi dalam gerak aku dan kawan-kawan. Nilai-nilai
partisipatif, transparan, akuntabel, keswadayaan, kesetaraan, berpihak,
keberlanjutan, kemandirian, pemberdayaan dan pengkaderan, dan demokratis. Kita
bekerja meningkatkan Kapasitas warga dan organisasi warga dalam mendorong
pelayanan kesehatan yang optimal. Mendampingi sepuluh desa, menjajaki semua
problem pelayanan kesehatan, kemudian memilih kader terbaik desa untuk menjadi
pioner dan mereka menginisiasi lahirnya organisasi warga yang konsen memberikan
informasi berkaitan dengan standar pelayanan, lalu membelajarkan organisasi ini
dan masyarakat menjadi warga yang berdaya, serta menampung segala keluhan dan
pengaduan masyarakat untuk diadvokasi di pihak pelayan kesehatan dan pengambil
kebijakan. Lalu diantara aktivitas-aktivitas itu ada peningkatan kapasitas kita
sebagai NGO dan warga serta organisasi warga tentang regulasi-regulasi yang
berkaitan dengan isu yang sedang kita perjuangkan.
Aktivitas-aktivitas
ini sangat mulia. Aku begitu nyaman. Aku bisa memenuhi kebutuhan otak-ku untuk
bergulat dengan segala diskursus tentang konsep pengorganisasian, dan tekhnik
fasilitator. Dan secara langsung menyiapkan diri untuk berlajar menjadi
konseptor perubahan. Inilah mungkin cara aku dan kawan-kawan di LSM melakukan
rekayasa untuk perubahan sosial. Menjiwai dan berubah wujud menjadi aktivis LSM
mengajarkan aku untuk selalu meningkatkan kapasitas, karena fungsi pendampingan
dan pengorganisasian ditingkat warga menuntut kita untuk memberi banyak hal
untuk itu.
Dalam
kenyamanan ini aku merasa tidak ingin berpindah dari tempat dudukku yang begitu
banyak memberi input kapasitas. Lalu bersama dengan waktu ini pula aku merasa
seperti ada sesuatu yang masih kurang. Ada sesuatu yang masih perlu aku kejar.
Bergelar aktivis mahasiswa sudah aku tempuh, memelihara idealisme dengan tempat
bekerja yang cukup nyaman sedang juga aku alami dengan sepenuh hati. Bahkan
mencoba membentuk kultur baca dan diskusi di taman kota sudah aku seriusi.
Tetapi aku merasa masih ada yang tersumbat dalam obsesiku. Beberapa kali mendapat
sindiran sebagai orang yang tidak jelas arah tujuannya. Seringkali juga
dianggap sebagai kutu loncat. Hanya karena aku melakukan pekerjaan lebih dari
satu tetapi masih merasa ini bukan sesuatu yang ku kejar selama ini. Bahkan
ketika aku menjadi dosen yang menurutku nanti mampu menemukan sesuatu yang
sedang aku cari. Ternyata tetap saja aku merasa melewatinya sebagai rutinitas
ansih.
Ada
keinginan besar yang masih harus ku tuntaskan dalam perjalananku. Entah apa
dia. Tetapi aku menafsirkan ini adalah keinginan untuk menjadi penulis dan
menerbitkan buku karyaku sendiri. Aku serasa gila dengan obsesi ini. Tidak
jarang waktuku terkuras hanya dengan memandangi buku-buku yang berbaris di
mejaku. Hanya untuk melihat dan ter-kagum-kagum dengan karya luar biasa yang
mereka ciptakan. Ada juga terkadang aku mencibir beberapa buku yang ku anggap
tulisannya sangat sederhana tetapi laku di pasaran. Sungguh menyentil untuk
beradu ide dan karya. Aku sering belajar menulis mengikuti gaya mereka menulis,
sering belajar tentang cara mereka mengungkap keluh kesah, belajar
mengekspresikan bahagia lewat artikulasi bahasa yang bisa membuat pembaca ikut
tersenyum, dan belajar tentang cara para penulis itu mengungkap kebobrokan
pemerintah dengan bahasa yang eufimistik.
Dan
aku puas dengan semua itu. Ingin rasanya berteriak dan mengangkat tangan serta
mengatakan “Aku merdeka dari segala keluh kesah yang membuat hidupku redup dan
senyumku mengkerut”. Maka dari itu aku ingin benar-benar menjadi penulis dan
disaatnya nanti menciptakan buku yang bisa membuat orang lain tersenyum,
ter-inspirasi, terdorong melakukan kebaikan, dan merdeka dari segala kepelikan
hidup. Tentu sekali lagi ini bukan untuk kepentingan prestise tetapi dalam
rangka mengambil bagian dalam upaya mencerdaskan manusia. Dalam rangka
berperang melawan kebobrokan moralitas. Hanya dengan menulis membuat orang lain
bisa menyelami makna kebaikan yang selama ini menggerakkan kita. Hanya dengan
menulis membuat pesan-pesan kebaikan yang kita sampaikan bisa dibaca oleh
manusia diseantero negeri. Menulis ini mencoba menyampaikan kecemerlangan ide
yang kita dapatkan dari suara langit. Suara Penguasa Abadi.
Mari
menulis.
*Merapat bersama obsesi ini
Sabtu, 05 Mei 2012
GENERASI EMAS PII, OSIS, DAN OSES
Oleh Muhadjir Effendy (Ketua Perhimpunan KB PII Jawa Timur)
Jawapos, Sabtu, 5 Mei 2012
PADA
4 Mei 1947 di ibu kota Republik Indonesia, waktu itu Jogjakarta,
berdiri organisasi yang diberi nama Pelajar Islam Indonesia (PII). PII
menjadi organisasi pelajar pertama yang berdiri di era setelah
kemerdekaan. Tatkala Jogjakarta menjadi pusat perlawanan untuk
mempertahankan kemerdekaan, anak-anak sekolahan dalam PII yang baru
lahir itu langsung ikut menjadi pejuang. Momentum dan suasana kelahiran
tersebut, dipadu dengan anutan ideologi plus gejolak usia remaja,
membuat watak organisasi itu menjadi khas, yaitu fanatik, militan,
idealis-utopis dibumbui dengan romantisme perjuangan.
Watak
semacam itu tetap terbawa ketika bangsa Indonesia memasuki tahap mengisi
kemerdekaan. Ketika itu berbagai kekuatan ideologi menjelma menjadi
partai-partai politik yang saling bersaing. Ada dua ideologi dan partai
yang jelas-jelas tidak mungkin dipersatukan, yaitu Masyumi (Majelis
Syura Muslimin) yang mewakili agama dan PKI (Partai Komunis Indonesia)
yang komunis-ateis. Di tengah persaingan sengit itu, sekalipun
menyatakan diri sebagai organisasi independen, PII mau tidak mau
memiliki kedekatan dengan Partai Masyumi. Saking dekatnya, orang-orang
PKI menjulukinya “Masyumi berkatok pendek”.
Sikap antikomunis
PII termanifestasi dalam kegiatan pengaderan. Baik sebagai bagian dari
materi training, yel-yelnya, maupun nyanyian-nyanyian. Misalnya yang
terdapat dalam sebuah lirik: …hai PII! Maju terus maju, galanglah
ukhuwah islamiah, jadilah pemersatu umat, jadilah pedang umat Islam,
hancur leburkan ateisme, maju terus pantang mundur!
Bagi PII,
keberadaan Partai Masyumi dan dirinya memang memiliki sejarah khusus.
Salah satu doktrin yang ditanamkan kepada kader PII adalah pentingnya
menggalang persatuan umat Islam. Dalam Ikrar Malioboro para pemimpin
Islam bersepakat akan pentingnya satu kesatuan umat Islam. Mereka
berikrar hanya Masyumi-lah satu-satunya partai Islam, organisasi
pelajarnya adalah PII, organisasi mahasiswanya HMI, organisasi pemudanya
adalah GPII, dan Pandu Islam (PI) satu-satunya organisasi kepanduannya.
PII juga merujuk fatwa yang pernah diucapkan Hadhratusy Syaikh KH
Hasyim Asy’ari, pendiri NU, bahwa haram hukumnya partai Islam selain
Masyumi. Namun, kesepakatan itu berlangsung tidak lama karena pada 1948
PSII keluar dari Masyumi untuk menjadi partai politik sendiri dan
disusul NU pada 1952.
PII pelan-pelan mulai kehilangan hak
monopolinya ketika ormas dan orpol Islam mulai membentuk organisasi
sayap pelajarnya sendiri. Di NU berdiri Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) pada 1954. Di Muhammadiyah, setelah terjadi pro-kontra akhirnya
pada 1961 juga berdiri Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Kendati
begitu, doktrin akan pentingnya satu kesatuan umat Islam tetap menjadi
cita-cita utopia PII. Ketika pada 1960 Presiden Soekarno membubarkan
Partai Masyumi, PII terkena imbasnya. PKI dan onderbouw-nya kian
beringas terhadap si Masyumi bercelana pendek itu. Kasus yang sangat
terkenal, misalnya, peristiwa Kanigoro pada 1965. Ketika itu BTI,
organisasi onderbouw PKI, menyerbu tempat terselenggaranya training PII
di Kanigoro, Kediri.
PII dan TNI
Pada 1966 keadaan
jadi berbalik. Para aktivis PII -bersama IPNU, IPM, GSNI, dan lain-lain-
dengan dukungan ABRI ramai-ramai mengganyang PKI melalui Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Beda dengan KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) yang wilayah operasinya terbatas di kota-kota
perguruan tinggi, jangkauan KAPPI bisa sampai ke pelosok tempat sekolah.
Mereka bekerja sama dengan ABRI sampai level komando paling bawah,
yaitu koramil. Saking dekatnya para aktivis KAPPI dengan ABRI, mereka
semacam mendapat prioritas diterima di Akabri. Terutama ketika gubernur
Akabri dijabat Sarwo Edhie (1970-1973). Banyak lulusan Akabri angkatan
tahun ’70-an yang berasal dari aktivis KAPPI, terutama PII. Sebagaimana
kita tahu, mertua Presiden SBY itu tatkala menjadi komandan RPKAD
(1964-1967) sangat terkenal dalam memimpin penumpasan G 30 S/PKI.
Seperti melupakan andil organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah
(OSES), justru kemudian pemerintah Orde Baru secara sistematis mencegah
kehadiran organisasi ekstrasekolah masuk di sekolah. Di sekolah hanya
boleh ada OSIS (organisasi siswa intrasekolah) dan pramuka.
Bagaimanapun, organisasi ekstrasekolah telah menunjukkan keunggulannya
dalam menyiapkan pemimpin-pemimpin bangsa. Sebut saja, misalnya, PII
telah melahirkan Jusuf Kalla. GSNI melahirkan Taufik Kiemas, dari IPM
memunculkan Busyro Muqoddas. Kalau ada kekhawatiran organisasi ekstra
memunculkan sikap fanatisme sempit dan kaku, itu tidak sepenuhnya benar.
Bisa disaksikan bahwa PII bisa melahirkan tokoh NU seperti KH Hasyim
Muzadi sekaligus tokoh Muhammadiyah seperti Prof A. Malik Fadjar. IPNU
yang notabene organisasi sayap NU bisa melahirkan tokoh Muhammadiyah
seperti Prof M. Din Syamsuddin. Di jajaran kabinet saat ini ada para
menteri yang mulai mengasah bakat kepemimpinan sejak usia remaja melalui
organisasi ekstrasekolah.
Generasi Emas Perlu Utopia
Masa remaja ibarat lempengan besi yang sedang membara, saat yang mudah
ditempa untuk dibikin menjadi apa saja. Termasuk saat yang paling tepat
untuk ditempa menjadi calon pemimpin bangsa. Sayang, keadaan
sekolah-sekolah kita saat ini tidak cukup kondusif untuk menyemai
calon-calon pemimpin itu. Anak-anak sekolah kita tidak mampu membangun
“mimpi besar” karena imajinasi dan cita-cita utopis mereka tidak
berkembang seperti yang seharusnya terjadi pada anak usia remaja yang
bakal menjadi pemimpin masa depan. Akibatnya, naluri militansi,
fanatisme, dan romantisme perjuangan mereka lampiaskan lewat tawuran
masal, geng motor, vandalisme, bahkan tindakan kriminal.
Dalam
memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini, menteri pendidikan dan
kebudayaan mengangkat masalah mempersiapkan generasi emas Indonesia
(Jawa Pos, 2 Mei 2012). Menyiapkan generasi emas yang menguasai berbagai
keterampilan perakitan dan produksi sangat penting.
Akan
tetapi, saya kira itu bukan jalan untuk menyemai pemimpin bangsa.
Tetapi, justru potensi persemaian itu ada pada organisasi-organisasi
ekstrasekolah. Karena itu, demi lahirnya pemimpin generasi emas
Indonesia, diperlukan kebijaksanaan yang mendorong dan memfasilitasi
kembalinya organisasi-organisasi siswa ekstrasekolah alias OSES tersebut
untuk berkiprah di sekolah-sekolah, seperti OSIS.
*) Ketua umum terpilih 2012-2015 Keluarga Besar PII Jawa Timur. Tilisan ini diterbitkan di JawaPos
MERINDUKAN SEMANGAT PERJUANGAN KI HAJAR DEWANTARA
(Dimuat di Lombok post. Jum'at, 4 Mei 2012)
Siapa yang tidak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Diakhir-akhir bulan april dan menyambut Mei, namanya sering disebut, karena tanggal kelahirannya yaitu 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan sebagai hari Pendidikan Nasional, tidak hanya itu pada 28 November 1959 melalui surat keputusan Presiden RI no. 305 Tahun 1959, Ki Hadjar ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional.
Tokoh yang lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat merupakan peletak dasar pendidikan nasional. Sekilas melihat latar belakangnya, Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar dan setelah lulus ia meneruskan ke Stovia di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda RM Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang baginya yaitu di seksi propaganda.
Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, , dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda!.
Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya.
Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah atau bawahannya. Banyak pimpinan saat ini yang sikap dan perilakunya kurang mencerminkan sebagai figur seorang pemimpin, sehingga tidak dapat digunakan sebagai panutan bagi anak buahnya.
Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitkan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seorang pemimpin ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahannya. Karena itu seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja.
Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh bawahan, karena paling tidak hal ini dapat menumbuhkan motivasi dan semangat kerja.
Beliau meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Sebagai wujud melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara oleh pihak penerus perguruan Tamansiswa didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Dalam museum terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Uraian diatas adalah sekilas potongan sejarah perjuangan Ki Hadjar dan terlihat jelas jiwa kebangsaannya telah tertanam sejak muda. Dan jiwa kebangsaannya itu memberikan kontribusi dan dorongan kuat pada dirinya untuk melahirkan konsep-konsep pendidikan yang berwawasan kebangsaan.
Ketika Masa orde lama beliau menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Melihat jejak sejarah KI Hadjar Dewantara, beliau sangat berjasa memikirkan tentang pendidikan Indonesia. Banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hadjar dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan. Tagore dan Ki Hadjar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tindakan Ki Hadjar itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat.
Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari "strategi" untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.
Kita sebagai generasi muda, selayaknya menyambut perjuangan beliau dan melanjutkan cita-citanya untuk memajukan pendidikan diIndonesia. Kalau saja KI Hadjar Dewantara mampu berfikir dan mengonsep beberapa ajaran yang akhirnya sangat dikenal oleh masyarakat yang seiring dengan itu masalah sosial-politik negara sedang belum stabil, kenapa tidak menjadi satu semangat kita untuk menatap masa depan cemerlang bagi pendidikan kita.
Melihat semakin hari realitas pendidikan kita semakin tidak “merakyat” menurut KI Hadjar Dewantara, tak selayaknya kita berdiam diri, apalagi dizaman yang “serba ada” ini, mestinya generasi muda mampu selangkah lebih maju dari tokoh-tokoh yang telah mendahuluinya seperti KI Hadjar sehingga dimasa yang akan datangpun akan mampu memperbaiki dan menyempurnakan wajah pendidikan bangsa Indonesia.
Realitas pendidikan masa kini semakin tak tentu arah, proses ikhtiar yang panjang dilakukan oleh para siswa maupun guru hanya ditentukan oleh tiga hari ujian. Ini mengundang usaha-usaha yang tidak jujur dari beberapa oknum yang ingin mengejar nama sekolah menjadi baik, terkenal pintar hanya karena jumlah siswanya yang lulus lebih sedikit dari sekolah lain, selain itu oknum yang merasa system ini tidak adil akan membuat trik khusus untuk membocorkan soal, memberi tahu jawaban, dan lainnya untuk membantu siswanya.
Dan mungkin banyak kasus lain yang jika diurai satu persatu akan menjadi satu paket system pendidikan yang hari ini sedang carut marut. Implikasi yang bisa dirasakan oleh seluruh komponen pendidikan hari ini adalah ekspresi siswa terhadap keputusan lulus ataupun tidak. Siswa-siswa yang merasa diri telah mendapatkan predikat kelulusan akan mengekspresikan kebahagiaannya sampai pada titik ekstrim kebahagiaan; konvoi motor, balapan sepeda motor, coret-coretan baju, dan lainnya. Coba kita obyektif melihat ini, tidak adakah satu ekspresi kebahagiaan yang lain yang lebih berbau pendidikan?atau symbol-simbol lain sebagai indikator keberhasilan proses pendidikan selama ini?
Dan jika mereka adalah siswa yang belum beruntung karena tidak lulus ujian, bukan proses introspeksi dari usaha yang mereka lakukan selama ini tetapi mengkambing hitam; teman benci, guru jadi sasaran, gedung sekolah dihancurkan untuk menunjukkan kekecewaan mereka. Inikah hasil dari pendidikan yang menciptakan generasi bangsa yang beradab itu.
Jika demikian, wajar ketika kita harus merindukan apa yang dulu diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Seharusnya kita mencoba memfalsafahi kembali sebuah cita yang pernah ada pada pendidikan kita, melahirkan para tokoh dan orang-orang yang hari ini menjadi “orang” bagi bangsa dan Negara Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin