`

`

Sabtu, 05 Februari 2011

MEMBEDAH SUMBAT KARYA

Menulis buku, ini yang aku impikan ketika mengakhiri tahun 2010 yang lalu. Tepatnya dibulan desember aku mencoba merangkai mimpi-mempi besar yang ingin aku raih, dan aku awali ditahun 2011 ini. Salah satu mimpi besar itu adalah keinginanku untuk melahirkan karya yang tidak pernah aku miliki sebelumnya. Adalah menulis buku. Buku yang ingin aku tulis adalah tentang perjalanan seorang pemuda yang punya mimpi, yang punya obsesi ingin menyempurnakan agamanya di usia yang relative muda. Entah dengan model apa aku terjemahkan keinginan ini; apakah lewat novel, sekedar prosa, ataukah pendapat-pendapat tokoh tentang menikah, yah walaupun tidak pernah berani bercita-cita menjadi seperti seorang M. Fauzil Adhim, atau Salim A. Fillah yang melahirkan karya-karya yang begitu menggugah hati orang-orang yang semakin mendekat dengan usia menikah. Tetapi minimal menulis buku yang memuaskan obsesi ku, dan dalam keterbatasan kemampuan itu semoga orang lain memperoleh hikmah darinya.

Dalam obsesi menulis ini aku tidak ingin utopis, aku tidak ingin hanya sekedar bermimpi menjangkau langit yang begitu menjulang tinggi, sementara aku hanya berdiri di sebuah lembah yang sangat terbatas. Aku merasa perjalanan selama ini membuatku terpacu untuk benar-benar berkarya, memberi makna pada semua orang yang mencarinya.

Peta konsep yang pernah aku buat yang menurut persepsi ku akan berakhir pada sebuah kepuasan aktualisasi yang sedang aku cari. Seperti hirarki kebutuhan yang di telorkan Maslow. Aku ingin kemudian mempersembahkan karya itu pada perjalanan dan proses yang aku hadapi selama ini, ada sumbat obsesi dan cita-cita yang akan terasa ketika karya ini belum terlahir. Semoga saja ini terangkai sempurna ditahun yang aku namakan sebagai tahun obsesi ini.

Kontradiksi antara obsesi dengan keseharianku beberapa waktu ini membuat aku harus merefleksikannya. Pena dan kertas yang selalu menjadi teman curhat selama ini terlupakan dan terbaring kaku dalam produktivitas karya yang hampir hilang. Kebuntuan ini coba aku serang seperti ketika para demonstran melakukan kontak fisik dengan pagar betis aparat polisi. Aku ingin berdamai dengan realitas berbeda yang aku hadapi saat ini.

Memang harus difahami dan dimakzulkan ketika fase-fase hidup ini secara halus menggiring ku pada kenyamanan yang tidak produktif, sehingga ruang refleksi ini harus sering aku lakukan untuk mengukur sejauh mana perjalanan sang musafir ini. Tulisan ini semoga mengawali membedah sumbat karya yang seakan mulai tidak produktif. Memfilsafati setiap perjalanan ini menjadi kunci penting dalam menghasilkan karya yang sangat konsisten.

Buku yang menjadi akhir sebuah cita-cita ini semoga terlahir dalam momentum yang indah. Sehingga menciptakan sejarah ini bukan karbitan tetapi produk proses yang digeluti selama mengembara menjadi musafir kebajikan hingga akhirnya nanti.

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin