Mataram
adalah hidupku beberapa hari ini. Aku sementara hijrah ke ibu kota propinsi ini
karena disinilah aku merangkai cinta. Disini aku menemukan jalan takdirku.
Disini aku pula berdamai dengan seluruh kepentingan yang melekat dalam diriku.
Aku tinggalkan semuanya dengan alasan yang aku yakin orang lain tak akan
mengerti. Pelik. Sebenarnya aku bukan orang yang mudah ditaklukan oleh masalah
tetapi aku juga khawatir menjadi orang yang terlalu apatis dengan masalah. Ini
hidupku. ini hadapanku. Pada saat inilah aku bernar-benar merasa menjadi
sutradara sekaligus pelaku bagi hidupku sendiri.
Ada
rasa tertekan, karena ini baru. Ada rasa bersalah karena meninggalkan kampung
halaman dengan segala tanggungannya. Aku berada pada dua titik, antara pulang
menambah beban, dengan tetap mengasingkan diri sekalipun hidup disisi yang lain
mencaci. Ketika hati nuraniku yang bersuara, maka tak adalagi definisi tentang
pilihan, yang ada adalah kepastian memilih. Dan saat ini aku sedang berdamai
dengan bagian dari wajah hidupku.
Saat
ini aku bergantian sibuk dengan tiga hal saja; rumah mertua, kampus, dan
Organisasi PII. Dari setelah shalat subuh hingga sekitar jam 09.00 wita
bergumul dengan kesibukan warung nasi; melayani pesanan minum, membantu
memotong es batu, hingga menjadi kasir, belum lagi ketika ada pesanan nasi
kotak. Terkesan sangat ribet tetapi aku menikmati ini. Kemudian jam 09.00 wita
sampai jam 12.00 wita harus merapat ke kampus, menjadi Dosen pembimbing ketiga
bagi istriku yang sedang menyelesaikan skripsi. Setelah dzhur sampai magrib
menyambangi aktivitas teman-teman Pelajar Islam Indonsesia (PII)
disekretariatnya. Dan setelah itu kembali ke rumah dengan aktivitas seperti
biasanya.
Gambaran
aktivitas mengurangi kebiasaan tidur, nonton TV, jalan-jalan yang tidak terlalu
penting. Dan diantara aktivitas-aktivitas rumah, kampus, dan PII ada satu hal
lagi yang sering aku lakukan, satu hal yang menjadi jedah aktivitas sekaligus
jedah mengumpulkan semangat. Yaitu mengunjungi Garuda, sebuah warung internet
di Kekalik-Mataram. Garuda, yang bagiku menjadi terminal menulis diantara
perjalanan melewati aktivitas ditiga tempat tadi. Disanalah rasanya aku
menumpahkan segala sumbat fikir lewat menulis.
Hampir
tiap hari aku kesana. Disana bagiku terminal untuk melepas penat dan
mengumpulkan kepingan semangat baru beraktivitas. Ini sumber baru semangatku.
Tempatku mengumpulkan segala tausyiah dan pesan barharga melewati adaptasi
fase. Semoga tidak ketinggalan jauh karena kereta kehidupan selalu berjalan, jika
kita lemah untuk menyiapkan diri bisa dipastikan kita menjadi orang yang rugi
karena ketinggalan untuk menangkap pesan-pesan dari kereta kehidupan.
Semangat terus bang..
BalasHapusAjarin aku menulis mas..gimana memulainya?
BalasHapushehe
BalasHapussaya juga baru belajar.
satu hal yang saya percayai bahwa semua kita punya bakat untuk menulis tetapi yg kadang mahal itu adalah ide untuk menulis..
kita sama2 belajar aja bro..