`

`

Jumat, 02 Agustus 2013

MENGGUGAT (LAGI) POLITIK INTERNASIONAL INDONESIA



Oleh: Ribut Lupiyanto
Analis Geografi Politik C-PubliCA – Yogyakarta



INDONESIA tidak memiliki alasan untuk lemah dalam percaturan politik Internasional. Geopolitik Indonesia sangatlah strategis dan memberikan posisi tawar kuat. Jumlah penduduk Indonesia terbesar ke-4 sedunia dengan komposisi muslim terbesar pertama. Presidennya berlatar belakang Jenderal yang idealnya berkarakter tegas dan berwibawa. Faktanya semua itu tanpa makna dan kondisi yang dihadirkan menjadi sebaliknya.

Kewibawaan Indonesia di mata dunia Internasional semakin sirna. Tidak ada satu pun pemimpin bangsa ini mampu mengembalikan kejayaan politik internasional Indonesia pasca-Soekarno. Di bawah Jenderal Purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) posisi Indonesia bahkan semakin terjun bebas.

Tanpa Daya

Politik Internasional Indonesia sangat sering dijadikan mainan negara-negara jiran. Malaysia beberapa kali mengklaim budaya nusantara menjadi warisannya. Negeri itu juga tidak terhitung lagi membuat masalah dalam kasus TKW, mulai dari diskriminasi, penyiksaan, hingga pembunuhan. Singapura setali tiga uang, pintunya selalu dibuka untuk menampung koruptor kelas kakap Indonesia.

Kepemimpinan SBY sangat lambat merespon setiap kasus. Respon yang keluar paling maksimal adalah prihatin, menyesalkan, meminta, dan lainnya. Indonesia terlihat takut untuk lantang mengutuk, menuntut, atau protes keras. Anehnya, ketika layangan protes keras negeri jiran akibat kabut asap, SBY merespon sigap dan cepat meminta maaf.

Belakangan juga terkuak kabar bahwa SBY dan rombongan dalam KTT G20 di London tahun 2009 telah disadap oleh Inggris dan dimanfaatkan oleh Australia. DPR cukup baik dengan segera angkat bicara dan protes keras jika terbukti kebenarannya. Lagi-lagi SBY masih dingin menanggapinya. Ironisnya, SBY semakin menunjukkan kemesraan dengan Australia, gelontoran impor daging sapi sebagai buktinya.

Gelaran fakta tersebut menunjukkan rapuhnya geopolitik dan mandulnya politik internasional Indonesia. Jangankan menghadapi Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, diplomasi dengan negeri jiran saja tanpa daya dan wibawa.

Kasus Mesir

Mesir adalah negara pertama yang memberikan pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia. Ikhwanul Muslimin saat itu menjadi pelopor pembentukan Front Pembela Kemerdekaan Indonesia. Pasca itu Mesir terus menjadi relasi baik sebagai sesama negara muslim dan negara non blok.

Kini Mesir jatuh pada kubangan krisis politik yang serius. Kudeta militer atas Mursi pada Rabu (3/7) telah menghancurkan sendi demokrasi. Tidak berhenti disini, tragedi kemanusiaan selanjutnya  terjadi di setiap hari. Demontrasi damai pendukung Mursi dibalas pembantaian keji pihak militer dan pemerintahan transisi dibawah Presiden Adly Mansour. Ratusan nyawa melayang dan ribuan luka-luka dari pihak pendukung Mursi.

Reaksi dunia internasional mengutuk kudeta dan pembantaian pandemo di Mesir datang bertubi-tubi. Reaksi paling cepat dan keras datang dari Turki. Inggris, Jerman, dan negara Uni Eropa lain menyusul memberikan kecaman. Selanjutnya Malaysia dan bahkan terakhir Amerika Serikat mengutuk tragedi berdarah dan kekerasan di Negeri Piramida itu. Pertanyaannya, kemana Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar sedunia?

SBY baru angkat bicara ketika korban nyawa di Mesir berjatuhan. Komentar SBY itu pun hanya diutarakan lewat Twitter. “Saya berpendapat solusinya kompromi di antara kedua pihak bukan “the winner takes all”. PBB dan dunia harus mendorong dan mendukung,” begitu kicauan pertama SBY tentang Mesir. SBY juga meminta WNI di sana tidak terlibat konflik. Komentar lisan baru diucapkan pada 29/7 pada sambutan sidang kabinet. SBY menyampaikan pandangan pribadinya bahwa apa yang terjadi di Mesir akibat militer tidak diakomodasi Mursi. Pernyataan SBY tersebut nyata mencederai demokrasi, melukai rasa kemanusiaan, dan membuktikan rapuhnya politik internasional Indonesia.

Pertama, respon SBY sangatlah lambat. Hal cukup mengecewakan bagi ukuran bangsa sebesar Indonesia. Kedua, SBY tidak berani eksplisit menyebut apalagi mengutuk kudeta. Sikap ini sama dengan sikap  Amerika Serikat di awal. Lebih menyedihkan, SBY melontarkan analisa pribadi yang sangat dangkal dengan implisit menuduh Mursi tidak akomodatif terhadap militer. Ketiga, tidak ada upaya pro aktif mencermati apa yang disampaikan. Lontaran sikap normatif, himbauan, dan permintaan semakin mengkerdilkan peran Indonesia yang bisa jauh sekadar hal tersebur.

Mendasarkan pada kenyataan ini semua elemen pro demokrasi dan peduli kemanusiaan penting mendesak SBY untuk berbuat lebih. DPR, ormas, mahasiswa, lembaga HAM, dan elemen lain perlu bergandengan memaksa SBY angkat bicara secara ksatria dan berwibawa untuk mengutuk kudeta dan pembantaian di Mesir. Indonesia juga didorong bisa berperan lebih dengan melakukan mediasi kepada kelompok yang berseteru.

Salah satu tokoh pencetus teori geopolitik, Frederich Ratzel (1844 – 1904) mengingatkan bahwa  negara harus mengambil dan menguasai satuan-satuan politik  yang bernilai strategis demi membuktikan keunggulannya. Hanya negara unggul yang bisa bertahan hidup dan menjamin kelangsungan hidupnya. Politik internasional adalah aspek strategis dalam rangka menghadapi kompetisi global. Politik Internasional tanpa daya dan wibawa akan semakin mengantarkan Indonesia pada derajad rendah dalam percaturan global. Kasus Mesir dapat menjadi titik balik kebangkitan politik internasional bangsa ini. Semoga SBY segera sadar jika ingin menorehkan nama besarnya pada tinta emas sejarah Indonesia.


*http://islampos.com/menggugat-lagi-politik-internasional-indonesia-72159/

0 komentar:

Posting Komentar

Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin