`

`

Selasa, 19 Maret 2013

GARUDA, TERMINAL MENULISKU


Mataram adalah hidupku beberapa hari ini. Aku sementara hijrah ke ibu kota propinsi ini karena disinilah aku merangkai cinta. Disini aku menemukan jalan takdirku. Disini aku pula berdamai dengan seluruh kepentingan yang melekat dalam diriku. Aku tinggalkan semuanya dengan alasan yang aku yakin orang lain tak akan mengerti. Pelik. Sebenarnya aku bukan orang yang mudah ditaklukan oleh masalah tetapi aku juga khawatir menjadi orang yang terlalu apatis dengan masalah. Ini hidupku. ini hadapanku. Pada saat inilah aku bernar-benar merasa menjadi sutradara sekaligus pelaku bagi hidupku sendiri. 

Ada rasa tertekan, karena ini baru. Ada rasa bersalah karena meninggalkan kampung halaman dengan segala tanggungannya. Aku berada pada dua titik, antara pulang menambah beban, dengan tetap mengasingkan diri sekalipun hidup disisi yang lain mencaci. Ketika hati nuraniku yang bersuara, maka tak adalagi definisi tentang pilihan, yang ada adalah kepastian memilih. Dan saat ini aku sedang berdamai dengan bagian dari wajah hidupku.

Saat ini aku bergantian sibuk dengan tiga hal saja; rumah mertua, kampus, dan Organisasi PII. Dari setelah shalat subuh hingga sekitar jam 09.00 wita bergumul dengan kesibukan warung nasi; melayani pesanan minum, membantu memotong es batu, hingga menjadi kasir, belum lagi ketika ada pesanan nasi kotak. Terkesan sangat ribet tetapi aku menikmati ini. Kemudian jam 09.00 wita sampai jam 12.00 wita harus merapat ke kampus, menjadi Dosen pembimbing ketiga bagi istriku yang sedang menyelesaikan skripsi. Setelah dzhur sampai magrib menyambangi aktivitas teman-teman Pelajar Islam Indonsesia (PII) disekretariatnya. Dan setelah itu kembali ke rumah dengan aktivitas seperti biasanya.

Gambaran aktivitas mengurangi kebiasaan tidur, nonton TV, jalan-jalan yang tidak terlalu penting. Dan diantara aktivitas-aktivitas rumah, kampus, dan PII ada satu hal lagi yang sering aku lakukan, satu hal yang menjadi jedah aktivitas sekaligus jedah mengumpulkan semangat. Yaitu mengunjungi Garuda, sebuah warung internet di Kekalik-Mataram. Garuda, yang bagiku menjadi terminal menulis diantara perjalanan melewati aktivitas ditiga tempat tadi. Disanalah rasanya aku menumpahkan segala sumbat fikir lewat menulis.
Hampir tiap hari aku kesana. Disana bagiku terminal untuk melepas penat dan mengumpulkan kepingan semangat baru beraktivitas. Ini sumber baru semangatku. Tempatku mengumpulkan segala tausyiah dan pesan barharga melewati adaptasi fase. Semoga tidak ketinggalan jauh karena kereta kehidupan selalu berjalan, jika kita lemah untuk menyiapkan diri bisa dipastikan kita menjadi orang yang rugi karena ketinggalan untuk menangkap pesan-pesan dari kereta kehidupan.   

3 komentar:

  1. Semangat terus bang..

    BalasHapus
  2. Ajarin aku menulis mas..gimana memulainya?

    BalasHapus
  3. hehe
    saya juga baru belajar.
    satu hal yang saya percayai bahwa semua kita punya bakat untuk menulis tetapi yg kadang mahal itu adalah ide untuk menulis..
    kita sama2 belajar aja bro..

    BalasHapus

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin