`

`

Menulis bersama Cinta

Aku akan menulis bersama cinta. Itu kalimatku. Ini langkah pertamaku untuk memulai merangkai kembali segala ide ini. Semoga memberi manfaat pada kita semua. Memberi manfaat pada dunia.

Usiamu Bertambah, Cinta

Perasaan menemukan ruang untuk menulis ini ketika aku harus memikirkan satu ruang untuk menempatkan ucapan “Selamat Milad ke-23” kepada dikau, istriku sepanjang sejarah.

Dia Hadir Lagi

Malam ini kenapa rasanya ia hadir lagi mengisi ruang rindu ini. Setelah setahun lebih dia meninggalkan kami dengan senyum kasih sayangnya. Entah apa gerangan yang membuat air mata ini tiba-tiba menetes di sudut mataku. Tiba-tiba aku merindukannya.

Menikah Mengajarkan Banyak hal

Menikah seharusnya difahami sebagai lompatan menuju keridhaan dan surga Allah yang tidak pernah putus kenikmatannya. Maka dalam melewatinya semestinya bertabur amal sholeh.

Memaknai Tahun Baru 2014

Silahkan tulis mimpimu. Yakinlah bahwa ini hal terkecil yang bisa kita lakukan untuk merubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Kita tidak akan sampai di ujung titik kesuksesan jika kerja-kerja yang kita lakukan hanyalah berhenti pada kesibukan kita mendefinisi makna fundamental tentang hadapan kita saat ini.

Hanya Ingin Menulis

SAYA INGIN MENULIS. Adalah sebuah cita-cita akan perubahan yang pelan tetapi pasti. Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan.

Jejak Usia Menuju 29 Tahun

Sesaat,waktu seolah memberi ruang untuk berkontemplasi panjang,memandangi kembali jejak dan sisa perjalanan yang telah dilewati

Bunda Tersayang, Semangat dan Inspirasimu Selalu Hidup

Semoga semangat dan inspirasimu selalu hidup sampai generasi kami menggantikan peran-peran ini. Dan semoga Allah meridhainya. #Bundatersayang.Spesial untukmu #Bundatersayang, bahwa semoga Allah mengampuni dosamu dan menempatkan engkau ditempat yang terbaik. Amin

Catatan Perjalanan Ber-LSM

Sekedar mengenang jejak #berLSM yang telah setahun tidak ku geluti lagi.#berLSM Gerbang baru, tempatku menemukan warna-warni aktivitas yang tak asing.Aktivitas #berLSM memang fase tetapi bagiku untuk beberapa hal adalah seperti melanjutkan perjalanan. #berLSM itu; penuh dengan ruang-ruang dialektika,motivasi mengembangkan diri,dan egaliter.Ya sudah pasti kita bisa memelihara idealisme.

Jika Boleh Memilih (Part 1)

Jika boleh memilih, aku ingin kembali ke masa kecil. Disaat mengenyam bangku sekolah di Sekolah Dasar (SD). Hidup bagiku disaat itu adalah mandi pagi, berseragam dan berangkat sekolah. Bermain sesuka hati, belajar semampuku, makan lalu istirahat. Hidup mengalir tanpa beban. Yang ada adalah tumbuh dan besar ditengah orang-orang yang menyayangi.

Antara Pilihan

Tak ingin rasanya beranjak pergi meninggalkan persinggahan ini ruang sepi yang buatku terhenti diujung jejak-jejak perjalanan itu

Sepi ditengah Keramaian

Sepi ditengah keramaian ini semoga menjadi peristiwa-peristiwa yang indah jika dikenang kembali kelak. Bahwa bagian dari perjalanan ini adalah memupuk cinta diseberang pulau. Atau cinta bersemi dalam kejauhan. atau mungkin Cinta dalam ruang yang berbeda. Atau apapun lah yang menggambarkan cinta yang selalu membersamai waktu-waktu kami.

Untuk yang Terkasih

Sayang..Cinta itu menyembuhkan..ada yang beda saat dirimu hadir disini..dengan segunung rasa yang kau punya..kau menyebutnya cinta..ya sering sekali kau menyebut kata itu,menulisnya,mengungkapkannya,menuliskannya lagi,begitu,sering sekali,terus begitu,seperti tak mampu diungkap oleh kata,seperti tak selesai ditulis dengan pena.

9 Bulan Lagi Jadi Ayah

"Kak barusan saya test pack. Alhamdulillah positif..Sembilan bulan lagi sampean jadi abi..In shaa Allah..:)" Memang baru saja menyapa di perut ibunya. Belum genap sebulan. Masa-masa berat yang mesti dilewati dengan kesabaran. Semoga tidak ada halangan ataupun hambatan yang berarti. Selanjutnya harus mengatur aktivitas sebaik-baiknya sehingga dia tetap terpelihara hingga menjadi manusia seutuhnya dan hadir menyapa dunia. Amin

Dua Hari Cukup

Satu bulan berada berjauhan dan sudah saatnya waktu ini berdialog dengan cinta kembali. Membersamai hari-hari berdua bersamanya, kekasih hatiku. Aku meski sadar bahwa karena pertarungan ini masih berhelat maka tidak ada cukup waktu untuk menyapanya. Dua hari saja cukup untuk dia, untuk memupuk senyum dan bahagia dihatinya.

Dari Politik Ke Peradaban (part 1)

Semangat saya kembali ber-api membaca transkrip taujih @anismatta "Dari Politik ke Peradaban" dalam buku Integritas Politik dan Dakwah.Ini kira-kira isi taujih yang membuat saya bersemangat. Momentumnya tepat untuk membakar jiwa ditengah perang saat ini. Monggo dinikmati..Kedepan ada 3 cita-cita yang akan kita kejar, yaitu: cita-cita politk, cita-cita dakwah, dan cita-cita peradaban.

Dari Politik Ke Peradaban (part 2)

Cita-cita yang harus kita kejar yang ketiga adalah Cita-cita peradaban.Terjemahan implementasi dari apa yang disebutkan oleh Imam Hasan Al Banna sebagai cita-cita tertinggi dakwah kita,yaitu Ustaziatul Alam.Sementara sekarang peradaban barat tidak lagi mampu memberikan semua unsur yang diperlukan manusia untuk berbahagia.Sekarang ada kekeringan yang luar biasa. Sehingga yang dipikirkan oleh barat adalah mempertahankan hegemoni.

Merangkai Hidup Baru

#MerangkaiHidupBaru adalah episode baru yang aku adalah sutradara sekaligus pemainnya.Kenapa kok #MerangkaiHidupBaru padahal kan sudah 1 tahun lebih menikah? 1 tahun lebih menikah adalah episode yang berbeda karena muatan ujiannya berbeda.Kalau boleh aku ingin memberinya nama #MencariFormatHidup

Perjalanan Menuju Menang

Ingin mengurai satu demi satu cerita perjalanan #menang di 2014 ini. Karena ada banyak hikmah yang akan menjadi penguat langkah kedepan..Perjalanan ini harus dicatat karena ada pelajaran tentang perjuangan sungguh-sungguh kita untuk #menang..Kami ingin sefaham bahwa amanah berat ini adalah amanah semua..tugas saja yang beda..Masyarakat sudah tunggu bukti..semoga kami bisa amanah..Semoga ustad Nasaruddin diberi kuat,sehat, untuk penuhi dan perjuangkan hak rakyat.. Semoga istiqomah..Amin

Tebar Inspirasi Hingga Tak Terbendung

Tanggal 10 Mei 2014. Selamat Milad. Semoga usianya berkah. Semoga istiqomah. Semoga menjadi istri sholehah dan kemudian menjadi ibu teladan bagi anak-anaknya. Waktu-waktu belum habis untuk belajar semoga tetap mau belajar, semoga selalu memberi manfaat dimanapun, dan menjadi apapun. Tebar inspirasi hingga sekat tak mampu lagi membendungi arusnya.

Kamis, 31 Desember 2009

SUKSESKU “PASANG SURUT”

(Keping-keping Kehidupan 3)

Suksesku “pasang surut”. Kalimat ini mungkin yang menggambarkan cerita kesuksesan studiku. Sukses yang menurut orang kebanyakan diukur dari prestasi dikelas. Ya begitupun aku. Sebagai seorang siswa yang ingin maju menurutku salah satunya harus berprestasi dikelas. Walaupun orang-orang besar juga ada yang tidak menempuh sekolah formal. Tetapi inilah kenyataan.

Walaupun aku tidak pernah sukses jika diukur dari standar prestasi siswa di sekolah tetapi aku punya standar yang kusesuaikan dengan kualitasku yang tidak sepintar teman-temanku yang memiliki nilai tertinggi disekolah, memiliki nilai ujian nasional tertinggi se-kabupaten. Dan standar yang kubuat cukup untuk menghibur diri yang punya impian terlalu tinggi tetapi apa daya tangan tak sampai.

Ketika Sekolah dasar aku pernah mengungguli teman-teman sekelasku. Aku pernah tiga kali sejak kelas 1 sampai kelas 3 mendapat rengking pertama. Tetapi sudah harus diakui bahwa setelah itu aku tidak pernah mendapatkan itu. Ya gara-garanya, aku sakit keras, berawal dari hanya sakit meriang sampai harus diopname dirumah sakit dan memaksa aku tidak masuk sekolah sampai mendekati ujian catur wulan (cawu-sebelum memakai sistem semester). Dan tidak tanggung-tanggung, aku harus mengejar ketertinggalan itu, dan alhasil aku hanya duduk diperingkat kedua, Alhamdulillah masih sempat tiga besar.

Ketika aku masuk SMP, aku bersemangat ingin mengulang prestasiku, prestasi yang pernah ku banggakan waktu SD, prestasi yang kerap kali orang tuaku memberikanku hadiah.

Awal-awal cawu dimulai aku berusaha sekeras mungkin, belajar untuk cita-citaku, dan ketika itu aku hanya mendapatkan peringkat dua untuk cawu pertama. Untuk cawu kedua dan ketiga aku mendapatkan peringkat kedua dan ketiga. “Semakin turun euy..” belum selesai karena merasa ikhtiarku sudah cukup sempurna aku merasa harus menerima semua apa adanya.

Naik ke kelas 2 SMP, sistem yang dibuat adalah sistem pengacakan dan pembagian kelas berdasarkan prestasi, sehingga aku jadi salah satu siswa yang masuk kelas unggul (kelas yang menurut sekolah diunggulkan). Tetapi semakin hari bukan menambah motivasi untuk belajar tetapi justru menggeserku dari segala kebiasaan “positif”. Aku malas, apalagi harus bersaing terlalu keras, aku sadar kualitasku cukup hanya untuk menjadi seperti ini-menurutku aku tidak terlalu kuat untuk bersaing, lagi-lagi karena soal percaya diri yang lemah membuatku terus berada dalam keterkungkungan masa lalu, tenggelam dalam kelemahan diri, dan tidak berfikir maju untuk sesuatu yang masih bisa diusahakan. Ada banyak teman-teman kelasku waktu SD yang secara akademik lebih rendah dari aku, jarang masuk sekolah, dan hampir terabaikan, tetapi ketika dikelas yang sama waktu SMP dia adalah salah satu siswa teladan, nilainya bagus, cara belajarnya berhasil, dan sangat aktif mengikuti pelajaran, dan aku hanya menjadi bagian dari siswa yang diam dan sepertinya tidak punya motivasi untuk maju, yahh.. ini mungkin perasaanku yang menganggap bahwa ini lah penilaian orang kepadaku, walau hanya sekedar perasaan. Karena diluar sekolah aku sering menjuarai lomba cerdas cermat.

Ini mengesankan cerita “buruk” buatku. Bagaimana tidak nilai Ujian Akhir Nasional-ku hampir tidak meloloskanku untuk masuk kesekolah negeri. Dan pada saat itu yang membuat bapakku sedikit berotot adalah dengan nilai yang “terbatas” aku tetap memaksakan diri untuk mendaftar ke sekolah favorit di Kabupaten Dompu. Soalnya dengan insiden nilai yang anjlok itu aku merasa terpompa untuk memulai dari nol, memulai untuk menjadi yang terbaik lagi, memulai untuk yakin bahwa aku masih bisa bersaing dengan rekan-rekanku dikelas dulu.

Ya setelah menanti cukup lama ternyata aku diterima disekolah favorit itu. Mata ku berkaca-kaca, tubuhku merinding, tatapanku menyorot kedepan, aku merasa ingin segera berada dikelas untuk bersaing dengan teman-teman baruku. Aku ingin membuktikan bahwa aku masih siap untuk mengejar semua prestasi yang pernahku abaikan.

Ya dari sinilah aku hanya menjadi siswa yang “gila buku”. Aku mulai mengatur waktu belajar, waktu bermain, waktu untuk istirahat, sampai-sampai aku tidak pernah keluar hanya untuk sekedar jalan-jalan. Aku masih ingat ibuku, setiap selesai shalat isya beliau mesti tahu kalau aku sudah mulai membuka buku dan beberapa saat kemudian ibuku mesti membuka pintu kamarku (Kalau belajar selalu menutup pintu kamar) untuk menawarkan segelas teh manis. Dan biasanya kalau belajar sambil minum teh aku merasa lebih cepat menyerap pelajaran dari buku yang sedang kubaca. Terimakasih bu untuk setiap gelas teh yang kau suguhkan.

Tidak sia-sia usahaku. Pada saat penerimaan raport di cawu 1 aku meraih juara 1, prestasi yang membanggakan bagiku-apalagi jika orang tuaku mengetahuhi ini begitu bangganya mereka. Benar bahwa kesuksesan itu bergantung pada seberapa besar usaha kita. Allah lah yang memberikan semuanya, karena tugas kita adalah hanya berusaha yang menentukan semuanya adalah Dia-Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku segera pulang kerumah untuk mengabarkan berita bahagia itu kepada bapak-ibuku. Bapak-ibu ikut bangga merasakan apa yang sudah ku usahakan selama ini. Pola belajar dan kegiatanku sehari-hari terus seperti biasanya, mengalir tanpa harus dibebani oleh hal-hal lain selain mata pelajaran di sekolah. Ada kesibukan diluar sekolah tetapi masih menjadi sesuatu yang tidak berat untuk difikirkan.

Aku merasa sedang berada di awan, bersama impianku, harapanku, cita-citaku, aku menjadi salah satu siswa yang berhasil meraih impian disekolah, aku mengungguli teman-temanku sampai kelas 2 cawu ke-3. Sudah semestinya ketika itu aku mengumpulkan 6 piagam penghargaan, dan mendapatkan beasiswa dari BATARA, aku lupa jumlahnya-tetapi sudah cukup bagiku untuk membuatku terus tersenyum dalam impian yang sedang ku kejar. Bapak-ibu sudah tentu ikut senang, aku menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh mereka, selain sebagai anak yang penurut dan rajin ke masjid aku menjadi anak yang “sukses”. Tidak sekedar itu setiap permintaanku mesti dikabulkan, belum lagi ketika hadiah juara 1 dari mereka yang semakin melengkapi kebahagiaan dan motivasiku untuk terus maju. Dan sejak itu aku tidak pernah di atur, tidak pernah ditegur, tidak pernah diingatkan, bukan karena aku kebal dari semuanya tetapi aku dianggap sudah dewasa untuk memilih mana yang terbaik untukku, dan memang aku tidak pernah melakukan sesuatu yang mencoreng wajah mereka.

Kelas 3 SMA, aku sedikit harus beradaptasi karena kelas diacak lagi seperti dahulu ketika aku naik ke kelas 2 SMP, ya ketemu dengan teman baru, guru baru karena guru yang mengajar dikelas 1 dan 2 berbeda dengan guru-guru yang mengajar dikelas 3. Ini tentunya membuatku harus berfikir keras jika ingin melanjutkan kesuksesan sebelumnya, banyak hal yang aku rasakan, adapatasi yang terlalu lama justru membuatku tertinggal, kosong, dan aku akhirnya kembali ke masa laluku-aku akhirnya tidak ingin berfikir banyak tentang kesuksesanku disekolah-karena aku lebih sibuk mengurusi urusanku diluar, aku justru menemukan kepuasan diluar, bebas bagiku untuk menggambarkan diriku dibalik kekangan sistem sekolah yang hanya menuntut kualitas akademik, sementara sikap, tindakan, perkataan, pergaulan, terlupakan, dan aku temukan diluar disaat aku harus melengkapi kesuksesanku yang tinggal setahun lagi. Dan ini aku dapatkan diluar.

Aku sibuk, buku pelajaran dan sekolah aku tinggalkan, dan hampir aku lupakan, apa lagi guru yang harusnya mengajar hanya sekedar menitipkan buku untuk difoto copi, aku yang gerah dengan cara seperti ini menghabiskan waktu untuk “keliling” ke sekolah-sekolah, bukan main-main apalagi tawuran, tetapi untuk membagikan undangan sebuah acara rutin yang aku dan organisasiku adakan tiap pekan. Ini menghiasi hari-hariku di kelas 3, teman-teman yang masih berfikir sekolah formal adalah satu-satunya cara sukses akhirnya meninggalkan organisasi kita tercinta, organisasi yang pernah menjadi “rumah” para pendahulu yang telah sukses bersamanya. Aku hanya bersama temanku-Andi Chandra namanya, seorang sahabat yang selalu menemaniku disaat susah senang, sering menjadi “tong sampah”, dia yang rela melakukan apapun demi “rumah kita”.

Sampai akhirnya tiba, kita harus hengkang dari “rumah” kita karena masa kepengurusan telah berakhir. Tentu kita meninggalkan para kader yang terus melanjutkan roda organisasi tercinta.

Dan sekolah? Aku tidak lantas meninggalkan sekolahku, aku kembali kesekolah dengan segala bekal yang menumpuk di otak, tapi bukan rumus matematika, fisika, apalagi kimia, tetapi bekal perjalanan untuk hidup dikemudian hari. Seingatku saat itu tinggal 2 minggu lagi ujian akhir nasional akan digelar, semua siswa tentu sudah harus mempersiapkan diri, teman-temanku yang meninggalkan organisasiku sudah lebih dulu mempersiapkan segala hal untuk ujian itu. Aku baru mulai, aku membuka kembali semua buku tempatku mencatat semua pelajaran sejak kelas 1. Kubuka, kupelajari, kudiskusikan dengan teman-teman sekolahku, dirumah, disekolah, dan dimanapu ketika itu. Sampai waktu ujian tiba dan apapun usahaku aku sudah bertawakkal. Yang selalu melekat dibenakku adalah ungkapan seorang ustadz yang sering mengisi diskusi keislaman “dirumah” kita “barangsiapa yang menolong agama Allah maka Allah akan menolongnya….”. Sebuah ungkapan yang mengutip sebuah hadits Rasulullah ini membekas dan selalu mengiringi usahaku yang terbatas dan seadanya.

Aku telah menyerahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, kulewati semuanya tanpa keraguan, tanpa rasa takut untuk tidak lulus sampai selesai. Tinggal menunggu hasil yang akan diumumkan satu bulan setelah ujian berakhir. Akhirnya aku lulus dengan nilai yang tidak jauh beda dengan teman-temanku yang lain. Ini cukup menurutku. Ini justru lebih dari cukup untuk bekal merantau ke negeri orang.

Aku memilih Malang-Jawa Timur untuk menjadi tempat menuai suksesku yang pasang surut. Malang kota terindah menurutku dibandingkan dengan tempat asliku. Kota yang saat itu sejuk, bersih, masyarakatnya ramah, dan tradisi keilmuannya cukup tinggi. Aku telah berada dimalang setelah menempuh perjalanan dengan bus kota selama sehari dua malam. Perjalanan yang sungguh melelahkan tetapi sangat sebentar jika diukur dengan ilmu yang sedang ku kejar, dan sukses yang ingin kuraih kembali. Setelah satu bulan di Malang dan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, akhirnya aku diterima di salah satu kampus negeri di malang yaitu Universitas Brawijaya. Dan kukejar suksesku disini.

Rabu, 30 Desember 2009

JIKA INI ADALAH TAKDIR

Jika ini adalah letupan-letupan sesaat
Maka abaikanlah…
Biarkan ia pergi seperti hadirnya
Dan biarkan ia berhembus seperti angin

Namun jika ia adalah takdir
Maka kejarlah, kejarlah takdir itu
Kemanapun ia kan berlabuh?
Iya, sampai mungkin takdir itu berkata
Lain…

Tapi alam menggugat ini, mungkinkah…
Alam hanyalah bagian dari cerita pelengkap..
Lihat disana kekuasaan-Nya,..tak ada yang mustahil
Apakah ini mimpi?

Ayo segera bergegas,…
Jalan yang kau tempuh masih sangat jauh..
Segera lewati tembok besar itu,.lompatlah..!!
Biar Dia dan dia tahu begitu besar ikhtiarmu..

Ingin sekarang,..atau tak selamanya..
Turuti kata hatimu, semasih permata itu berkilau..
Simbolnya begitu kuat untukmu..
Baca dan sambutlah pertanda itu sebagai awal perjalananmu

AKU PERNAH MEMBENCI KEDUA ORANG TUAKU

(Keping-keping kehidupan 2)

Aku lebih suka sibuk dari pada harus tidur-tiduran dirumah. Karena aku menemukan duniaku diluar bukan dikamar. Mungkin ini imbas dari pelatihan (Basic Training-PII) yang aku ikuti selama satu minggu. Pelatihan yang diajarkan banyak hal tentang kepribadianku. Sehingga aku menjadi salah satu anak SMA yang paling sibuk. Pagi sekolah, siang rapat, malam diskusi, dan itu menjadi aktivitas yang hampir rutin setiap hari. Apalagi sehabis ba’da isya teman-teman remaja masjid (REMAS) ada jadwal ngumpul. Silaturahmie (istilah makan-makan mie instant) yang biasanya rutin tiap pekan. Tidak tanggung-tanggung ngobrolnya-tidak terasa sudah dini hari, pulang kerumah sudah jam 2 pagi. Memang aku dan teman-teman sudah seperti satu keluarga, rasa ukhuwah (Kata ustadz) yang sangat erat yang membuat aku dan teman-teman sudah sangat dekat.

Apalagi kalau pada saat sibuk-sibuknya, kegiatan pelatihan kader, khikmah mauld Nabi Muhammad SAW-Isra’ Mi’raj, rihlah, olah raga-sepakbola, dan silasarati (sila dari kata silaturrahim, sarati artinya bebek bahasa Bima-Dompu), itu sampai kita harus I’tikaf (berdiam diri di Masjid alias tidur, hehe). Asyiknya bukan hanya ngumpulnya, sering kali kakak-kakak yang sudah sarjana biasanya bercerita tentang pengalaman mereka ketika sibuk jadi aktivis mahasiswa, sangat menarik, memberi semangat, mungkin itu yang membuatku merasa mendapatkan inspirasi lewat mereka. Pesan ketua remaja masjid yang masih sering aku ingat “kalau kuliah mulailah belajar untuk berfikir realistis, ideal boleh tapi realistis itu lebih baik.”). Sejak begabung dengan mereka aku jadi biasa bicara organisasi, politik, aktivitas mahasiswa, organisasi mahasiswa. Oh ya, saat itu aku sedang menjabat sebagai ketua umum PII Kabupaten Dompu.

Aku hampir tidak pernah dirumah kecuali makan dan tidur. Bapak dan ibu baru pulang kerja sore hari. Karena keluargaku yang cukup demokratis sehingga aku tidak pernah diprotes untuk memilih organisasi atau partai politik-tetapi dulu belum kenal partai politik.

Disaat masa SMA sudah mau berakhir, aku semakin sibuk sehingga semakin jarang dirumah-menginap ditempat teman (bendaharaku), yang kebetulan cowok. Semakin hari orang tuaku merasa aku sudah berlebihan, karena mungkin tak pernah punya waktu untuk mereka. Akhirnya suatu ketika aku “disidang” sampai akhirnya aku harus dibatasi tidak boleh kemana-mana kecuali ke sekolah, aku mangkel, marah benar, sampai aku harus membenci mereka, tidakkku ekspresikan lewat kata ataupun sikap tetapi pada saat itu yang jelas aku membenci kedua orang tuaku. Aku terus berdiam diri dikamar, sesekali nyeletuk “kayak cewek atau mungkin banci…”.

Tetapi aku bersyukur, akhirnya aku tidak sendiri, aku ditemani pena dan diaryku. Kulepaskan penatku, kuceritakan semuanya, aku hampir tidak menghiraukan kalau pena-ku sudah menari di ujung buku curhatku itu. Uffh,..alhamdulillah plong, setelah kuuraikan aku berfikir bahwa selama ini memang tak pernah punya waktu untuk sekedar mencium tangan kedua orang tuaku, dalam shalatku jarang mempersembahkan doa buat mereka. Apalagi detik-detik perpisahan sudah dekat, dekat karena aku harus merantau ke negeri orang, pulau jawa, tepatnya di Malang.

Aku sadar harus meminta maaf kepada mereka, mereka yang membesarku, mengenal dunia ini, dan aku? Belum memberikan apapun kepada mereka. Ya sejak saat itu aku mencoba menjadi yang terbaik dimata mereka-bapak dan ibuku. Aku tak pernah melewatkan saat keluar rumah dari sekedar mencium tangannya. Aku berjanji akan berubah-tidak hanya menjadi aktivis tetapi menjadi orang yang berbakti kepada mereka. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan umur yang barakah dan rizki yang halal kepadaku sehingga suatu saat nanti ku persembahkan umurku untuk berbakti kepada mereka.

MENJADI AKTIVIS, BERAWAL DARI APATIS

(Keping-keping kehidupan 1)

Aktivis. Kata ini baru kudengar setelah Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 1, tepatnya ketika aku masuk di salah satu SMP 2 Negeri di kabupaten Dompu. Dompu sebuah kabupaten kecil di pulau Sumbawa-Nusa tenggara barat. Pulau yang pada peta Indonesia hampir tidak terlihat karena memang pada kenyetaannya ukuran geografis yang memang tidak seluas dan sebesar pulau jawa, sumatera, atupun Kalimantan. Tetapi disanalah aku dilahirkan.

Kata aktivis ini kukenal tepatnya ketika aku menginjak bangku SMP tetapi aku tidak pernah ingin tahu tentang aktivis. Sejak kecil aku sudah menjadi anak rumahan,
ketika Sekolah Dasar (SD), bapak dan ibuku selalu mewanti-wanti supaya aku selalu mendapatkan rengking 1 dikelas, yach harapan itu aku penuhi hanya sampai kelas 3 SD, dan selanjutnya sampai kelas enam angka dua menjadi angka tetap yang menempel diraport ku. Oiya,..aku pernah dimarahi sama bapakku sampai tidak diizinkan main sama anak-anak tetangga. Apalagi ketika adzan magrib telah tiba aku harus segera bersiap-siap untuk shalat dan belajar ngaji (belajar membaca Al-Qur’an). Sejak kecil hingga SMP aku setiap hari hanya sekolah dan berdiam diri dirumah, sesekali bergaul sama teman-teman sebayaku tetapi tidak jarang “dijewer” sama bapak karena ulah teman-temanku yang tidak genah. Ini mempengaruhi kepribadianku-menjadi tertutup dan apatis. Dulu kata aktivis adalah momok bagiku. Aktivis menurutku ketika itu adalah anak-anak yang tiap hari dan tiap waktu hanya sibuk dengan agenda-agenda organisasi, kegitan, rapat, dan lain-lain. Ketika itu organisasi yang marak adalah pramuka. Aku memang salah satu pengurus osis sejak kelas 2 SMP, sebagai ketua seksi IMTAQ (Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) tetapi aku tidak pernah mendalami tentang arti dari sebuah organisasi. Mungkin Karena aku terlalu apatis. Walau keapatisanku adalah pengaruh dari pendidikan dikeluargaku yang terlalu tertutup. Aku apatis karena menurutku sibuk di organisasi hanyalah kegiatan menghabiskan waktu, tenaga, dan membebani fikiran. Dan aku memang tidak suka terlalu lama diluar rumah-aku pernah merasa sangat bodoh ketika aku harus menangis karena ditinggal ibu keluar kota dalam waktu satu minggu.

Kondisi seperti ini menghiasi hari-hariku sampai aku harus melanjutkan ke Sekolah Menengh Umum (SMA). Tetapi aku merasa masih punya kelebihan, aku masih cenderung menjadi anak yang baik dan sangat tertarik mengikuti acara pesantren kilat.

Di SMA, lagi-lagi aku menjadi sangat kuper. Teman-temanku hanya beberapa orang saja, itupun teman yang sempat kukenal karena kebetulan pernah satu kelas waktu SMP. Duhh, aku mulai merasa ingin berubah, ingin keluar dari keterkungkungan, aku tidak selamanya hidup dibawah pengaruh dan pengawasan orang tua, suatu saat aku akan sendiri, mengarungi hidup sendiri, karena hidupku adalah kenyataan buatku.

Di SMA, akhirnya aku merasa ingin berubah. Karena pesantren kilatlah aku mengenal rumah kedua bagiku-Pelajar Islam Indonesia (PII). Organisasi yang baru tiga tahun dibentuk kembali oleh Pengurus Wilayah. Ya gitu dehh, aku merasa menemukan diriku yang sebenarnya. Disini aku belajar, aku “mencuci” otakku-pikiran yang sempit melihat kehidupanku. Disini aku mengenal buku, mengenal penulis, mengenal Indonesia dan mengenal dunia. Dan di PII aku mengenal apa aktivis dank arena rumah ini kedua inilah aku belajar untuk tidak apatis.

Minggu, 27 Desember 2009

OBROLAN SANTAI, MENYENTIL GAYA BERPOLITIK DI KABUPATEN DOMPU


Judul ini yang mungkin sedikit lebih tepat dari beberapa judul yang coba ditabulasi untuk menggambarkan dialog ini. Dialog yang terjadi disitus pertemanan-facebook, berawal dari sekelumit tulisan yang dikirim ke sebuah situs baru-sedang menggagas tentang pengembangan tekhnologi, dan memiliki keterikatan dengan pemerintah propinsi yang jika dalam beberapa waktu kedepan dipantau dan mengalami perkembangan akan dipercayakan mengelola program yang lebih besar. Dialog ini juga mengalir berawal dari kedekatan cultural sebagai mahasiswa yang pernah merantau di satu daerah diwilayah Jawa. Penggalan obrolannya seperti ini;
Si A : ass
Si B : walaikumsallam
Si A : gimana kabarnya?
Si B : baik-baik, lagi dimana ni?
Si A : masih di tempat lama, sedang mengejar takdir, skrg sudah sukses ya mas..?
Si B : yeeee....sukses dr mana…Sama aja,..masih ngeraba-raba
Si A : orang-orang sukseskan banyak yang ga lulus kuliah jg mas,..
Si B : hahhaaaa....iya, tp di Dompukan beda,..apa-apa harus ada inilah, itulah
Si A : iya itu kn omongannya orang mas,..yang jalani kan kita,..
Si B : betul...tp lama-lama pressurex luar biasa...sy sampe ga betah
Si A : tp ga tahu ya mas, aq kan belum ngerasain tinggal di Dompu sekarang ya,..
Si B : hehehee…siap-siap aja….poko'e parah wes menurutku
Si A : okey mas,..iya ceritannya teman-temanku ya gitu juga,..
Si B : mungkin gara-gara banyak pengangguran…jd tiap hari kerjaannya cuma nyari kesalahan orang lain
Si A : iyo,..karakter tuch klo itu,..makanya kita bangun lewat buku,..hehehehe
Si B : iya tuh..betul,.
Si A : ngomong-ngomong, programnya gimana?
Si B : mudah-mudahan jalan program kita, kan luar biasa kalau akhirnya pemerintah punya perhatian khusus…
Si A : amiin,..klo tentang menulis dan ngeblog..saya dukung,..kalau politisi sekarang sudah banyak mas,..
Si B : iya itu dia,..kita kemaren diwanti-wanti biar independent
Si A : iya mesti begitu cak,..
Si B : klo ga gitu, bisa dimanfaatin ama pihak-pihak yang punya kepentingan
Si A : siip,..
Si B : kita rada was-was,..pasti klo dah jalan pasti banyak orang yang deketin kita buat pasang tampang,..kemarin aja ada orang yang nawarkan sesuatu yang ingin
menengkspos dirinya,…
Si A : wah politis banget,..
Si B : kita si ketawa-ketawa aja,..hahahaha…
Si A : hahaha,…zaman sekarang kan ga kayak zaman orde baru ya,..jd sudah pd tahu yg begituan,..
Si B : iya...mudah-muudahan ga ada masalah kedepannya,..
Si A : ya amiin,..secara dompu gitu ya,..kuasar banget kalau berpolitik,..
Si B : iyo,…udah sangat parah malah,..akut,..
yg paling parah, pns yng bertentangan ama bupatinya,..dijamin dimutasi jauh-jauh,..
Si A : Iya mas betul banget,..
Si B : aku off dulu ya,..ntar kt lanjutin ngobrolmya,,
Si A : okey,..

Begitu lebih kurang rekaman percakapan yang awalnya hanya sekedar “say hello” dan obrolan santai pada akhirnya obrolan merambah ke kondisi masyarakat di Dompu. Jika dilihat secara sekilas percakapan di atas hanya sekedar curhat biasa tentang kondisi masyarakat dan politik di Dompu, tetapi ini bukan hal baru, tetapi tradisi lama yang semakin hari justru menjadi karakter dan ciri khas daerah Dompu. Maka pada beberapa isi percakapan tentang kebisaan masyarakat dan tradisi poitik di atas saya tertarik untuk mengkajinya lebih dalam, walau hanya sekedar percakapan biasa tetapi tentunya sebagai masyarakat asli Dompu kita pada akhirnya diajak untuk mengeksplorasi semua rasa yang selama ini telah membeku dalam hati kita sekalian.

Kondisi yang sedikit menjadi bahan dialog pada percakapan di atas sepertinya jelmaan dari Neo orde baru, cerita seperti ini sangat akrab di tahun-tahun delapan puluhan-masa keemasanya Soeharto. Masa yang di klasifikasikan oleh Abdul Azis Thaba sebagai fase resiprokal kritis-fase yang hubungan antara Islam dan Negara ditandai oleh proses saling mempelajari dan saling memamahami posisi msing-masing. Pemerintah menyodorkan konsep asas tunggal bagi orsospol dan selajutnya untuk semua ormas yang ada diIndonesia. Fase yang menurut Eep Saefullah Fatah sebagai fase yang dimana ada rezim yang sangat represif, dan sebuah kondisi yang menutup ruang dialogis.

Kondisi seperti ini berjalan cukup lama hingga kini, percikan reformasi ternyata tidak melahirkan budaya demokrasi dan profesionalisme ditingkatan birokrasi. Ini potret politik yang sangat khas dengan aroma politik zaman orde baru, bedanya mungkin pada model represi pemerintah terhadap rakyat yang dianggap kontra dengan pilihan politik pemerintah. Di zaman orde baru, sikut-sikutan itu biasa, lebih ekstrim mungkin sampai pada penculikan aktivis, orang-orang yang vocal dalam mengkritik kebijakan orde baru tinggal menunggu giliran diculik saat itu. Menurut Andh Rahmat dkk dalam gerakan perlawanan dari masjid kampus bahwa legitimasi orde baru terletak pada kemampuannya dalam memperlihatkan kinerja ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang tinggi, dengan menjadikan ekonomi sebagai “panglima”, masyarakat “dipaksa” untuk tidak berpolitik. Hampir persis sama dengan saat ini di Dompu, tetapi menjelma dalam model pemecatan dan pemutasian. Saya masih ingat di tahun 1994 disemua rumah PNS harus ada stiker partai penguasa yang saat itu menjadi rezim, bahkan ketika saat itu karena masih kecil dan tidak tahu apa-apa saya lantas ingin melepas stiker yang ditempel didepan kaca rumah, dan saat itu ibu saya langsung menegur dan berkata “jangan dilepas, nanti dilihat orang”. Pesan ini cukup sederhana tetapi saya sampai saat ini belum sempat menanyakan siapa orang yang lantas harus ditakuti ketika melihat saya melepas stiker itu, saya pada akhirnya jadi berfikir tentang bagaimana hegemoniknya kehidupan saat itu. Ada lagi beberapa kasus pemutasian Camat, guru, kepala sekolah, dan yang jelas ketika pilihan politik rakyat berbeda dengan penguasa maka selanjutnya harus bersiap untuk hidup dibawah bayang-bayang pemerintah.

Kondisi ini harus segera diobyektivikasi oleh pemeran utama yang merengkarnasi sebuah rezim yang telah tumbang. Saya yakin dengan pernyataan bahwa kehidupan ini adalah siklus yang terus berputar, bukan tidak mungkin sesuatu yang pernah terjadi beberapa dekade sebelumnyapun akan terjadi pada saat ini. Satu hal yang sangat positif ketika kondisi ini sudah pada titik kulminasi, maksudnya dalam kondisi yang hegemonik dan ruang dialogis sudah tertutup seperti ini yang menurut Eep Saefullah Fatah marupakan lahan subur bagi tumbuhnya ketidakpuasan dan kekecewaan politik dikalangan kaum muda dan mahasiswa. Kekecewaan yang terus-menerus dan menggumpal inilah yang melahirkan alternatif-alternatif pencerdasan politik. Eep Saefullah Fatah menambahkan maka berbondong-bondonglah kaum muda mencerdaskan dirinya dengan berbagai cara. Hasil akhirnya bisa dipastikan yakni munculnya pandangan-pandangan kritis dan curiga pada pelbagai bentuk kemapanan.

Dan hari ini embrio itu sudah mulai muncul-menggugat kebijakan pemerintah atas nama rakyat. Walau sesekali disudut sana muncul gerakan yang sama tetapi ditunggangi oleh kepentingan oknum penguasa sebagai pihak yang ingin diakui sikapnya sebagai sebuah keberan. Ya mungkin mereka menunggangi sura mahasiswa yang idialismenya sudah tergadaikan oleh selembar rupiah tetapi gerakan-gerakan ini suatu saat akan bermetamorfosa menjadi kekuatan yang kokoh karena idialisme tak pernah mati. Ya terinspirasi oleh angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 78, dan 98 akan lahir kaum muda intelektual yang mencoba menerjemahkan semangat angkatan itu dalam menghadapi realita kekinian. Dan pada akhirnya memang harus mengambil sikap, mengutip tulisanya Abdul Azis Thaba bahwa beberapa elemen reformis harus memilih gerakan etik dari pada gerakan politik yang melakukan pressure terhadap kekuasaan. Gerakan etik menggunakan simbol transformasi nilai oleh seluruh elemen. Gerakan ini lebih efektif diakukan oleh komunitas-komunitas atau organisasi Islam melalui alokasi nilai-nilai ke-Islaman. Ditingkat masyarakat dengn melakukan “gerakan penyadaran”, yaitu sosialisasi nilai-nilai politik, sedangkan pada tingkat pemerintah dilakukan dengan metode pendekatan personal, seperti berbagai lobbying. Dan satu hal yang harus dihindari adalah tindakan yang mengarah kepada koalisi yang mengabdi pada kepentingan-kepentingan individu dan sesaat. Perlu ada “koalisi besar” yang mampu mengimpun potensi yang berserakan.

Jumat, 25 Desember 2009

MEMBACA, MEMBANGUN MASYARAKAT


Tulisan ini terinspirasi oleh kenyataan yang dihadapi saat ini, dimana intelektualitas semakin hari semakin terpuruk, nilai-nilai di dalam masyarakat semakin terdegradasi, konfrontasi dimana-mana, ruang dialog tertutup, emosi dan nafsu terdepan dalam penyelesaian masalah, serta keterbatasan ide dan fasilitas pendukung penyelesaian masalah yang kurang memadai. Tahun 1980-an sampai tahun 1999 norma menjadi sesuatu yang dijunjung dalam pemahaman yang muda menghormati yang tua dan yang tua menghargai yang muda, sehingga Tokoh agama dan masyarakat menjadi salah satu sumber yang mendamaikan masalah. Budaya “santabe” dalam bahasa kita (Bima-Dompu) menjadi sesuatu yang mengentalkan budaya sopan santun kita. Namun semakin hari seiring dengan perkembangan zaman, tekhnologi yang semakin berkembang nilai-nilai itu hilang seketika dan merambah pada tingkat kriminal yang akut. Pada saat norma yang mulai terkikis dan mode menjadi pilihan utama budaya baca yang awalnya sudah asing menjadi sangat asing dan kemudian kabur tidak jelas.


Budaya baca yang sebenarnya mampu menetralisir perkembangan zaman yang lebih negatif semakin tidak tersentuh. Padahal buku bisa menjadi sumber ide dan gagasan dalam mengembalikan norma-norma yang mulai hilang. Buku sering kali mencerminkan apa yang terjadi dalam masyarakat dan syarat dengan kondisi dimana penulis menuliskan buku itu, meski buku bukan potret yang sesungguhnya dari kenyataan. Buku merupakan ciptaan manusia yang menjadi bagian dari upaya membangun peradaban, dengan bacaan terhadap realitas, kemudian pengembangan ide, cinta, dan bahasa yang memikat. Buku biasanya mengungkap bagaimana perjuangan manusia menghadapi hidup, tantangan, dan kesulitan yang berat dan disaat bersamaan menuntut inovasi, cinta, harapan, dan ide yang selalu diasah, sehingga kehidupan menjadi warna yang selalu indah. Itulah salah satu makna pentingnya buku; sebagai media ilmu, wawasan, dan penyumbang penting dalam peradaban manusia. Mencintai buku berarti membangun budaya, peradaban, dan membuka jendela ilmu. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan dan dengan buku manusia akan menjadi lebih beradab.

Berbicara tentang buku maka kita juga akan berbicara tentang membaca, dan membaca adalah kebiasaan kecil yang member dampak besar pada setiap orang yang mengerjakannya. Tetapi jika amati minat baca dikalangan masyarakat kita saat ini tergolong rendah, bahkan dikalangan pelajar dan mahasiswa Dompu, minat baca kita tidak menjadi budaya yang bisa dibanggakan. Mereka hanya mengkonsumsi buku-buku yang sesuai dengan jurusannya, jarang sekali kita menemukan mereka membaca buku-buku wawasan umum. Kalau kita mencoba menatap lebih dekat bahwa toko buku dan perpustakaan yang menjadi bagian penting dari budaya baca hampir tidak kita temukan di Kab. Dompu, Kalau pun ada ketertarikan masyarakat tidak seperti menonton sepak bola atau mungkin menonton televise di rumah, komunitas baca dan diskusi yang menjadi bagian dari tempat aktualisasinya sangat asing, sehingga semakin menjauhkan kita pada budaya intelektual dan peradaban yang ingin dibentuk.

Membaca, membangun masyarakat. Kalimat ini mungkin yang akan menginspirasi kita semua tentang membangun bangsa dilevel terbawa dalam masyarakat, dan tentunya harus ada upaya untuk menciptakan suasana yang mencintai buku. Masyarakat yang maju adalah masyarakat menghargai buku. Semua bisa dipetik dari buku, buku menjadi jejak sejarah yang sudah diabadikan. Kebanyakan bangsa-bangsa maju adalah bangsa yang sangat menghargai buku. Budaya baca buku mereka sangat tinggi. Banyak perubahan besar terjadi pada bangsa yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dengan buku sebagai medianya. Membaca buku memiliki segudang manfaat yang dapat kita petik, selain membuka wawasan dan mengasah intelektual juga merangsang perkembangan emosi. Dengan membaca buku manusia akan belajar bersikap lebih empatik dan simpatik. Tanpa disadari kita menjadi lebih dewasa dan mampu mengatasi masalah kehidupan dengan baik.Tanpa disadari saat membaca buku, kita ‘bermain’ dengan khayalan, khayalan tentang sesuatu yang ingin kita bangun esok hari. Kita mengurutkan alur cerita menurut versi penggambarannya sendiri. Manusia yang sering dilatih imajinasinya, akan terbiasa mencetuskan ide-ide cemerlang yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan budaya baca akan lahir individu yang maju dan berkembang, dari individu-individu yang maju tersebut tercipta masyarakat yang maju. Pada akhirnya dari masyarakat yang maju tercipta bangsa yang maju juga. Saatnya budaya baca menginspirasi kita untuk membangun fasilitas pendukung, dari mulai pengadaan buku sampai pada membuat rumah baca, sangat sederhana jika semua elemen mendukung ini sebagai bagian dari membangun generasi bangsa yang beradab.

Pada level tertinggi di daerah kabupaten harus menjadikan budaya membaca, ataupun cinta buku sebagai program unggulan dalam meningkatkan kualitas masyarakat, selain itu pengadaan dan suplay buku juga harus menjadi ekspresi dari semangat membangun kualitas masyarakat. Tidak bisa dibayangkan bagaiamana terjadinya “kompetesi” intelektual dan mengalirnya ide-ide produktif yang bisa diramu menjadi konsep membangun masyarakat yang maju dan berkembang jika hal ini diperhatikan dan direalisasikan. Pada tingkat pelajar dan mahasiswa harus menjadikan budaya baca sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pengembangan diri, terutama bagi mereka yang sadar bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang lebih sebagai orang yang berpendidikan formal yang bertugas mentransformasi ilmu pengetahuan dan nilai dalam masyarakat yang lebih luas. Nah, ini adalah terobosan yang tidak baru tetapi konsep lama yang masih belum di garap menjadi kenyataan yang lebih baik.

Selanjutnya seluruh pihak harus melek, membuka jendela ini untuk menatap dunia sebelum kita dijajah besar-besaran. Kita mulai dari diri kita sendiri, memulai dari keluarga, masyarakat dan mulai dari hari ini. Tak ada hari esok yang lebih baik jika kita tidak pernah merencanakannya hari ini. Ketika ini menjadi gerakan bersama dan seluruh masyarakat dari lapisan terbawah sampai pada tingkat pemerintah memberikan perhatian khusus tentang membaca dan membangun masyarakat, suatu ketika akan lahir generasi baru yang berintelektualitas tinggi, berwawasan luas, dan memilih dialog dari pada harus berkonflik secara fisik, sehingga kehidupan bermasyarakan kita penuh dengan kedamaian dan nilai-nilai yang selalu djunjung tinggi. Dan pada akhirnya nanti terciptalah pemimpin yang bersih dengan rakyat yang beradab dan ber-ilmu pengetahuan tinggi.

Rabu, 16 Desember 2009

SANG JURU KUNCI



(Persembahan di titik akhir perjalanan)

Dahulu kala di sebuah desa di negeri antabaranta lahirlah seorang anak laki-laki yang gagah dan lucu. Anak laki-laki itu diberi nama Si Juru Kunci, nama yang sangat asing dinegeri itu tetapi mengandung makna filosofi yang begitu mendalam yang jika dimaknai akan mengantarkan kita pada warna-warni perjalanannya. Dia lahir dari keluarga sederhana, tinggal digubuk kecil, dibesarkan dalam kesahajaan. Dia tumbuh dan besar dalam dekapan cinta dan air mata, dalam desahan nafas yang sering terhentak oleh sentilan-sentilan problem yang melengkapi kesederhanaannya. Hijau alam dan kicau burung yang sering menjadi nada pagi penyegar hati, tidak lama dinikmati karena hegemoni alam begitu mengakar dalam pendewasaannya, mencolek kekokohan diri yang terus mencari arti hidup yang sebenarnya.


Sijuru Kunci lahirnya disambut dengan penuh cinta, senyum yang begitu indah, wajah yang berseri-seri memberi pesan tersirat baginya tentang kehidupan ini. Sejak kecil sampai umur 19 tahun ia hidup dalam keterkungkungan cinta, beberapa waktu membuka jendela rumahnya untuk melihat alam yang begitu luas. Saat itu memang situasi sosio-politik sedang carut-marut, peperangan dimana-mana, darah berceceran dijalan-jalan yang biasa dilewatinya ketika bermain, suara meminta tolong menggema dan tiba-tiba dalam sesaat menghilang sampai tak terdengar titik-titik suara yang mungkin saja bisa dicari kemana sumber suara itu berasal. Sungguh kondisi yang jelas telah tergambar dalam konseptualitas konflik yang sangat klasik, terlahir dan terwariskan oleh cerita orde baru yang hegemonistik.

Di umur yang sudah mulai beranjak dewasa si Juru kunci mulai menggugat eksistensinya yang hanya bagai bongkahan mayat yang bernafas-tak punya arti dan tidak memberi manfaat bagi orang-orang yang bereteriak meminta tolong bahkan bagi burung-burung yang kehilangan makanan akibat kekeringan yang berkepanjangan. Dalam sujud panjangnya meminta petunjuk pada Zat yang diyakini nya sebagai Kekuatan yang tak pernah punya tandingan, dia mulai berontak, nuraninya berkata dia harus tandang ke gelanggang, bergabung dibarisan orang-orang yang sedang berjuang untuk masa depannya dan masa depan negerinya.

Setelah berkontemplasi begitu lama, ia mulai menentukan langkah, keluar dari zona nyamannya, mencari perguruan beladiri yang ia harap bisa membekali untuk menjejaki ruang kehidupannya saat itu. Seluruh sudut desa telah ia lewati, makanan yang dibawanya sebagai bekal telah habis, ia pulang dengan tangan hampa, serasa tak ada asa yang bisa diharap. Sesaat hatinya bergumam, terdengar suara yang mengajaknya kesebuah perguruan beladiri yang telah berdiri cukup lama tetapi murid yang bisa dihitung dengan jari. Yach, disana dia belajar dan menimba ilmu, berguru dan berbakti, menyelami hidup sedalam mungkin, gubuk, cinta, dan kasih sayang telah ia tinggalkan demi obsesi dan cita-citanya untuk masa depan dan negerinya.
Usai sudah masa ia berguru, saatnya harus mengembara, menjelajah negeri antarabaranta, melewati ruang-ruang sulit demi cita mulia, mencari cahaya untuk menerangi gubuk tempat ia diahirkan.

Setelah itu ia kembali ke gubuknya, mencoba membuka pembicaraan tentang rencana pengembaraannya, seiring waktu akhirnya mendapat restu. Didapatnya perbekalan pakaian dan sedikit makanan pengganjal perut, diciumnya tangan kedua orang tuanya sembari berdiri didepan pintu gubuk dan memulai langkah pertamanya dengan bacaan basmallah.

Dimulainya pengembaraan itu, ditutupnya segala derita dan air mata negeri yang telah ia rasakan, berjalan dengan tegaknya, mata yang menyorot masa emas yang akan ia raih. Berjalan-melewati padang rumput yang begitu luas, tebing yang menjulang, bukit, pegunungan, dan sesekali harus berenang menyusuri sungai dan danau demi citanya. Tidak mulus memang sehingga dalam beberapa kali ia harus menunaikan hak tubuhnya-merapat dengan pohon, dedaunan, dan makhluk kecil yang memelas kehangatan darinya.

Bersambung....
Semangat menulis akan secara perlahan mengganti kebiasaan yang sia-sia menjadi lebih produktif. Mengisi banyak kekosongan dengan aliran ide-ide dan cerita-cerita yang membelajarkan. Dan akan banyak peristiwa yang bisa ditulis disini. Semoga kemudian mengantarkan kita menjadi manusia yang bermanfaat. Amin