`

`

Kamis, 15 Desember 2011

DARI PINTU KE PINTU GEDUNG DPR


Aku memandang seorang ibu tua, kutaksir berusia sekitar 70 tahun. Pakaiannya lusuh, tapi tidak kotor. Di ketiaknya terkepit map tua yang sama lusuhnya. Mungkin di saat tidur pun map itu ditaruhnya di bawah bantal. Ia mengenakan tanda pengenal tamu seperti biasa untuk setiap tamu yang ingin berjumpa dengan anggota DPR di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta.

Tidak sekali dua ia kudapati naik turun lift mencari anggota DPR yang bermurah hati memberikan sumbangan berdasarkan isi map yang dikepitnya. Entah kesan ini benar atau salah, kurasa sukar ditemui anggota DPR memberikan sumbangan berdasarkan isi surat dalam map tua lusuh itu.
Kalaupun ada anggota DPR atau siapa saja melihat penampilannya lalu memberikan sumbangan, barangkali hanya berdasarkan rasa iba saja. Sempat kulihat beberapa anggota DPR menyisipkan lembaran Rp10.000,- hingga Rp50.000,- ke tangannya tanpa pernah mau tahu apakah angka uang itu ditulisnya atau tidak pada daftar isian itu.

Begitu mudahnya dia keluar masuk ke Gedung Nusantara I DPR-RI Senayan, padahal penjagaan cukup ketat dan setiap tamu identitasnya kurang atau tidak jelas mau bertemu siapa, akan ditanya dulu oleh petugas sampai detail.

Tapi, ibu tua itu tidak mengalami kesulitan berarti. Kulihat dia memegang daftar nama-nama anggota DPR dari semua Fraksi dan dia pun begitu hafal di lantai mana setiap Fraksi berada dengan nomor ruang kerja anggota Dewan, termasuk ruang-ruang Komisi, dalam mengadakan rapat dengan mitra kerjanya. Aku kagum pada kemampuan daya ingat ibu tua itu.

***

Ibu tua itu tidak sendirian, masih banyak lagi tamu lain mengasongkan proposal seperti ibu tua ini. Hanya penampilan mereka saja yang beda, ada perempuan muda dengan penampilan seksi dikawal dua pria perlente, ada pula mahasiswa, atau juga dari berbagai panti asuhan maupun yayasan sosial lainnya, termasuk para kader partai dari pusat maupun daerah.

Gaya mereka pun macam-macam. Kader dari DPP suka melagak, “Saya dari DPP, tolong bilang Bapak, ada urusan penting hasil rapat di DPP. Bapak nggak hadir rapat kemarin.” Seolah-olah dialah mengatur dan memperingatkan anggota Dewan yang mangkir rapat. Tiap hari ada saja kader-kader muda maupun berumur setengah baya yang wara-wiri ke ruang anggota Dewan dengan 1001 alasan.
Yang menggelikan, ada seseorang datang ingin menemui anggota Dewan, dan di setiap lantai selalu mengaku mau ketemu anggota Dewan. Ketika ditanya sekretaris dari mana, “Oooh…, saya kader Bapak dari Bengkulu,” jawaban lugas terdengar. Anggota Dewan yang ingin ditemuinya memang dari Bengkulu. Kemudian dia pindah lagi ke lantai lain, lantas mengaku kader dari Jawa Tengah karena sang anggota Dewan memang berasal dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Begitu seterusnya, maka tak heran dalam sehari dia bisa mengaku sebagai kader partai anu..., dari provinsi anu….

Akibatnya, tak sedikit pula anggota dewan malas ke ruangan karena sudah mendapat SMS dari sekretarisnya bahwa banyak yang menunggu. Pasti soal minta sumbangan. Lagi-lagi sumbangan. Ke-cuali kalau tamu itu bakal menambah kocek, maka dia segera menyuruh si tamu menemuinya di kafetaria.

Ada lagi utusan instansi pemerintahan dan perusahaan swasta. Proposal jenis ini tak melulu minta sumbangan, ada juga ingin bekerja sama dengan memanfaatkan mitra kerja anggota DPR sesuai Komisi masing-masing, untuk mendapat proyek dengan berharap selembar rekomendasi ditujukan kepada Menteri, Komisaris Utama maupun Direktur Utama, para Pimpro, termasuk para Gubernur atau Bupati juga Walikota yang pasca-reformasi menjadi “raja-raja kecil” di daerah kekuasaannya.

Imbalan baliknya bila gol, anggota DPR itu akan mendapat komisi lumayan, senilai harga sebuah mobil keluaran terbaru yang ratusan juta rupiah atau peningkatan saldo rekeningnya di bank, atas nama istri, anak, maupun orang sewaan yang dibayar ongkos tutup mulut.

Lain waktu datang pula utusan dari Departemen, BUMN, perusahan swasta, maupun instansi lain bergantian menemui anggota Dewan di ruang kerja atau ruang rapat di hotel, restoran mewah, atau apartemen tertentu, agar rapat rancangan RAPBN maupun ber-bagai proyek serta RUU bisa digolkan segera, sehingga bisa cepat terealisasi dan dana-dana segera cair, termasuk bantuan luar negeri dalam bentuk hibah atau pinjaman lunak. Tentu keran-keran kucuran dana akan mengalir sesuai ukuran besar kecil pipanya serta alokasinya untuk anggota Dewan yang terhormat. Masih ada yang memiliki hati nurani. Mereka yang segelintir itu biasanya kembali terpilih menjadi anggota Dewan.

Ada lagi berbagai proposal penawaran untuk menjadi member credit card atau member club hotel dengan 1001 fasilitas, seperti fitnes, swimming, sauna, lengkap dengan panti pijatnya. Ada pula proposal penawaran mobil, rumah real estate juga tanah, bahkan asuransi pendidikan, kesehatan, jiwa, kebakaran, sampai pemakaman yang terencana agar tidak merepotkan keluarga di masa tua.

Maklum, ada di antara anggota Dewan yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di ibukota Jakarta, dan tak pernah menjadimember apa pun juga, tak punya kartu kredit, bahkan rekening bank pun tak punya. Dalam waktu singkat dengan hanya jaminan selembar resi gaji, mereka pun jadi member credit card sekaligus club hotel dan restoran mewah lengkap dengan sauna, fitnes, serta panti pijat. Sibuk mencari sekavling dua kavling tanah atau rumah untuk investasi.

Tanpa pernah menyadari, mereka jadi korban dan terjebak kehidupan hedonisme metropolitan. “Waah..., kalau nggak punya tanah di Jakarta rugi lho…. Harga tanah di Jakarta bisa naik 3 kali lipat hanya dalam tempo 5 tahun. Ambil saja, Pak, Bu, harganya masih murah. Dalam tempo 5 tahun bisa naik 2 sampai 3 kali lipat,” rayu para sales.

“Ini lhoo..., mobil multifungsi untuk keluarga, bisa dipakai mudik, harganya mulai dari Rp100 juta sampai Rp150 juta. Mau cashatau kredit? Potong gaji tiap bulan, bunga cuma 3% per bulan. Masak sih anggota Dewan pakai mobil tahun jebot.” Rayuan maut sangsales akhirnya bisa membawa 10 sampai 20 order form dan komisi pun terbayang di pelupuk mata. Dan sekretaris tak jarang kecipratan komisi karena sekedar bermurah hati mengizinkan para sales itu masuk ke ruang anggota Dewan dengan kedipan mata yang artinya, “Jangan lupa lho komisinya….”

***

Sebagai sekretaris salah satu anggota DPR, aku harus mengerjakan semua tugas diperintahkan Boss, mulai dari menerima telepon, mengambil gaji, honor, membeli tiket, membayar semua rekening, seperti listrik, air, gas, telepon, HP, termasuk mencarikan sekolah untuk anaknya baru pindah dari daerah dan mengantar istrinya sakit-sakitan ke rumah sakit. Bahkan membantu membelikan mesin cuci dan cara menggunakannya karena banyak anggota Dewan berasal dari kalangan ekonomi pas-pasan sehingga belum pernah memiliki mesin cuci. Boss terpaksa membeli mesin cuci sendiri karena jatah mesin cuci seharga Rp6 juta dari Sekjen DPR, harus menunggu dinginnya polemik masyarakat dan LSM, karena har-ganya yang mahal.

“Harga mesin cuci yang Rp 6 juta itu segede apa yaa…? Mereknya apa sih…? Impor dari negara mana…?” ta-nya Bossku sewaktu aku disuruh membeli mesin cuci. “Kayak mesin cuci yang di hotel kali yaa…? Ukurannya 2 x 2 meter. Kalau gitu, saya buka dry and laundry sekalian di rumah. Lumayan thoo…, buat nambah-nambah uang dapur,” candanya. Aku cuma nyengir.

Belum lagi kekasih gelap Boss yang harus kusimpan baik-baik identitasnya jangan sampai ketahuan istri dan anak-anaknya, tapi bukan rahasia lagi di antara sesama anggota Dewan juga punya kekasih gelap. Aku pun tak berani macam-macam, karena berisiko aku akan kehilangan pekerjaan. Karena aku bukan sekretaris dari PNS Sekjen DPR-RI, melainkan direkrut hanya karena keaktifanku di partai sebagai penggembira. Tanpa ada ikatan dinas, bisa dipecat kapan saja tanpa pesangon. Aku pun tak bisa menggugat secara hukum. Belum ada undang-undangnya. Mana mungkin DPR mau merancang RUU untuk Sespri Anggota DPR yang dipecat karena tak bisa tutup mulut!?

Berbilang tahun, kemudian tugasku bertambah, me-ngecek aliran dana di rekening Bossku dari relasi Komisi DPR atau mereka yang mendapatkan proyek berdasarkan rekomendasi dari Bossku ditujukan ke Menteri, Pimpro, BUMN, perusahaan swasta, dan lain-lain. Kukira tugasku pun semakin bertambah, harus berbohong kepada setiap tamu yang datang tanpa janji atau jelas-jelas minta sumbangan. Padahal di setiap lantai dan pintu masuk ke ruang anggota DPR terpampang dengan jelas pengumumam “TIDAK MELAYANI PERMOHONAN SUMBANGAN”.

Tapi pengumuman itu sama sekali tidak ampuh. Pada kenyataannya banyak tamu yang datang, baik secara pribadi maupun mengatasnamakan instansi atau perusahaan, mengajukan 1001 ragam proposal. Belum lagi yang mengaku sekampung atau sealmamater, atau sama sekali tak kenal tapi sok kenal. Terutama dari daerah pemilihan anggota DPR, hampir setiap hari ada saja proposal berdatangan dan Bossku sama sekali tak membacanya. Kecuali proposal itu diantar sendiri oleh panitia yang memang sudah dikenalnya.

Belum lagi wartawan atau mereka bergaya wartawan tak jelas juntrungannya mondar-mandir dari lantai ke lantai atau dari pintu ke pintu ruang kerja anggota DPR, maupun dari pintu ke pintu ruang Komisi juga Fraksi. Ada yang sengaja berdiri berjam-jam di depan pintu lift sehingga bisa bertemu langsung dengan anggota Dewan turun-naik, sehingga anggota Dewan tak bisa mengelak apalagi sembunyi. Ada yang serius mau wawancara dari media jelas misi dan visinya, ada pula dari media yang terbit kelap-kelip, hanya sekedar wawancara tapi ujung-ujungnya duit, dengan 1001 alasan, honor mereka yang kecil, sekedar transport, ada pula terang-terangan datang hanya minta bantuan dengan alasan istri atau anaknya sakit.

Bila bernasib baik, anggota Dewan tak tahu memang sudah diintai oleh mereka, terpaksa menyisipkan selembar dua lembar ratusan ribu sebagai tanda turut berpartisipasi atas proposal diajukan atau keluh kesah pribadi itu.

Tapi kalau lagi apes, sekalipun anggota Dewan ada di ruangan, maka dengan bersikukuh, aku sebagai sekretaris dengan terpaksa mengatakan, “Maaf, Bapak tidak ada, sedang rapat.” Lain hari aku ganti aksi, “Bapak sedang istirahat,” atau “Bapak sedang menerima tamu dan tak bisa diganggu.” Tak juga mempan, “Bapak sedang reses atau kunjungan kerja ke luar kota.” Anehnya mereka datang tak pernah habis-habisnya, selalu silih berganti ibarat tumbuhan yang patah tumbuh hilang berganti.

Seribu satu alasan akan kukerahkan agar tamu tersebut pergi untuk kembali lagi atau tak pernah kembali. Bukan hanya aku saja yang bersikap demikian atas instruksi Bossku, tapi juga sekitar kurang lebih 600 orang sekretaris anggota DPR akan bersikap sama. Sekretaris ini bisa saja adalah istrinya gede cemburu atau kurang kerjaan, adiknya, keponakannya, atau kader di partai, maupun sekretaris resmi PNS yang direkrut Sekjen DPR.

Tak jarang kudengar gerutuan mereka, tamu-tamu tak bertemu Bossku, “Haah…, lupa dia…! Tidak tahu diri…! Tidak tahu berterima kasih…! Apa dia tidak ingat kalau bukan kita yang memilih partainya, belum tentu dia menjadi anggota DPR. Harusnya dia jangan seperti kacang yang lupa kulitnya. Apa dia pikir de-ngan hanya menjadi anggota partai lantas bisa jadi anggota DPR, apa dia pikir kalau sudah menyetor ke partai supaya dapat nomor 1, langsung bisa jadi anggota DPR, tanpa adanya kita-kita yang mencoblos tampangnya…!?” Sepanjang koridor menuju lift sumpah serapah mereka saling bersahutan.

“Kita tengok saja nanti, pemilu akan datang, jangan kita pilih lagi dia! Cuma obral janji mau mendengar aspirasi rakyat memilihnya. Pada kenyataannya, baru 2 bulan jadi anggota DPR dia sudah lupa akan janjinya. Jangankan memberikan bantuan, nampak batang hidungnya pun tidak,” yang lain menimpali.

Sebagai sekretaris, aku tak bisa marah atau kesal pada gerutuan mereka. Tak salah bila mereka menggerutu. Aku ingat sekali janji Bossku saat menjelang dan masa kampanye pemilu untuk menggalang dana dan massa pendukungnya.

“Siapa yang ingin adanya perubahan di pemerintahan kita…!?” teriak Bossku berapi-api di lapangan sepak bola yang penuh dengan lautan massa pendukungnya. “Kita semuaaaaa…!!!” Yel-yel massa pendukungnya membalas.

“Naaah…, pilihannya tidak lain adalah partai dan caleg mau mendengarkan aspirasi rakyat. Jangan salah pilih seperti membeli kucing dalam karung. Ingat Partai Kelabang dan nomor urut saya yang ke-2 serta nama sayaaaa si Bedul…!!!” teriak Bossku sampai ludahnya muncrat, ditingkahi jari menunjuk wajahnya, maksudnya jangan sampai lupa mencoblos daftar urut nama dan mengenali wajahnya, jangan sampai salah coblos. “Hidup Partai Kelabang…Kelabang…!!!”

“Siapa yang ingin sekolah gratis…!!?? Siapa yang ingin gaji pegawai dan buruh naik…!!?? Siapa yang ingin mendapat lapangan kerja…!!?? Siapa yang tak ingin menganggur…!!?? Siapa yang ingin berobat gratis…!!?? Maka pilihlah Partai Kelabang…, bukan sembarang partai…!!!” Suaranya memecah yel-yel massa pendukungnya. Plak…plak…dung…dung…, lagu dangdut pun mengiringi Bossku bergoyang bersama anak dan istrinya serta para kader dan massa pendukung. “Selamat para pemimpin…, rakyatnya makmur terjamin…, laa…laa…plak…plak…dung…plak…! Penyanyi dangdut terkenal ibukota juga penyanyi dari kampung ke kampung, dibayar menggoyangkan pinggulnya berputar-putar ngebor atau ngecor.

Meriah dan gegap gempita saat kampanye, sunyi senyap setelah pengumuman hasil pemilu secara resmi oleh KPU. Bossku duduk manis di kursi empuknya, beruntung dia mempercayaiku sebagai sekretaris priba-dinya karena aku salah seorang penggembira di Partai Kelabang yang bertugas membagi-bagikan ribuan kaos gratis dan nasi bungkus serta amlop berisi lembaran Rp20.000,-, kubagikan untuk massa pendukung yang sudi berpanas-hujan di lapangan sepak bola mendengar sesumbar Bossku.

“Kalau tiap hari aku memberi sumbangan pada se-tiap proposal yang masuk, berapa rupiah yang bisa kubawa pulang dan berapa rupiah yang bisa kukumpulkan sampai dana kampanye ratusan juta bisa kembali? Mana sanggup aku harus memberikan semua uangku kepada pemilih sebanyak 250.000 orang yang telah memenuhi kuota sebuah kursi yang kuperoleh? Belum tentu aku bisa terpilih lagi 5 tahun mendatang,” keluh Bossku setiap kali aku mengajukan proposal baru datang dan langsung melempar proposal itu ke sebuah kardus tempat sampah khusus proposal rminta sumbangan. Aku hanya bisa memandang tanpa makna pada wajah Bossku itu.

***

Bertahun-tahun kemudian beberapa orang pria dan perempuan baya nampak berjalan mondar-mandir di setiap lantai Gedung Nusantara I DPR-RI Senayan, mambawa map berisikan proposal. Dia menawarkan mobil, rumah, tanah, credit card, club member, HP seri terbaru, juga mohon bantuan untuk yayasan dan lain-lain. Dia hafal sekali semua nama anggota Dewan dengan Fraksi, lantai, dan nomor ruang kerjanya serta Komisinya.

Siapa nyana kalau pria dan perempuan baya yang mondar-mandir itu adalah mantan anggota Dewan terhormat atau anak-anak mantan anggota Dewan yang ingin bertemu rekannya yang terpilih menjadi
anggota Dewan.

“Mbak…, boleh saya numpang nelepon yaaa..., dulu saya anggota Dewan lhoo..., sekarang udah pensiun...,” katanya beramah-tamah minta izin menumpang menelepon di ruang sekretaris. Duh, dulu…, gayanya selangit semasih jadi anggota Dewan, tak pernah tengok kiri-kanan. Kepalanya selalu tegak lurus, mungkin hidungnya pun turut terangkat, ciri khas gaya bangsawan London. Tak ada berbasa-basi dengan para sekretaris sesama anggota Dewan lainnya. Walau ada satu-dua memaksakan diri beramah-tamah, hanya karena kebetulan bersirobok di lorong menuju ruang kerjanya maupun pas kebetulan ingin jumpa dengan wartawan. Kini setelah tidak lagi menjadi anggota Dewan, mendadak sontak mereka beramah-tamah dengan sekretaris yang dulu tak pernah disapanya.

Dan, aku tetap bekerja sebagai sekretaris pada anggota DPR baru yang terpilih.

*Dari Forum Lintas Aktor (FLA) kab. Dompu

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin