`

`

Rabu, 04 Mei 2016

MENEMUKAN TRADISI, MENJADI KADER UMMAT


Di Dompu, Di Rumah Proses kita.
15 Tahun sudah hingga hari ini, terasa seperti 15 jam yang lalu. Waktu berputar sangat cepat, hari berlalu ternyata mengantarkan saya pada momentum yang mengharuskan untuk mengingat kembali awal jumpa dan perkenalan itu. Perkenalan yang sungguh melibatkan rasa dan proses belajar yang luar biasa yang mempengaruhi sebagian dari hidup saya. Perkenalan yang memberikan ruang yang bebas untuk mengeksplore potensi diri. Dan hampir semua orang yang pernah kenal dan belajar dirumah ini bercerita tentang kesan yang sama. Rumah yang pernah membersamai proses menjadi besar banyak tokoh dinegara ini. Rumah yang menjadi pemersatu banyak warna manusia. Dialah Pelajar Islam Indonesia (PII), rumah yang dilahirkan untuk kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan ummat manusia.

15 tahun lalu saya sesungguhnya "tersesat" masuk kerumah ini. Saya hanya anak polos dan lugu yang gemar dengan kegiatan keagamaan, lalu tiba-tiba berada diantara peserta Basic Training (Batra) PII. Tepat tahun 2001 di Man 2 Bima, saya bersama pelajar yang lain mengikuti kegiatan yang digelar seminggu itu. Disana kita diajak diskusi tentang motivasi, tujuan, harapan, dan hal-hal yang dilakukan untuk meraih tujuan kami. Kami juga diajak berdiskusi tentang banyak hal; dari materi dasar ke-Islaman, ke-organisasian, hingga persoalan keummatan. Dan satu hal yang hingga kini semua kader PII dimanapun tidak bisa lepas darinya adalah perasaan memiliki atas PII dan perjuangannya, Mars dan Hymne selalu menjadi pengingat perjuangan bahwa titik awal perjuangan kami dari sana sebelum kami menjadi kader ummat dimanapun.

Setelah proses seminggu, sungguh mengubah hidup saya. Saya yang manja dan anak rumahan seketika sangat jarang ada dirumah, waktu-waktu, saya habiskan di sekolah dan di sekretariat PII. Hampir setiap pekan saya dan teman-teman lain mengurus undangan taklim dan menyebarnya ke semua sekolah di Kab.Dompu. Rumah hanya jadi tempat singgah menyalin baju dan mencium tangan orang tua. Hampir juga tidak ada waktu untuk bercerita tentang aktivitas baru saya kepada mereka. Hari-hari di masa sekolah SMA adalah pergulatan menemukan diri yang luar biasa. Inilah gelombang baru dan pertama dalam hidup saya, saya belajar menjadi pemimpin untuk diri saya sendiri.

Proses di PII membuat saya menjelma dalam sesuatu yang mengharuskan saya menampilkan diri, sibuk dengan identitas organisasi PII, keinginan untuk semua orang tahu bahwa saya adalah pelajar dan kader aktif PII. Baju, buku, dan kamar adalah tiga hal yang selalu menjadi sasaran saya tempelkan logo dan stiker PII. Dan tiga tahun selama masa SMA membuat saya merasa ingin punya banyak waktu untuk belajar di PII.

Di Jatim Menemukan Tradisi
Tahun 2003 saya datang ke Malang untuk kuliah. Saya berkesampatan kuliah di Universitas Brawijaya Malang. Merupakan satu kebahagian ketika menjadi salah seorang mahasiswa dari Dompu yang mampu menembus salah satu kampus ternama di Jawa.

Namun menjadi sangat kecewa ketika tidak kurang setahun saya mencari dan tidak menemukan PII disana. Sampai akhirnya setahun kemudian saya mendapat informasi ada Konferensi Daerah (KONDA) Malang. Saya tidak pikir panjang, saya hadir dan mengikuti KONDA kemudian bergabung dikepengurusan PD PII Malang saat itu. Setelah dua tahun belajar di PD PII Malang, saya kemudian mendapat kesempatan pula menjadi Pengurus Wilayah Jawa Timur, kesempatan yang tidak banyak kader PII Dompu bisa dapatkan ketika kuliah di NTB. Dalam sejarah PII Dompu hingga saya menjadi PW PII Jatim, tidak pernah ada kader PII Dompu yang mejadi Pengurus Wilayah dimanapun. Kesempatan itu kemudian bagi saya menjadi sangat berharga. Saya terlibat aktif dikepengurusan PW PII Jatim lebih kurang 2 tahun 6 bulan. Tetapi bagi saya seperti berproses sangat lama. Selama proses disana saya menemukan banyak hal baik yang kemudian juga membentuk pola pikir dan pola sikap saya sampai hari ini, baik ketika memandang PII maupun aktivitas di tempat lain.

Tradisi. PII Jatim menjadi salah satu Pengurus Wilayah PII yang kental dengan tradisi ngopi. Satu tradisi yang menggambarkan aktivitas meminum kopi ansih. Padahal di dalam tradisi ngopi itulah terjadi masifikasi banyak urusan PII. Dari urusan personal kader hingga kebijakan struktur diurai dengan baik disana. Di Jatim saya belajar ngopi hingga hari ini kuat dalam pandangan saya bahwa me-ngopi merupakan media yang sangat baik dalam memasifkan seluruh urusan organisasi, karena disanalah ruang netral yang menghadirkan obyektifitas kita dalam memandang sesuatu.

Selain itu ada tradisi berstruktur dan berinstruktur yang kuat dimana tradisi berstruktur sebagai media belajar membangun integritas berorganisasi yang baik dan tradisi berinstruktur sebagai sarana untuk berbicara banyak soal kaderisasi yaitu kualitas instruktur dan kualitas kader.
Dan tradisi inilah sebagian yang saya serap kemudian menjadikan saya belajar membangun integritas tim dalam berorganisasi dimanapun setelah PII.

Rasa memiliki. Plus minus bahwa menjadi kader PII di Jatim membuat banyak kader merasa cukup hanya menjadi PII dan tidak menjadi yang lain. Di NTB misalnya, sepuluh orang pengurus bisa mewakili 10 kepentingan fikroh. Sehingga tidak jarang konfilik yang ada di dalam struktur, tidak hanya dipengaruhi oleh persoalan internal organisasi tetapi juga dapat diduga dipengaruhi oleh warna fikroh yang berbeda yang tidak dikelola dalam kacamata ke-PII-an.
Di Jatim masih banyak KB yang hanya cukup dengan menjadi keluarga Besar PII saja. Sehingga kontribusi moril dan materil juga diarahkan sepenuhnya kepada PII.

Keinginan Membesarkan. Di Jatim pula saya belajar bahwa pasca struktur memiliki tanggung jawab yang tidak ringan memback up PII dalam meraih tujuannya. Ada rasa yang kuat untuk terlibat membesarkan PII. Ada kekhawatiran yang kuat PII tidak lagi mendapat tempat di dakwah pelajar. Sehingga KB Muda PII di Jatim memilih lebih aktif menjemput informasi ke-PII sehingga mereka bisa mengambil bagian.

Pelibatan. Satu hal yang tidak dimiliki oleh PII di daerah saya, adalah sesuatu yang sebut pelibatan. Dan Jatim punya itu. Di Jatim implementasi dari tugas instruktur seumur hidup memberi dampak selalu dilibatkannya semua instruktur pasca struktur untuk hadir dalam forum-forum keinstrukturan. Di forum keinstrukturan itulah semua instruktur beda zaman bisa share banyak soal kaderisasi. Sehingga kultur kaderisasi terpelihara dengan baik sekalipun beda periode dan beda pengelolanya.

Beberapa hal itu yang menurut saya adalah sesuatu yang berharga menjadi PII di jatim, sehingga tidak ada istilah pensiun, semua level struktur dan pasca struktur memiliki peran masing-masing dalam memback up aktivitas PII.

Disini, Menjadi kader ummat
Sebagaimana yang lain di Jatim, saya juga termasuk yang merasa cukup hanya menjadi alumni PII saja dan tidak menjadi yang lain. Sekalipun sudah tidak lagi distruktur kepengurusan. Terus terang itu juga menjadi dialog tersendiri bagi hati saya disaat awal-awal meninggalkan Jatim. 

Saya juga sadar bahwa saya adalah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang pada saatnya ketika amanah menjadi pengurus partai disematkan, saya harus berwajah partai. Saya harus berdialog panjang pula soal khittah PII.

Tetapi saya sadar bahwa fase hidup itu menuntut kita mengelola tanggung jawab yang tidak selalu sama, pasti banyak hadapan, tuntutan, dan amanah lain yang menjadi ruang dakwah bagi kita. Sehingga sampai pada titik bahwa memang fasenya beda. Saya sudah tidak lagi menjadi kader PII aktif, sekarang menjadi kader ummat. Saatnya memberi kontribusi pada ummat. Memasuki ruang-ruang dakwah yang lain untuk berkontribusi untuk ummat.

Dan hari ini saya menjadi Sekretaris Umum DPD PKS Kab.Dompu. Sejak disini meski baru dan banyak belajar jati diri sebagai kader PII tidak bisa dilepaskan. Bagi saya cukuplah PII menjadi rumah kita, dimana dahulu kita dididik dan dibesarkan, hingga dewasa sampai hari ini. Dan sekarang saatnya kita berbuat untuk ummat. Memberi yang terbaik hingga PII bangga pernah memiliki kader seperti kita.

Selamat Harba PII ke-70,
Saya dan siapapun yang pernah disini, boleh saja lupa..
Tetapi sejarah tidak akan pernah lupa..
Bahwa kita selalu bertekat untuk berjuang demi Izzul Islam Wal Muslimin..
Dimanapun itu..

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin