Kali ini aku ingin menulis tentang “Hawa
Panas” Pasar. Sesuatu yang aku temukan dipasar. Berangkat dari efeknya terhadap
kondisi fisik dan psikis-ku setelah pulang dari pasar. Sehingga aku merasa ada
hal aneh yang mesti aku bicarakan di sini.
Pasar itu memang secara kasat mata
terlihat tidak ada apa-apanya, karena diisi oleh ibu-ibu tua, bau ikan dan
barang dagangan lain disana, sehingga kesan kumuh dan kotor itu menjadi sesuatu
yang akrab sekali dengan pasar.
Lalu tentang Hawa Panas. Setelah beberapa
hari ke pasar begitu kuat rasanya hawa panas disana. Hawa panas yang ku maksud
adalah tentang persaingan dagang dan kesiapan diri melihat jajakan kita laku
atau tidak laku.
Pertama, Tentang persaingan dagang.
Sebelum kita masuk ke gerbang pasar saja, dari kejauhan kita sudah mendengar
teriakan ibu-ibu memanggil para pembeli. “Ikan segar..ikan segar..masih baru..”
atau “sayuran segar, baru di petik..harganya murah”. Pokoknya sedemikian rupa
cara dan bahasa mereka memanggil para pembeli. Sampai kemudian tidak jarang
pembeli yang awalnya tidak berencana membeli barang tersebut, jadi tergoda
untuk membeli. Yang lebih ekstrim kadang-kadang menggunakan cara yang tidak
etis.
Membicarakan kekuarangan barang dagangan
orang lain. Ini parah padahal sadar atau tidak sadar mereka bersama-sama dari
satu stok barang lalu ke pasar dalam niat mencari rizki yang sudah ditentukan
untuk mereka masing-masing.
Kedua, adalah persiapan diri melihat
jajakan kita laku atau tidak. Ini lebih pada soal psikologis. Atau kematangan
diri berbisnis. Serta keyakinan akan sebuah rizki yang tidak akan tertukar
dengan rizki orang lain.
Sebut saja aku dan mertua yang
berbelanja setiap harinya. Berbelanja dalam jumlah yang tidak sedikit. Artinya
bagi para pedagang, kami adalah salah satu list pembeli yang akan membuat
barang dagangan mereka laku dalam jumlah yang banyak. Tetapi mungkin
dilematisnya adalah tentang bangunan sikap mereka ketika dagangan mereka laku dan
disampingnya tidak, atau sebaliknya ketika melihat dagangan disampingnya laku
lalu dagangan dia tidak laku.
Melihat dua hal ini bagi orang yang
memiliki kepekaan sosial tinggi pasti akan tertekan dan menimbulkan depresi
tinggi, karena ketika dagangannya tidak laku sementara didepan matanya melihat
penjual disampingnya begitu laris, dia akan iri, akan cemburu, bisa-bisa
menimbulkan kebencian. Dan sebaliknya jika jualan dia laku banyak sementara
penjual disampingnya tidak laku dari pagi sampai sore maka dia akan merasa
kasian, empati berlebihan. Dan yang ada dia akan mundur teratur menjadi
pedagang di pasar.
Memang betul bahwa berbicara bisnis itu
yang pertama yang harus disiapkan adalah kesiapan mental. Atau kematangan
berbisnis tadi. Karena berbisnis itu hanya memberikan dua opsi saja. Dia akan
sukses atau dia akan gagal.
Ketika kesiapan ini sudah ada. Maka menghadapi
hawa panas pasar akan disikapi dengan arif dan bijaksana. Semua akan
dikembalikan kepada jatah rizki setiap orang. Ketika laris dia akan bersyukur
dan ketika tidak diakan bersabar menunggu hingga rizki itu mendekat kepadanya. Karena
rizki tidak mungkin tertukar.
hehe sederhana mas, tapi isi tulisannya bagus..
BalasHapussemangat semangat!!