`

`

Menulis bersama Cinta

Aku akan menulis bersama cinta. Itu kalimatku. Ini langkah pertamaku untuk memulai merangkai kembali segala ide ini. Semoga memberi manfaat pada kita semua. Memberi manfaat pada dunia.

Usiamu Bertambah, Cinta

Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada dikau, istriku sepanjang sejarah.

Dia Hadir Lagi

Malam ini kenapa rasanya ia hadir lagi mengisi ruang rindu ini. Setelah setahun lebih dia meninggalkan kami dengan senyum kasih sayangnya. Entah apa gerangan yang membuat air mata ini tiba-tiba menetes di sudut mataku. Tiba-tiba aku merindukannya.

Menikah Mengajarkan Banyak hal

Menikah seharusnya difahami sebagai lompatan menuju keridhaan dan surga Allah yang tidak pernah putus kenikmatannya. Maka dalam melewatinya semestinya bertabur amal sholeh.

Memaknai Tahun Baru 2014

Silahkan tulis mimpimu. Yakinlah bahwa ini hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk merubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Kita tidak akan sampai di ujung titik kesuksesan jika kerja-kerja yang kita lakukan hanyalah berhenti pada kesibukan kita mendefinisi makna fundamental tentang hadapan kita saat ini.

Hanya Ingin Menulis

SAYA INGIN MENULIS. Adalah sebuah cita-cita akan perubahan yang pelan tetapi pasti. Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan.

Jejak Usia Menuju 29 Tahun

Sesaat,waktu seolah memberi ruang untuk berkontemplasi panjang,memandangi kembali jejak dan sisa perjalanan yang telah dilewati

Bunda Tersayang, Semangat dan Inspirasimu Selalu Hidup

Semoga semangat dan inspirasimu selalu hidup sampai generasi kami menggantikan peran-peran ini. Dan semoga Allah meridhainya. #Bundatersayang.Spesial untukmu #Bundatersayang, bahwa semoga Allah mengampuni dosamu dan menempatkan engkau ditempat yang terbaik. Amin

Catatan Perjalanan Ber-LSM

Sekedar mengenang jejak #berLSM yang telah setahun tidak ku geluti lagi.#berLSM Gerbang baru, tempatku menemukan warna-warni aktivitas yang tak asing.Aktivitas #berLSM memang fase tetapi bagiku untuk beberapa hal adalah seperti melanjutkan perjalanan. #berLSM itu; penuh dengan ruang-ruang dialektika,motivasi mengembangkan diri,dan egaliter.Ya sudah pasti kita bisa memelihara idealisme.

Jika Boleh Memilih (Part 1)

Jika boleh memilih, aku ingin kembali ke masa kecil. Disaat mengenyam bangku sekolah di Sekolah Dasar (SD). Hidup bagiku disaat itu adalah mandi pagi, berseragam dan berangkat sekolah. Bermain sesuka hati, belajar semampuku, makan lalu istirahat. Hidup mengalir tanpa beban. Yang ada adalah tumbuh dan besar ditengah orang-orang yang menyayangi.

Antara Pilihan

Tak ingin rasanya beranjak pergi meninggalkan persinggahan ini ruang sepi yang buatku terhenti diujung jejak-jejak perjalanan itu

Sepi ditengah Keramaian

Sepi ditengah keramaian ini semoga menjadi peristiwa-peristiwa yang indah jika dikenang kembali kelak. Bahwa bagian dari perjalanan ini adalah memupuk cinta diseberang pulau. Atau cinta bersemi dalam kejauhan. atau mungkin Cinta dalam ruang yang berbeda. Atau apapun lah yang menggambarkan cinta yang selalu membersamai waktu-waktu kami.

Untuk yang Terkasih

Sayang..Cinta itu menyembuhkan..ada yang beda saat dirimu hadir disini..dengan segunung rasa yang kau punya..kau menyebutnya cinta..ya sering sekali kau menyebut kata itu,menulisnya,mengungkapkannya,menuliskannya lagi,begitu,sering sekali,terus begitu,seperti tak mampu diungkap oleh kata,seperti tak selesai ditulis dengan pena.

9 Bulan Lagi Jadi Ayah

"Kak barusan saya test pack. Alhamdulillah positif..Sembilan bulan lagi sampean jadi abi..In shaa Allah..:)" Memang baru saja menyapa di perut ibunya. Belum genap sebulan. Masa-masa berat yang mesti dilewati dengan kesabaran. Semoga tidak ada halangan ataupun hambatan yang berarti. Selanjutnya harus mengatur aktivitas sebaik-baiknya sehingga dia tetap terpelihara hingga menjadi manusia seutuhnya dan hadir menyapa dunia. Amin

Dua Hari Cukup

Satu bulan berada berjauhan dan sudah saatnya waktu ini berdialog dengan cinta kembali. Membersamai hari-hari berdua bersamanya, kekasih hatiku. Aku meski sadar bahwa karena pertarungan ini masih berhelat maka tidak ada cukup waktu untuk menyapanya. Dua hari saja cukup untuk dia, untuk memupuk senyum dan bahagia dihatinya.

Dari Politik Ke Peradaban (part 1)

Semangat saya kembali ber-api membaca transkrip taujih @anismatta "Dari Politik ke Peradaban" dalam buku Integritas Politik dan Dakwah.Ini kira-kira isi taujih yang membuat saya bersemangat. Momentumnya tepat untuk membakar jiwa ditengah perang saat ini. Monggo dinikmati..Kedepan ada 3 cita-cita yang akan kita kejar, yaitu: cita-cita politk, cita-cita dakwah, dan cita-cita peradaban.

Dari Politik Ke Peradaban (part 2)

Cita-cita yang harus kita kejar yang ketiga adalah Cita-cita peradaban.Terjemahan implementasi dari apa yang disebutkan oleh Imam Hasan Al Banna sebagai cita-cita tertinggi dakwah kita,yaitu Ustaziatul Alam.Sementara sekarang peradaban barat tidak lagi mampu memberikan semua unsur yang diperlukan manusia untuk berbahagia.Sekarang ada kekeringan yang luar biasa. Sehingga yang dipikirkan oleh barat adalah mempertahankan hegemoni.

Merangkai Hidup Baru

#MerangkaiHidupBaru adalah episode baru yang aku adalah sutradara sekaligus pemainnya.Kenapa kok #MerangkaiHidupBaru padahal kan sudah 1 tahun lebih menikah? 1 tahun lebih menikah adalah episode yang berbeda karena muatan ujiannya berbeda.Kalau boleh aku ingin memberinya nama #MencariFormatHidup

Perjalanan Menuju Menang

Ingin mengurai satu demi satu cerita perjalanan #menang di 2014 ini. Karena ada banyak hikmah yang akan menjadi penguat langkah kedepan..Perjalanan ini harus dicatat karena ada pelajaran tentang perjuangan sungguh-sungguh kita untuk #menang..Kami ingin sefaham bahwa amanah berat ini adalah amanah semua..tugas saja yang beda..Masyarakat sudah tunggu bukti..semoga kami bisa amanah..Semoga ustad Nasaruddin diberi kuat,sehat, untuk penuhi dan perjuangkan hak rakyat.. Semoga istiqomah..Amin

Tebar Inspirasi Hingga Tak Terbendung

Tanggal 10 Mei 2014. Selamat Milad. Semoga usianya berkah. Semoga istiqomah. Semoga menjadi istri sholehah dan kemudian menjadi ibu teladan bagi anak-anaknya. Waktu-waktu belum habis untuk belajar semoga tetap mau belajar, semoga selalu memberi manfaat dimanapun, dan menjadi apapun. Tebar inspirasi hingga sekat tak mampu lagi membendungi arusnya.

Rabu, 29 Desember 2010

DERMAGA PENUH MEMORY*


Senja di darmaga
Lagi-lagi menghadirkan rona gadis temaram nan lugu,,
Dermaga,
lagi-lagi melahirkan memory
Memaksa mengumpulkan puzzle yg terlupakan

Dermaga,
Saksi bisu dikala itu,
Aku tersenyum melihat jejakku dimasa lalu,
Menatap perjuangan yang penuh cerita,

Senja ini aku dibawa terbang dimasa yang telah lalu,
Aku susuri jalan ini semampuku,
Dikala tak ada kuasa selain DIA,
Penuh ke ajaiban, penuh kenangan yang terindah,

Dikala hutan berlantara itu menutup ruangku,
Seketika tak ada harap kecuali keajaiban,
Tak ada doa selain tawakkal,
Dan sesosok malaikat itu hadir pada momentum itu,

Bahagia rasanya memberi warna pada sejarah,
Tinta emas itu ku raih dalam jalan setapak yang ku lalui,
Ini kisah yang tak pernah mati,
Hingga perjalanan ini mengantarkanku pada keabadian.

Dermaga ini,
Menyatu dalam sejarahku,
Semoga ukiran namaku selalu ada,
Dermaga penuh memory,.
Dermaga penuh cerita,
Bersama segala perhelatan yang aku pernah lalui,.

*Hanya sekedar mencoba mewakilkan sebuah perjalanan seorang sahabat pada suatu perhelatan yang pernah ia lalui,..

Selasa, 28 Desember 2010

“JANGAN BERHENTI TANGAN MENDAYUNG, NANTI ARUS MEMBAWA HANYUT.......” : PESAN KEMERDEKAAN BUYA M. NATSIR.*


Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Mohammad Natsir -- yang pada tahun 2008 mendapat hadiah gelar Pehlawan Nasional dari pemerintah RI-- menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Artikel Natsir ini sangat penting untuk kita renungkan saat peringatan Kemerdekaan RI ke-64 tahun ini. Berikut ini petikan tulisan pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia ini:

Hari ini, kita memperingati hari ulang tahun negara kita. Tanggal 17 Agustus adalah hari yang kita hormati. Pada tanggal itulah, pada 6 tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa besar di tanah air kita. Suatu peristiwa yang mengubah keadaan seluruhnya bagi sejarah bangsa kita. Sebagai bangsa, pada saat itu, kita melepaskan diri dari suasana penjajahan berpindah ke suasana kemerdekaan... Kini! Telah 6 tahun masa berlalu. Telah hampir 2 tahun negara kita memiliki kedaulatan yang tak terganggu gugat. Musuh yang merupakan kolonialisme, sudah berlalu dari alam kita. Kedudukan bangsa kita telah merupakan kedudukan bangsa yang merdeka. Telah belajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Telah menjadi anggota keluarga bangsa-bangsa. Penarikan tentara Belanda, sudah selesai dari tanah air kita. Rasanya sudahlah boleh bangsa kita lebih bergembira dari masa-masa yang lalu. Dan memang begitulah semestinya! Akan tetapi, apakah yang kita lihat sebenarnya? Masyarakat, apabila dilihat wajah mukanya, tidaklah terlalu berseri-seri. Seolah-olah nikmat kemerdekaan yang telah dimilikinya ini, sedikit sekali faedahnya. Tidak seimbang tampaknya laba yang diperoleh dengan sambutan yang memperoleh! Mendapat, seperti kehilangan! Kebalikan dari saat permulaan revolusi. Bermacam keluhan terdengar waktu itu. Orang kecewa dan kehilangan pegangan. Perasaan tidak puas, perasaan jengkel, dan perasaan putus asa, menampakkan diri. Inilah yang tampak pada saat akhir-akhir ini, justru sesudah hampir 2 tahun mempunyai negara merdeka berdaulat. Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Mengapa keadaan berubah demikian? Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya: Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!... ” ”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkayuh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”

Demikian pesan-pesan perjuangan M. Natsir, seperti dapat kita baca selengkapnya pada buku Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008). Mengambil pelajaran dari petuah M. Natsir tersebut, kita dapat memahami bahwa akar persoalan bangsa Indonesia yang harus dipecahkan, khususnya oleh kaum Muslim, adalah penyakit ”hubbud-dunya” atau penyakit cinta dunia yang sudah menggurita. Betapa pun sistem pengawasan dan UU anti-korupsi diperbaiki dengan secanggih-canggihnya, tetapi jika penyakit cinta dunia itu sudah mendarah daging, maka ada saja peluang untuk mengakalinya. Lihatlah kasus yang melilit berbagai lembaga penegakan hukum sekarang ini! Orang yang semula dipuja sebagai tokoh pemberantas korupsi, tiba-tiba harus berhadapan dengan kasus serupa yang menimpa dirinya. Godaan harta, tahta, dan wanita, sudah banyak membawa korban bagi para pemuka negeri ini.

Dalam lapangan pendidikan, misalnya, kita bersyukur, saat ini anggaran di bidang pendidikan semakin membesar. Kesejahteraan guru semakin diperhatikan. Biaya bantuan untuk operasional sekolah juga ditingkatkan. Tetapi, pada sisi lain, karena penyakit cinta dunia yang sudah mendarah daging, berapa pun gaji yang diterimanya, tidaklah dia akan merasa cukup. Banyak orang korupsi bukan karena terpaksa untuk sekadar mengisi perut atau mencukupi kebutuhan pokok keluarganya, tetapi korupsi dilakukan karena keserakahan, karena ingin hidup mewah. Banyak yang sudah bergaji puluhan juta rupiah per bulan, tetapi tetap saja tidak mencukupi kebutuhan hawa nafsunya. Maka, ketika ditanya oleh para cendekiawan Muslim, seperti Dr. Amien Rais dan kawan-kawan, pada 1980-an, penyakit apakah yang paling berbahaya bagi bangsa Indonesia, dengan tegas M. Natsir menjawab: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Lebih jauh dia katakan: ”Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat).

Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (Lihat, buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (DDII, 1989). Kita perlu benar-benar menggarisbawahi dan merenungkan kata-kata M. Natsir tersebut. Jika penyakit cinta dunia sudah merasuki umat Islam, pasti umat ini akan binasa. Tidak mungkin perjuangan Islam akan menang. Rasulullah saw pun sudah menegaskan, ”Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam.” Banyak hadits serupa ini bisa kita baca. Jika syahwat dunia sudah mencengkeram, maka tidak mungkin diharapkan akan muncul semangat dakwah dan semangat pengorbanan. Bangsa yang sudah hilang semangat berkorbannya, tidak akan mungkin bangkit menjadi bangsa yang besar. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, al-Arba’iin fii Ushuuliddin, menulis: ”Wa i’lam anna hubba ad-dunya ra’su kulli khathiiatin.” (Ingatlah, sesungguhnya cinta dunia itu adalah pangkal segala kejahatan). Penyakit inilah yang telah menghancurkan umat Islam di masa lalu. Rasulullah saw sudah banyak mengingatkan umat Islam akan bahaya penyakit ini.

Kita patut waspada jika sekolah-sekolah Islam, perguruan tinggi Islam, juga lembaga-lembaga dakwah, dan lembaga perekonomian Islam ikut andil dalam melahirkan manusia-manusia yang gila dunia dan gila jabatan. Untuk meraih posisi jabatan atau kepegawaian tertentu, tak jarang kita mendengar adanya praktik-praktik suap dalam proses penerimaan. Orang yang mencintai dunia, kata al-Ghazali, sebenarnya orang yang sangat bodoh. ”Ketahuilah bahwa orang yang telah merasa nyaman dengan dunia sedangkan dia paham benar bahwa ia akan meninggalkannya, maka dia termasuk kategori orang yang paling bodoh,” kata al-Ghazali. Islam tidak mengharamkan dunia. Bahkan, Islam memberikan kemerdekaan kepada umatnya untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya, selama diperoleh dengan cara yang halal. Islam tidak mengharamkan kenikmatan dunia. Bahkan, umat Islam dipersilakan menikmatinya. Islam bukanlah agama yang mengajarkan spiritualisme ekstrim, bahwa seorang tidak dapat dekat dengan Allah selama masih menikmati dunia. Jika ingin dekat dengan Tuhannya, kata mereka, maka dia diharuskan meninggalkan wanita, tahta, atau harta; lalu pergi ke goa-goa atau belantara, menjauhi dunia dan mendekati Sang Maha Kuasa dengan bertapa. Islam tidak seperti itu ajarannya. Seorang Muslim dapat menjadi orang yang takwa, dengan bergelimang harta dan hidup bersama istrinya. Seorang

Muslim adalah seorang yang meletakkan harta dalam genggaman tangannya, dan bukan mencengkeram harta dengan hatinya, sehingga dia bersifat bakhil, pelit, dan takut kehilangan dunia. Pesan M. Natsir tentang manusia Indonesia ini kiranya bisa didengar oleh penguasa. Kita berharap, pemimpin bangsa kita adalah orang-orang yang tidak terkena penyakit cinta dunia. Mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih jika menelantarkan rakyatnya, sementara mereka hidup dalam gemerlap dunia dengan menggunakan uang negara. Orang yang terkena penyakit cinta dunia, biasanya akan enggan menginfakkan hartanya. Apalagi, jika dia berpikir, harta yang dia miliki adalah hasil keringatnya sendiri, dan tidak ada hubungannya dengan pemberian Allah. Padahal, dia mendapatkan harta itu, juga semata-mata karena izin Allah. Jika Allah menghendaki, terlalu mudah untuk memusnahkan hartanya, termasuk mencabut nyawanya. Allah SWT sudah mengingatkan bahwa orang yang salah paham terhadap dunia, yang mencintai dunia, dan enggan menginfakkan hartanya, pasti akan menyesal di kala ajalnya tiba, dan kemudian dia meminta waktu sedikit saja agar bisa bersedekah di dunia. Allah SWT memperingatkan dalam al-Quran yang artinya:

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: ”Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Munafiqun: 9-11).

Pesan lain dari Mohammad Natsir yang perlu kita camkan dan renungkan adalah agar kita tidak pernah berhenti dalam melaksanakan amanah perjuangan Islam. Jangan berhenti tangan mendayung, nanti kita terbawa arus. Begitu pesan Natsir. Pesan dari tokoh yang kenyang makan asam garam perjuangan ini seyogyanya mendorong kita untuk memahami ajaran Islam dan situasi dengan cermat dan tepat.

Kita perlu memahami sejarah perjuangan umat Islam, baik di dunia, dan khususnya juga di Indonesia. Para tokoh pejuang Islam telah berjuang menegakkan Islam di negeri ini, dengan segenap liku-liku dan hambatan dan rintangan. Tidaklah patut kita sekarang mengabaikan jasa-jasa dan prestasi yang diraih oleh para pejuang Islam. Kita bisa tidak puas, atau berbeda pendapat dengan pemikiran atau langkah yang ditempuh para pendahulu kita. Tetapi, tidak sepatutnya kita meremehkan hasil perjuangan mereka, apalagi mencerca perjuangan mereka. Kita bisa berbeda, tetapi para pejuang Islam itu telah melakukan hal yang besar, yang belum tentu prestasi mereka dapat dicapai oleh generasi kita sekarang ini.

Para pejuang dan tokoh Islam di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) secara bulat berusaha menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara Islam atau negara berdasar Islam. Mereka sangat gigih dan jelas menyuarakan aspirasi mereka, berhujjah dengan berbagai kelompok yang berseberangan ideologi dan aspirasi. Ketika aspirasi mereka ”membentur tembok”, mereka tidak patah arang, dan menerima Piagam Jakarta sebagai konsep kompromi. Ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta pun diganjal, para tokoh dan pejuang Islam tidak menyerah. Mereka menerima konsep Pembukaan UUD 1945, dengan menegaskan pemahaman konsep Tauhid Islam. Tokoh-tokoh Islam, seperti KH Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, terus menggelorakan semangat juang tiada kenal kata menyerah. Maka, tidak sepatutnya kita menafikan hasil-hasil perjuangan yang telah dicapai oleh para pejuang Islam terdahulu di Indonesia. Keislaman kita, ibu bapak kita, kakek-nenek kita, dan nenek moyang kita pun merupakan hasil perjuangan para pendakwah Islam yang ratusan tahun lalu telah berjuang mendakwahkan Islam di negeri ini. Alhamdulillah, apa pun kondisinya saat ini, Indonesia masih mayoritas Muslim, dan insya Allah akan menjadi negeri Muslim yang semakin kokoh dan jaya, jika umat Islam bekerja lebih keras dan lebih cerdas dalam berdakwah.

*http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/

Jumat, 24 Desember 2010

MUTASI MASSAL (Sebuah Refleksi)

Membaca judul ini sekilas memori kita mungkin akan menghadirkan beberapa kegiatan sosial yang marak dilakukan oleh kelompok tertentu dalam masyarakat kita. Menyebut mutasi massal ini secara spontanitas kita mungkin akan menyejajarkannya dengan sunatan massal, nikahan massal, dan beberapa kegiatan lain yang menjadi rangkaian bakti sosial padahal keduanya merupakan dua hal yang kontraproduktif. Kalau berbicara tentang bakti sosial secara defintif ini adalah kegiatan sosial yang menjadi bagian terkecil dari kegiatan mensejahterakan masyarakat. Sementara ketika kita berbicara tentang Mutasi Massal sangat akrab dengan tendensi politik yang mewarnai konstruksi sebuah pemerintahan di daerah. Seperti sedang terjadi di Kabupaten Dompu. Mutasi Massal ini biasanya beriringan dengan proses pergantian kekuasaan, Pergantian kekuasaan Bupati yang satu ke Bupati yang lain. Ketika pilihan ini berstandar profesionalisme dalam arti luas saya kira ini adalah progres yang sangat bagus untuk kemudian memberikan reward pada
orang-orang yang berprestasi melakukan bakti kepada Bangsa dan Negara atau khususnya Kabupaten Dompu. Begitupun sebaliknya mutasi ini juga dilakukan dalam rangka memberikan punishment kepada Pejabat Negara yang tidak amanah sehingga proses mutasi ini dilakukan untuk memberikan ruang refleksi kepada mereka sehingga bisa bekerja lebih baik lagi kedepannya.

Sangat ironis ketika Mutasi Massal atau Mutasi besar-besaran ini dilakukan hanya untuk memuaskan libido politik beberapa orang. Saya mencoba positif thinking dengan Pemimpin kita hari ini yang ingin melakukan perubahan yang terejawantahkan dalam visi dan misi bupati selama satu periode kedepan. Namun ketika melihat Mutasi Massal ini kita akan bertanya Kemudian siapa yang melakukan mutasi besar-besaran ini?Bupati kah?Atau mungkin orang-orang terdekat Bupati?Atau bahkan hanya pendatang baru yang sebenarnya tidak tahu tentang raport para pegawai tetapi karena politik balas dendam sudah menjadi orientasinya sehingga menutup ruang rasionalitasnya.

Mutasi ini seringkali terjadi pada masa awal pergantian kekuasaan, ketika legalitas Bupati sudah ada maka yang akan dilakukan pertama kali adalah Mutasi pegawai Negeri. Ini adalah masa transisi yang sangat berat dirasakan oleh rakyat negeri ini terutama oleh para pegawai yang sekian lama telah mengabdi di bumi Nggahi Rawi Pahu. Tan Malaka dalam risalahnya yang berjudul Massa Aksi, mengatakan bahwa setelah rezim otoriter ditaklukan oleh kekuatan rakyat, maka selalu saja ada satu masa yang disebut sebagai masa peralihan. Dan ini sesungguhnya adalah masa yang sangat kritis. Menyetir ungkapan Tan Malaka ini saya ingin melanjutkan bahwa kita memang tidak sedang hidup di masa orde baru, kita sebenarnya hidup dimasa kemerdekaan tetapi kita tidak pernah merdeka dengan hak dan kebebasan berekspresi kita karena dibatasi oleh represifitas penguasa. Dan masa peralihan yang disebut Tan Malaka dalam risalahnya merupakan masa paceklik yang berkepanjangan dirasakan oleh rakyat kita sampai hari ini.

Bagaimana tidak mutasi ini dilakukan sangat bebas standar, sangat jelas pemimpin kita menggunakan standar ganda. Disatu sisi mengelus sementara disisi yang lain membanting mereka yang ingin merdeka. Wajar tidak ketika kita menyebut ini adalah emperialis di negeri sendiri?Kita bisa melihat bagaimana para kepala sekolah yang punya prestasi bagus kemudian dimutasi menjadi guru biasa bahkan diberhentikan dari jabatannya, begitupun sebalinya ada pegawai negeri yang masih awam mengenal realitas pendidikan di daerah kita tetapi kemudian didongkrak ke jabatan yang sangat strategis. Sehingga di saat beberapa kelompok yang sedang memperjuangkan nasib dan orientasi pendidikan kita tetapi disaat yang bersamaan pendidikan dijadikan sebagai komoditas politik. Bisa dibayangkan oleh kita ketika intrik poltik yang tidak bermoral ini menghegemoni kemurnian proses pendidikan yang sedang kita lakukan. Lantas siapa yang akan memperhatikan pendidikan kita?Mau dibawa kemanakah orientasi pendidikan kita?

Sekilas menghadirkan memori lama tentang fakta-fakta yang terjadi sekitar tahun 2000-2001, atau mungkin fakta itu masih membumi hingga saat ini. Dimana ketika terdapat beberapa murid yang tidak naik kelas maka insiden pengejaran terhadap guru dengan benda tajam, pemukulan terhadap guru-guru kelas, menghancurkan gedung sekolah, bahkan disalah satu sekolah ada seorang murid yang melepas panah tajam dan menusuk leher gurunya. Nah ini realitas yang ironis yang sangat nampak di mata kita sekalian. Ketika fakta ini ada lalu apakah yang terjadi pada pendidikan kita?Apakah yang belum terselesaikan?

Dan bagaimana dengan hari ini ketika libido politik telah menghegemoni dunia pendidikan kita, Atau jangan-jangan ini adalah propaganda besar yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang ingin menghancurkan kearifan lokal bumi Nggahi Rawi Pahu ini, sehingga cara strategis untuk membuat kita hancur berkeping-keping adalah hanya dengan memecah belah dan membuat konsep pendidikan kita tidak pernah tentu arah.

Mari kita semua berangkat dari titik yang sama untuk merefleksikan eksistensi perjuangan kita hari ini, sekaligus memulai tindakan efektif kita untuk berbuat demi bangsa dan Negara teutama Islam yang kita cintai. Dalam buku Merebut Masa Depan : Sebuah refleksi untuk Aksi (Sebuah Pengantar), Syamsudin Kadir mengatakan Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi dan aksi sekaligus. Syamsudin Kadir juga menambahkan bahwa disamping kemampuan reflektif, kita sebagai bangsa-terutama kaum muda-indonesia juga perlu melatih diri dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunya agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana tetapi juga agenda aksi yang nyata.

Yang pasti kita harus berubah! Siapapun yang membaca tulisan ini saya kira kita harus bersuara lantang dan menyamakan ritme dengan satu notasi. Sekerasnya kita harus katakan bahwa “Kita harus Berubah!!”. Marilah kita mencoba untuk menghadirkan nurani kita untuk berbicara sesungguhnya apa yang sedang kita kalutkan saat ini, supaya kemudian tidak ada yang hanya berseloroh dan meratapi kegagalan disetiap lompatan yang sedang kita lalui. Bangsa ini milik kita, daerah yang menjadi medan juang kita hari ini adalah milik kita bersama, siapapun saya yang menulis ini yang pasti nurani saya berkata selayaknya pemimpin dan orang-orang besar daerah ini bermimpi tentang masa depan rakyat kita nanti.

Kita tanggalkan baju-baju kuasa kita, ego-ego politik kita, tendensi-tendensi primordial kita, mari kita sama kan visi untuk formulasi gerak yang lebih lincah, produktif, dan sangat efektif sebelum nurani kita hilang oleh apatisme dan pragmatisme belaka. Dan sebelum langkah pertama ini kita mulai sejenak kita memandangi masa lalu yang cukup kelam yang telah terlewati-hitamnya masih belum pekat, ikhtiar kita harus lebih keras dari pekatnya masa lalu sehingga menatap masa depan gemilang itu dengan semangat dan optimisme.

Dan pertanda perubahan ini sudah mulai nampak dipermukaan, mari kita baca bersama-sama, jangan terus bersembunyi dibalik bayang-bayang kekuasaan, atau hanya menjadi boneka suruhan, kita harus merdeka mencerdaskan orang-orang yang tertindas, dan mengambil bagian dari jejak sejarah ini atau akan tergilas oleh jaman yang tak pandang bulu.
Mari berjuang untuk sebuah perubahan!!

Rabu, 22 Desember 2010

PERSEMBAHAN UNTUKMU IBU


Pagi ini begitu cerah,
Lewat senyum terindahmu,
Aku menatap dunia penuh obsesi,
Harapku atas doamu termakbul,.

Dentang nafasmu menyeruak hari hingga senja,
Tak ada keluh menggores diwajahmu,
Tak ada ratapan kala semua kau lewati,
Kau sungguh sempurna di mataku,

Mimpimu tergambar dalam gerakmu,
Kau berlari mengejar bintang,
Pesona mu penuh harap,
Ingin aku menjadi mutiara terindahmu


Dalam lelah pun kau tersenyum indah buatku,
Tertatih-tatih hidup ini kau lalui,
Namun kau masih Mendera doa disetiap detik nafasku,
Ibu... kau berlian dihati ku,

Relung hatimu begitu indah Ibu
Hingga aku tak sanggup menggapai dalamnya,
Muliamu tak mampuku balas,
Derai air matamu menguntai sebuah harap dalam do,amu,

Ibu...
Aku ingin menjadi impian terindahmu,
Kau selalu ada dalam setiap kisah indah yang ku alami,
Kau menggerakan nafas ku yang hampir habis,
Kau selalu ada dihatiku

Ibu…
Ingin ku persembahkan seluruh mimpi ini untukmu,
Suara lirihmu selalu hadir dalam doa-doa terbaikku untukmu Ibu,
Kau selalu sempurna di mataku ibu,



Puisi ini ku persembahkan untuk ibuku tercinta, yang penuh semangat, yang selalu diselimuti oleh obsesinya tentang mimpi beliau yang belum teraih. Dalam hatiku menyadari bahwa dia lah inspiratorku, selalu hadir disaat aku membutuhkannya, selalu ada dikala aku perlu motivasi tentang sebuah pilihan hidupku. Aku bangga dengannya. Aku bangga terlahir dari seorang ibu yang tak patah arang meski hidup ini begitu keras menempanya. Dia begitu mengerti, memahami jika aku menerangkan tentang pilihan yang ingin aku raih.
Disaat aku mempersembahkan puisi ini untuknya, aku sadar bahwa aku kehabisan kata untuk memuji beliau, aku tak mampu mengartikan kebaikannya lewat kata.

Puisi ini aku tulis sebelum cahaya, setelah ruang hati (Shalat Shubuh), aku melihat hari ini dia memberikan senyum terindahnya untuk pagi, sangat menyejukkan, aku selalu nyaman didekatnya. Hari ini-saat dimana setiap anak mengucapkan selamat hari ibu, semoga kehadiran puisiku bukan atas euphoria itu, tetapi lahir dari ketulusannya menyentuh dinding hatiku yang begitu polos merasakan kebaikan dan kemuliannya. Momentum ini ku ciptakan untuk seketika menghadiahkan senyum terindahmu untukku, mimpiku, dan hidup yang akan kita jalani besok.

WAHAI RUMAH PARA PEJUANG

Aku terkadang berkaca-kaca,
Dikala tatapanku menyorot memoar para pejuang itu
Seruan itu telah menyatu dalam qolbu,
Namun aku tak sanggup meraihnya,
Fakta ini begitu erat mencengkeram gerak ku,
Ingin ku melompat dan terbang setinggi anganku dahulu,
Mengejar barisan mereka yang telah mengarungi samudera ini,

Obsesiku membabi buta,
Citaku setinggi langit,
Inginku kenakan baju perjuangan itu,
Selempang bengorbanan,
Bersama nilai dan idialisme yang selalu bersemi,

Dibatas kota ini aku merenung,
Suara hatiku begitu jelas terdengar,
Ingin menjelajah nuansa perjuangan di ibu kota,
Bersamamu wahai rumah para pejuang,

PII ku,.
Kau hadir bersama cahaya-Nya,
Meneramkan jiwa yang resah ini,
Dikala ku berdiri dibalik bayang kehidupan,
Kau mengetengahkan janji abadi itu,.
Kau menghadirkan hatiku dalam euphoria perjuangan masa lalu itu.

PII ku,..
Kau tetap bersemi di hati,
Suaramu membuatku merinding,
Kau lah yang terbaik sepanjang usiaku,
Kau bentangkan seluruh sudut kisah dalam perjuangan bersamamu,
Andai momentum itu tepat, ku arungi jalan ini sepahit apapun itu,

Senin, 20 Desember 2010

IKHLAS AKU,..

Ku terbangun dalam tidurku,
Tak ada cahaya,
Gelap,
Sunyi,
Rasaku tak menentu,
Ku bertanya tentang ini,
Air mataku menetes,
Mewarnai hatiku,
Aku bingung,,
Tak berani ku sendiri,
Apa lagi menyendiri dalam gelapku,
Ku berlari mengejar dimanapun cahaya itu,
Jemariku mengungkap kata,
Meluapkan rasa hati yang berkaca,
Aku merinding jika ini adalah pertanda cita ku,
Aku tak mengerti inikah yang diisyaratkan hatiku,
Aku juga bukan penjaga hati,
Yang tahu segala untuk membukanya,
Aku ingat hati terdalamku,
Memohon segala pada-Nya,
Dari relung hati ini aku bersujud,
Pinta segala doa yang terbaik menurut-Nya,
Hapus segala obsesi dan ambisi,
Ikhlas aku atas jalan yang diberi,
Semoga yang terbaik,
Tebentang bersama luasnya dunia dan isinya.

Jumat, 17 Desember 2010

GADIS TEMARAM*

Kotak biru
Di relung terdalam melihatmu
tabir masa lalu terkurai,,
Senjaku kilau memancar pesona kilau,
Senyumku..
Gadis temaram yang kau sembunyikan,
indah dalam keanehannya,
Tegar dlm kemisteriusannya,
Bahagia dalam tangis
Kuat dalam harapan.,
Oh senjaku...
Kau berbisik,
Menjelma menjadi panglima malam,
mengiring gadis temaram dlm tangisnya,
Senjaku..
Ronamu semakin indah menerpa,.

*Jendela masa lalu Sang LenFih.

Kamis, 16 Desember 2010

KONFLIK TAK SELAMANYA KONFRONTATIF

Seperti telah menjadi model. Sukses tidaknya sebuah kepemimpinan bangsa dan masyarakat kita diawali dengan eksiden. Kita bisa menjejaki kembali sejarah munculnya Soeharto di awal orde baru didahului dengan peristiwa Gerakan G 30 S PKI, Munculnya tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Megawati, dan Gus Dur mengikuti auforia politik akibat gerakan reformasi mahasiswa, dan munculnya Susilo Bambang Yudhoyono didahului eksiden “polemik” antara dirinya dengan Taufik Kiemas. Begitu juga ketika ruang lingkup tatapan ini diperkecil pada skala kabupaten Dompu, hingga tahun 2003 konflik yang mengawali pesta demokrasi sangat akrab dengan proses politik. Maka tidak heran jika miniaturnya terjadi pada organisasi-organisasi politik, organisasi mahasiswa, organisasi pelajar, hingga organisasi tingkat RT sekalipun. Ini menembus dinding idiologi, tak ada pengecualian ketika kita ingin melingkari satu batas lingkaran untuk tidak melibatkan organ Islam disana. Apakah ini kemudian dikatakan sebagai spektrum politik kita?

Seolah-olah proses menjadi tokoh bangsa harus melalui satu tantangan untuk mendesain konflik dan kisruh menjadi peluang. Maka ini kemudian seolah membuka satu celah masalah ketika orang-orang yang tidak bertanggung jawab sengaja menciptakan kekisruhan sebagai lompatan politik personal. Ini kemudian melahirkan satu pertanyaan aneh, bagaimana jika tidak ada eksiden, tak ada huru-hara, tak ada konflik?apakah berarti akan terjadi krisis kepemimpinan?

Pertanyaan itu akhirnya mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang jauh lebih aneh bahwa kalau tidak ada konflik sosial maka tak akan ada suksesi kepemimpinan, tak akan terjadi regenerasi kepemimpinan, yang ada adalah status quo, Itu sebabnya selama 30 tahun, Soeharto berusaha keras menjaga statbilitas kepemimpinan dengan pendekatan keamanan untuk membendung kematangan kepemimpinan lain disekitarnya.
Dalam realitas rezim yang represif, ditengah kekangan kepemimpinan yang begitu otoriter, menjadi satu kesempatan emas untuk membangun citra kepahlawanan, entah ini adalah desain kesengajaan ataukah muncul secara kebetulan bersama derasnya arus politik di masa transisi. Ini momentum yang tepat untuk dimanfaatkan, belum menjadi kajian kritis apakah momentum ini dimanfaatkan sebagai lompatan efektif membangun bangsa ataukah citra kepahlawanan untuk mendongkrak citra pribadi. Karena legitimasi yang paling besar adalah kesan pribadi yang mempunyai kombinasi antara citra membela orang lain dengan keberanian melawan regim yang dianggap otoritarian. Kombinasi ini membentuk ekspektasi tentang masa depan yang lebih baik andai mereka ini yang menggantikan kekuasaan tiran.

Meskipun masyarakat sendiri sudah cukup cerdas melihat dan telah membuktikan bahwa statement di atas tidak selalu terbukti, artinya siapapun yang muncul dan menjadi pemimpin menggantikan para pemimpin dahulu tetapi dengan gaya khas orde baru-memanfaatkan situasi konflik sebagai pencitraan “malaiklatnya” maka tak ada bedanya. Tetapi seringkali bacaan ini tidak sampai ke “akar rumput”, dialektika dan komunikasi politik yang dibangun oleh mereka membius masyarakat awam.
Meskipun lompatan ini selalu berakhir dengan cerita yang sama bahwa masyarakat merasa ini adalah kamuflase. Tetapi ini pun akan berbalik menjadi emas ketika uang sudah menjadi raja, masyarakat tidak pernah kapok ketika hak politiknya dihargakan dengan rupiah. Selalu saja masyarakat kita tergoda untuk memilih pemimpin yang mengesankan, yang mencitrakan kepahlawanan, penolong disiang bolong, dan simbol perlawanan. Kita selalu tergoda oleh baju-baju kerajaan tetapi sebenarnya ekspresi mereka adalah ekspresi para pengemis. Kita selalu tertipu oleh politik penampilan tetapi tidak untuk nilai yang diperjuangkan. Padahal Bung Hatta jelas memberi gambaran dengan politik garam yang diinginkannya bukan politik gincu yang terlihat sangat cantik tetapi hilang jika dibasahi dengan air. Masyarakat kita nampaknya memang enjoy atau menikmati kebohongan-kebohongan, menikmati situasi yang semakin merampas hak mereka, pembodohan-pembodohan sistemik, dan pencerdasan-pencerdasan yang dipaksakan, dan kemudian diakhir perjalanan suksesi kepemimpinan ketika tinta hitam “blepotan”mewarnai perjalanan pemimpin itu masyarakat kita hanya bisa berseloroh, “apa boleh buat nasi telah menjadi bubur”

Rezim Soeharto boleh hilang dari permukaan cerita masa kini, hujan cacian, dan segala “pisuan” seperti badai menghadang sejarah kepemimpinan soeharto, tetapi kultur politik bangsa ini masih kental dengan rezim otoriter itu. Sudono Syueb dalam bukunya Paradoks Politik mengatakan “Sering saya menduga dalam hati, jangan-jangan kita ini memang bangsa yang tidak suka damai, tapi justru suka kisruh, suka intrik, dan suka bermusuhan”. Tak ada kedewasaan untuk melihat lebih jeli tentang ruang penyelesaian konflik yang lebih intelek , orang-orang yang dianggap harusnya punya andil dalam menyelesaikan konflik tidak beranjak dari singgasananya untuk meredam benturan yang ada. Disisi lain diluar sana banyak orang yang mengais rejeki dari kekisruhan-media massa misalnya merasa sangat potensial untuk memanfaatkan konflik sebagai berita terbaik mereka. Prinsip jurnalistik yang menganggap “konflik” sebagai nilai berita telah menyebabkan potret konflik semakin suram dan memperkeruh keadaan. Orang-orang tidak bertanggung jawab sangat ringan tangan untuk memberikan besaran rupiahnya kepada para demonstran yang ingin dijajah dan menggadaikan idialismenya. Hari ini hampir sering muncul slogan perubahan dari para kelompok mahasiswa yang sebenarnya adalah boneka suruhan dari orang-orang yang tidak ingin ada kedamaian dinegeri tercinta ini. Tanpa kekisruhan sepertinya tak Nampak eksistensi orang-orang yang “ingin” menjadi pahlawan, karena dalam situasi damai tak ada orang yang akan menyoroti reputasinya.

Keberanian yang berlebihan membuat semua kelemahan tidak terlihat, membuat ketidakbecusan dalam bekerja tak nampak, dan sebaliknya yang muncul dan terlihat darinya adalah selalu ada dibarisan paling depan ketika terjadi konflik atau konfrontasi. Dan laku sosiologis berintrik itulah yang justru ditengarai lingkungan sebagai pembuat jasa sesat. Sehingga dalam situasi demikian, orang-orang yang memiliki potensi besar dan berkarya nyata menjadi bias, dan terpental, menjadi kehilangan semangat untuk maju dan berkembang. Lingkungan ini seolah mengkondisikan mereka untuk merasa tidak memperoleh tempat untuk mengembangkan diri, mengimplementasikan gagasan-gagasannya. Sehingga pada titik kulminasi kemudian lebih memilih “tiarap” atau bila situasi dan kondisi tidak bersahabat dengan hati nuraninya, maka ia memilih menjaga jarak, mengucilkan diri, bahkan keluar dari arena perjuangan bukan untuk merapat pada kedzoliman dan kemaksiatan tetapi berijtihad tentang lompatan yang ingin ia lalui. Tak ada gunanya berdiam diri pada komunalitas yang polos dan lugu, komunal yang sensitivitasnya sudah membeku, dan cenderung pragmatis. Sangat fenomenanal.

Dalam beberapa kasus di tingkat organisasi, seringkali tidak bisa membedakan antara potensi konflik yang berakhir konfrontatif dengan perbedaan yang menstimulus produktivitas. Nah sering kali perbedaan-perbedaan cara pandang dalam melihat visi, dan rencana strategis organisasi ditengarai sebagai potensi konflik padahal ini adalah ruang heterogenitas ide yang memperkaya, berbeda latar belakang maka berbeda pula konstruksi berfikir yang melahirkan ide yang berbeda pula, ini adalah kekayaan yang luar biasa yang harus dijaga dan dirawat sebagai potensi dan kearifan organisasi yang kita miliki bukan malah paranoid dan akhirnya gagap melihat hadapan yang sudah ada di depan mata. Dan disisi yang lain potensi membaca perubahan sosial yang membuat kita optimis mengkaji futuritas hadapan kita semakin hari mulai tumpul, kita akhirnya menjadi orang yang (meminjam istilahnya Kuntowijoyo) “miopis” yaitu hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat.

Padahal jika obyektif melihat sikap kita yang melahirkan terpentalnya sumber daya manusia yang potensial membuat kita harus gigit jari. Lingkaran yang kita buat sebenarnya bukan generasi malaikat yang tanpa dosa tetapi manusia yang memiliki kesamaan, tetapi kita juga tidak ingin jujur bahwa pembesar kita sebenarnya juga sangat gagap dan bias memahami medan perjaungannya saat ini. Kita juga tidak tahu bahwa orang-orang yang terbuang itu adalah bukan individu yang terisolir dari lingkungannya, tetapi mereka yang memiliki jaringan yang sekecil apapun pasti akan memberi dampak pada kohesivitas organisasi. Mungkin organisasi sendiri beranggapan bahwa suatu ketika akan memperoleh “darah segar”dari para pendatang baru yang lebih cerdas, militan, memiliki loyalitas atau dedikasi terhadap organisasi. Padahal jika ditatap secara konferehensif para pendatang baru ini pada satu titik tertentu akan menimbulkan masalah baru, adaptasinya dilingkungan internal belum tentu membuat seluruh pihak akan welcome terhadapnya. Serba dilematis menurut mereka yang yang ingin menghindari perbedaan padahal semua adalah proses pendewasaan.

Ini seolah memberi sinyal kepada kita tentang begitulah kondisinya ketika sebuah organisasi yang tidak dibesarkan dengan menajemen konflik yang baik. Memang dilingkaran elit kondisi ini menjadi sangat ramping dalam pucuk piramida kekuasaan tetapi organisasi pada akhirnya akan kehilangan sumberdaya yang potensial karena semakin hari tidak nyaman dan kemudian memilih untuk melewati jalan yang lain dalam perjuangannya.

Konflik sebenarnya tidak selamanya bermakna konfrontatif tetapi sesungguhnya bisa menjadi media untuk berkembang menjadi lebih baik, jika dan hanya jika ada mekanisme kompetisi yang sehat, ada kedewasaan dalam melihatnya, ada kesiapan untuk menghadapi warna karakter lain selain warna yang selama ini diyakini oleh masing-masing orang. Sehingga penyelesaian atas konflik dapat terselesaikan sesuai dengan keinginan secara komunal dan keinginan untuk menunjukkan aspek-aspke yang positif dan konstruktif, tetapi ketika konflik tidak kelola dengan sebaik-baiknya apalagi kemudian dipergunakan untuk kepentingan status quo bisa berakibat terjadinya pelebaran konflik dan penumpukan masalah.

Akhirnya lahir organisasi yang tidak karuan seperti benang kusut yang sulit ditemukan ujung dan pangkalnya. Orang-orang didalamnya juga hanyalah generasi mental krupuk yang selalu mencari aman dan menghindari perbedaan yang menukik kenyamanan mereka yang relative membuat mereka tidak produktif. Lebih celaka ketika konflik sudah menjadi kebutuhan pokok, maka masing-masing pihak akan terus-menerus mencari kesalah untuk meletupkan konflik, Lalu kalau konflik berkepanjangan menjadi cirri khas kita terus kapan kita akan sempat melakukan hal yang produktif.

KAU MIOPIS SAUDARAKU

kau miopis saudaraku,
coba tatap utuh semua yag terbentang luas,
bukankah semua tersenyum,
bintang justru menari melihatnya,
air mata tak harus beriringan dengan kesedihan,
tapi terkadang membungkus kebahagiaan,
tidak kah kau ingat hari ini,
semua dosa diampuni jika qt mengamalkannya,
ini kebahagiaan yg terbalas,
kebahagiaan yg tidak bias dan semu,
ini kebahagiaan yang harus dibagi,
ini adalah mata air yang tak pernah mati,.

DIAM ADALAH MATI

Tak indah termenung dalam gelap,
walau cahaya adalah api,
tinggalkan selimutmu pejuang,
desingan peluru telah memecah keheningan ini,
ada barisn dsana,
semua telah memilih kemuliaan,
bergegaslah mengampiri,
sambut seruan itu,
tak elok berdiam diri,
engkau tahu bahwa diam adalah mati.

Rabu, 15 Desember 2010

HAPUS SEGALA KERESAHAN

kabut dan hujan bersaudara,
gelap, pekat menjadi satu,
ini warna yg tak akan berganti,
berjalan, berlari, kemudian melompat,
mengganti jiwa yg telah kering,
menyusuri lorong-lorong perjuangan,
menghadirkan keindahan hati kini,
gilasan ini membunuh,
berdirilah,
kokoh,
gigitlah dengan gigi gerahammu,
genggam panji itu,
jangan biarkan kedzoliman mencekam,
hapus segala resah,
raih semangat yang tak pernah mati,
terobos dan lawan arus itu,
hingga kau berdiri di ujung jalan yg sedang kau lalui,
kepalkan dan takbir hancurkan dahaga yang mematikan,

Selasa, 14 Desember 2010

RUANG HATI

Ku jejaki sejarah itu
Tampak warna disetiap sudut jalan yang ku lalui
Suara itu begitu khas terdengar,
Nyanyiannya tentang kebesaran pemilik jagad ini,
Senyumku terwarna ketika jejak ini begitu indah dimataku
Sejuta rasa membungkamku seketika,
Aura ini hangat dalam selimut perjuangan,
Ada saat aku menembus batas,
Menerobos ruang yang tak menentu,
Ruang hati yang bagitu polos,
Menerima asa yang begitu asing,
Membuka tabir yang tak kuasa tuk di elak,
Hanya satu pinta untuk menjadikannya mulia,
Jika semua hadir dan kembali atas kekuasaanNya.

HATI ITU JUJUR

Hati itu terlampau jujur untuk dicampakkan,
Suaranya menggelegar dalam rongga hati terdalam,
Jejak ini susah ditangkap logika
Karena hati begitu tulus untuk bersuara
Berkata tentang sesuatu yang bersemayam dalam keindahan
Lamunan,
Cinta,
Berjuta rasa,
Sulit terungkap,
Sketsa itu sepeti hadir di alam nyata.

Rabu, 08 Desember 2010

DIALOG DUA HATI

Kenapa keresahan ini mengisi sudut hatiku,.

Coba luaskan satu ruang dalam dada yang tetutup noktah
Dan dengarkan dzikir-dzikir kerinduanNYA
maka akan menemukan hakikatnya

Aku gundah tapi belum menemukan bisikan apakah ini
Ruang ini seluas bumi tapi kebimbanganku menutup semuanya
Keresahan ini seperti kabut
Adakah dirimu hadir bersama cahaya-NYA
Itupun jika kau berbesar hati

Tenanglah wahai saudaraku
Engkau orang baik
Hibaklah sedikit kabut di hatimu
Agar cahaya menerobos lembut

Cahaya ini hadir begitu halus
Bersama lantunan kalimat penguat jiwa
Aku baik oleh kebaikan orang-orang terdekatku
Detik ini berputar bersama hilangnya keresahan ini

Keresahan yang bergerak menjelma menjadi keindahan

Kenapa kegundahanku tidak berbalas
Tidak inginkah engkau menjadi malaikatku hari ini
Bukalah ruang hatimu

Aku tak pantas menjadi malaikat kecil
Yang menerobos bak cahaya dalam hatimu
Menghibak kabut itu dan merubah riuh gerimis menjadi embun keindahan
Menyentuh lembut rongga di sudut hatimu

Kenapa kau merangkak dan menundukkan kepalamu
Padahal kau memiliki sayap
Terbanglah semaumu, sentuh awan bersama kebaikanmu
Bawalah menghampiriku
Symbol dan pertanda itu akan ku kabarkan kepadamu

Simbol keresahan itu keindahan yang ingin kau tunjukkan?
Janganlah menyuruhku terbang karena aku takut mengepakkan sayapku
Masanya belum tepat untuk membawa pesan itu

Terserah kau menafsirkan siulku merpati
Jika itu makna yang kau tangkap dari nyanyianku
Kapankah pesan itu ingin kau sampaikan
Aku takut lompatan ini runtuh sebelum waktunya

Selasa, 07 Desember 2010

PII KU

Dalam kegundahan,
disorientasi diri,
kerisauan akan eksistensi,
dalam kegelapan itu,
ia hadir, menjelma dalam cahaya kebaikan,
panji itu kokoh hingga menerobos sanubari yang terdalam,
ada malaikat disana,
ada kegelapan berselimut,
PII ku,..
cahayamu membangkitkan semangatku yang hampir mati,
ada senyum dikala air mata mengalir,
ada ego disaat hati disatukan,
ada tendensi ketika nilai diperjuangkan,
dan ada air mata ketika ruang dan waktu memisahkan kita,
warna-warni itu begitu menyatu dalam diri,
Yang Maha Tinggi lindungi PII.
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin