`

`

Minggu, 17 Maret 2013

MEMBANGUN KOMITMEN KEINSTRUKTURAN

Menatap Realitas Keinstrukturan
Bargaining Position keinstrukturan dimata Muadib hari ini sudah mulai membias. Ini ditandai oleh adanya beberapa fenomena yang muncul dan pantas ditatap sebagai persoalan mendasar. Mengingat eksistensi dan peran keinstrukturan sebagai kader inti atau kader yang berada pada lingkaran terdalam sistem kaderisasi PII dicapai tanpa melewati alur proses kaderisasi yang benar.

Muncul kesefahaman komunal yang berangkat dari tradisi yang salah dalam proses implementasi kaderisasi. Sebut saja kesalahan dalam memandang legitimasi kader instruktur dan memandang kualifikasi keinstrukturan bukan sebagai sesuatu yang filosofis pada proses pembentukan kedirian kader dalam pentrainingan.

Beberapa hal yang bisa di share di sini antara lain; ada kelompok kader yang dalam kacamata kaderisasi sudah sangat layak mengikuti advance training, tetapi tidak berminat, disebabkan adanya pemahaman; tanpa melewati jenjang Advance dan Pendidikan Instruktur mereka bisa masuk ke dalam lingkaran training. Ada pula pemahaman bahwa menjadi kader intermediate saja sudah cukup. Tidak perlu mengikuti advance dan Pendidikan instruktur. Toh ketika belajar diluar PII dan menjadi kader berkualitas maka tetap diberdayakan untuk mengelola training. Atau dengan kuantitas instruktur yang masih sedikit bisa dipastikan dalam pengelolaan training akan melibatkan kader yang belum berkualifikasi instruktur. Ini bangunan pemahaman yang semakin lama bisa menjadi sejarah sehingga harus diamputasi. Jangan sampai dibiarkan mengakar lalu atas nama kultur dan tradisi, dilegitimasi sebagai sesuatu yang baik dimata konsep kaderisasi PII.

Banyak lagi hal lain yang bisa kita potret tentang “berinstruktur”. Satu persatu bisa kita gelar dalam tulisan ini untuk menyentil kita bahwa ada banyak hal yang sudah menjamur dan harus didobrak, untuk membuka pintu perubahan dalam dunia keinstrukturan kita. Dan saya mengajak kita semua untuk memulai dengan membuka pintu paradigma lama lalu disortir kemudian dielaborasi dengan tradisi baru yang se-fikroh dengan arah pandang ta’dib.

Disisi yang lain sempat muncul pertanyaan tentang beranikah kita mengurai satu per satu karat tradisi yang mengekang ruang kreativitas dan produktivitas kita?Ini sudah berada pada zona nyaman sehingga memang kita harus fahami bahwa memulai perubahan akan menjadi hal yang sulit karena tantangan terberat adalah berpindah tempat duduk dari zona nyaman ke sesuatu hal yang baru. Tetapi sebenarnya ketika berusaha untuk memulai langkah pertama maka langkah-langkah berikutnya akan ringan, dan seiring dengan waktu-dengan sendirinya akan menjadi tradisi yang menjadi kearifan lokal yang bisa terus dipertahankan. Selain itu hal tersebut adalah bagian dari ruang kritisme dalam mengobyektivikasi kondisi keinstrukturan. Jangan sampai tanpa disadari virus feodalisme telah menyerang struktur berfikir kita. Tiga hal yang dibunuh oleh feodalisme, yaitu daya kritis, kreativitas, serta sikap fundamental. Padahal dengan tiga hal di atas dapat melahirkan inovasi dan improvisasi terhadap konsep yang sudah ada.

Beberapa hal yang bisa dieksplorasi tentang realitas keinstrukturan hari ini;
Pertama, Internalisasi nilai-nilai disetiap jenjang training dan kursus tidak utuh. Keutuhan dalam menyerap nilai disetiap jenjang proses kaderisasi sangat penting untuk mengukur kualitas internal kader. Sehingga ketika berada pada level instruktur outputnya adalah memiliki tiga sifat dan delapan kinerja sebagai bekal menuntaskan tujuan PII untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Namun perkembangan beberapa waktu terakhir internalisasi nilai-nilai yang dimaksud mulai melemah. Asumsi kematangan yang dibangun oleh konsep kaderisasi tidak tercapai. Sehingga terjadi split personality pada diri instruktur. Terjadi kebingungan mendefinisikan dirinya kemudian disorientasi lalu menarik diri dari lingkaran organisasi PII.

Kedua, Tidak ada kontrak tertulis antara struktur dengan para calon instruktur. Harus difahami bahwa instruktur adalah aset termahal yang dimiliki oleh PII. Mereka adalah orang-orang yang memahami sistem kaderisasi PII dan ditugaskan untuk memecahkan masalah-masalah kaderisasi PII. Sehingga upaya untuk mencetak kader instruktur harus dilakukan secara sadar oleh struktur (Ketua Bidang Kader dan bidang lain) dan Dewan Ta’dib. Dari mempertanggung jawabkan kapasitas calon kader instruktur sampai jaminan serta harapan struktur pasca menjadi instruktur harus menjadi bangunan kesefahaman bersama. Jangan sampai ada lagi kader instruktur yang masih bingung tentang “arah jalan pulang”. Karena tidak ada kontrak yang menyadarkannya tentang peran dan fungsinya setelah menjadi kader instruktur.

Ketiga, Lemahnya peran struktur dalam memberdayakan potensi instruktur, dan kurang terbukanya ruang aktualisasi bagi instruktur. Dalam kepentingan impelementasi kebijakan kaderisasi instruktur tidak pernah dilibatkan untuk melakukan pengayaan terhadap kualitas pengelolaan training, kursus dan ta’lim. Sehingga memang esensi peran instuktur dapat dirasakan secara langsung oleh struktur. Kondisi ini pada dasarnya mempersempit ruang aktualisasi instruktur padahal kebutuhan peningkatan kapasitas personal instruktur sangat banyak, terutama keberlanjutan pengayaan yang berkaitan dengan kebutuhan ruhiyah dan keterampilan.

Keempat, Memahami keinstrukturan hanya pada soal mengelola training, padahal juga terkait persoalan kematangan berstruktur. Persoalan pelik juga yang dihadapi oleh keinstrukturan ketika memisahkan antara berstruktur dengan berinstruktur. Ingin mengelola training saja tetapi tidak ingin mejadi bagian dari kepengurusan. Atau bersemangat untuk berorganisasi di PII tetapi tidak mau menjadi instruktur karena terikat dengan peran sekaligus fungsinya. Padahal di dalam ta’dib sendiri dijelaskan secara bersamaan dan berkaitan antara institusi fungsional dan institusi penunjang.

Kelima, Masih adanya intervensi problem kestukturan terhadap aktivitas kaderisasi. Karena aktivitas kaderisasi dan aktivitas berstruktur itu tidak bisa dipisahkan, maka kadang-kadang keduanya saling mempengaruhi. Tetapi kurang tepat ketika problem di struktural membuat kita “kurang bersih” dalam memanajemen training, kursus, ataupun ta’lim. Yang sering muncul adalah dalam proses pengelolaan training. Ukuran yang sederhana bisa kita lihat pada distribusi instruktur berdasarkan jenjang kualifikasinya. Kalau ada instruktur distruktur terlalu beda kualifikasi keinstrukturannya dibandingkan yang lain, bisa dipastikan ada masalah. Karena salah satu peran dewan ta’dib itu adalah menjaga keseimbangan penjenjangan instruktur sehingga menjawab kebutuhan pentrainingan.

Keenam, Kita tidak memiliki data jumlah instruktur berikut kualifikasinya, sebagai instrumen dalam mengukur produktivitas kaderisasi. Bersamaan dengan upaya untuk menciptakan idealita ta’dib kita harus mengakui bahwa salah satu problem kita adalah problem data. Data itu penting untuk mengukur kekuatan PII. Jika ingin melihat grafik jumlah kader yang dihasilkan setiap periode, rasio keseimbangan kader basic, intermediate, dan advance, maupun data instruktur beda zaman pasti kelimpungan menghadirkan data. Data instruktur beberapa periode sebelumnya penting untuk menjawab kebutuhan training.

Beberapa persoalan di atas tatapan terhadap realitas keinstrukturan PII. Membahas satu per satu terntu akan menghadirkan berbagai macam solusi yang berbeda, maka hal mendasar yang bisa kita obrol untuk menjawab enam persoalan diatas adalah mencoba mengutak-atik komitmen personal yang sekarang sudah bermetamorfosa menjadi komitmen diri seorang instruktur.

Membangun Komitmen Keinstrukturan
Beberapa tatapan realitas keinstrukturan di atas merupakan gambaran yang mewakili kondisi keinstrukturan. Pilihannya adalah apakah kita akan menambah daftar instruktur yang melewati masa problem yang sama ataukah menjadi aktor dalam mengawali perubahan baik pada internal diri maupun perubahan pada tingkat muadib secara umum.

Menuntaskan persoalan-persoalan ini tidak serta merta ibarat membalikkan telapak tangan, tetapi bertahap, dan sitematis sesuai dengan perubahan yang direncanakan. Perubahan itu harus dimulai dari persoalan yang sangat mendasar, yaitu soal komitmen. Membangun komitmen yang dimaksud adalah tidak hanya persoalan komitmen secara harfiah, tetapi lebih mendalam lagi tentang konsekwensi berkomitmen.

Secara filosofis berkomitmen yang difahami oleh kader PII adalah komitmen untuk tetap setia kepada Pelajar Islam Indonesia (PII) dan cita-cita Pelajar Islam Indonesia (PII). Ini menjadi ruh sekaligus semangat dalam gerak tindak instruktur. Artinya komitmen ini sebenarnya menjadi dasar bagi instruktur untuk menegaskan dirinya sebagai kader paripurna. Membangun komitmen keinstrukturan harus dimulai dari mereorientasi komitmen diri. Niat ketika menjadi instruktur, karena setiap amal akan bergantung kepada niatnya. Kalau orientasi dirinya tidak jelas maka akan menggabarkan ekspresi dirinya sebagai instruktur.

Kemudian komitmen intelektualisme. Pendidikan seumur hidup sudah dikenalkan oleh Rasulullah sejak 14 abad yang lalu. Konsekwensinya daur belajar adalah proses yang tidak akan pernah berhenti sejak dilahirkan hingga akhirnya dijemput ke liang lahat. Menjadikan intelektualisme (kultur belajar) sepanjang usia tidak hanya ketika aktif di struktural PII tetapi setelah menjadi kader umatpun komitmen ini harus dijaga (baca: Tri Komitmen). Berangkat dari kefahaman ini instruktur harus semangat membangun kultur intelektual dimanapun. Struktur adalah wadah yang masif untuk menghidupkan kultur ini. Fastabiqul khoirot dalam membangun intelektualisme di struktur menjadi dinamisasi intelektual yang pada saatnya akan menjadi kekayaan organisasi PII.

Selanjutnya adalah membangun konsistensi, dan integritas. Konsistensi adalah faktor pendukung komitmen. Sebuah komitmen jika tidak dirawat dengan konsistensi akan rapuh. Konsistensi merupakan upaya sekaligus alat ukur bagi kualitas komitmen. Komitmen diri untuk menghibahkan diri untuk perjuangan di PII serta upaya membangun komitmen intelektualisme jika tidak dipolesi dengan konsistensi bisa dipastikan akan hilang dalam hitungan waktu. Begitupula dengan integritas. Stephen R.Covey mengatakan bahwa integritas merupakan konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Integritas juga bisa bermakna kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Membangun dua hal ini sebagai faktor pendukung komitmen merupakan pekerjaan rumah yang menguras energi.

Komitmen tentang wadah peningkatan kapasitas instruktur. Setelah komitmen diri lalu komitmen membangun kultur intelektual tentu instruktur tidak bisa hanya berada diwilayah struktur yang syarat dengan kepentingan dan pergesekan. Perlu memformulasikan sebuah wadah aktualisasi yang bebas untuk mengeksplore ide, membuat instrumen pendukung monitoring proses kaderisasi, formula-formula baru tentang tekhnik pengelolaan lokal kursus dan ta’lim, kesempatan yang luas tentang desain peningkatan kapasitas muadib, dan sebagainya. Komitmen ini menjadi tujuan antara ketika ingin membangun komitmen dan menciptakan kultur intelektual. Dan wadah ini harus dinahkodai oleh instruktur pasca struktur yang legal dalam menjalankan fungsinya tanpa harus bergesekan dengan wilayah-wilayah kebijakan distruktur formal organisasi PII.


*Tulisan ini diberikan pada sarasehan instruktur Pelajar Islam Indonesia (PII) Nusa Tenggara Barat (NTB) tanggal 17 Maret 2013.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin